Tag Archives: unique hotel

Review: Summerbird Bed and Brasserie

Jujur, ya. Berkunjung ke hotel ini itu semacam keinginan yang dari lama dipendam akhirnya terkabul. Beberapa temen pernah nanya dan ngobrol soal akomodasi yang satu ini, tapi saya memang belum sempat datang. Akhirnya kemarin ini, saya bookΒ satu kamar di hotel yang lokasinya berseberangan sama SMP 1 Bandung. Meskipun lokasinya sebetulnya agak masuk-masuk ke jalan yang lebih kecil, ternyata hotel ini terkenal karena desain kamarnya yang Instagrammable.

a739ee04706dec993352e2d8eeb8900c
Fasad Summerbird Bed and Brasserie. Foto milik pihak manajemen hotel.Β 

Summerbird Bed and BrasserieΒ adalah sebuah hotel yang berlokasi di Jalan Kesatriaan No. 11, Bandung. Akomodasi ini sebetulnya salah satu opsi hotel murah di Bandung berdesain kece yang saya masukkan ke thread khusus di Twitter (bisa dibaca di sini). Meskipun lokasinya bukan di jalan besar, hotel ini berada di pusat kota dan everything is within a walking distance!

Akomodasi bintang dua ini punya 28 kamar yang terbagi ke dalam tiga tipe: Standard, Superior, dan Deluxe. Nah, 28 kamar itu juga dibagi lagi ke dalam empat desain: French Tea, Vintage Chocolate Flavor, Rustic Coffee, dan Scandinavian. Dua desain pertama lebih feminin menurut saya, sementara the latter two lebih ke arah maskulin. Desain interior yang memikat bikin hotel ini jadi salah satu pilihan hotel unik di Bandung yang layak buat dikunjungi.

Dari segi fasilitas penunjang, hotel ini memang nggak menawarkan banyak pilihan. Ada kafe di lantai dasar yang disulap jadi restoran buat pengunjung hotel di pagi hari. Meskipun demikian, public spaces di hotel ini keren-keren, pas buat foto-foto. Bahkan hotel ini juga jadi lokasi pre-wedding photoshoot. Waktu saya ke sana, ada yang lagi foto-foto pre-wedding malahan.

Saat menginap kemarin, saya pesan kamar Superior dengan desain Rustic Coffee. Sebenarnya kemarin ini agak galau sih pas pilih antara Scandinavian dan Rustic Coffee, tapi akhirnya pilihan jatuh kepada si kopi karena akhir-akhir ini lagi agak bosan sama interior bergaya Scandinavian atau anything Ikea-ish. Ulasan lebih lanjut saya bahas di segmen berikutnya ya!

Desain Kamar

Inilah waktunya untuk membuktikan dan merasakan secara langsung apa sih yang orang-orang omongin tentang Summerbird Bed and Brasserie ini. Sebagai orang yang suka sama desain interior, kamar-kamar di hotel butik tentunya menarik perhatian karena biasanya desainnya beda dan unik.

This slideshow requires JavaScript.

Dengan luas 16 meter persegi, kamar memang nggak terasa lapang. Jarak dari sisi tempat tidur dengan dinding pun nggak besar. Namun, kekurangan ruang ini disiasati dengan furnitur-furnitur yang simpel supaya nggak makan banyak tempat. Sayangnya, saya merasa nggak adanya lemari pakaian tertutup merupakan hal yang disayangkan. Sebagai gantinya, saya gantung jaket di pipa besi yang disulap jadi rangka gantungan baju.

Oke, sekarang kita bicara tentang desain. Meskipun namanya Rustic Coffee, saya justru merasa desain Industrial dan Utilitarian lebih menonjol, terutama lewat pemilihan dinding bata ekspos berwarna cokelat (pas sama embel-embel “coffee“), dan penggunaan balok beton dan pipa besi sebagai furnitur di kamar. Unsur RusticΒ sendiri bisa dilihat dari penggunaan headboard dan lemari kayu kecil di balok beton dengan tampilan distressed. Jadi, nggak bohong lah ketika kamar ini bertajuk Rustic Coffee.

Nuansa maskulin terasa kental di kamar ini, terutama dengan palet earthy colors dan material-material yang “garang”. Dinding belakang headboard dihias dengan mural Obsessive Coffee DisorderΒ yang jadi background keren untuk foto Instagram pribadi saya. Pencahayaannya memang diatur untuk agak redup, tapi untungnya tidak sampai bikin suasana kamar jadi murky. Jendela di kamar saya ini bentuknya kecil memanjang dan berada di seperempat bagian teratas dinding. Nggak besar memang, tapi memberikan cukup ruang untuk masuk cahaya dari luar. Hanya saja, saya secara pribadi kurang suka kamar yang nggak punya jendela dengan view. Kesannya claustrophobic.

Kamar saya dilengkapi basic amenities seperti televisi, AC, coffee/tea maker, dan WiFi. Duh, itu sih hal-hal wajib lah ya. Sebagai bonus, saya ada foto si centil Grizz yang ingin tampil gaya di kamar ini.

This slideshow requires JavaScript.

Gemes, kan?

tenor
I love We Bare Bears
Kamar Mandi

Untuk kamar mandi, saya rasa penggunaan dinding kaca ini merupakan solusi yang cerdas untuk menyiasati kecilnya ruang di kamar. Adanya dinding kaca membuat kamar mandi dan ruang utama kamar terasa lebih luas, sambil tetap memisahkan kedua ruang dengan fungsi berbeda. Untuk menjaga privasi, ada blindΒ di dalam kamar mandi.

img_20190122_144656

img_20190122_144700

Desain kamar mandi masih kohesif dengan desain utama kamar. Tampil simpel tapi elegan dalam balutan dinding keramik berdesain ala beton dan tegel bertekstur kayu, kamar mandi unit saya dilengkapi dengan wastafel, kloset, dan shower area yang cukup luas. Perlengkapan mandi yang disiapkan adalah handuk, dental kit, sampo, dan sabun.

Lemari kayu usang yang menyangga wastafel jadi focal point kamar mandi dan ternyata, di dalamnya nggak ada apa-apa. Saya kira di dalamnya ada hair dryer atau semacamnya. Selain itu, nggak ada objection untuk kamar mandi. Hanya saja, seandainyaΒ flow air dari shower lebih kencang, saya rasa kayaknya lebih enak. Lumayan kan kalau bisa pijat punggung. Oh ya, pencahayaan kamar mandi juga bagus dan terang, jadi nyaman lah pas mandi. Saya udah sebut beberapa kali di artikel-artikel sebelumnya kalau saya kurang suka kamar mandi yang redup.

Fasilitas Umum

Seperti yang saya bilang di paragraf pembuka, Summerbird Bed and Brasserie memang nggak punya banyak fasilitas penunjang untuk para tamu, tapi hotel ini punya Summerbird Brasserie dengan sajian kopi Arabika Sumedang sebagai primadonanya. Saya sendiri nggak suka kopi sebetulnya, tapi tampaknya si kopi ini memang layak dicoba. Kapan-kapan deh kalau ke sana lagi saya coba pesan.

Seating area di Summerbird Brasserie ini tersebar di tiga lantai yang bisa diakses melalui tangga atau lift. Setiap lantai menampilkan desain yang berbeda. Kafe di lantai satu dapat mengakomodasi 30 orang dengan desain shabby chic yang manis nan romantis. Banyaknya tanaman-tanaman dalam ruangan bikin suasana di kafe tambah sejuk.

This slideshow requires JavaScript.

Untuk kafe di lantai dua, interiornya mengadopsi perpaduan desainΒ shabby chic dan “kearifan lokal” yang sepintas mengingatkan saya sama kopitiam Peranakan. Window shutters dipasang di dinding dan menjadi background yang cantik buat foto-foto. Seating area ini bisa mengakomodasi sekitar 25 orang.

This slideshow requires JavaScript.

 

Kalau seating area di lantai tiga, interiornya tampak lebih elegan dan classy. Mengusung desain vintage, kafe lantai tiga tampil cantik dengan furnitur khasΒ French bistro, trellis kayu berwarna putih, dan tanaman rambat.

This slideshow requires JavaScript.

Koridor-koridor kamar dan bordes tangga juga menjadi spot foto yang Instagrammable. Salah satu spot yang menurut saya bisa jadi lokasi foto yang cantik adalahΒ  bordes di tangga lantai satu menuju lantai dua. Di sana, ada kursi dan meja kecil dengan table lamp yang keliatan romantis di malam hari.

img_20190122_144402

img_20190122_144326

Oh, ya, lupa bilang. Reservasi kemarin ini sudah termasuk sarapan. Nah, di sini nggak ada prasmanan, tapi kita bisa pesan menu a la carte untuk sarapan. Pilihan saya jatuh ke nasi goreng dan jus jeruk. Porsinya menurut saya sih kecil, tapi rasanya decent lah. Jus jeruknya sendiri sih jatuhnya seperti jus kemasan kotak. Sejak awal ekspektasi saya memang nggak besar sih so there wasn’t anything surprising.

img_20190123_092403

 

Lokasi

Berlokasi di Jalan Kesatriaan, Summerbird Bed and Brasserie ini memberikan kemudahan buat pergi ke mana-mana. Minimarket dan mal bisa dicapai dengan jalan kaki. Dari hotel, ke Paskal 23 itu kira-kira memakan waktu sekitar 10 menit dengan berjalan kaki. Kalau perlu ke minimarket, tinggal jalan kaki kurang dari lima menit ke daerah di sekitar SMAN 6 Bandung. Di sana juga banyak tukang nasi goreng, lumpia basah, martabak, dan lain-lain.

