Tag Archives: hotel mewah bandung

Review: Maison Teraskita Hotel Bandung

Ada yang spesial soal properti yang satu ini. Awalnya, saya nggak tahu kalau ini adalah sebuah boutique hotel. Seperti biasa, Instagram menampilkan banyak iklan dan tiba-tiba, iklan properti ini muncul. Namun, karena yang ditampilkan adalah foto makanan dan piano (oh! You guys know how much I love playing piano!), walhasil saya pun kepikiran datang untuk sekadar ngopi dan main piano. Kebetulan, waktu itu saya memang habis menginap di hotel lain. Waktu tiba, saya baru sadar kalau ternyata apa yang saya kira kafe ternyata merupakan bagian dari hotel. 

Saya pun langsung cek Instagram dan googling soal properti ini. Berhubung rate-nya sedang murah dan saya juga nggak begitu sibuk dengan kerjaan, saya putuskan untuk mendadak nginep di hotel ini. Ya, improptu aja. Bahkan, ada staf hotel yang sampai kaget karena saya tiba-tiba check-in, padahal awalnya hanya makan siang dan main piano. Turned out keputusan saya buat stay di hotel ini nggak salah because the hotel really lived up to its name.

review maison teraskita hotel bandung
Fasad Maison Teraskita Hotel Bandung

Maison Teraskita Hotel Bandung adalah salah satu hotel baru di Bandung. Properti bintang empat ini setahu saya beroperasi sejak tahun 2020 (di tahun 2019, kalau nggak salah bangunannya masih direnovasi). Bangunan hotel ini sendiri sebetulnya sudah unik. Saya coba cari tahu lebih lanjut soal bangunan peninggalan era kolonial Belanda yang sekarang menjadi hotel. Dilansir dari Property and The City, Maison Teraskita Bandung menempati bangunan kantor Waskita Karya yang juga merupakan salah satu bangunan cagar budaya grade B di Bandung. Bangunan tersebut konon sudah ada sejak tahun 1910an. 

Saya masih penasaran dengan sejarah gedung Maison Teraskita Bandung di era kolonial dulu. Pencarian di Google membawa saya ke sebuah artikel dari Cianjurpedia yang membahas riwayat gedung tersebut. Bagian bangunan yang menjadi wajah hotel ternyata dibangun di tahun 1913 dan digunakan sebagai kantor cabang Siemens. Anak milenial pasti nggak asing deh dengan nama Siemens. Pasalnya, Siemens adalah salah satu brand HP yang terkenal pada zamannya (ingat ringtone yang juga dipake sebagai ringtone HP Sanchai di serial  Meteor Garden?). Gedung ini sendiri sebetulnya bernama NV. Volker Aanemings Maatschappij, tetapi memang kemudian lebih dikenal sebagai Gedung Siemens. Di tahun 1961, gedung mengalami renovasi yang menyebabkan perubahan pada bentuknya. Setelah itu, gedung pun digunakan sebagai kantor Waskita Karya. 

review maison teraskita hotel bandung
Gedung kantor Waskita Karya sebelum menjadi Maison Teraskita | Credit: Sepanjang Jalan Kehidupan

Maison Teraskita Hotel Bandung adalah addition baru bagi portfolio The Gala Hotels Group. Berdasarkan informasi yang saya lihat dari situs resmi The Gala Hotels Group, hotel ini adalah properti pertama mereka di Bandung. Dua properti lainnya berada di Jakarta (and are definitely on my to-go list). Terdapat 84 kamar dan suite yang tersedia di hotel bintang 4 di Bandung ini. Soal fasilitas, ada rooftop swimming poolgym, restoran, dan kafe. Di koridor lift, ada beberapa ruangan kosong yang katanya sih akan jadi barbershop, tapi terakhir kali saya ke sana (saya sudah menginap dua kali, dan yang terakhir adalah bulan Agustus 2021), ruangan tersebut masih kosong. 

Ada 8 tipe kamar di hotel ini. Saat menginap di hotel ini, saya menempati kamar tipe Deluxe Maison Double. Oh, ya! Saya juga berkesempatan bertemu Bapak Alexander selaku director of sales marketing hotel (sayangnya beliau sudah tidak di Maison Teraskita lagi menurut salah satu staf hotel), dan jugaΒ chefΒ hotel. Ulasan lengkap hotel dan cerita lainnya, as usual, saya bagikan di segmen berikutnya, ya!

Desain Kamar

Dari namanya, saya bisa menebak konsep yang dihadirkan oleh Maison Teraskita Hotel Bandung. Informasi ini juga diperkuat oleh pernyataan Bapak Alexander mengenai konsep hotel. Saat tiba di lobi, saya sudah bisa melihat manifestasi dari tema utama yang diusung hotel. Begitu tiba di kamar, saya bisa membayangkan diri berada di salah satu apartemen bergaya contemporary Parisian di pusat Paris. Hanya saja, dari jendela kamar, saya bisa melihat minaret Masjid Raya Bandung, dan bukan Menara Eiffel. Ya, setidaknya masih di Paris van Java lah ya.

Tipe Deluxe Maison Double memiliki luas 24 meter persegi. Bentuk kamar sebetulnya unik karena bukan persegi, melainkan trapesium. Dengan bentuk ruangan seperti ini, jendela kamar bisa diposisikan agar menghadap ke Masjid Raya Bandung, dan bukan langsung menghadap ke bangunan Jiwasraya. Hanya saja, dimensi jendela yang tinggi, dan bukan melebar, membuat pencahayaan alami di kamar terbilang kurang. 

Atmosfer khas apartemen bergaya Parisian langsung terasa begitu saya masuk ke kamar. Dinding kamar tampil mewah dalam balutan panel kayu berwarna putih. Untuk lantai, digunakan parket berwarna medium yang membangun kesan hangat. Sebagai focal point, dinding di belakang tempat tidur menggunakan panel kayu berwarna turquoise (tapi menurut saya, lebih biru sih). Langit-langit di area utama kamar cukup tinggi dan dilengkapi built-in lighting yang membuat ruangan terang, tanpa terasa terlalu silau.

Satu hal yang saya suka dari kamar ini adalah adanya potted plant. Ditempatkan di samping sofa, adanya tanaman membuat kamar terasa lebih segar dan lived-in, as if the room is really an apartment. Sayangnya, penempatan sofa dan meja kopi justru membelakangi televisi, dan bukan menghadap ke televisi. Walhasil, saya harus duduk di tempat tidur kalau ingin nonton televisi. Untuk tempat tidur sendiri, seperti yang bisa dilihat di foto, ternyata merupakan dua twin bed yang digabungkan. Saya sedikit kecewa sebetulnya. Headboard tempat tidur tampil sederhana dengan bentuk rectangular, tetapi unik karena dibuat dari anyaman rotan. Tidak ada end table di kedua sisi tempat tidur. Sebagai gantinya, lampu meja digantikan oleh wall lamp bergaya modern minimalist. Telepon pun dipasang di dinding dan, sayangnya, gagangnya sering jatuh. Buat yang biasa simpan HP atau jam tangan di end table, di sini HP harus disimpan either di meja kopi, meja kerja, or kasur.

Di ujung ruangan, terdapat nook dengan dinding bertekstur kasar yang dipisahkan oleh vitrage dan gorden berwarna hijau zamrud tua. Dengan meja kecil dan kursi rotan, area ini saya duga merupakan area kerja, meskipun sejujurnya kursinya kurang nyaman untuk dipake ngetik-ngetik kerjaan. Namun, dari area ini, saya bisa melihat bangunan Masjid Raya Bandung sambil kerja. Pemandangannya kurang “lega” memang, tapi setidaknya there was something I could see while working.

Di vestibule, terdapat satu kabinet untuk menyimpan kulkas mini dan coffee/tea maker. Untuk teh, Maison Teraskita Hotel Bandung menggunakan produk-produk teh Walini. Di sampingnya terdapat gantungan pakaian sebagai pengganti lemari atau closet. Sebetulnya, saya kurang begitu suka gantungan pakaian yang terbuka karena kesannya jadi rame atau riweuh, terutama ketika saya ngegantung banyak pakaian. Di setiap kamar, tersedia bathrobe dan slippers yang nyaman. Oh, ya. AC di kamar masih menggunakan unit terpisah, bukan AC sentral. Not a big problem for me sebetulnya.

Sayangnya, saya mengamati maintenance kamar tampaknya kurang optimal. Area di sekitar sakelar dan stopkontak tampak retak dan kurang rapi. Selain itu, cat pada dinding di sekitar bagian bawah jendela kamar mandi juga sudah mengelupas. Saya menyayangkan hal ini, mengingat properti ini masih terbilang baru dibuka. Semoga ke depannya maintenance kamar bisa ditingkatkan, ya.

Kamar Mandi

This is one of my favourite part waktu menginap di Maison Teraskita Bandung. Kamar mandi di tipe Deluxe Maison Double punya ukuran yang decent. Tidak besar, tapi nggak claustrophobic juga. Dari aspek desain, interiornya mengusung perpaduan Industrial dengan Art Deco. Interior kamar mandi ini mengingatkan saya dengan interior kamar mandi di de Braga by ARTOTEL. Pencahayaan kamar mandi juga bagus dan seperti yang mungkin kalian tahu, saya nggak suka kamar mandi yang redup.

Area shower dipisahkan dari area lain kamar mandi dengan dinding dan split level. Sayangnya, dinding pemisah ini kurang panjang dan split level-nya pun kurang signifikan untuk mencegah luapan air. Walhasil, saat saya mandi, air pun jadi luber ke sana sini. Adanya rainshower (meskipun piringannya nggak besar) membuat momen mandi saya jadi lebih menyenangkan. Bathroom fixture di kamar mandi pun memiliki desain modern classic (bisa dilihat dari desain shower tangan). What’s better, Maison Teraskita Hotel Bandung menghadirkan body wash dan shampoo dari koleksi Calming milik Sensatia Botanicals.

Kloset ditempatkan di sisi timur kamar. Di dinding di belakangnya terpasang foto salah satu sisi kota Bandung dengan filter hitam putih yang menambah kesan artsy pada interior kamar mandi. Sebetulnya, di kamar pun tersedia hair dryer, tetapi tidak disimpan di kamar mandi. Hair dryer disimpan di dalam tas kecil yang digantung pada gantungan, di dekat bathrobe. Jadi, kalau bicara soal fasilitas kamar mandi sih, saya rasa sudah lengkap. Actually, it was better than expected.

Fasilitas Umum

Teras Cafe

Salah satu fasilitas umum di Maison Teraskita yang menurut saya sangat prominent adalah kafenya. Teras Cafe berada di lantai dasar hotel dan menempati area lobid dan teras depan. Oh, ya! Untuk yang baru datang kali pertama atau mungkin sekadar lewat, mungkin nggak sadar kalau ini adalah hotel. Pasalnya, yang terlihat dari trotoar memang kafenya, meskipun outdoor area-nya cenderung tersembunyi di balik pagar bertanaman rambat. Namun, dengan konsep seperti ini, vibe Parisian cafe-nya justru dapet banget. Bisa dibilang, kafe ini jadi semacam oasis tersembunyi di tengah ingar bingar kawasan Alun-Alun Bandung. 

Focal point teras ini adalah air mancur bergaya klasik yang tampak cantik, baik di siang maupun malam hari (terutama malam hari karena ditambah pencahayaan yang pas). Meja-meja persegi dipadukan dengan kursi-kursi rotan dan beberapa parasol sebagai peneduhnya. Dikeliling bunga dan semak-semak, area teras kafe ini selain cantik juga cozy, terutama di sore hari. Di malam hari, area teras terasa romantis, terutama saat diterangi lampu-lampu. Sebagai penutup tanah, digunakan batu-batu kerikil yang, menurut saya sih, agak bikin was-was ketika jalan. Beberapa kali saya hampir jatuh karena kerikil-kerikil tersebut. Selain itu, kerikil-kerikil di tanah bikin kursi dan meja jadi kurang stabil. 