Dari Stasiun Bandung ke hotel ini, mungkin hanya perlu sekitar 5 menit kalau pakai motor atau mobil. Kalau ke Bandara Internasional Husein Sastranegara, kira-kira waktu tempuhnya 10-15 menitan, tergantung kondisi lalu lintas.

Kesimpulan

Dengan rate mulai dari 400 ribuan (berdasarkan Tripadvisor), akomodasi ini mungkin terbilang sedikitΒ pricey kalau dibandingkan sama fasilitas yang ditawarkan. Namun, desain kamar dan hotel secara keseluruhan yang unik saya rasa sebanding dengan harganya, apalagi lokasinya juga strategis dan tetap memberikan ketenangan beristirahat, meskipun ada di pusat kota.

Soal desain, saya suka dengan interior kamarnya. Rustic, Industrial, dan Utilitarian;Β semuanya berpadu secara harmonis di kamar. Ukurannya memang agak kecil, tapi untungnya nggak sampai claustrophobic. Yang disayangkan sih lebih ke tidak adanya lemari pakaian yang tertutup, dan posisi dan bentuk jendela yang secara personal kurang saya sukai. So far, nggak ada objection untuk kamar.

Secara keseluruhan, Summerbird Bed and Brasserie memberikan pengalaman menginap yang nggak mengecewakan, terutama buat saya yang sejak dulu pengen nginep di sana. Nggak ada salahnya buat coba menginap di hotel ini, terlebih lagi kalau ingin istirahat di kamar yang kece dan Instagrammable.

Pros & Cons

πŸ‘πŸ»Β Pros

  • Interior kamarnya keren-keren. Ada empat desain kamar yang ditawarkan. Untuk desain yang lebih feminin, pilih French Tea atau Vintage Chocolate Flavor. Untuk desain yang lebih maskulin, pilih Rustic Coffee atau Scandinavian.
  • Lokasinya strategis. Ke mana-mana deket. Ke mal tinggal jalan kaki 10 menitan. Mau jajan, ada banyak kaki lima di sekitar SMAN 6 Bandung (jalan kaki kurang dari lima menit).
  • Summerbird Brasserie memiliki tiga seating area di tiga lantai berbeda, dengan interior yang beda pula. Cocok buat ngumpul sama teman atau bahkan meeting sama klien.
  • Suasananya relatif tenang. Kalau ingin lebih tenang, bisa book kamar yang ada di lantai tiga.
  • Banyak spot fotonya. Pas lah buat yang suka foto-foto buat di-upload ke Instagram.

πŸ‘ŽπŸ»Β Cons

  • Rate-nya sedikitΒ pricey, terutama kalau dibandingkan sama fasilitas umum untuk tamu. Untuk skala yang lebih besar, beberapa bed and breakfast di Bandung menawarkan desain kamar yang unik, tapi dengan harga yang lebih terjangkau.
  • Kamarnya terbilang agak sempit.
  • Posisi jendela di kamar saya kurang “pas” (kamar saya adalah kamar Rustic Coffee Superior dengan nomor kamar 207, eh atau 205 ya?). Mungkin bisa coba minta pihak hotel untuk siapkan kamar dengan posisi jendela yang lain saat reservasi.
  • Porsi sarapan paginya nggak besar. Ini masih bisa diakalin sama bubur gratis yang disediakan pihak hotel.
Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌😢
Desain: πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜Ά
Lokasi: 🀩🀩🀩🀩😢
Harga: πŸ’°πŸ’°πŸ’°

Review: Kollektiv Hotel

Sering kerja dari Starbucks PVJ, jalan Sutami merupakan rute yang biasa saya lewati. Sekitar kuartal terakhir 2017, ada satu restoran baru di jalan Sutami yang namanya Hara. Saya sama teman-teman pernah Christmas dinner di sana, dan ternyata bangunan besar itu nggak hanya mencakup restoran, tetapi juga hotel bernama Kollektiv.

Karena Hara ini sering ramai banget pengunjung, saya jarang banget ke sana (parkir pun susah sebelum akhirnya ada tanah kosong nggak jauh dari kawasan bangunan hotel yang dijadikan sebagai tempat parkir). Walaupun penuh, jujur saya suka dengan desain interior si restoran. Setelah melihat foto-foto kamarnya dari Agoda dan Traveloka, saya jadi penasaran juga seperti apa, meskipun pada awalnya saya agak gimana karena tampaknya ukuran kamarnya terlalu kecil. Akhirnya setelah cukup penasaran berbulan-bulan, saya datang ke Kollektiv untuk nginap satu malam.

IMG_20181221_092333
Fasad Kollektiv. Foto milik pribadi

Kollektiv Hotel merupakan akomodasi bintang dua yang berlokasi di jalan Prof. Dr. Ir. Sutami nomo 62, Bandung.  Kalau dari arah Universitas Kristen Maranatha, kita tinggal pergi ke arah Setrasari menuju Karangsetra. Dari segi fasad, bisa kita lihat kalau hotel ini memanfaatkan kontainer-kontainer truk dan kapal besar dan mengubah fungsinya jadi ruang tinggal. Kontainer-kontainer ini dipadukan dengan jendela dan railing berdesain modern minimalis yang menghasilkan perpaduan yang mantul alias mantap betul bro.

Hotel ini berada di sebuah bangunan besar yang menyatu dengan restoran bernama Hara. Kamar-kamar hotel menempati lantai dua sampai empat bangunan, sementara restoran ada di lantai satu. Ada 39 kamar di hotel ini yang dibagi ke dalam dua tipe: Superior dan Deluxe. Kalau ingin lihat foto-foto kamar yang lain, bisa berkunjung ke Instagram page atau official website mereka.

Ketika menginap di Kollektiv, saya dapat kamar Superior yang berada di lantai empat. Kalau melihat dari segi kepercayaan, sebetulnya angka empat itu kan angka ketidakberuntungan, tapi ya sudah lah dinikmati aja karena memang saya juga ada personal request kamar di lantai yang tinggi. Meskipun pada awalnya saya sempat curiga bahwa ruangannya akan sempit ketika lihat foto-foto kamar, tetapi pas ke TKP pendapat saya berubah. In fact, I think I am in love with the hotel! Ulasan lengkapnya ada di segmen berikutnya ya.

Desain Kamar

Berdasarkan informasi di situs web resminya, Kollektiv Hotel memadukan unsur kayu dan besi untuk menciptakan desain industrial murni. Interior bergaya industrial ini kerasa kental di public spaces seperti koridor kamar dan restoran. Namun untuk kamar sendiri (terutama kamar yang saya tempati), desain Scandiavian dengan sedikit sentuhan mid-century justru lebih kentara kalau menurut saya secara pribadi.

IMG_20181220_170152
Twin-bed yang tampil sederhana tapi manis dalam dominasi warna putih
IMG_20181220_170108
Cermin dan counter di depan kamar mandi yang memanjang
IMG_20181220_170207_HHT
Area kerja, lengkap dengan reed diffuser beraroma lemongrass

Kamar Superior yang saya tempati berukuran mungkin sekitar 13-15 meter persegi dan memanjang. Kasur ditempatkan di atas semacam platform kayu yang tampak “melayang” karena fondasinya dibangun lebih menjorok ke dalam. Di belakang tempat tidur ada jendela dengan roller blind pinstripes yang unik. Posisi jendela kamar yang menghadap ke barat dan roller blind unik itu memberikan efek pencahayaan alami yang kuat ke kamar, terutama di sore hari. Nggak ada end table di tengah atau samping kasur dan menurut saya ini ide yang tepat mengingat space kamar cukup terbatas. Sebagai ganti lampu meja, ada dua downlight untuk menerangi area tempat tidur.

Dengan space terbatas, wastafel ditempatkan di luar kamar mandi. Counter table-nya sendiri adalah papan kayu memanjang berdesain minimalis. Di atasnya ada cermin yang juga memanjang mengikuti counter table dan dinding kaca kamar mandi yang berhadapan dengan wastafel. Kamar Superior nggak dilengkapi dengan lemari baju. Sebagai gantinya, ada tiang gantungan dengan beberapa hanger untuk menggantung jaket, baju, atau celana yang nggak dipakai.

Untuk study area, papan kayu tebal yang dipasang ke tembok berfungsi sebagai meja. Ada kursi berbahan rotan di depan meja kerja. Di atas meja kerja sendiri ada telepon, lampu meja minimalis, vas tembikar yang memuat remote controller TV dan AC, dan reed aromatherapy diffuser dengan keharuman lemongrass yang segar, tapi nggak sampai bikin enek.  Televisi sendiri digantung, membelakangi dinding kamar mandi.

IMG_20181220_170137
Study area dan televisi
IMG_20181220_170057
Kamar Superior

Kelengkapan kamar lainnya ada tea/coffee maker, sandal hotel, dan hair dryer. Bicara tentang space, yang sebetulnya agak saya sayangkan adalah tinggi dinding. Karena dinding kamar nggak begitu tinggi, rasanya dekat banget kepala dengan mulut AC. Walhasil, lumayan lah dingin kerasa. This is not good for someone who is perpetually cold.

Secara keseluruhan, perawatan furnitur dan in-room amenities bisa dibilang baik. Kursi masih empuk. Kasur masih bersih. Pokonya sih semuanya dalam keadaan decent.

Kamar Mandi

Untuk kamar mandi, areanya memang nggak besar, tapi nggak sampai bikin klaustrofobik. Kamar mandi hanya dipisahkan oleh dinding kaca, tapi setengah bagiannya sand-blasted jadi privasi masih terjaga. You can still do your business safely and privately lah somehow.

IMG_20181220_170220
Kloset kamar mandi
IMG_20181220_170233_HHT
Area shower
IMG_20181220_170244_HHT
Sabun dan sampo

“Bilik merenung”-nya dilengkapi dengan bidet dan tisu. Untuk shower area, yang saya sayangkan adalah nggak ada rainshower (tapi bisa dimaklumi mengingat space-nya pun nggak luas). Sebagai gantinya, keluaran air dari shower tangan bisa diubah ke pengaturan sprinkle yang halus, tapi tetap dengan semburan yang kencang.

Yang saya suka dari sabun dan sampo Kollektiv Hotel adalah aromanya. Setelah dimanjakan aroma lemongrass yang menyegarkan, sabun dan sampo di kamar ini ada aroma bergammot-nya kalau menurut saya. Mungkin lebih tepatnya mirip-mirip aroma earl grey tea sih. Wanginya lembut dan nggak intens memang jadi ya jangan berharap wanginya akan awet sampai kita ke luar kamar mandi. Handuk wajah, sikat gigi, dan pasta gigi ada di luar kamar mandi, di samping wastafel.

Fasilitas Umum

Seperti yang saya bilang sebelumnya, desain Scandinavian terasa lebih kental di kamar. Namun ketika melangkah ke luar kamar, kita baru bisa merasakan sentuhan industrial yang kentara. Koridor kamar dihias oleh railing dan tanaman rambat. Void besar di tengah-tengah bangunan menawarkan view ke sitting area atau lobi di lantai dasar yang juga berfungsi sebagai area makan restoran Hara.

Banyaknya tanaman rambat dan pohon tinggi yang ditanam di lantai satu membuat area hotel terasa sejuk dan rimbun. Elemen alam ini cocok dipadukan dengan dinding-dinding kontainer yang dicat dengan warna cokelat krem.

Hara

Salah satu fasilitas utama Kollektiv Hotel adalah restorannya. Dibuka untuk umum, Hara menghadirkan beragam sajian dan suasana yang nyaman dalam balutan interior bergaya rustic industrial. Restoran ini cukup luas dan mencakup juga outdoor sitting area dan rumah kaca.

Salah satu spot yang saya suka adalah sitting area dengan langit-langit setinggi empat lantai. Di area ini ada set sofa, kursi, dan meja bergaya mid-century. Karena menyambut libur Natal, ada juga pohon Natal di area ini yang tampil cantik dengan dekorasi-dekorasi Natal yang dominannya berwarna putih dan emas. Di depan sitting area ini adalah ruangan terpisah yang bisa digunakan sebagai bagian dari restoran atau semacam tempat rapat. Di ujung restoran juga ada area makan lain yang menawarkan view jalan Sutami.

IMG_20181221_092238
Greenhouse
IMG_20181221_092328
Fasad hotel

Ketika indoor seating area penuh, tamu bisa makan di outdoor seating area atau di dalam rumah kaca. Rumah kaca ini bisa digunakan untuk acara-acara semiformal kayak pesta ulang tahun atau semacamnya. Kalau cuaca lagi bagus, outdoor seating area ini pas dipilih untuk makan malam karena cantik dengan lampu-lampu dekoratif.

Dengan desain yang menawan seperti ini, nggak heran kalau Hara banyak pengunjungnya. Sayangnya, tempat parkir di depan bangunan utama sendiri nggak luas jadi ketika lagi ramai, mungkin akan susah buat dapat tempat parkir. Untungnya, ada tempat parkir tambahan di dekat kawasan Kollektiv Hotel.

Lokasi

Berdiri di jalan Prof. Dr. Ir. Sutami, hotel ini punya lokasi yang cukup dekat dari mal Paris van Java (kira-kira 10 menit lah kalau pakai mobil, tergantung kondisi lalu lintas). Kalau dari Maranatha, pakai mobil ya sekitar 5-10 menit.

Di dekat hotel sendiri ada banyak kafe dan tempat makan lain yang bisa dikunjungi, seperti Level atau Hankook Kwan. Di Setrasari Mall sendiri ada lebih banyak pilihan tempat makan dan kafe. Sayangnya, area jalan Sutami ini sering kali macet di wkatu-waktu  tertentu, terutama jam pulang kerja atau weekend. Meskipun demikian, kawasan ini cukup tenang jadi buat beristirahat sih nyaman lah.

Untuk kebisingan sendiri, ketika saya menginap suara-suara musik justru berasal dari Hara. Kebetulan saat itu lagi ada acara (sepertinya Christmas dinner) dan suaranya terdengar sampai kamar, walaupun memang diadakannya bukan pas jam tidur jadi ya nggak begitu mengganggu lah. Kamarnya pun cukup kedap suara kok.

Kesimpulan

Mengedepankan desain industrial dan memanfaatkan kontainer-kontainer sebagai ruang tinggal, Kollektiv Hotel menawarkan pengalaman menginap yang berkesan dan mengasyikkan. Proses check-in mudah dan cepat. Kondisi kamar juga baik dengan desain yang simpel, tapi menawan. Selain itu, hotel ini juga punya banyak spot Instagrammable yang layak buat jadi background foto.

Interior kamar lebih cenderung bergaya Scandinavian atau mid-century, dan menurut saya ini lebih nyaman. Meskipun ukurannya nggak begitu luas, kamar saya punya in-room amenities yang cukup lengkap, dari mulai tea/coffee maker sampai hair dryer. Untuk hotel bintang dua, hair dryer sepertinya jarang ada di kamar tipe Superior (sejauh ini sih saya jarang nemu hair dryer, bahkan di kamar tipe Superior hotel bintang tiga). Selain itu, aroma lemongrass yang menenangkan, serta sabun dan sampo beraroma earl grey tea bikin saya nyaman di kamar.

Meskipun nggak berada tepat di pusat keramaian, kawasan jalan Sutami sering kali macet di jam pulang kerja atau weekend. Untungnya, suasana hotel yang teduh dan rimbun jadi semacam oasis di tengah ingar bingar kota Bandung. Dengan rate mulai dari sekitar 450 ribu rupiah per malam (berdasarkan info dari Tripadvisor), Kollektiv Hotel bisa jadi pilihan Instagrammable yang menawarkan pengalaman menginap yang menenangkan, tanpa harus jauh-jauh pergi dari pusat kota. Buat kabur sejenak atau nginep sambil bawa kerjaan sih cocok deh.

Pros & Cons

πŸ‘πŸ» Pros

  • Konsep containers turn hotel menjadi kelebihan Kollektiv. Public space didesain dalam gaya industrial, sementara kamar-kamarnya lebih mencerminkan gaya Scandinavian dengan sedikit sentuhan mid-century.
  • Banyak tanaman di dalam hotel yang bikin suasana jadi sejuk dan teduh.
  • Lokasinya berada di antara kawasan Sukajadi dan Surya Sumantri. Mau ke Paris van Java lumayan dekat. Mau makan di daerah Maranatha juga lumayan dekat.
  • Sampo dan sabun di kamar mandi punya aroma earl grey yang menenangkan. Di kamar juga ada reed aromatherapy diffuser dengan minyak lemongrass yang bisa ngilangin stres.
  • Banyak tempat Instagrammable di hotel, termasuk greenhouse di luar restoran.
  • Untuk ukuran makanan hotel, harga menu untuk in-room dining masih masuk akal dan agreeable.
  • Ada hair dryer di kamar.

πŸ‘ŽπŸ» Cons

  • Meskipun nggak sampai claustrophobic, kamar tipe Superior nggak begitu luas.
  • Kawasan jalan Sutami bisa macet parah pada jam pulang kerja atau weekend.
  • Area parkir hotel nggak besar, tapi ada tempat parkir tambahan nggak jauh dari hotel (agak inconvenient kalau harus bolak-balik dari hotel ke area parkir ini).
  • Suara atau musik dari restoran (ketika ada acara) bisa kedengaran sampai kamar, bahkan di kamar saya yang posisinya di ujung lantai empat.