Pintu besar dengan frame berwarna teal gelap menyambut saya saat akan masuk ke lobi Maison Teraskita yang merangkap indoor area kafe. Tepat di sisi kanan pintu, ada tangga menuju lantai dua. Tangga berbentuk β€œL” ini masih menggunakan desain aslinya, tetapi dipercantik dengan runner bermotif foliage. Kurang β€œwah” untuk disebut grand staircase, tetapi sangat β€œwah” untuk sekadar disebut tangga biasa. Di dekat tangga, ditempatkan potted plant besar yang tidak hanya mempercantik ruangan, tetapi juga memberikan sentuhan segar “ijo royo-royo” pada interior kafe.

Lobi dan area indoor kafe diterangi jendela-jendela besar yang berada di sisi depan bangunan. Panel kayu berwarna putih melapisi dindingnya, sementara flooring menggunakan lantai kayu bermotif herringbone. Mungkin ada yang sudah tahu apa yang saya suka dari kafe ini. Ya, pianonya! Di bawah tangga, terdapat sebuah baby grand piano Yamaha (sepertinya tipe G1 karena ukurannya memang nggak begitu besar). Saat menginap (dan setiap ke kafe ini), saya selalu main piano itu dan para staf hotel ternyata senang (hore!). Kondisi piano baik, tetapi sering kali keyboard-nya berdebu. Maklum, dengan jendela dan pintu yang dibuka dan posisi hotel tepat menghadap ke Jalan Asia Afrika yang ramai, polusi dan debu dari luar bisa masuk dengan mudah. Hanya saja, terakhir kali saya main (sekitar satu dua minggu sebelum post ini diterbitkan), ada beberapa not yang agak fals.

Area indoor memiliki meja dan kursi yang lebih sedikit. Selain itu, para pengunjung kafe pun harus berbagi tempat dengan para tamu hotel. Kursi-kursi rotan digunakan pula di dalam kafe. Namun, dengan meja kopi, area indoor kafe sepertinya lebih cocok buat ngemil dan ngopi dibandingkan untuk makan with good posture. Lampu lantai dan gantung bergaya orb menjadi sumber penerangan sintetis. Desainnya pun memberikan sentuhan Art Deco pada interior kafe, terutama saat dipadukan dengan foto-foto berbingkai hitam di dinding. Dengan pencahayaan berwarna hangat, kafe ini terasa hangat, cozy, dan mewah, terutama saat hujan sore-sore atau di malam hari. 

Waktu kali pertama datang, saya pesan spaghetti aglio e olio untuk makan siang. Untuk minuman, saya lupa namanya apa. Untuk makanannya, jujur saya suka karena pesanannya sesuai custom order saya: tanpa keju sama sekali dan tingkat kepedasannya pas. Tingkat keasinannya ke arah rendah, tapi justru saya bisa merasakan gurih dari bahan-bahan lain. Rotinya renyah dan gurih, dan nggak sampai asin yang bikin pusing. Untuk minumannya, base-nya green apple syrup yang kentara. Sisanya sepertinya ada blue curacao-nya atau apa, tapi yang paling kentara sih green apple. Untuk rasanya, fine lah.

Dengan dwifungsinya sebagai lobi hotel dan indoor dining area, saya menduga area ini akan sangat ramai ketika hotel lagi banyak tamu, dan kafe lagi banyak pengunjung. Mungkin beberapa pengunjung kafe bisa diarahkan ke lantai dua atau teras. Nah, di lantai dua sendiri ada bar, dan di dekatnya ada pintu menuju restoran hotel yang digunakan sebagai tempat sarapan para tamu. Area lantai dua seingat saya hampir selalu kosong. Mungkin karena area ini tampaknya lebih difokuskan sebagai restoran, dan bukan kafe.

Singkatnya, Teras Cafe di Maison Teraskita Bandung bisa jadi tempat nongkrong cantik yang nyaman di pusat kota Bandung. Desain interiornya menjadi salah satu keunggulan kafe ini. Gaya modern Parisian, dipadukan dengan beberapa elemen vintage dan Art Deco membuat kafe ini makin cantik dan Insta-worthy. Namun, saya ingin ngasih tahu soal harga menu. Karena merupakan bagian dari hotel, perlu diingat bahwa pajak dan service charge-nya adalah 21%, dan bukan 10-15%. PPN + service charge sebesar itu bisa bikin harga nett jadi lebih tinggi secara signifikan.

Restoran

Restoran hotel berada satu lantai di atas lobi dan bisa diakses lewat lift maupun tangga. Area restoran cukup luas dan mencakup balkon sebagai smoking area. Dari segi interior, gaya modern Parisian tetap diusung. Restoran hotel berada satu lantai di atas lobi dan bisa diakses lewat lift maupun tangga. Area restoran cukup luas dan mencakup balkon sebagai smoking area. Dari segi interior, gaya modern Parisian tetap diusung. Hanya saja, terlepas dari luasnya, meja dan kursi yang tersedia cukup terbatas sih kalau saya amati. Di bagian tengah restoran, ada semacam island untuk bufet dan dari island tersebut, kita bisa β€œngintip” ke arah dapur. Cukup seru sih, terutama ketika kita pada akhirnya bisa accidentally lihat live cooking show. Kursi-kursi rotan dipadukan dengan sectional sofa berlapis kain berwarna biru β€œhorang kaya”, membangun atmosfer casual chic, tapi juga elegan.Β 

Soal menu breakfast, pihak hotel akan tanya kita mau makan apa saat check-in. Mereka akan kasih semacam form untuk kita isi, dan di form itu disebutkan makanan-makanan yang akan disajikan untuk sarapan keesokan paginya. Kita bisa centang makanan yang kita mau nikmati, dan kosongkan makanan yang kita nggak mau. Menurut saya, ini jadi sistem yang bagus karena pihak hotel hanya perlu menyajikan apa yang kita minta, dan nggak perlu menyajikan makanan atau minuman yang nggak kita akan ambil (dan mungkin pada akhirnya jadinya mubazir karena nggak dimakan). Less food waste, better life. Menu sarapan saya simpel, tapi cukup mengenyangkan. Dan entah, pom pom itu kenapa ya rasanya asin banget? Apakah setiap restoran atau gerai yang jual kentang pom pom itu nambahin garamnya kebanyakan, atau memang dari pabriknya garamnya udah banyak banget?

Kolam Renang

Fasilitas lain yang tersedia di Maison Teraskita Bandung (dan yang jadi favorit saya) adalah kolam renangnya. Berada di lantai rooftop, area kolam renang hotel menawarkan pemandangan pusat kota Bandung yang kece banget! Dari segi ukuran, kolam renang ini punya dimensi memanjang. Simpel, sebetulnya dan terbilang ramping. Namun, karena dimensinya memanjang, kolam renang ini cocok buat latihan bolak-balik beberapa lap.

Area duduk dibagi menjadi dua sisi. Karena bentuk kolam memanjang, kursi-kursi dan meja-meja ditempatkan di kedua ujung kolam renang. Sayangnya, nggak ada parasol untuk meneduhi tempat-tempat duduk di sini. Walhasil, kalau cuaca lagi panas banget, mau nggak mau harus siap-siap benar-benar berenang dan beraktivitas di bawah paparan cahaya matahari. Ini yang saya sayangkan sebetulnya. Selain itu, jumlah meja dan kursi yang ada juga sangat terbatas, mengingat area duduknya pun nggak begitu besar. Bisa dibayangkan kalau tingkat okupansi hotel lagi tinggi dan tamu-tamu pada berenang di jam yang sama. Siap-siap rebutan meja dan kursi ini sih.Β 

Buat yang bawa anak-anak, saya rasa faktor keselamatan di area kolam jadi salah satu yang harus diperhatikan. Pasalnya, karena konsep kolam renang bisa dibilang infinity pool, nggak ada dinding pembatas di sisi panjang kolam. Apalagi, dari area duduk, meskipun terhalang oleh planter, somehow orang tetap bisa pergi dan berdiri di atas dinding sisi panjang kolam (ya, nyelip-nyelip ke pinggir planter). Jadi, buat yang bawa anak-anak, harus dijaga ketat deh. To some extent, saya bahkan merasa kalau kolam ini nggak kids-friendly, terutama soal kedalamannya.Β 

Namun, yang paling keren lagi adalah view dari area kolam, dan rooftop secara keseluruhan. Seandainya ada rooftop bar di sini, udah deh lengkap banget Maison Teraskita Bandung tuh menurut saya. Pasalnya, view dari area kolam dan rooftop ini keren banget. Kawasan Alun-Alun Bandung, Masjid Raya Bandung, dan area komersial di sekitarnya (terutama gedung-gedung tinggi di daerah Kepatihan dan Dalem Kaum) terlihat jelas dan keren banget, apalagi di malam hari. Di arah barat, kita juga bisa lihat pemandangan Jalan Sudirman. Pemandangan gedung-gedung tinggi juga bisa terlihat di arah utara. Pokoknya, view dari area ini udah paling bagus deh menurut saya.Β Bahkan, saya bisa bilang bahwa Maison Teraskita Bandung adalah salah satu hotel dengan rooftop infinity pool terbagus di Bandung.Β 

Gym

Fasilitas berikutnya yang ada di Maison Teraskita Bandung adalah gym. Berada di lantai rooftop, gym hotel ini memang nggak besar. Kecil banget, kalau saya boleh bilang. Jumlah alatnya pun sangat terbatas. Lokasi gym ini berada di dekat kamar mandi dan ruang ganti pakaian.

Karena ruangannya yang terbilang kecil dan memanjang, bisa dipahami kenapa alat-alat yang ada di sini sangat terbatas jumlahnya. Namun, jendela-jendela full-height dipasang di salah satu sisi ruangan. Meskipun pemandangannya kurang bagus (view BRI Tower di sebelah hotel), jendela-jendela ini bikin cahaya alami bisa masuk dengan mudah dan melimpah ke ruangan sehingga kesan sempit jadi bisa diminimalisir. Selain itu, karena ukuran gym yang kecil, saya malah merasa seperti berada di home gym. Ada sedikit atmosfer homy yang saya rasakan di ruangan ini.Β 

Lokasi

Maison Teraskita Hotel Bandung berlokasi tepat di pusat kota Bandung, berseberangan dengan kawasan Alun-Alun Bandung dan Masjid Raya Bandung. Kalau soal lokasi sih, bisa dibilang kurang apa lagi coba? Stay di pusat kota Bandung dan dekat dari kawasan-kawasan turistik seperti Braga dan Asia Afrika, dan distrik belanja seperti kawasan Kepatihan, Dalem Kaum, dan Pasar Baru? Definitely a big yes! Ke mana-mana dekat. Mau main ke Alun-Alun atau belanja di daerah Kepatihan? Tinggal nyeberang jalan doang udah sampai. Kawasan Braga cuman sekitar 5 menit dari hotel dengan berjalan kaki. Soal transportasi, di depan Alun-Alun juga sebetulnya ada halte bis buat yang ingin naik kendaraan umum. Oh, ya! Yang saya suka lagi adalah meskipun berada di pusat kota dan dikeliling tempat yang ingar bingar, noise level di kamar terbilang kecil.Β 

Dari Stasiun Bandung, Maison Teraskita Hotel berjarak sekitar 10 menit menggunakan kendaraan roda empat, tergantung kondisi lalu lintas sebetulnya. Kalau dari Bandara Internasional Husein Sastranegara, jarak tempuh ke hotel dengan kendaraan roda empat bisa memakan waktu sekitar 15-20 menit atau bahkan lebih cepat, again tergantung kondisi lalu lintas.Β 

Pelayanan

Segmen ini memuat pendapat saya mengenai pelayanan yang diberikan pihak hotel. Apa yang saya tulis bersifat subjektif dan bukan merupakan informasi umum, dan lebih merupakan pendapat pribadi.Β ExperienceΒ yang saya alami bisa jadi berbeda dari apa yang orang lain alami. Tulisan dalam segmen ini tidak ditujukan untuk menjelek-jelekkan atau menurunkan reputasi hotel. Jika informasi yang saya tulis bersifat positif, semoga manajemen hotel bisa tetap menjaga kualitas layanannya. Jika bernada negatif, semoga bisa menjadi bahan perbaikan bagi pihak hotel.Β 

Saya memang baru dua kali stay di Maison Teraskita Bandung (and to be honest, I’d love to come back again!), tetapi kualitas pelayanan di kedua kunjungan tersebut bisa saya bilang bagus. Saat tiba, saya dikasih welcome drink. Proses check-in juga cepat dan nggak ribet, dan pihak hotel sebisa mungkin kasih saya kamar sesuai request. Staf yang bertugas ramah-ramah, dan waktu saya main piano, mereka juga kasih saya tepuk tangan (dan bahkan ada yang request lagu). Wah, senangnya! 

Interaksi saya dengan para staf hotel nggak berhenti sampai di situ. Saya berkesempatan ketemu dengan sales marketing director Maison Teraskita Hotel, Pak Alexander. Jadi kehormatan bagi saya untuk ketemu Pak Alexander dan ngobrol soal properti keren ini. Bahkan, karena saya sampai dua kali pesan pasta aglio e olio, saya pun jadi ketemu dengan chef hotel dan beliau berterima kasih secara langsung. Senang banget rasanya.Β 

Kesimpulan

Paris van Java. Saya apresiasi usaha Maison Teraskita Hotel Bandung untuk menghadirkan suasana Paris di tatar Parahyangan. Interior bergaya modern Parisian yang chic berhasil dihadirkan oleh hotel ini, tanpa terkesan maksa atau gaudy. Desain yang sama juga diterapkan di area-area hotel yang lain. Salah satu yang cukup menarik adalah Teras Cafe-nya yang mengusung konsep cafe trottoir, meskipun ya nggak di trotoar juga. Namun, outdoor dining area kafe jadi semacam oasis sejuk di tengah ingar bingar kawasan pusat kota Bandung.Β 

Pada awalnya, saya sempat bingung karena hotel ini menyandang predikat hotel bintang empat. Namun, setelah saya main ke area rooftop, saya akhirnya give a nod. Kolam renang dengan pemandangan kota jadi fasilitas favorit saya, meskipun saya nggak sempat berenang (tapi saya udah puas kok santai dan lihat-lihat pemandangan Bandung dari ketinggian). Gym juga hadir sebagai fasilitas kebugaran untuk melengkapi kolam renang. Area rooftop akan lebih lengkap dengan kehadiran rooftop bar menurut saya. Karena lokasi hotel sudah bagus dan pemandangannya juga sudah keren banget, adanya rooftop bar akan jadi nilai tambah yang signifikan buat Maison Teraskita Hotel Bandung

Rate yang ditawarkan mulai dari kisaran 500 ribuan (waktu saya book dulu, saya dapat harga sekitar 650 ribu untuk tipe Deluxe). Dengan lokasi yang strategis, desain interior yang stylish, dan fasilitas yang cukup lengkap, rate segitu saya rasa masih sangat masuk akal (meskipun sering kali meledak, terutama di momen-momen liburan atau weekend). Overall, Maison Teraskita Hotel Bandung berhasil menawarkan suasana ala Paris ke jantung kota Bandung tanpa terkesan β€œmaksa”. Properti ini layak dijadikan pilihan, terutama buat wisatawan yang memang ingin menginap di pusat kota Bandung dan banyak berakvitias di kawasan Sudirman, Braga, atau Otista Pasar Baru.

Pros & Cons

πŸ‘πŸ» Pros

  • Desain interior modern Parisian yang diusung nggak “maksa” dan gaudy.
  • Fasilitas yang dihadirkan cukup komprehensif.
  • Lokasi sangat strategis dan bikin gampang ke mana-mana dengan berjalan kaki.
  • Pemandangan dari area rooftop dan kolam renang keren banget! Properti ini jadi salah satu hotel dengan rooftop infinity pool terbagus di Bandung.
  • Kamar mandi dilengkapi produk mandi dari Sensatia. Love it!

πŸ‘ŽπŸ» Cons

  • Area parkir sangat terbatas
  • Rate sebetulnya masih reasonable, tapi kalau sedang meledak, bisa sangat mahal.
  • Maintenance kamar masih perlu ditingkatkan.

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌😢
Desain: πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜Ά
Lokasi: 🀩🀩🀩🀩🀩
Harga: πŸ’°πŸ’°πŸ’°

Review: InterContinental Bandung Dago Pakar

Salah satu kawasan di Bandung yang jarang saya sambangi adalah Dago. Dari kecil, saya jarang banget main ke kawasan ini. Selain karena cukup jauh dari rumah, kawasan ini biasanya macet dan ramai di akhir pekan. Makanya, saya biasanya berkunjung atau menginap di hotel di kawasan ini di hari kerja (sempat sih mendekati akhir pekan, tapi itu pun check-in-nya hari Jumat di Sheraton Bandung). Selain itu, menurut saya kawasan Dago ini terlalu jauh dari pusat kota (nggak jauh-jauh banget sih sebetulnya, cuman saya lebih seneng kawasan yang memang ada di pusat kota biar gampang ke mana-mana). Maklum, anaknya tuh anak mal banget (nggak juga sih).

Namun, ada satu properti di kawasan Dago Atas yang, duh, buat properti in sih, saya nggak keberatan nyetir jauh dan stay jauh dari pusat kota. Suasana yang tenang, pemandangan yang keren, dan fasilitas yang ditawarkan jadi beberapa hal yang bikin saya suka dengan properti ini. Di tahun 2020 kemarin, saya dua kali menginap di hotel ini. Kuy ah tanpa berlama-lama, langsung aja masuk ke pembahasan!

review intercontinental bandung
InterContinental Bandung Dago Pakar

InterContinental Bandung Dago Pakar adalah sebuah hotel bintang 5 yang berlokasi di Jalan Resor Dago Pakar Raya No. 2B, Resor Dago Pakar, Bandung. Sesuai alamatnya, hotel mewah di Bandung ini berada di kompleks perumahan/resor yang cukup bergengsi. Waktu kali pertama ke sini, saya sampai minta tolong Andreyan, teman saya di Sheraton Bandung untuk nganterin ke properti supaya nggak kesasar. Pasalnya, properti ini lokasinya remote banget! Saya kira udah mau nyampe, ternyata masih jauh lagi. Pantesan aja waktu itu si Andre nyetirnya agak ngebut as if propertinya nggak bakalan terlewat. Ternyata memang jauh 😒

Ternyata, faktor lokasi ini pula yang menjadi daya tarik InterContinental Bandung. Berada jauh dari ingar bingar perkotaan, properti kelas teratas IHG ini menawarkan suasana tenang dan damai, dengan lingkungan sekitar yang masih cukup alami. Kamar-kamar di hotel ini menawarkan view perbukitan atau padang golf dan kota dari ketinggian. Dua kali menginap di sini di tahun 2020, dua kali juga saya dapat kamar dengan view padang golf dan kota. Oh, ya! Waktu menginap di sini, saya juga dikasih upgrade oleh pihak hotel (terima kasih banyak, InterCon Bandung!).

review intercontinental bandung
Lobi InterContinental Bandung Dago Pakar, tampil memukau dengan pemandangan padang golf dan kota.

Fasilitas yang tersedia di hotel ini cukup lengkap. Salah satu fasilitas unggulannya adalah infinity swimming pool. Sebetulnya, kolam renang di hotel ini terisi dengan air hangat. Hanya saja, waktu menginap di sana, airnya sedang tidak dihangatkan (kecewa sih saya). Meskipun demikian, saya tetap bisa seru-seruan berenang di sini (dan gantian foto buat Instagram bareng Andre). Fasilitas-fasilitas lain yang tersedia termasuk dua restoran, ballroom, ruang rapat, wedding hall, gym, sauna, spa, dan kids’ corner. Kalau weekend, suka ada penyewaan kuda di depan hotel. Karena kondisi masih belum kondusif, nggak semua fasilitas beroperasi selama saya menginap (dan di dua kunjungan saya), termasuk Tian Jing Lou, Chinese restaurant yang berada di lantai 18 hotel. Restoran ini sendiri terkenal dengan menu-menu dim sum-nya.

Ada 8 tipe kamar yang tersedia di InterContinental Bandung, termasuk vila-vila yang berada di bagian belakang bangunan hotel. Di kunjungan pertama, saya menginap di kamar tipe King Club Room atau Club InterContinental Room. Di kunjungan kedua, saya dapat tipe Premium Room with Golf View. Sebetulnya, kedua tipe ini nggak berbeda jauh dari segi interior dan room amenities. Namun, dari segi layanan tambahan, tipe King Club Room sudah mencakup akses ke Club InterContinental di lantai 18 yangβ€”sayangnyaβ€”masih belum beroperasi. Selama menginap, ada beberapa kendala kecil yang saya alami. Namun, yang saya apresiasi adalah langkah yang diambil pihak hotel untuk menangani kendala tersebut. Pembahasan lebih lanjut, seperti biasa, saya sajikan di segmen berikutnya, ya!

Desain Kamar

Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, di tahun kemarin saya menginap dua kali di InterContinental Bandung dan mendapatkan dua tipe kamar yang berbeda. Namun, dari segi arsitektur, keduanya sebetulnya sama saja. Yang membedakan hanya akses ke Club InterContinental dan Bluetooth alarm saja. Baik tipe King Club Room dan Premium Room with Golf View sama-sama punya luas 46 meter persegi. Menurut informasi dari situs resmi hotel, tipe kamar terkecil (Classic Room) punya luas 41 meter persegi. Sejauh ini, saya bisa bilang bahwa InterContinental Bandung Dago Pakar adalah salah satu hotel di Bandung yang menawarkan kamar terluas.

Interior kamar mengusung desain kontemporer dengan palet warna-warna earthy dan pencahayaan berwarna hangat. Mengingat udara di kawasan Dago Atas terbilang dingin, skema warna yang hangat bikin suasana kamar makin nyaman. Tidak banyak ornamen yang rumit di kamar dan buat saya, kesederhanaan ini yang bikin kamar justru terasa elegan. Bagian dinding di atas headboard punya motif geometrik yang subtle. Di kedua sisi tempat tidur, terpasang wall lamp dengan gaya modern classic. Pencahayaan di kamar bisa dibilang cukup kompleks. Saya tipe orang yang sejujurnya nggak bisa tidur dalam keadaan gelap gulita. Jadi, saya selalu perlu satu atau dua lampu yang menyala di kamar, dan opsi pencahayaan yang tersedia di kamar mengakomodasi kebutuhan saya itu.

Ketika masuk ke kamar, hal yang langsung menarik perhatian saya adalah daybed-nya. Di properti ini, hanya tipe Classic yang nggak dilengkapi daybed. Memiliki dimensi yang cukup luas, daybed ditempatkan di atas platform yang menjorok ke luar dan dikelilingi jendela kaca. Ini jadi tongkrongan yang nyaman banget, terutama di pagi hari. Di sisi kiri dan kanan daybed juga terpasang panel dekoratif berbahan besi yang subtly memberikan kesan tropis ala-ala resor atau vila di Bali. Oh, ya! Di kunjungan saya yang kedua, pihak hotel memberikan complimentary chocolate cake. Terima kasih banyak, InterContinental Bandung! Kok bisa tahu kalau saya suka kue cokelat, ya? He he he. Jadi, sore itu, saya habiskan dengan menikmati kue dan pemandangan padang golf dan kota. So relaxing! Di area daybed pun sudah ada penerangan. Jadi, buat yang ingin baca malem-malem di sini, bisa banget. Malah saya sempet kepikiran kayaknya seru kalau tidur malam di sini.