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌😢
Desain: πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜Ά
Lokasi: 🀩🀩🀩βšͺ️βšͺ️
Harga: πŸ’°πŸ’°πŸ’°

Review: de Braga by ARTOTEL

Beberapa minggu yang lalu, saya berkesempatan untuk menginap di hotel ini. Kebetulan di hari kunjungan, ada Light Fest yang diadakan di sepanjang jalan Asia Afrika jadi bisa dibilang kunjungan saya lengkap deh dengan festival tersebut. Selain itu, karena dekat dari jalan Asia Afrika, bolak-balik dari hotel ke depan Museum Konferensi Asia Afrika juga nggak perlu jalan jauh.

de-braga-by-artotel
Fasad dan bangunan utama de Braga by ARTOTEL. Foto milik pihak manajemen.

de Braga by ARTOTELΒ berlokasi di jalan Braga no. 10, Bandung. Berada di kawasan jalan Braga pendek, lokasinya dekat banget dengan Museum Konferensi Asia Afrika (dan yang paling bikin saya senang, dekat banget dengan Starbucks Asia Afrika. Yay!). Sebelum menjelma jadi de Braga by ARTOTEL, di atas lahan yang ditempati hotel ini dibangun Sarinah, dan Sarinah ini masih sama dengan Sarinah yang di Jakarta. Di lantai lobi, Sarinah ini masih dipertahankan dalam bentuk satu toko kecil yang menjual barang-barang khas Indonesia, kayak kemeja batik, pernak-pernik etnik, dan semacamnya.

Dari segi eksterior, fasad asli bangunan Sarinah masih dipertahankan, hanya saja bangunannya dialih fungsikan jadi terrace cafΓ© yang memanjang. Di belakangnya, ada bangunan utama hotel dengan desain yang mengingatkan saya sama salah satu gedung bergaya modernistΒ tahun 60-an di New York. Ada semacam vibeΒ Villa Savoye desain Le Corbusier kalo menurut saya sih.

Akomodasi bintang empat ini memiliki 112 kamar yang terbagi ke dalam 3 tipe: Studio 25, Studio 35, dan Suite. Untuk fasilitas, hotel ini punya kolam renang, restoran, terrace cafΓ©, MEETSPACE, dan art space. Nah, kalau tentang fasilitas, saya sempat coba berenang di kolam renangnya. Untuk kamar, saya pilih Studio 25 yang, meskipun merupakan opsi kamar paling kecil, tapi masih bisa give something big for me. Ulasan lengkapnya di bahas di segmen berikutnya ya!

Desain Kamar

Berada di lantai 9, kamar saya berada di sisi selatan dengan jendela menghadap ke kawasan jalan Asia Afrika. Jendelanya besar, meskipun bukan berjenis floor-to-ceiling. Meskipun sedikit terhalangi hotel tetangganya, saya masih bisa mendapatkan view yang cantik dari kamar. Bahkan waktu ada Light Fest, karena cukup pusing dengan banyaknya orang yang nonton di sekitar jalan Asia Afrika, saya memutuskan untuk kembali ke hotel dan nonton festival dari kamar. Sambil duduk di samping jendela, saya bisa nonton festival dan ngemil biskuit. Nonton di bawah secara langsung pun agak rugi karena badan saya kecil, jadi kehalangin orang-orang yang lebih tinggi.

tenor
Aku ‘kan jadinya murka dalam hati

Nah, sekarang waktunya bahas desain kamar. Satu hal yang saya suka dari hotel ini adalah mereka bisa mengawinkan interiorΒ sleek modernΒ dengan sentuhan contemporary industrial dan art-deco. Ini semacam beberapa layerΒ bertumpuk-tumpuk, tapi sleek modern merupakan desain dasar kamarnya. Dua gaya lainnya jadi semacam pelengkap. Yang bikin kamar saya lebih artistik adalah adanya dua mural di dinding kamar, satu di belakang headboard, dan satu lagi di dinding sebelah tempat tidur. Pokoknya muralnya Instagram-material banget! Untuk pencahayaan, wall lights-nya berdesain simpel, berupa sphere berwarna putih dengan lampu berwarna kekuningan untuk memberikan kesan mewah di malam hari. Di atas meja belajar juga ada satu ceiling light dengan desain yang senada dengan wall lights.

IMG_20181021_121533
Interior kamar. Space-nya luas dan terasa sejuk.

IMG_20181021_121601
Dua mural di kamar. Unyu maksimal!

IMG_20181021_121540
Mural besar di atas headboard. Unyu maksimal!

IMG_20181021_121549
Televisi 42 inci dan meja kerja.

Palet warna kamar menggunakan warna putih sebagai warna utama yang memberikan kesan bersih dan sejuk. Pemilihan warna-warna monokrom seperti hitam, abu-abu, dan blue blackΒ memberikan kesan bold dan modern. Lantai kayu berwarna cokelat membangun nuansa yang lebih homy.Β For a colorful splash, ada mural warna-warni… karena hidup kalau monoton ‘kan nggak asik. You need some colors to make your life colorful, lah!

tenor31
Itu petuah dari Sehun ya. Harap diingat!

Bicara fasilitas kamar, ada televisi 42 inci lengkap dengan kanal-kanal lokal dan internasional, jaringan WiFi, dan AC. In-room amenities dasar sih sudah jelas ada jadi nggak perlu khawatir lah. Slippers juga tersedia dan desainnya lucu. Nah, di kamar juga ada mesin Nescafe Dolce Gusto Piccolo buat bikin kopi. Yang saya dapat adalah varian Espresso Intenso dan karena saya bukan penggemar berat kopi, saya tambahin krimer supaya rasanya lebih soft.

IMG_20181021_121834
Mesin Dolce Gusto Piccolo dan kopinya. Ngopi napa ngopi?!

Kamar Mandi

Kalau interior utama kamar mengusung sleek modern sebagai desain utama, kamar mandinya justru lebih kental dengan desainΒ rustic industrial, dipadukan dengan sentuhan art-deco. Agak nabrak ya? Nggak kok!

Interior kamar mandi tampak cantik dalam balutan tiles berdesain “bata ekspos” warna putih. Supaya kontras, lantainya berwarna abu-abu tua. Kesan mewah ditampilkan melalui wastafel dan cermin kamar mandi. Wastafelnya punya marble countertop, dan di atasnya ada cermin berbentuk segi empat dengan kerangka besi yang desainnya mengingatkan saya dengan The Great Gatsby. Ya, bisa dibilang desainnya Gatsby-esque lah kalau nggak sepenuhnyaΒ art-deco ala Gatsby.

IMG_20181021_121713
Area shower

IMG_20181021_121731
Marble sink dengan cerminΒ Gatsby-esque

IMG_20181021_121740
Bathroom amenities wajib

Handuk, tisu, dan alat-alat mandi lainnya sudah tersedia di kamar mandi. Untuk shower-nya, ada rainshower dan shower tangan. Aliran dan suhu airnya stabil jadi lumayan lah untuk ber-shower ketika galau. Kalau perlu mengeringkan rambut, ada hair dryer yang disimpan di dalam lemari pakaian, tepat di luar kamar mandi. Pencahayaannya juga decent karena, seperti yang saya sering bahas di artikel-artikel sebelumnya, saya nggak suka mandi di kamar mandi yang remang-remang karena rasanya muram.

tenor1
Aku nggak mau bermuram durja di bawah shower 😦

Fasilitas Umum

Buat melengkapi kebutuhan pengunjung, de Braga by ARTOTEL sudah dipersenjatai dengan beberapa fasilitas umum. Kalau mau ngopi, bisa ke terrace cafΓ© yang ada di lantai lobi. Menurut saya, kafe ini cantik banget dari segi desain dan posisi. Berada di samping trotoar, sambil ngopi ‘kan bisa sambil menikmati suasana jalan Braga pendek yang relatif lebih tenang dibandingkan jalan Braga panjang.

IMG_20181021_153342
Kafe ini juga bisa dikunjungi oleh umum kok.

Kalau mau sarapan, ada restoran yang posisinya berada di samping rooftop garden yang pas buat main atau nongkrong. Karena palet dasar interiornya adalah hitam putih, furnitur-furnitur bergaya kontemporer dengan warna cerah dan mural-mural cantik memberikan colorful splashΒ yang ceria buat menemani momen bersantap. Di luar restoran, ada area terbuka dengan rumput sintetis yang bisa jadi tempat yang pas untuk ngobrol bareng teman-teman di sore hari ketika matahari nggak begitu terik, atau main monopoli atau UNO.

This slideshow requires JavaScript.

Sebagai fasilitas hiburan slash olahraga, hotel ini punya kolam renang yang bisa diakses melalui pintu yang berada nggak jauh dari area restoran, tepatnya di dekat lift. Ukuran kolam renangnya cukup besar, hanya saja sayangnya dibatasi oleh dinding yang cukup tinggi sehingga saya nggak bisa melihat pemandangan daerah sekitar dengan mudah. Kalau mau lihat ke area jalan Braga pendek, saya harus jadi kayak anak-anak yang suka jinjit atau manjat tembok gitu. Padahal, view dari kolam renang sebetulnya bagus.