Di kunjungan kedua, saya sempat mengalami kendala dengan daybed. Lebih tepatnya, tirai yang mengelilingi daybed. Jadi, si sheer curtain ini nggak bisa dibuka. Walhasil, saya harus telepon dulu pihak teknisi untuk memperbaiki rel tirai. Untungnya, masalah bisa ditangani dengan cepat dan mudah. Saya sangat mengapresiasi bantuannya.

Hal yang saya amati lagi dari kamar adalah storage. Baik tipe King Club Room maupun Premium Golf sama-sama punya walk-in closet yang cukup besar, dan ruangan ini dibatasi dengan pintu. Jadi, baju-baju yang digantung dan koper atau berbagai barang bawaan yang mungkin berantakan nggak akan terlihat dari area utama kamar saat pintu walk-in closet ditutup. Oh, ya! Room amenities mencakup televisi, AC, WiFi (jelas lah), Bluetooth alarm (untuk tipe King Club Room), coffee/tea maker, dan mini fridge. Nah, coffee/tea maker, mini fridge, dan beragam pilihan teh dan kopi disimpan dengan rapi di dalam lemari kecil yang ada di belakang area kerja. Jadi urusan pertehan dan perkopian nggak bikin kamar terlihat “kebanyakan barang” (or rather, cluttered). Untuk telepon sendiri, ada 3 unit telepon di kamar, dan satu dipasang di kamar mandi.

Meja kerja yang tersedia cukup besar. Kursi kerja yang ada pun cukup nyaman dipakai duduk dan ngetik cukup lama. Koneksi internet bisa diandalkan dan cukup cepat. Stopkontak ada banyak. Channel TV pun beragam. Hmm… Apa lagi, ya? Soal hiburan dan produktivitas sih, saya nggak ada keluhan. It was all good.

Kamar Mandi

Semua tipe kamar di InterContinental Bandung Dago Pakar, kecuali tipe Classic, dilengkapi dengan oversized bathtub. Namun, untuk tipe-tipe yang lebih tinggi, bathtub-nya merupakan whirlpool bathtub. Jadi, setingkat lebih mantap, lah. Selama dua kali menginap di sini, kamar mandi jadi salah satu the best part yang saya rasakan.

Atmosfer natural terasa melalui penggunaan dinding batu. Untuk lantai sendiri, digunakan ubin bertekstur dengan warna yang kurang lebih sama dengan warna dinding. Skema warna interior kamar mandi yang gelap untungnya diseimbangkan oleh pencahayaan yang mumpuni dan terang, bahkan di shower area yang terbilang lebih tertutup. Ditambah lagi, di siang hari roller blind di samping bathtub bisa dibuka sehingga cahaya alami bisa masuk.

Produk-produk Mandarin Tea hadir sebagai sampo, sabun, kondisoner, dan body lotion. Ada juga face soap (saya lupa brand-nya) yang hadir dalam bentuk sabun batangan. Saya sempat coba sih, walaupun saya lebih suka facial wash punya saya sendiri. Soal aroma sih enak dan nggak menyengat. It was okay, meskipun produk Asprey-nya Ritz-Carlton Mega Kuningan dan Appelles Apothecary & Lab-nya Ascott Sudirman secara pribadi sih saya lebih suka.

Nah, waktu saya menginap untuk kali kedua, saya mengalami kendala di kamar mandi, tepatnya di shower area. Kendala ini saya rasa cukup serius karena berimbas luka ke badan saya. Shower tangan yang dipasang di area shower berbahan semacam plastik yang dilapisi cat/lapisan khusus sehingga kesannya berbahan logam. Nah, lapisan cat di bagian sudut kepala shower terkelupas sehingga sudut shower jadi runcing. Saya nggak sadar dengan hal itu pada awalnya. Walhasil, pas mandi, dada dan perut saya beberapa kali kena ujung yang runcing itu dan kena lecet yang bentuknya memanjang (awalnya saya bingung kenapa bisa lecet, ternyata penyebabnya ya si sudut kepala shower itu).

Kepala shower dengan sudut yang runcing.

Saya pun akhirnya langsung telepon operator untuk menyampaikan keluhan. Nah, sebetulnya waktu awal tiba di kamar pun, saya sempat komplain juga karena roller blind di kamar mandi nggak ada talinya. Walhasil, si tirai nggak bisa dibuka. Kendala roller blind kamar mandi ditangani berbarengan dengan sheer curtain di area daybed yang nggak bisa dibuka. Saya sempet kesal karena maintenance kamar seolah-olah kurang bagus, ditambah dengan masalah kepala shower. Untungnya, pihak teknisi dengan cepat langsung tiba di kamar dan mengganti kepala shower. Pihak hotel sendiri menawarkan saya untuk pindah kamar, tapi berhubung saya komplain di malam terakhir menginap dan saya malas packing segala macem, akhirnya saya bilang nggak perlu ganti kamar. Toh masalah shower pun sudah ditangani dengan baik. Still I appreciated the kind gesture, tho. Namun, baiknya sih urusan maintenance kamar perlu diperhatikan lebih detail oleh pihak hotel.

Fasilitas Umum

Damai Restaurant

InterContinental Bandung punya dua restoran, yaitu Damai Restaurant dan Tian Jing Lou. Sarapan untuk tamu diadakan di Damai Restaurant yang berada satu lantai dengan lobi. Kesan pertama yang saya dapatkan dari restoran ini adalah luas. Let me tell you something: the restaurant is pretty huge! Interior restoran mengusung desain kontemporer yang elegan, dengan beberapa sudut yang terlihat lebih chic berkat dekorasi dinding. Area indoor-nya sendiri cukup luas dan punya banyak meja. Kalau nggak cukup (atau ingin merokok), bisa pilih meja di area outdoor. Area outdoor restoran sendiri merupakan balkon besar yang menawarkan pemandangan padang golf dan kawasan pusat kota Bandung.

Menu sarapan yang disajikan sangat variatif. Dari roti-rotian sampai sushi pun tersedia. Ada cukup banyak station di restoran ini yang masing-masing menawarkan sajian yang berbeda. Di kunjungan pertama, saya sarapan bareng Andreyan (dia datang pagi-pagi karena kita udah janjian mau berenang bareng). Menu yang saya pilih standar sih: nasi goreng, tumis sayuran (lagi berusaha memperbanyak asupan sayuran), dan scrambled egg. Soal rasa sih, oke lah. Decent. Di kunjungan kedua, saya pilih sushi dan dim sum. Yes, you read it right. Dim sum! Ada juga stan seblak untuk yang senang jajanan pedas yang satu ini. Untuk minuman, staf restoran akan tanya kita mau minum apa. Saya sih nggak jauh-jauh dari teh, meskipun di kunjungan pertama, saya pesan capuccino.

Ada satu area di dekat bar yang dilengkapi meja-meja bundar. Area ini sendiri kelihatan lebih mewah menurut saya, terutama dengan jendela-jendela kaca besar dan grand piano di salah satu sudutnya. Saya sempat main piano ini. Sayangnya, pianonya perlu distem karena beberapa nadanya fals.

Waktu sarapan di kunjungan pertama, saya dan Andreyan sempat mengalami kejadian nggak enak. Saat saya dan Andre (sebetulnya) masih makan, kami sempat ngobrol dan nggak menyentuh piring dan gelas sama sekali (ya, namanya juga lagi ngobrol). Tiba-tiba, ada staf restoran yang datang dan begitu saja ngambil piring-piring kami, tanpa permisi atau bilang apa pun, dan langsung pergi. Andreyan (yang notabene orang hotel) dan saya sampe lihat-lihatan karena kaget dan kesinggung. Di kunjungan kedua pun, saya sempat kesal karena staf yang jaga stan dim sum kurang ramah dan mempersiapkan dim sum saya seperti dilempar begitu aja ke kukusan. Nggak ada bicara apa pun, benar-benar dingin dan nggak bersahabat. Saya udah keluhkan hal ini ke pihak hotel lewat kuesioner yang disediakan.

Tian Jing Lou & Club InterContinental

Di lantai 18 InterContinental Bandung, ada Tian Jing Lou dan Club InterContinental. Tian Jing Lou sendiri merupakan Chinese restaurant yang terkenal, salah satunya karena menu dim sum-nya. Waktu saya menginap, baik. Tian Jing Lou dan Club InterContinental belum beroperasi. Namun, kata staf yang bertugas, saya boleh lihat-lihat.

Salah satu claim to fame-nya Tian Jing Lou adalah pemandangan kota dan padang golf. Mereka menawarkan pengalaman bersantap hidangan Tiongkok dan pemandangan yang cantik. Jendela-jendela floor-to-ceiling mendominasi interior. Ada satu sudut yang lebih menjorok ke luar, dan saya pikir area ini bakalan lebih banyak peminatnya, unless you’re acrophobic, of course. Beberapa chandelier menambah kemewahan interior restoran. Nah, kalau bicara soal Chinese restaurant, biasanya kan interiornya didominasi oleh warna merah. Sayangnya, di sini warna merah nggak begitu mendominasi. Kalau saya lihat, hanya beberapa area atau sudut yang dipercantik dengan warna merah. Selain itu, sentuhan khas Tionghoa juga kurang terasa kental. Lukisan dan partisi kayu memang jadi elemen yang memberikan sentuhan tersebut. Hanya saja, vibe-nya masih kurang kerasa, terutama kalau saya bandingkan dengan Cha Yuen-nya Aryaduta Bandung (sayangnya sudah tutup restorannya) atau Li Feng-nya Mandarin Oriental Jakarta (ini nanti akan ada review-nya. Tunggu aja, ya!).

Di dekat pintu masuk ke Tian Jing Lou, ada pintu menuju Club InterContinental. Seperti Tian Jing Lou, saat saya berkunjung pun klub masih belum beroperasi. Beberapa tipe kamar sudah dilengkapi akses ke klub ini. Luasnya sih nggak besar dan ada semacam pintu geser yang memisahkan antara Club InterContinental dengan Tian Jing Lou. Mungkin kalau ada acara apa, pintu ini akan dibuka untuk mengakomodasi lebih banyak tamu.

Seating yang tersedia bisa dibilang sangat terbatas. Interior klub pun punya dekorasi yang terbilang minimalis. Penggunaan warna-warna earthy memberikan kesan nyaman dan hangat. Untuk klub, pemandangan yang ditawarkan adalah pemandangan perbukitan. Jadi, kalau ingin lihat pemandangan kota sih kehalangin bukit. Ada juga LED TV yang cukup besar di tengah ruangan. So far sih nggak ada sesuatu yang benar-benar spesial. Ya, mungkin juga ini karena klub belum beroperasi, ya.

Kolam Renang & Kids’ Corner

Nah! Ini nih fasilitas yang saya paling suka dari InterContinental Bandung: kolam renang! Untuk mengakses kolam renang, kita perlu turun satu lantai dari lantai lobi. Turunnya bisa lewat tangga atau lift. Kalau dari lobi sih, sepertinya kita bisa dapat view yang bagus dari kolam renang. Sayangnya, pemandangan kota atau padang golf-nya terhalangi oleh pohon-pohon.

Kolam renang di InterContinental Bandung Dago Pakar terbilang besar. Area kolam anak dipisahkan oleh pembatas kaca dari area kolam dewasa. Untuk kedalamannya sendiri sih, kalau saya berenang, area kolam yang paling dalam tuh sekitar sebahu saya (maklum saya pendek). Ada dua cocoon di dekat kolam anak, tapi karena di belakangnya itu pepohonannya sangat rimbun, saya jadi agak ngeri lihatnya. Ada juga beberapa pool lounger yang, sayangnya, tidak diteduhi parasol atau semacamnya. Untuk kamar mandi dan toilet, ada di bangunan tersendiri. Oh, ya! Yang saya sayangkan lagi adalah air kolam renang nggak hangat. Padahal, di situs web hotel disebutkan kalau kolam renang hotel punya air hangat. Cukup kecewa sebetulnya, tetapi untungnya waktu itu cuaca nggak dingin.

Masih berada di sekitar kolam renang, ada kids’ corner. Fasilitas ini jadi salah satu amenities yang belum beroperasi saat saya menginap. Namun, karena berada di dekat kolam dan punya pintu kaca, saya jadi bisa mengintip ke dalamnya. Areanya cukup besar sih, dan ada semacam treehouse. Karena nggak beroperasi, lampu-lampu di dalamnya dimatikan dan foto di atas jadi satu-satunya dokumentasi yang saya punya. Ruangan juga terlihat kosong. Mungkin kalau beroperasi, akan ada banyak mainan, boneka, buku-buku, dan semacamnya. Gambar beruang di dinding (di atas rak sepatu) jadi sesuatu yang saya rasa lucu dan menggemaskan. Mungkin anak-anak yang habis berenang, bisa mandi dulu, terus main di sini.

Lokasi

Bicara soal aspek ini, jangan berharap InterContinental Bandung ada di kawasan yang strategis. Nggak, bro. Dari kawasan pusat kota Bandung, perjalanan ke hotel ini bisa makan waktu setengah jam lebih, tergantung kondisi lalu lintas. Hotel ini berada di kompleks Resor Dago Pakar yang luas banget dan jauh dari jalan besar (Jalan Dago). Namun, perjalanan ke sini nggak sia-sia karena meskipun jauh dari mana-mana, properti ini menawarkan suasana yang lebih alami dan pemandangan yang keren dari setiap kamarnya. Buat yang niatnya ingin staycation mewah dan menikmati suasana yang lebih tenang, hotel ini bisa jadi pilihan yang pas.

Sejauh yang saya tahu dan amati sendiri, nggak ada minimarket atau toko swalayan di dekat hotel. Ada sih restoran di luar hotel, tapi buat ke sana kita harus berkendara selama sekitar 5 menitan (lumayan jauh kalau jalan kaki. Serius). Untuk ke minimarket sendiri, kita harus berkendara dulu sekitar 10 menitan karena Indomaret terdekat ada di Jalan Dago. Nah, kalau kita udah tiba di kawasan Dago Atas sendiri sih, udah gampang lah ke mana-mana. Soal makan, ada beberapa restoran yang menawarkan pemandangan Bandung dari ketinggian seperti Cocorico dan Sierra. Soal tempat wisata, ada Tahura alias Taman Hutan Raya. Semuanya berjarak sekitar 10-15 menitan aja dari hotel. Nah, saran saya sih karena hotel ini jauh dari mana-mana, sebelum ke sini, ada baiknya sudah beli jajanan atau bekal dari awal. Bawa juga makanan atau minuman sendiri kalau nggak ingin pesan dari restoran hotel atau pergi ke kafe/restoran di luar hotel.

Dari Stasiun Bandung, InterContinental Bandung Dago Pakar bisa ditempuh dalam waktu sekitar 30-40 menit, tergantung kondisi lalu lintas. Dari Bandara Internasional Husein Sastranegara, waktu tempuhnya pun kurang lebih sama. Titik macetnya biasanya di kawasan Dago Atas. Jadi, harap waspada aja, terutama di jam-jam sibuk atau akhir pekan.

Pelayanan

Segmen ini memuat pendapat saya mengenai pelayanan yang diberikan pihak hotel. Apa yang saya tulis bersifat subjektif dan bukan merupakan informasi umum, dan lebih merupakan pendapat pribadi. Experience yang saya alami bisa jadi berbeda dari apa yang orang lain alami. Tulisan dalam segmen ini tidak ditujukan untuk menjelek-jelekkan atau menurunkan reputasi hotel. Jika informasi yang saya tulis bersifat positif, semoga manajemen hotel bisa tetap menjaga kualitas layanannya. Jika bernada negatif, semoga bisa menjadi bahan perbaikan bagi pihak hotel. 

Menginap dua kali di InterContinental Bandung dalam jangka waktu yang cukup dekat membuat saya bisa mengevaluasi kualitas pelayanan yang, jujur saya, membuat saya terkesan. Kekurangan yang saya lihat dan alami di kunjungan pertama terbayar di kunjungan kedua. Kendala yang terjadi, terutama di kunjungan kedua, ditangani oleh pihak hotel dengan baik dan profesional.

Secara keseluruhan, kualitas pelayanan di properti ini saya bisa bilang bagus. Saat masuk ke hotel, check-in, menginap, hingga check-out, jauh lebih banyak positifnya yang saya rasakan daripada negatifnya. Di kunjungan pertama, misalnya. Proses check-in memakan waktu lebih lama dari yang dijanjikan. Ditambah lagi dengan tidak adanya recognition untuk saya sebagai member IHG Rewards Club, saya agak kecewa sebetulnya. Namun, kekecewaan ini terbayar ketika saya dapat upgrade beberapa tingkat (dari tipe Classic ke King Club). Room service cukup lama menurut saya. Ketika saya minta dibawakan gelas wiski dan es, pesanan saya datangnya lama, meskipun ya tetap dibawakan. Dan juga, mengenai insiden di restoran, itu pun bikin saya dan Andre kesal sebetulnya. Namun, keluhan kami dapat tanggapan dari pihak hotel dan saya secara pribadi mengapresiasi hal tersebut.

Di kunjungan kedua, kendala yang terjadi lebih ke aspek fasilitas kamar. Semuanya berhasil ditangani dengan baik oleh tim housekeeping dan teknisi. Soal shower tangan yang rusak pun, saya makin mengapresiasi pihak InterContinental Bandung karena menawari saya untuk pindah kamar, padahal masalahnya hanya ada di shower dan itu pun sudah diselesaikan. Keesokan paginya saat saya sarapan, saya lupa itu GM atau siapa, tapi yang jelas saya dengan Ibu tersebut ngobrol soal kendala yang saya alami. Beliau meminta maaf dan kasih kuesioner untuk saya isi. Sikap atau langkah seperti ini memang nggak lantas menyelesaikan kendala yang sempat dialami (lagi pula sudah beres ‘kan), tapi tentunya jadi sesuatu yang saya apresiasi dan bikin kesan saya tentang properti jadi lebih positif. Saat sarapan di hari terakhir, memang ada beberapa staf di beberapa station yang saya rasa kurang ramah, tetapi selebihnya para staf sih ramah dan helpful. Ya, ke depannya sih harapannya semua staf bisa lebih ramah.

Kesimpulan

A luxury seclusion. Saya bisa bilang bahwa InterContinental Bandung Dago Pakar adalah hotel yang tepat untuk “mengasingkan diri” in a luxurious fashion, tanpa harus berkendara terlalu jauh di Bandung. Dari segi fasilitas, properti ini sudah lengkap. Hanya saja, waktu saya berkunjung memang belum semua fasilitas bisa digunakan. Setiap kamar menawarkan view yang cukup menarik, meskipun memang pemandangan padang golf dan pusat kota Bandung tentunya lebih menarik. Beberapa kamar, seperti tipe Premium Golf View dan King Club yang saya tempati dilengkapi daybed yang cocok banget buat bersantai, rebahan, dan tidur siang (atau malam-malam tidur di sini pun nggak masalah karena bisa sambil lihat bintang). Oversized, freestanding bathtub pun jadi kelengkapan kamar yang saya rasa layak diapresiasi. Apalagi dengan penempatan di samping jendela. Duh! Seru banget rasanya bisa berendam, merilekskan tubuh, sambil melihat view Bandung dari ketinggian. Interior kamar pun menampilkan desain kontemporer yang elegan dan mewah dalam balutan warna-warna earthy.

Soal lokasi, InterContinental Bandung saya pikir bukan pilihan yang pas buat orang-orang yang ingin tinggal di kawasan pusat kota dan gampang bolak-balik ke mal atau tempat-tempat lain di area downtown. Perjalanan ke hotel ini sendiri bisa dibilang cukup jauh. Mungkin nggak jauh-jauh amat buat yang terbiasa main atau bolak-balik ke kawasan Dago Atas, tapi berdasarkan komentar dari teman-teman saya, ketika saya ajak meet-up buat renang atau makan malam di hotel, mereka nolak ajakan dengan alasan kejauhan. Bisa dipahami sih karena dari mulut Jalan Resor Dago Pakar saja, perjalanan ke hotel masih memakan waktu sekitar 10 menitan dengan mobil/motor. Ditambah lagi, minimarket terdekat pun perlu ditempuh dalam waktu sekitar 10-15 menitan. Namun, untuk yang cari suasana tenang dan pemandangan yang lebih alami, properti ini layak banget diperhitungkan. Saya sendiri secara pribadi merasa bahwa hotel ini bisa jadi pelarian saya di masa mendatang ketika saya lagi mumet atau sekadar ingin menenangkan diri di lingkungan alami, tetapi masih dalam naungan “kemewahan” dan tanpa harus berkendara jauh dari Bandung.

Soal pelayanan, kendala-kendala yang saya alami untungnya dapat ditangani dengan baik oleh pihak hotel, dan saya sangat mengapresiasi hal tersebut. Beberapa fasilitas kamar perlu dibenahi memang. Ya, semoga saja kendala yang saya alami tidak sampai terulang dan keramahan staf pun bisa lebih ditingkatkan. Kesan positif, fasilitas properti yang mumpuni, kondisi kamar yang nyaman, serta kecepatan dan bantuan para staf dalam menanggapi request saya outweighted the cons.

Kalau saya amati di aplikasi IHG, InterContinental Bandung Dago Pakar menawarkan kamar dengan average rate di kisaran 1,2-1,3 juta rupiah per malam (biasanya sudah dengan pajak). Di Bandung, rate segitu sudah terbilang cukup tinggi sebetulnya. Namun, dengan fasilitas lengkap, desain kamar yang elegan, dan pengalaman closer to the nature dalam naungan kemewahan, saya rasa haga segitu masih berterima dan properti ini bisa jadi pilihan yang pas untuk yang ingin menikmati staycation di lingkungan yang lebih alami dengan view yang keren, tanpa harus berkendara jauh dari pusat kota Bandung.

Pros & Cons

πŸ‘πŸ» Pros

  • Semua kamar, kecuali tipe Classic sudah dilengkapi daybed dengan pemandangan perbukitan atau padang golf (yang lebih bagus memang view padang golf sih)
  • (LAGI) Semua kamar, kecuali tipe Classic, dilengkapi freestanding bathtub yang ditempatkan di samping jendela. Cocok banget buat self-pampering sambil lihat pemandangan.
  • Interior kamar mengusung desain kontemporer yang elegan dan mewah.
  • Ukuran kamar (bahkan tipe terkecil) relatif lebih besar untuk hotel-hotel di kelasnya.
  • Restorannya besar dan menu yang disajikan sangat beragam (dim sum-nya enak!)
  • Kolam renangnya besar dan menawarkan pemandangan alam yang cantik (harusnya view kota, tapi terhalangi pepohonan besar but still, it’s pretty Insta-worthy)
  • Fasilitas yang ditawarkan sudah lengkap. Meskipun jauh dari mana-mana, dengan adanya kids club, kolam renang, gym, dan area terbuka (bahkan kalau weekend itu suka ada penyewaan kuda), kayaknya stay di hotel aja nggak akan kerasa bosan.
  • InterContinental Bandung punya wedding hall yang cakep banget (saya lupa foto. Maaf). Buat yang mau nikahan, nggak ada salahnya ngelirik properti ini.
  • Nggak perlu repot soal parkiran. Area parkirnya luas banget.