IMG_20181021_151606
Area kolam renang. Kursi dan recliner-nya nggak banyak.

Kedalaman kolam renang utama nggak melebihi 1,5 meter jadi buat yang mau belajar renang, masih aman lah (saya lihat banyak anak-anak kecil yang malah nyeburnya ke kolam renang utama). Kolam anaknya dipisahkan oleh semacam dinding pembatas yang di atasnya ada beberapa stepping stones warna krem. Ketika saya berenang, lagi ada beberapa pengunjung lain pula yang berenang. Sayangnya, karena kursi dan recliner buat pengunjung nggak banyak, pengunjung yang nggak kebagian harus simpan barang bawaannya di dekat planters. Selain itu, area kolam renang juga kekurangan spot teduh. Walhasil, produk elektronik kayak HP atau iPod akan terpapar cahaya matahari langsung kalau nggak dimasukkan ke tas (even dimasukkan pun tetap panas, berdasarkan pengalaman pribadi). Kamar mandi dan shower box untuk bilas bisa diakses melalui gang kecil yang ada di sisi timur kolam renang.

Selain fasilitas umum, beberapa public space di hotel ini juga artistik. Sesuai lah dengan embel-embel art-nya. Salah satu spot yang paling sering muncul di Instagram adalah tangga yang menghubungkan lantai restoran dengan lobi. Di lobi sendiri, ada beberapa instalasi seni, seperti wall art besar berwarna pink di samping lift.

This slideshow requires JavaScript.

Β Lokasi

Nah, bicara soal lokasi, de Braga by ARTOTEL ini menurut saya pilihan terdepan, terutama kalau ingin nginep di kawasan Asia Afrika atau Braga. Kalau ingin dapat view kawasan Asia Afrika, minta kamar yang ada di sisi selatan. Kalau di sisi utara, bisa dapat view kawasan jalan Braga dan sekitarnya. Kembali lagi ke preferensi pribadi sih.

Hotel ini cuman berjarak sekitar 5 menit dari Museum Konferensi Asia Afrika. Mau makan atau nongkrong di Braga? Jalan kaki sepuluh menit juga jadi. Oh ya, dengan jarak yang sama juga kita bisa main ke kawasan Alun-Alun dan Masjid Raya Bandung. Dari sana, kita bisa lanjut jalan ke shopping district Dalem Kaum dan Kepatihan.

Nggak jauh dari hotel, ada Pasar Barang Antik Cikapundung. Kalau kamu penggemar barang-barang antik, di sini ada berbagai macam barang nostalgic, dari mulai furnitur, mainan, sampai old records yang masih bisa diputar pakai gramofon!Β 

Kesimpulan

Kalau dari segi kamar, saya bisa bilang Studio 25 yang saya tempati ini semacam little engine that could do big things. Meskipun kelasnya paling kecil, tapi ukuran kamarnya ternyata luas dan in-room amenities-nya lengkap, terutama dengan kehadiran si Nescafe Dolce Gusto Piccolo. Desainnya pun cantik dan Instagrammable, apalagi kalau foto di atas tempat tidur dengan latar belakang mural yang unyu maksimal.

Bathroom amenities juga lengkap. Rainshower ada, shower tangan ada, jadi urusan mandi sih saya bisa bilang nyaman dan syahdu (karena ber-shower itu syahdu loh, terutama di malam hari dan pakai air hangat). View dari kamar juga keren. Saya suka banget.

Fasilitas penunjang di de Braga by ARTOTEL ini memuaskan, terutama kolam renang dan rooftop garden-nya. Meskipun terasa agak sempit karena dinding pembatasnya yang cukup tinggi, saya tetap bisa lihat view di sekitar kolam renang yang keren. Kekurangan tambahannya ya nggak banyak kursi dan recliner buat pengunjung jadi please expect some “hunger games” ya. Untuk rooftop garden-nya sendiri, saya suka karena tempat itu jadi semacam spot yang pas buat main dan ngobrol bareng teman-teman. Dari aspek lokasi, hotel ini memungkinkan saya buat beraktivitas di pusat kota Bandung, tanpa harus berkendara jauh.

Ada satu hal lagi yang saya suka dari hotel ini. Ketika pesan, saya biasanya kirimkan personal requests. Saat tiba, semua personal requests saya terealisasi: kamar di lantai tinggi, no-smoking room, big bed, jendela dengan pemandangan kota, dan early check-in dan late check-out. Saya tiba di hotel ini sekitar jam 12 dan awalnya hanya ingin titip barang, setelah itu makan siang sambil nunggu waktu check-in. Ternyata, kamarnya sudah siap dan udah boleh masuk ke kamar. Oh, betapa senangnya Sehun~

tenor
AYAFLUUUU~

Dengan harga mulai dari sekitar 550 ribu per malam (perhitungan rata-rata dari Tripadvisor dan Agoda), hotel bintang empat ini menawarkan pengalaman menginap yang menyenangkan. Interior kamar kontemporer yang keren, mural-mural ceria, dan lokasi premium membuat de Braga by ARTOTEL layak jadi pilihan kalau kamu ingin menginap di kawasan Braga atau Asia Afrika.

Pros & Cons

πŸ‘πŸ»Β Pros

  • Interior kamar tampil unik dan keren dengan perpaduan desain modern, contemporary industrial, dan sedikit sentuhan art deco.
  • Setiap kamar dipercantik dengan mural yang Instagrammable.
  • Ada mesin Nestle Dolce Gusto Piccolo buat bikin kopi.
  • Lokasi ada di jantung kota Bandung. de Braga by ARTOTEL hanya sekitar 2 menit aja jalan kaki dari Museum Konferensi Asia Afrika dan kawasan jalan Braga. Kalau Alun-Alun dan Mesjid Raya sih jalan kaki palingan sekitar 5-10 menit.
  • Di samping restoran, ada area terbuka dengan rumput sintetis yang cocok buat ngobrol atau main sama teman dan keluarga.
  • Rate-nya terbilang terjangkau dan agreeable untuk hotel di kelasnya.
  • Personal request saya berhasil dipenuhi semua (hopefully the same thing goes for you as well ya).

πŸ‘ŽπŸ»Β Cons

  • Area kolam renang kurang tempat duduk dan spot teduh.
Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌😢
Desain: πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜Ά
Lokasi: 🀩🀩🀩🀩😢
Harga: πŸ’°πŸ’°πŸ’°

Review: Cottonwood Bed & Breakfast

Kalau pulang dari kampus atau kelas, kadang saya lewatin hotel ini. Lokasinya memang tidak disangka-sangka dan ketika beberapa teman tanya soal lokasi hotel ini, tanggapan mereka setelah saya jawab adalah “Oh, ada hotel di sana?”

Ada. Dan hotelnya gemes maksimal!

cottonwood bandung
Fasad Cottonwood Bed & Breakfast. Sederhana tapi manis.

Cottonwood Bed & Breakfast berlokasi di jalan Mustang nomor B2/1A. Kalau anak-anak Maranatha atau Sarijadi sih kemungkinan tahu hotel ini atau daerah ini. Nah, buat yang jarang masuk-masuk ke jalan yang lebih kecil di kawasan Sarijadi atau Surya Sumantri, hotel ini tuh nggak jauh dari Gerbang Tol Pasteur dan kawasan Cibogo (kira-kira sekitar 10 menit lah dari gerbang tol kalau kondisi jalan lagi lancar). Untuk saya pribadi sih kalau bahas segi lokasi, hotel ini punya keuntungan dan kekurangan tersendiri. Keuntungannya adalah hotel ini nggak berlokasi di jalan arteri dan berada di kawasan pemukiman yang tenang sehingga saya bisa kerja dan istirahat dengan nyaman tanpa banyak gangguan. Kekurangannya adalah karena lokasinya bukan di jalan arteri, akses ke area komersial nggak begitu mudah, walaupun sebetulnya jaraknya dari gerbang tol Pasteur itu cukup dekat.

Akomodasi bintang dua ini mengusung konsep bed and breakfast. Untuk tipikal pengunjung yang nggak neko-neko dan butuh tempat untuk “tidur doang”, hotel ini udah memenuhi kebutuhan. Bangunannya sendiri nggak besar, dengan fasad yang bukan tipikal grandiose, tapi lebih ke arah cute (driver Grab saya bilang, “Lucu ya kayak rumah Barbie!”). Oke sip, pak! πŸ€“

Jumlah kamarnya nggak banyak; hanya ada 11 kamar yang terdiri atas 9 kamar biasa, 1 loft, dan 1 familyΒ suite room untuk 4 orang. Fasilitas hotel pun hanya ada restoran slash kafe dan satu plant nursery. Meskipun demikian, menginap di sini dijamin nggak menyesal karena lokasinya yang cocok buat menyepi dan desain interior kamar yang bikin betah dan gemas sendiri.