πŸ‘ŽπŸ» Cons

  • Terkait pengalaman menginap saya, maintenance kamar (terutama kamar mandi) rasanya kurang. Shower tangan yang rusak dan ujungnya runcing itu sangat disayangkan.
  • Ini bisa jadi nilai positif sebetulnya, cuman bagi sebagian orang, lokasi hotel yang cenderung remote mungkin bakalan jadi sesuatu yang kurang bikin nyaman.
  • Kualitas pelayanan staf saat saya menginap agak kurang. Semoga ke depannya bisa lebih baik lagi. Meskipun demikian, kendala yang saya alami bisa ditangani oleh pihak hotel dengan baik. Sangat saya apresiasi.
  • Meskipun view-nya bagus, sayangnya air kolam lagi nggak dihangatkan.

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌😢
Desain: πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜Ά
Lokasi
– Untuk “menyepi”: 🀩🀩🀩🀩😢
– Untuk yang ingin gampang ke mana-mana: 🀩🀩😢βšͺ️βšͺ️
Harga: πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°

Review: Four Points Bandung

Bagi saya, desain klasik itu sifatnya eternal. Mau seperti apa perkembangan dunia arsitektur, desain-desain klasik itu nggak ada matinya dan selalu punya tempat di hati para penggemarnya. Saya adalah salah satu penggemar desain-desain klasik, meskipun secara spesifik saya lebih tergerak dengan desain modern classic yang lebih simpel, tapi tetap berkelas. Terlebih lagi, karena tinggal di Indonesia, gaya-gaya arsitektur klasik yang lebih rumit macam Barok, Roccoco, dan Art Nouveau rasanya, apa ya, kayak nabrak pasti kalau dibandingkan bangunan-bangunan lain yang desainnya lebih sederhana. Salah-salah, desain-desain seperti itu malah bisa keliatan gaudy dan lebay kalau nggak dieksekusi dengan pas.

Nah, di kawasan Dago Bandung, ada sebuah properti yang mengusung desain modern classic. Dengan “perawakan” yang tinggi, dominasi warna putih, dan atap mansard khas bangunan-bangunan bergaya Perancis, bangunan hotel ini pun tampil menonjol dibandingkan bangunan-bangunan tetangganya. Sebagian besar komentar teman-teman saya soal hotel ini pun berkaitan dengan bangunannya yang memang majestic. Sebetulnya, saya pernah nginap di hotel ini sebelumnya, di tahun 2016 saya masih ingat. Waktu itu, hotel ini baru buka. Jadi, bisa dibilang saya adalah salah satu tamu pertama hotel. Setelah bertahun-tahun, akhirnya saya nginep lagi di sana.

Bangunan hotel Four Points by Sheraton Bandung. Foto milik pribadi.

Four Points by Sheraton Bandung adalah hotel bintang empat yang berada di Jl. Ir. H. Djuanda No. 46, Bandung. Buat yang sering main ke kawasan Dago, terutama Dago bawah, pasti tahu lah hotel ini. Posisinya bersebelahan dengan Superindo Dago dan berseberangan dengan ACE/Informa Dago (eks-Dago Plaza). Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, hotel ini terkenal dengan bangunannya yang menjulang berwarna putih, hampir ke arah “bulky” sebetulnya. Dengan gaya arsitektur modern classic dan atap mansard, bangunan hotel ini sudah cukup ikonik dan mencerminkan classiness-nya.

Dari jalan, bangunan utama hotel sebetulnya tersembunyi di balik bangunan restoran. Jadi, sebetulnya ada dua bangunan di kompleks ini. Tower utama berada di belakang bangunan restoran, dan atap bangunan restoran sendiri berfungsi sebagai area kolam renang hotel. Waktu pertama kali menginap di sini, restoran tersebut belum buka, tapi restoran hotel sih sudah beroperasi. Nah, buat yang bingung, restoran yang ada di depan Four Points Bandung ini (Buttercup Boulangerie) beda manajemen dengan hotel. Ini informasi saya dapat dari staf restoran ya. Saya sendiri udah beberapa kali makan di sana. Dulu mereka punya menu pesto fettuccini yang enak banget, tapi sayangnya menu itu dihapus.

Dilansir dari Tripadvisor, ada 162 kamar yang tersedia di hotel ini. Di situs resmi hotel, disebutkan 5 tipe kamar (sebetulnya 6 karena tipe Classic ditawarkan sebagai dua pilihan: opsi king dan twin bed). Oh, ya! Saat menginap, saya berkesempatan ngobrol dengan Bu Emi selaku general manager Four Points Bandung. Dari beliau, saya belajar bahwa hotel ini ternyata awalnya diproyeksikan sebagai boutique hotel. Hmm… No wonder hotel ini mengusung desain yang memang nggak main-main. Waktu pertama kali menginap, saya menempati kamar Premium, satu tingkat di atas tipe Classic. Nah, pas kunjungan terakhir saya di bulan Agustus, saya memesan kamar tipe Classic. Soal fasilitas, ada restoran, fitness center, kolam renang, sky lounge, meeting room, ballroom, dan pool bar. Sayangnya, waktu saya menginap, pool bar-nya masih tutup. Namun, fasilitas-fasilitas lain sudah beroperasi. Bahkan, ada juga yang nikahan dan ngadain acara besar. Ulasan lengkapnya saya sajikan di segmen berikutnya, ya!

Desain Kamar

Semua tipe kamar di Four Points by Sheraton Bandung mengusung warna putih sebagai warna dominannya. Dengan interior bergaya modern classic, penggunaan warna putih membuat kamar terasa lega dan elegan. Nah, tipe kamar yang saya tempati adalah tipe Classic King di lantai 11. Dilansir dari situs resmi hotel, tipe Classic memiliki luas 30 meter persegi. Nah, kalau saya bandingkan, luas ini sebetulnya nggak jauh beda dengan luas kamar tipe Deluxe di Sheraton Bandung. Namun, kamar di Four Points Bandung terasa lebih luas, salah satunya karena dominasi warna putih di interior kamar, tidak adanya loveseat dan meja kopi, serta langit-langit yang lebih tinggi.

Tempat tidur king-size ditempatkan di tengah kamar, dengan headboard yang desainnya mengingatkan saya dengan desain-desain furnitur, khususnya tempat tidur, bergaya modern classic di era 90an akhir atau 2000an awal (coba deh tonton film atau sinetron di era tahun segitu yang menampilkan rumah-rumah orang kaya bergaya modern “pada zamannya”). Pasalnya, tante saya punya satu set furnitur kamar tidur dengan desain yang mirip-mirip. Bedanya, set furnitur punya tante saya warnanya hijau zamrud. Sebagai pengganti table lamp, digunakan lampu gantung bergaya kontemporer dengan bentuk tabung sederhana yang dipasang di kedua sisi tempat tidur. Di atas end table, terdapat jam alarm/iPod dock yang sayangnya nggak punya fitur Bluetooth (hal ini agak disesali karena saya pakai ponsel Samsung). Di end table yang satu lagi, terdapat telepon dan notepad kecil. Di atas tempat tidur, terpasang lukisan mawar memanjang, dengan satu kuntum berwarna merah muda, sementara bunga-bunga lainnya berwarna hitam putih. Saya jadi ingat adegan girl in red coat di film Schindler’s List.

Meja kerja ditempatkan bersebelahan dengan kabinet televisi. Untuk TV sendiri memiliki ukuran 42 inci dan dipasang di dinding sehingga memberikan cukup banyak ruang di atas kabinet buat menyimpan berbagai barang. Kanal televisi yang ditawarkan cukup banyak dan beragam. Koneksi WiFi hotel pun cukup cepat dan bisa diandalkan, walaupun pada hari pertama saya menginap, tingkat okupansi hotel sedang padat banget. Nah, waktu saya tiba, di atas kabinet TV ternyata sudah ada buah-buahan, complimentary dari pihak Four Points by Sheraton Bandung. Terima kasih banyak, Four Points! Kabinet TV hanya punya satu pintu yang, saat dibuka, ternyata masih ada satu kantung plastik putih bekas tamu sebelumnya sepertinya. Kosong sih kantung plastiknya dan bersih, cuman ‘kan tetap saja itu sampah. Duh, next time pihak hotel harus bersihin kamarnya lebih teliti lagi, nih.

Area utama kamar dibedakan dari hallway melalui penggunaan karpet berwarna abu-abu tua, senada dengan warna gorden. Si karpet dan gorden ini sendiri memberikan kontras warna di tengah dominasi warna putih dan gading. Di hallway, ada beberapa built-in lemari dengan desain pintu yang masih senada dengan desain furnitur di kamar, tentunya dalam balutan warna putih. Lemari pakaian memiliki ukuran yang cukup luas, dan mencakup electronic safe di dalamnya. Sayangnya, pintu geser lemari ini merangkap pintu kamar mandi. Walhasil, kalau kita tutup pintu kamar mandi, kelihatan lah isi lemari. Kalau isi lemarinya hanya baju sih mungkin nggak masalah. Cuman, saya pikir bisa jadi masalah ketika kita nginap dengan teman, atau ada tamu yang datang berkunjung, dan di lemari kita simpan barang berharga. Untuk setrika dan ironing board, tersimpan di dalam lemari di samping rak minibar dan kulkas. Oh, ya! Ada juga cermin besar di hallway yang jadi sarana saya foto-foto buat Instagram.

Untuk view sendiri, kamar saya menawarkan pemandangan Gunung Tangkuban Parahu dari ketinggian 11 lantai. Dari jendela juga terlihat Jembatan Pasopati, Moxy Bandung, dan kawasan di sekitarnya. Awalnya, saya sempat agak kecewa karena nggak bisa mendapatkan view kota. Namun, setelah dipikir-pikir lagi, waking up to a mountain view doesn’t hurt at all. Di siang hari, cahaya matahari yang masuk ke kamar pun melimpah sehingga saya nggak perlu nyalain lampu di siang hari.

Kamar Mandi

Kamar mandi untuk tipe Classic di Four Points Bandung memiliki ukuran yang cukup luas. Meskipun bathroom counter punya ukuran yang cukup bulky, penggunaan lantai dan dinding marmer berwarna beige dan pencahayaan yang terang membuat ruangan terasa lapang. Di kamar mandi, hanya ada satu wastafel. Handuk dan hair dryer disimpan di rak counter. Vanity mirror juga terpasang di dinding sebagai pelengkap cermin biasa berukuran besar dengan bentuk segi empat. Jarak dari kloset ke dinding di seberangnya cukup jauh, tetapi jarak dengan dinding di sampingnya bisa dibilang terlalu dekat.

Area shower di kamar mandi cukup luas. Bukan yang terluas memang, tapi seenggaknya saya masih bisa bergerak bebas dan mandi dengan nyaman. Hadirnya rainshower jadi salah satu hal yang saya sukai di kamar mandi ini. Shower tangan pun tersedia sebagai pelengkap rainshower. Semburan air yang keluar, baik dari rainshower maupun shower tangan cukup kencang. Enak lah buat mandi. Overall, tidak ada keluhan soal kamar mandi untuk tipe Classic di Four Points by Sheraton Bandung.