Desain Kamar

Untuk kepentingan review ini, saya sempat galau beberapa jam untuk pilih desain kamar yang diinginkan. Seperti yang saya bilang sebelumnya, desain interior kamar di Cottonwood Bed & Breakfast ini unik dan menggemaskan. Asyiknya lagi, setiap kamar tampil dengan desain yang berbeda. Ini sih roman-romannya harus ke sana lagi buat coba nginap di kamar yang berbeda. Akhirnya, pilihan saya jatuh kepada kamar Popple Room yang ada di lantai dua.

Bicara tentang ukuran kamar, sebetulnya ukurannya sih nggak besar. Space kamar sebagian besar terisi sama tempat tidur double bed dengan seprai putih motif garis-garis warna biru yang memberikan sentuhan nautical. Supaya nuansa lautnya lebih kental, di samping tempat tidur ada lemari buku yang dibuat dari perahu yang dibagi dua. Cantik banget!

Di samping tempat tidur, ada meja belajar dan kursinya yang mengingatkan saya sama bangku dan kursi TK. Meja belajarnya ini dipasang di dinding dan entah kenapa saya merasa mejanya rentan jatuh (penahannya cuman satu). Di atas meja, disediakan terminal sebagai pengganti outlet listrik yang dipasang di dinding. Kurang A E S T H E T I C sih, tapi kelebihannya saya jadi punya banyak colokan buat charge ini itu. Di sini, saya mulai merasa juga bahwa kamar saya ini cocok jadi kosan tematik. Serius deh! Rasanya kayak kosan loh. Kosan mewah dan tematik.

AC dan televisi juga tersedia di kamar. Kalau butuh hiburan lain, ada WiFi gratis yang bisa dipakai untuk browsing internet atau cek media sosial. Oh ya, di kamar nggak ada lemari pakaian loh jadi kita nggak bisa simpan pakaian di dalam lemari. Meskipun demikian, masih ada gantungan pakaian (dan cukup banyak karena di kamar mandi pun ada) yang bisa kita pakai untuk simpan baju, jaket, atau celana.

Ketika datang sekitar pukul jam 4, suasana kamar bikin saya ngerasa betah. Apalagi dengan desain interior yang gemas begitu, saya jadi agak malas buat pergi beli makan. Walhasil, saya ketiduran sambil nonton kartun sampai sekitar jam setengah 8 malam. 😞

Oh ya, karena konsepnya bed and breakfast, kita diimbau untuk nggak mengganggu tamu lain dengan berisik di kamar atau nyalakan televisi dengan suara kencang. Kamar pun nggak punya peredam suara jadi suara dari dalam kamar bisa kedengaran ke luar, dan sebaliknya.

Oh ya, buat yang penasaran desain kamar-kamar lain di hotel ini, di bawah ini ada beberapa fotonya yang saya ambil dari website resmi hotel.

Kamar Mandi

Untuk urusan kamar mandi, saya nggak menyimpan ekspektasi besar. Bentuk kamar mandinya memanjang, tapi bisa dibilang cukup lapang dan nggak bikin claustrophobic. Appliances seperti shower, kloset, bidet, dan wastafel sudah tersedia jadi perlengkapan dasar kamar mandi sudah bisa dicentang dari list ya.

IMG_20181004_160609_HHT
Kamar mandi yang mungil tapi cerah

Nah, yang saya suka dari kamar mandi ini adalah penerangannya yang baik. Seperti yang saya ceritakan di beberapa review sebelumnya, saya kurang suka dengan kamar mandi yang remang karena rasanya gloomy dan mandi jadi tidak ceria. Dindingnya didominasi warna lemon chiffon, dengan setengah bagian bawahnya merupakan dinding bata ekspos bercat putih. Keluaran air dari shower-nya cukup kencang jadi enak buat pijat bahu. Hanya saja untuk air panas, saya harus menunggu sekitar beberapa menit sampai suhu yang diinginkan terasa.

Sabun dan sampo sudah disediakan di dispenser yang ada di area shower. Area ini dipisahkan oleh shower curtain yang sayangnya nggak sepenuhnya menghalau air ke area kloset (intinya sih mandinya nggak usah hardcore sampai loncat-loncat). Selain sabun dan sampo, sikat plus pasta gigi dan shower cap juga tersedia. Hanya saja, pisau cukur nggak disediakan jadi yang perlu bercukur, baiknya siapkan sejak awal dari rumah atau beli dari minimarket.

Fasilitas Umum

Meskipun konsepnya bed and breafkast, Cottonwood Bed & Breakfast punya fasilitas umum buat menunjang kebutuhan pengunjung. Salah satunya adalah kafe.

Di bagian belakang hotel, terdapat kafe Sun Porch yang bisa dikunjungi baik oleh pengunjung hotel maupun umum. Hanya saja untuk umum, kafe ini buka dari jam 7 pagi sampai jam 5 sore aja. Ukuran kafenya sepintas kelihatan kecil dan nggak luas, tapi seating area tambahan di belakang ternyata lebih menarik. Ada juga spot khusus untuk food photography yang disediakan pihak hotel secara gratis, lengkap dengan lighting dan properti lain yang bisa dipakai.

Interior kafe mengusung desain shabby chic, dengan kursi-kursi dari boks kayu, lemari dan rak bernuansa cottage, watering cans, patung-patung kecil berbentuk hewan, dan tanaman hias. Oh ya, di kafe ini juga ada rak yang menyimpan koleksi sukulen untuk dijual. Sayangnya, saya datang ke sini nggak bawa mobil sendiri. Kalau bawa sih, saya mungkin beli satu sukulen.

Suasana kafe yang cerah dan berdekatan dengan kebun ini bikin saya nyaman ketika sarapan di sini. Banyaknya tanaman-tanaman hias yang dipajang bikin area kafe terasa teduh. Pemilik sekaligus manager hotel ini juga ramah dan menanyakan gimana istirahat saya. Rasanya homy banget. Yang serunya lagi adalah sarapan saya bukan nasi goreng, mi goreng, atau makanan lain khas continental breakfast; saya makan laksa! Agak aneh sih pagi-pagi makan laksa, tapi ya ini unik aja. Jarang-jarang kan sarapan di hotel, makannya bihun laksa.

IMG_20181005_105246
Tangga utama
IMG_20181005_105402_HHT
Mau nitip salam?
IMG_20181005_090810
Boks pasir mainan untuk anak
IMG_20181005_100004
Taman depan, ada rumah burungnya
IMG_20181005_100019
Tempat duduk di teras depan

Desain interior ruangan atau public space yang lain sama atau senada dengan shabby chic. Dekorasi atau ornamen bertema burung dan hewan banyak di sana sini dan menambah sisi gemas hotel ini. Warna-warna pastel dan netral juga mendominasi interior hotel, menciptakan atmosfer yang hangat dan menyenangkan.

Kesimpulan

Dengan harga mulai dari 315 ribu rupiah per malam (berdasarkan plakat di hotel), Cottonwood Bed & Breakfast bisa jadi tempat istirahat atau sanctuary yang terjangkau buat yang ingin beristirahat sambil kerja dalam atmosfer yang hangat ala rumah sendiri. Kamar-kamar tematik dengan desain yang unik bikin hotel ini sayang kalau hanya dikunjungi satu kali (next time coba kamar yang lain).

Meskipun nggak banyak fasilitas umum, kafe dan taman di hotel ini menawarkan public space yang nyaman untuk bertemu teman-teman atau ngopi. Lokasinya yang cukup nyempil juga membuat hotel ini relatif tenang dan sepi, jadi enak buat beristirahat. Sayangnya kalau senang jalan-jalan dan ingin akses cepat ke minimarket atau tempat umum lainnya, mungkin agak susah. Minimarket terdekat jaraknya nanggung kalau jalan kaki, meskipun kalau pakai motor sih relatif dekat.

Overall, pengalaman saya nginap di Cottonwood Bed & Breakfast ini menyenangkan. Kalau mau cari akomodasi budget yang unik dengan desain interior kamar yang gemes, hotel ini bisa jadi pilihan yang tepat.

Pros & Cons

πŸ‘πŸ» Pros

  • Desain setiap kamar beda-beda, tapi yang jelas Instagrammable. Kayaknya nggak cukup sekali datang ke sana karena bawaannya ingin nginap di kamar-kamar lain.
  • Suasana hotel secara keseluruhan hangat dan nyaman, kayak nginap di rumah sendiri (dengan desain kamar yang unik).
  • Area di sekitar hotel cukup tenang, cocok buat yang ingin istirahat atau menyepi.
  • Restoran hotel menyediakan photo space gratis buat yang suka foto-foto makanan.
  • Rate-nya terjangkau dan dengan desain kamar yang cantik, hotel ini worth visiting.

πŸ‘ŽπŸ» Cons

  • Meskipun cukup dekat dari Gerbang Tol Pasteur dan Universitas Kristen Maranatha, minimarket terdekat jaraknya nanggung (jauh kalau jalan kaki, tapi deket kalau pakai motor).
  • Pintu kamar masih pakai kunci manual, bukan card.
  • Kamar nggak begitu kedap suara. Waktu saya nginap, bayi pengunjung lain ada yang nangis malam-malam dan kedengaran sampai kamar.
  • Jumlah kamar di Cottonwood nggak banyak jadi jangan kaget kalau full-booked di high season.

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌βšͺ️
Desain: πŸ˜„πŸ˜„πŸ˜„πŸ˜„πŸ˜Ά
Lokasi: 🀩🀩🀩😢βšͺ️
Harga: πŸ’°πŸ’°

Review: Bobobox Pods Paskal

Out of curiosity, akhirnya minggu kemarin saya book satu pod di hotel ini dan kemarin, saya berkesempatan untuk nginap satu malam di hotel koala gemas tidur ini (coba cari logonya deh). Sebelumnya, saya tahu info hotel ini dari teman yang memang sama-sama suka hotel juga. Jujur awalnya saya agak gimana dengan konsep hotel kapsul dan shared living arrangement, tapi setelah nginap di sini, ternyata saya baik-baik saja dan pulang dalam keadaan squeaky clean (loh nggak nyambung).

review bobobox
Interior pod Bobobox

Bobobox Pods Paskal berlokasi di jalan Pasir Kaliki nomor 76A, Bandung. Hotel ini berseberangan dengan Gereja Immanuel dan dari Stasiun Bandung itu sekitar 5-10 menit kalau pakai angkot. Selain itu, dia juga cukup dekat dari beberapa mal seperti Paskal 23 dan Istana Plaza jadi buat yang suka belanja, lokasi hotel ini cukup menguntungkan.

Berdasarkan Tripadvisor, hotel ini menyandang predikat bintang 2,5. Konsepnya sih capsule hotel. Satu atau dua orang bisa menempati satu kapsul atau pod, dan pengunjung bisa pilih posisi pod. Untuk yang pilih Sky Pod, nanti tidurnya di atas. Untuk yang pilih Earth Pod, nanti tidurnya di bawah. Sky Pod dan Earth Pod ini kalau liat dari luar, jatuhnya kayak tetris.

Ada lebih dari 50 pod di hotel ini dan tersebar di tiga lantai. Selain kapsul tidur, Bobobox juga punya beberapa fasilitas umum seperti pantry, working space, communal space, dan musola. Karena konsepnya hotel kapsul, hotel ini punya shared bathroom jadi kalau ingin mandi atau buang air, harus keluar dari kapsul.

Desain Kapsul

Kapsul yang saya tempat ini tipenya Sky Pod. Buat ke tempat tidur, saya harus “manjat”. Posisi kasurnya cukup tinggi loh jadi jangan coba buat loncat langsung ke bawah tanpa lewat tangga ya buat menghindari cedera (dan tidurnya jangan mepet ke ujung). Secara umum, pod di Bobobox punya interior bergaya minimalis ke arah futusitik. Bentuk jendelanya mengingatkan saya sama bahtera raksasa abad ke-21 yang ada di film disaster sci-fi arahan Roland Emmerich, 2012.

IMG_20180927_141555
Kasurnya cukup luas dan ada jendela kecil di sampingnya
IMG_20180927_141550_HHT
Tangga yang merangkap study area
IMG_20180927_141804
Pintu dengan dua gantungan pakaian

Oh ya saya lupa belum kasih tau. Ketika check in, kita akan ditanya apakah kita sudah punya aplikasi Bobobox apa belum. Kalau belum, kita bisa unduh aplikasinya dan buat akun. Setelah itu, resepsionis akan bantu sinkronkan reservasi ke akun kita. Buat masuk ke kamar, kita bisa pindai QR code atau tekan tombol unlock yang ada di aplikasi. Setelah kedengaran semacam bunyi bel, kita bisa masuk ke pod kita.

Begitu masuk, kita langsung melihat study area yang merangkap tangga menuju tempat tidur. Di bawah meja, ada tempat sampah juga. Sebetulnya, buat saya itu bukan study area sih, tapi lebih semacam meja rias. Selain itu, nggak ada outlet buat colokin charger laptop atau HP di study area jadi tentunya nggak bisa nge-charge daya perangkat di sana.

Para pengunjung yang tech savvy kayaknya bakalan senang nginap di Bobobox karena fasilitas in-capsule bisa diatur lewat panel atau aplikasi. Di dekat jendela pod, ada panel kecil yang memungkinkan kita untuk atur warna lampu (baik secara manual atau lewat preset), ubah kecerahan atau nyala/matikan lampu, dan kunci pintu kamar. Fungsi-fungsi tersebut juga tersedia di aplikasi Bobobox.

IMG_20180927_141658
Universal socket, speaker, dan panel kapsul
IMG_20180928_003847
Ada Bluetooth speaker di kapsul jadi kita bisa sambungkan laptop atau HP untuk dengarkan musik

Selain itu, pod juga dilengkapi dengan Bluetooth speaker. Di panel, kita bisa lihat nomor pod dan nomor pairing. Kedua informasi ini dibutuhkan ketika kita mau pairing perangkat ke speaker. Oh ya, waktu pertama kali coba putar musik, saya kaget karena keluar noise aneh dari speaker. Waktu saya naikkan volume dari HP, barulah noise-nya hilang dan suara musiknya keluar. Saran saya sih kalau mau dengar lagu, pastikan volume perangkat nggak terlalu kecil supaya nggak keluar noise. Namun, jangan dengarkan musik terlalu keras ya supaya tetangga pod kita nggak terganggu.

Terkait tetangga dan gangguan, pod ini ternyata nggak begitu sound-proof. Saya nggak tahu sih kalau suara di dalam pod bisa kedengaran sampai luar atau tidak, tapi suara dari luar bisa kedengaran. Bahkan, suara dari pod sebelah bisa kedengaran. Posisi pod saya berada tepat di depan tangga menuju basemen dan lantai dua, jadi ketika ada orang naik turun tangga itu kedengaran. Meskipun demikian, manajemen hotel sudah menetapkan aturan untuk nggak berisik di area hotel. Kita juga harus ingat buat nggak mengganggu ketenangan pengunjung lain. Kayak ngekos loh rasanya. Kosannya tapi hip dan technologic.

tenor31
Jangan berisik yaq gaes

Setiap pod dilengkapi dengan ventilasi, smoke detector, dan air conditioner. Nah, buat yang nggak tahu cara ngatur air conditioner di pod, saya kasih tahu nih.

IMG_20180927_213601
Pengatur air conditioner

Pada foto di atas, ada dua perangkat. Yang di kiri itu smoke detector, sementara yang di kanan pengatur air conditioner plus lubang udaranya. Kalau suhu di dalam pod terasa panas, kita bisa perbanyak aliran udara dingin yang masuk dengan putar piringan dalam. Nanti setelah diputar, si piringan mulai terbuka (kayak kalau kita mau buka tutup botol). Dari celah yang ada, keluarlah udara dingin. Nah, karena luas pod ini nggak besar, saran saya sih jangan terlalu besar buka piringannya. Bisa-bisa malah kedinginan.

Perlengkapan Kapsul

Setiap pengunjung yang datang dapat sikat dan pasta gigi, serta handuk. Itu aja? Ya, itu aja karena di shower box kamar mandi sudah ada sampo dan sabun. Bobobox nggak menyediakan vanity kit dan shaver, tapi di kamar mandi ada hair dryer dan hand dryer. Saran saya sih kalau datang ke sini, jangan lupa bawa facial wash.

Selain itu, setiap tamu juga sebelum masuk area pod diharuskan untuk ganti sepatu dengan slippers. Nah, sepatu kita nanti dititipkan di lobi dan bisa diambil ketika kita mau pergi atau check out. Beberapa tamu simpan slippers-nya di luar pod. Kalau saya sih, slippers disimpan di dalam pod.

Pods Area

Kalau hotel biasa punya koridor kamar, Bobobox punya koridor pods. Lorong-lorong ini membentuk semacam labirin, dengan beberapa kursi dan meja buat para pengunjung.

IMG_20180927_141413
Lorong pod
IMG_20180927_144835
Ada area duduk
IMG_20180927_145049
Kayak pesawat luar angkasa

Lorong-lorong ini diapit oleh pod di kiri kanannya, dan kesannya kayak lagi jalan di dalam pesawat ulang alik. Futuristik gitu lah cocok buat Instagram. Apalagi ketika lampu di beberapa pod dinyalakan. Tambah pas buat foto-foto. Hanya saja, lantainya pakai kayu. Kalau lantainya pake semacam linoleum atau bahan sintetis lainnya, mungkin bisa membangun atmosfer Star Trek atau Armageddon atau film-film semacamnya lah.

Kamar Mandi

Shared bathroom di Bobobox ternyata nggak “mengerikan”. Kebersihannya tetap terjaga dan ada rak slippers di depan, meskipun saya sempat lihat ada satu dua pengunjung yang tetap masuk ke kamar mandi pakai slippers (padahal jelas-jelas udah ada raknya).