Fasilitas Umum

Saffron Restaurant

Berada di lantai lobi, Saffron Restaurant adalah dining venue utama di Four Points Bandung. Seperti halnya fasilitas dan kamar di hotel, interior restoran mengusung desain modern classic dengan dominasi warna putih. Pilar-pilar dipasangi cermin untuk memberikan kesan luas dan mewah. Lantai dengan pola checkerboard juga turun menambah kesan elegan pada interior restoran. Di sisi utara dan selatan, dipasangi jendela-jendela besar. Untuk sisi selatan sendiri, terdapat pintu menuju teras sebagai perluasan dining area dan smoking area. Chandelier yang dipasang di restoran memiliki desain yang unik, dengan motif tangkai atau ranting dedaunan yang, buat saya sih, seperti memiliki sedikit sentuhan Gothic. Sebagai colour pop di tengah-tengah palet monokron, warna kuning digunakan pada jok dan sandaran kursi panjang. Sayangnya, buat saya sih corak warna kuningnya terasa kurang elegan.

Meja dan kursi yang tersedia cukup banyak, tetapi tetap saja ketika tingkat okupansi hotel sedang tinggi, restoran terasa penuh. Sebenarnya, waktu menginap, saya diberi tahu bahwa untuk sarapan, saya kebagian di sky lounge hotel. Namun, saat saya ke sky lounge, kondisinya penuh dan saya nggak kebagian meja kosong. Saya pun ke Saffron Restaurant dan ternyata sama saja. Namun, untungnya saya berhasil dapat meja kosong di dekat jendela besar. Selain itu, posisinya juga dekat ke station es krim. Jadi, gampang lah buat bolak-balik ngambil es krim. Di sisi timur, terdapat beberapa station dan bar.

Soal menu sarapan, bisa dibilang menunya decent. Sejujurnya, saya tidak menemukan opsi yang sangat sangat spesial, tetapi setidaknya decent lah. Menu untuk pagi pertama dan kedua nggak jauh beda. Hanya saja, di akhir pekan dibuka station es krim. Nah, di pagi terakhir, station es krimnya ‘kan tutup. Namun, saya coba tanya ke staf restoran apakah saya bisa dapat es krim sebagai sajian penutup, dan pihak restoran menyajikan satu mangkuk es krim, walaupun di weekday, station es krim tidak buka. Wah! Terima kasih banyak, Four Points Bandung! Sangat saya apresiasi! Oh, ya! Di pagi pertama, karena restoran sangat ramai, ada beberapa staf tambahan yang bekerja di restoran, dan saya nggak nyangka bahwa staf yang bertugas di station es krim pagi itu adalah Bu Emi, general manager hotel. Waduh! Maaf ya, Bu Emi. Waktu itu saya belum kenal soalnya. Namun, setelah check out, saya beruntung bisa berkesempatan berkenalan dan ngobrol sebentar dengan Bu Emi mengenai hotel dan segala macam. Saya jadi belajar cukup banyak juga soal Four Points by Sheraton Bandung.

Buttercup Boulangerie

Selain Saffron Restaurant, Four Points Bandung juga punya dining venue yang lain. Menempati bangunan di bagian depan hotel, Buttercup Boulangerie hadir dengan interior berkonsep unik. Interiornya memadukan desain modern classic dengan sentuhan youthful yang tercermin dari pilar besar di tengah ruangan berbalut wallpaper tipografi dengan unsur (atau, lebih tepatnya, teknik) emphasis. Wallpaper yang sama juga dipasang di sudut-sudut ruangan yang lain, termasuk dinding di belakang grand staircase menuju lantai dua. Si tangga besar di sini jadi semacam focal point restoran. Berdasarkan pengalaman (karena saya pernah ke restoran ini beberapa kali), biasanya menjelang natal dipasang pohon natal besar di bawah tangga, dan tangga itu sendiri dihias dengan lampu-lampu. Cantik banget deh pokoknya.

Dining area utama restoran memiliki luas yang cukup besar, dengan meja-meja yang ditempatkan dalam jarak yang tidak begitu mepet. Di tengah-tengah ruangan juga ada meja panjang yang biasanya dipakai para tamu yang makan sekalian rapat. Ada grand piano di salah satu sudut ruangan dan, sedihnya, dikunci. Saya pun nggak bisa main piano deh πŸ˜•. Nah, dulu di Buttercup Boulangerie juga ada toko wine The Peak. Namun, pas saya tanya ke staf restoran, toko tersebut sudah tutup dan pindah (saya lupa pindahnya ke mana). Seingat saya sih, masih ada The Peak di Setiabudhi Supermarket, in case ingin beli wine.

Di sebelah selatan area utama (yang dipisah jendela-jendela besar di samping piano), ada smoking area. Saya nggak sempat foto areanya, tapi dari segi luas jelas lebih kecil. Soal menu, seperti yang saya bilang sebelumnya, pilihan menunya sudah berbeda dibandingkan ketika saya ke sana di tahun 2017-2018 (lama banget, ya). Saya ingat dulu mereka punya menu pesto fettuccini, tapi sekarang sudah nggak ada. Dan juga, saya lupa foto si chicken katsu bowl yang saya pesan di sini, tapi dari segi rasa sih enak. Dagingnya lembut dan luarnya renyah, tapi dari segi porsi sih memang tidak begitu banyak dibandingkan dengan harganya. Untuk menu lengkapnya, bisa baca informasi menu dan harganya dari Pergikuliner.

Kolam Renang

Sebagai salah satu fasilitas kebugaran dan hiburan, kolam renang hadir di Four Points by Sheraton Bandung. Lokasinya sebenarnya berada di rooftop bangunan Buttercup Boulangerie, tapi hanya bisa diakses lewat bangunan utama hotel. Kolam renang hotel juga satu lantai dengan gym. Ukurannya cukup besar dan panjang untuk bolak-balik satu lap. Sayangnya, nggak ada pemisah yang lebih jelas (or rather, aman) antara kolam anak dengan kolam dewasa. Jadi, buat yang bawa anak-anak, pastikan anak-anaknya diawasi dengan saksama, ya.

Kolam renang di Four Points Bandung berair dingin. Namun, karena konsepnya outdoor, kolam renang jadi terpapar cahaya matahari dan di sore hari, kadang-kadang airnya kerasa lebih hangat. Yang saya sayangkan adalah waktu main ke area kolam, lounge chair yang tersedia jumlahnya sedikit. Selain itu, ngga ada area teduh (kecuali pool bar yang masih berada di area beratap) di pinggir-pinggir kolam. Jadi, yang duduk di lounge chair, siap-siap terpapar cahaya matahari. Seandainya ada parasol, saya rasa akan lebih baik dan nyaman. Di ujung selatan area kolam renang, terdapat shower bilas. Untuk kamar mandi, letaknya ada di dekat pool bar.

Oh, ya. Waktu saya menginap, pool bar hotel masih belum buka. Semoga saja, pas pembaca ada yang berkesempatan menginap ke sana, pool bar-nya sudah buka, ya. Dari area kolam renang, sebetulnya kita bisa lihat view kota. Hanya saja, memang harus berdiri dekat ke dinding pembatas. Dari shower bilas, bahkan kita bisa ngintip ke Superindo dan area parkirnya di sebelah hotel. Saya hampir lupa! Saat masuk ke area pool bar, di sisi selatan terdapat satu nook yang, waktu saya kali pertama menginap di sini di tahun 2016, berfungsi sebagai entertainment area, dengan TV, coffee table, karpet bulu, dan lounge chair. Kalau nggak salah, ada juga bean bag. Namun, waktu saya menginap kedua kalinya, nook tersebut sudah berubah dan hanya diisi dua lounge chair. Jendela yang ada di belakang kursi menawarkan view kota yang cantik. Saya pikir sayang banget area ini jadi kerasa kosong. Padahal, kalau bisa dimanfaatkan untuk fasilitas lain, lumayan sih (mis. perpustakaan atau fasilitas semacamnya).

Gym

Fasilitas kebugaran lainnya yang tersedia di Four Points by Sheraton Bandung adalah gym. Saya suka desain interiornya karena didominasi oleh jendela-jendela full-height yang langsung menghadap ke kolam renang dan pool bar. Walhasil, ruangan pun terasa luas dan terang karena cahaya matahari bisa masuk secara optimal. Sentuhan modern classic masih tetap terasa melalui penggunaan lemari-lemari berwarna putih di sisi timur ruangan. Dari segi desain, lemari-lemari ini mengusung gaya yang sama dengan furnitur yang ada di kamar.

Namun, dari segi jumlah, peralatan yang ada memang terbatas. Ada 2 mesin treadmill, 2 elliptical trainer, dan 1 stationary bike yang ditempatkan menghadap ke jendela. Ada juga 1 weight-lifting machine di sisi timur ruangan. Barbel-barbel ditempatkan di bawah televisi. Meskipun dari segi ukuran, ruangan gym ini tidak besar, masih ada space yang cukup luas untuk senam atau yoga. Oh, ya! Lemari-lemari di salah satu sisi ruangan juga berfungsi sebagai media penyimpanan perlengkapan seperti handuk, paper cup, dan dispenser air minum. Dengan jumlah alat yang terbatas, tamu mungkin harus menunggu agak lama untuk gantian pakai alat. Namun, untungnya waktu saya berkunjung ke gym dan kolam renang, hanya saya tamu yang datang.

Fasilitas Lain

Selain fasilitas-fasilitas yang saya sebutkan di atas, Four Points Bandung juga punya beberapa pilihan lain, seperti ruang rapat dan ballroom. Dilansir dari situs resmi hotel, ada 11 event room, termasuk satu ballroom dengan luas 360 meter persegi yang bisa mengakomodasi maksimal 400 orang. Nah, ada juga sky lounge yang menempati ruangan di dalam atap mansard bangunan. Saya sempat ke sana sebetulnya, tapi nggak sempat ambil foto-foto karena memang awalnya ke lounge untuk breakfast (dan nggak jadi karena saya akhirnya sarapan di Saffron).

Edelweiss Sky Lounge berada satu lantai di atas lantai PH (penthouse). Untuk mengakses lounge ini, kita harus naik lagi satu tangga khusus. Soal view sih, jangan ditanya. Saya bisa menikmati pemandangan Bandung dengan jelas. Untuk interior (meskipun nggak ada fotonya), warna ungu mendominasi ruangan. Sky lounge-nya sendiri sebetulnya nggak begitu luas, tetapi punya outdoor area buat yang ingin menikmati angin malam. Sayangnya, waktu saya menginap, lounge ini pun tidak beroperasi di luar jam sarapan. Lounge juga hanya dibuka di akhir pekan. Waktu saya coba datang lagi Senin pagi, lounge ditutup dan sarapan digelar di Saffron. Jadi, mohon maaf ya karena saya nggak bisa memberikan dokumentasi yang lebih komprehensif terkait sky lounge ini πŸ˜”

Hal lain yang ingin saya bahas, meskipun nggak ada fotonya, adalah area parkir. Dari segi jumlah, spot parkir yang tersedia bisa dibilang nggak begitu banyak. Terlebih lagi, area parkir hotel juga harus berbagi dengan area parkir untuk para pengunjung Buttercup Boulangerie. Namun, yang saya rasa agakβ€”what’s the wordβ€”khawatirkan adalah ramp ke basemen dan lantai-lantai parkir di bawahnya. Gosh! Ramp-nya sempit banget! Waktu nyetir ke basemen, saya ngerasa was-was karena takut mobil kena dinding pembatas. Pokoknya, hati-hati aja saat mau parkir ke basemen.

Lokasi

Menurut saya, salah satu aspek unggulan Four Points by Sheraton Bandung adalah lokasinya. Berada di kawasan Dago bawah, properti ini memudahkan para pengunjung untuk pergi ke either kawasan Dago atas, or kawasan Balai Kota, Braga, dan Asia Afrika. Pasalnya, posisinya bisa dibilang berada di tengah-tengah. Untuk tamu yang datang dari Jakarta (atau masuk ke Bandung lewat tol Pasteur), cukup lewati Jalan Pasteur dan naik Jembatan Pasupati, kemudian turun di Balubur. Dari situ sih, udah dekat banget ke hotel.