IMG_20180927_145028
Area wastafel. Ada dua kubikel kloset dan dua shower box

Lorong wastafel ini lumayan sempit jadi ketika lagi banyak orang, rasanya kurang nyaman aja. Ada hand dryer dan hair dryer juga di sini jadi pengunjung bisa keringkan rambut dan tangan.

IMG_20180927_145025
Shower box, dilengkapi sampo dan sabun

Shower box-nya sendiri ukurannya memang nggak besar, tapi cukup luas. Di balik pintu, ada semacam boks kecil buat simpan handphone (oh ya, penting buat bawa HP ke mana-mana karena aplikasi di HP ini dibutuhkan buat kita kembali ke kamar). Gantungan pakaiannya ada dua. Secara keseluruhan sih, nggak ada yang sangat spesial dari shower box-nya. Air panasnya lumayan dan nggak ngadat, meskipun di satu shower box, keluaran airnya kurang besar dibandingkan box di sebelahnya.

Fasilitas Umum

Dengan konsep capsule hotel, nggak banyak fasilitas umum yang dimiliki Bobobox. Budget hotel ini nggak punya kolam renang atau gym, tapi ada cukup banyak seating area yang memungkinkan kita buat nyantai sambil berinteraksi dengan pengunjung-pengunjung lain.

IMG_20180927_212422
Pantry buat bikin popcorn atau kopi

Bobobox punya pantry kecil di lantai dasar yang bisa kita manfaatkan buat bikin popcorn atau seduh kopi. Biasanya, area ini jadi tempat buat ngobrol atau kerja (saya pribadi sih lebih suka kerja di dalam pod atau workspace kecil di samping lobi). Di pantry ini nggak ada kompor ya jadi jangan berharap bisa masak-masak aneh.

IMG_20180927_145135
Tangga menuju lantai dua

Kalau kita ke lantai dua, kita bisa menemukan communal space. Area semi-outdoor ini pas buat nongkrong bersama teman-teman sambil ngobrol atau ngemil. Perlu diingat bahwa pengunjung tidak diperbolehkan makan dan minum di dalam pod. Jadi kalau kita mau makan, kita harus ke communal space atau ke pantry.

IMG_20180927_145244
Communal area
IMG_20180927_145234
Areanya cukup luas buat nongkrong

Nah, di samping communal area ada musala yang cukup luas buat beribadah. Musala ini juga udah dilengkapi dengan alat-alat solat dan ada tempat wudhu juga, jadi kita nggak perlu bolak-balik jauh-jauh dari kamar mandi ke musala.

IMG_20180927_145255
Musala buat beribadah

Di sekitar hotel ada banyak restoran dan minimarket yang bisa dikunjungi kalau lapar. Tapi kalau malas keluar hotel, di lobi ada vending machine yang jual camilan dan minuman. Harganya juga nggak terlalu mahal untuk level harga hotel. Oh ya, area parkir Bobobox ini terbatas ya jadi kalau misalnya kita datang pakai mobil dan tempat parkir utama untuk mobil sudah penuh, kita parkir di pinggir jalan. Tapi jangan khawatir karena ada petugas keamanan yang siap 24 jam menjaga mobil kesayangan kita.

Kesimpulan

Menginap kemarin selama satu malam di Bobobox Pods Paskal akhirnya memuaskan rasa penasaran saya dengan hotel kapsul. Ini pertama kalinya saya menginap di hotel kapsul. Interior pod bergaya minimalis futuristik bikin saya betah buat tiduran di dalam pod sambil dengar lagu atau baca buku sampai ketiduran. Ditambah lagi, tingkat kecerahan dan warna lampu yang bisa diatur bikin saya selalu gatel pengen ganti-ganti warna lampu.

Hanya saja, di dalam pod hanya ada satu outlet jadi saya nggak bisa charge laptop dan HP secara bersamaan. Buat antisipasi, kalau mau nginep di sini baiknya bawa colokan T. Oh ya, manajemen hotel juga hanya menyediakan dental kit. Untuk sampo dan sabun sih sudah tersedia, tapi kalau perlu bercukur, ada baiknya bawa sendiri pisau cukur dari rumah (atau bisa beli di minimarket dekat hotel). Meskipun demikian, dengan adanya hair dryer di kamar mandi, pengunjung bisa tetap menata rambut (selama nggak terlalu lama karena kamar mandinya berbagi dengan pengunjung lain).

Banyaknya seating area membuat hotel ini memberikan kesempatan bagi kita untuk bersosialisasi dengan pengunjung lain. Di aplikasi Bobobox, ada fitur chat yang memungkinkan kita buat tanya-tanya ke resepsionis atau pihak hotel, atau ngobrol dengan pengunjung lain. Kita bahkan bisa janjian dengan pengunjung lain melalui aplikasi untuk, misalnya, jalan-jalan keliling Bandung bareng, pesan kendaraan, dan lain-lain.

Dengan harga mulai dari 200 ribu rupiah per malam (berdasarkan Tripadvisor), saya bisa menikmati pengalaman nginap di hotel kapsul bergaya futuristik yang menyenangkan. Buat young traveler, Bobobox bisa jadi opsi yang tepat untuk menginap di kota Bandung dengan biaya terjangkau, terutama ketika kita nggak muluk-muluk soal akomodasi atau tipe orang yang cuman perlu tempat buat tidur doang.

Tips

  • Kalau kalian tipe orang yang takut ketinggian, baiknya pesan Earth Pod. Sky Pod ini cukup merepotkan buat manjatnya, apalagi kalau kamu harus bolak-balik keluar pod. Di sisi lain, Earth Pod ini rasanya lebih claustrophobic. Mungkin karena posisinya di bawah.
  • Selalu bawa ponsel ke mana pun. Jangan tinggalkan ponsel di kamar karena tanpa ponsel, kita nggak bisa masuk lagi ke kamar. Untuk buka pintu kamar, kita perlu scan QR code atau pakai tombol unlock dari aplikasinya.
  • Bawa colokan T atau terminal listrik kecil buat jaga-jaga karena outlet di pod hanya ada satu.
  • Selalu tutup tirai dan matikan lampu kalau mau pergi.
  • Buat pengunjung yang datang dengan rombongan atau bersama teman-teman, kalian bisa janjian buat ketemuan di communal room lewat fitur chat di aplikasi Bobobox. Fitur ini juga bisa dipakai buat berinteraksi sama pengunjung lain.
  • Beli camilan dan minuman sebelum datang ke hotel karena di sini nggak ada restoran (in case tengah malam lapar). Jangan lupa untuk nggak makan di dalam pod ya.
  • Atur air conditioner dengan hati-hati. Jangan terlalu besar membuka piringannya karena bisa-bisa kita kedinginan di dalam pod.
  • Please expect hunger games kamar mandi. Ini jatuhnya kayak tinggal di tempat kos. Kalau pengunjung lagi banyak, nunggu giliran mandi bisa cukup lama.
  • Bawa board games atau card games. Di dalam pod nggak ada televisi dan hiburan satu-satunya hanyalah Bluetooth speaker. Kalau datang bersama teman-teman, mendingan bawa card atau board games buat dimainkan di communal space. Ayo! Jangan main HP terus! Main dengan manusia, jangan selalu main sama perangkat seluler πŸ˜›

Pros & Cons

πŸ‘πŸ» Pros

  • Sejauh ini, Bobobox merupakan hotel kapsul yang menawarkan konsep futuristik yang unik. Tampil dalam balutan warna putih, kapsul kamar bisa jadi spot yang Instagrammable.
  • Kapsul kamar dilengkapi speaker Bluetooth dan panel kendali untuk atur kunci pintu dan pencahayaan kapsul (termasuk warna dan kecerahannya).
  • Bobobox menghadirkan aplikasi yang dipakai untuk akses kapsul, atur pencahayaan kamar, dan berinteraksi dengan pihak hotel + para pengunjung lain.
  • Satu kapsul cukup luas untuk dua dewasa + satu anak.
  • Communal space memberikan kesempatan bagi para pengunjung untuk saling berinteraksi.
  • Lokasi cukup strategis, hanya sekitar 10 menit berkendara dari Stasiun Bandung.
  • Rate-nya sangat terjangkau. Cocok buat numpang tidur kalau pulang kemaleman, misalnya.

πŸ‘ŽπŸ» Cons

  • Makanan dan minuman dilarang dikonsumsi di dalam kapsul. Cukup ribet buat yang suka craving malam-malam karena harus makan atau minum di luar kapsul.
  • Sky pod kurang cocok untuk anak-anak karena ketinggiannya yang lumayan menyakitkan in case jatoh dari tempat tidur. Di sisi lain, earth pod juga kurang cocok buat yang suka motah alias banyak gerak.
  • Suara-suara dari kapsul lain masih bisa kedengaran ke dalam kapsul kita (saya masih bisa dengar suara obrolan pengunjung lain di kapsul sebelah).
  • Kamar mandi kurang banyak. Siap-siap hunger games kalau mau mandi pagi.

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌βšͺ️
Desain: πŸ˜„πŸ˜„πŸ˜„πŸ˜„πŸ˜Ά
Lokasi: 🀩🀩🀩🀩βšͺ️
Harga: πŸ’°