Kehadiran toko swalayan, restoran, dan kafe di sekitar hotel pun jadi sesuatu yang memberikan kemudahan saat saya menginap. Di seberang hotel, bahkan ada ACE dan Informa, just in case mau beli furnitur atau perlengkapan rumah lainnya (he he he). Hotel ini pun berada di jalur angkot. Jadi, gampang banget sih sebetulnya untuk urusan pergi-pergi dan beli-beli. Nah, satu hal lagi yang saya suka adalah di seberang hotel ada Chatime dan Terminale Gelato. Karena saya suka jajan, kehadiran dua gerai itu tentunya memuaskan hasrat ingin jajan saya. Pas lagi bosen kerja di kamar dan ingin ngemil, tinggal nyeberang, beli Chatime dan gelato, terus balik lagi ke hotel.

Dari Stasiun Bandung, Four Points Bandung berjarak sekitar 10-15 menit, tergantung kondisi lalu lintas sebetulnya. Kalau dari Bandara Internasional Husein Sastranegara, jarak tempuh dengan kendaraan bermotor ke hotel bisa mencapai 20-30 menit.

Pelayanan

Segmen ini memuat pendapat saya mengenai pelayanan yang diberikan pihak hotel. Apa yang saya tulis bersifat subjektif dan bukan merupakan informasi umum, dan lebih merupakan pendapat pribadi. Experience yang saya alami bisa jadi berbeda dari apa yang orang lain alami. Tulisan dalam segmen ini tidak ditujukan untuk menjelek-jelekkan atau menurunkan reputasi hotel. Jika informasi yang saya tulis bersifat positif, semoga manajemen hotel bisa tetap menjaga kualitas layanannya. Jika bernada negatif, semoga bisa menjadi bahan perbaikan bagi pihak hotel. 

Selama menginap di Four Points by Sheraton Bandung, saya terkesan dengan pelayanan yang pihak hotel berikan. Proses check-in berjalan lancar dan cepat, padahal saat itu tingkat okupansi sedang tinggi dan para tamu ngantri untuk check-in. No nonsenseβ€”bisa dibilang begitu. Saat tiba di kamar pun, ternyata sudah tersedia buah-buahan segar untuk saya, serta personalized note dari Bu Emi. Terima kasih banyak πŸ™πŸ» Hanya saja, seperti yang saya sebutkan di segmen pertama, ada satu kantung plastik sampah yang tertinggal di dalam kabinet TV. Ke depannya, semoga tim housekeeping bisa melakukan persiapan dan pembersihan yang lebih menyeluruh.

Soal keramahan para staf (terutama yang di restoran karena saya banyak berinteraksi dengan mereka saat sarapan), saya merasa tidak ada masalah. Saat sarapan di Senin pagi, station es krim tidak beroperasi. Namun, saat saya tanya apakah saya bisa dapat es krim sebagai dessert, staf yang bertugas bisa menyediakan semangkuk es krim. Memang bukan rasa yang saya inginkan, tapi saya pikir ini perlu diapresiasi.

Satu hal lagi yang harus saya apresiasi adalah bantuan staf hotel saat saya mengalami masalah dengan kabel charger laptop. Jadi, tiba-tiba kabel charger laptop saya hampir putus dan karet pembungkusnya terkelupas (memang usianya juga udah lama banget sih). Saya coba tanya apakah pihak hotel punya lakban hitam tebal supaya saya bisa menutupi bagian kabel yang terbuka. Nah (saya lupa nggak menanyakan nama staf yang waktu itu datang), staf yang bantu saya bilang bahwa nggak ada lakban hitam, tapi dia bilang akan bantu carikan alternatifnya. Akhirnya, untuk sementara kabel saya ditutupi semacam tape warna merah. Ya, setidaknya kabel saya aman dan bagian dalamnya nggak sampai terekspos deh. Sekarang sih saya sudah beli charger baru. Terima kasih banyak untuk staf Four Points Bandung. Bantuannya sangat saya apresiasi.

Kesimpulan

Beautiful in white. Saya tahu itu judul lagunya Shane Filan, tapi baik dari segi eksterior maupun interior, Four Points Bandung memang tampil cantik dalam balutan warna putih, tentunya ditambah dengan desain modern classic yang diusung. Dari sisi eksterior, bangunan hotel tampil menonjol dengan “bodi” yang menjulang dan atap mansard khas Perancis yang membuat bangunan hotel terlihat majestic dan mewah. Dari sisi interior, desain modern classic yang dipadukan dominasi warna putih membuat kamar terkesan elegan dan luas. Penggunaan lantai marmer di area-area publik hotel pun makin menonjolkan kemewahan hotel. Wajar saja karena hotel ini sejak awal diproyeksikan sebagai hotel butik. Jadi, penampilannya pun harus atraktif dong.

Pilihan fasilitas yang tersedia saya rasa sudah cukup lengkap untuk properti bintang empat. Ada kolam renang, gym, restoran, pool bar, sky lounge, ruang rapat, dan ballroom. Fasilitas yang saya rasa bisa jadi primadona hotel adalah kolam renang dan restorannya. Dengan ukuran yang cukup besar, kolam renang hotel cocok jadi fasilitas kebugaran dan hiburan, terutama untuk keluarga. Hanya saja, kolam anak dan kolam dewasa tidak dipisah dan dibatasi oleh dinding pendek di dalam kolam. Untuk gym, jumlah peralatan yang tersedia memang sangat terbatas sehingga ada kemungkinan saat ramai, tamu-tamu harus menunggu cukup lama untuk gantian pakai alat.

Untuk kamar, interiornya mengusung desain modern classic dan didominasi warna putih. Semua in-room amenities berfungsi dengan baik. Hanya saja, yang saya sesalkan ya kantung plastik sampah yang masih tertinggal di dalam kabinet TV. Pintu geser lemari pakaian pun merangkap sebagai pintu geser kamar mandi. Ini artinya kalau kita pakai kamar mandi dan tutup pintunya, lemarinya jadi terbuka dan isinya bisa terlihat. Selain itu, jam alarm di kamar pun nggak dilengkapi fitur Bluetooth. Namun, selebihnya sih everything is great. Koneksi WiFi punya kecepatan yang cukup tinggi dan bisa diandalkan untuk kerja. Kamar mandi tampil mewah dalam balutan marmer berwarna beige. Pilihan kanal televisi yang tersedia cukup beragam. Ukuran kamar cukup luas dengan pemandangan gunung yang cantik. What else? Ya, saya tahu sih. Jam alarm yang tidak dilengkapi Bluetooth jadi salah satu hal yang disayangkan, at least untuk saya secara pribadi.

four points bandung

Dengan rate dari 890 ribuan per malam (berdasarkan rate paling rendah yang saya dapat di Marriott Bonvoy), saya harus jujur bahwa Four Points Bandung bukanlah akomodasi bintang 4 paling terjangkau di kelasnya, terutama kalau saya bandingkan dengan properti-properti setara dengan rate yang lebih rendah. Namun, dengan fasilitas yang cukup komprehensif, desain interior yang elegan dan Insta-worthy, serta lokasi yang prima, Four Points by Sheraton Bandung bisa jadi pilihan hotel untuk menikmati staycation mewah di Bandung.

Pros & Cons

πŸ‘πŸ» Pros

  • Desain hotel, baik eksterior maupun interior cantik banget dalam balutan warna putih dan gaya modern classic. Bangunan hotel yang megah dengan atap French mansard yang khas jadi keunikan hotel ini.
  • Lokasi hotel prima banget. Di sekitar hotel ada toko swalayan, restoran, kafe, dan bahkan hardware store. Hotel juga berada di jalur angkot (in case mau bepergian pakai angkot).
  • Ukuran kamar tipe terkecil (Classic) sudah cukup luas, terutama dengan dominasi warna putih pada interiornya dan langit-langit yang tinggi.
  • Properti ini punya sky lounge. Cocok buat yang ingin nongkrong malem sambil lihat view Bandung.
  • Secara pribadi, saya terkesan dengan pelayanan yang diberikan pihak hotel, terutama soal bantuan yang diberikan staf terkait kabel charger laptop saya yang terkoyak dan es krim saat sarapan. They went above and beyond at giving the best service.

πŸ‘ŽπŸ» Cons

  • Ramp ke area parkir di basemen sempit banget. Harus hati-hati pokoknya.
  • Jumlah peralatan di gym terbatas. Jadi, kalau sedang ramai, mau nggak mau harus nunggu (mungkin agak lama) untuk gantian.
  • Kolam anak dan kolam dewasa tidak dipisah dan hanya dibatasi oleh dinding pendek di dalam kolam. Anak-anak harus diawasi ketat pokoknya pas berenang.
  • Rate-nya terbilang tinggi untuk properti di kelasnya.

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌😢
Desain: πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜Ά
Lokasi: 🀩🀩🀩🀩🀩
Harga: πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°

Review: Sheraton Bandung Hotel & Towers

Sebetulnya, saya masih agak bingung dengan block editor WordPress yang baru. Karena sudah sangat terbiasa dengan classic editor, rasanya mau ini itu jadi susah. Saya rasa ini juga berpengaruh ke format tulisan-tulisan saya ke depannya. Editor yang baru menggunakan konsep blok. Saya sendiri masih mencoba mendapatkan gambaran mengenai fungsi ini itu dan semacamnya. Beradaptasi dengan perubahan baru memang nggak selalu gampang.

Anyway, saya ingin bahas satu hotel mewah di Bandung yang, setelah bertahun-tahun saya tinggal di kota ini, baru saya inapi bulan Juli kemarin (tahun 2020). Sebetulnya, ada teman saya yang bekerja di hotel tersebut dan dia dari lama sudah minta saya buat datang untuk nge-review (bahkan ngasih breakfast gratis dan kalau udah makan, boleh main piano, katanya). Maap ya, Andre. Saya baru bisa mampir dan nginap bulan Juli kemarin. Akhirnya pecah bisul juga, ya.

Sheraton Bandung Hotel & Towers dengan lagoon-style pool

Sheraton Bandung Hotel & Towers adalah hotel bintang lima yang berlokasi di Jl. Ir. H. Juanda No. 390, Bandung. Kawasan ini sendiri lebih dikenal dengan nama Dago dan kalau weekend, beuh! Jangan ditanya deh padatnya kayak gimana! Hotel mewah di Bandung ini sebetulnya menjadi salah satu hotel yang usianya paling tua. Dilansir dari Travelweekly, hotel yang berada di bawah naungan Marriott Hotels ini sudah beroperasi sejak tahun 1990. Ya, saya belum lahir pada tahun itu. Jadi, usia hotel ini sudah jauh lebih tua dari umur saya. Bandung sendiri punya beberapa hotel yang sudah beroperasi sejak tahun 90an, termasuk Hyatt Regency (sekarang Aryaduta Bandung).

Dari beberapa teman, saya dengar bahwa Sheraton yang dulu bukanlah yang sekarang (udah kayak lagunya si Tegar aja). Dilansir dari DestinAsian Indonesia, Sheraton Bandung mengalami renovasi besar-besaran di tahun 2014. Renovasi ini mengaplikasikan desain Art Deco pada eksterior dan interior bangunan. Nah, kalau saya lihat review atau cerita-cerita dari orang lain soal hotel ini, katanya zaman dulu hotel didominasi oleh elemen-elemen kayu berwarna gelap. Hmm… Saya malah jadi penasaran dengan perawakan hotel pada era sebelum renovasi.

Ada 145 kamar dan 11 suite di hotel mewah ini yang terbagi ke dalam 7 tipe: Deluxe, Executive, Tower Room, Junior Suite, Executive Suite, Tower Suite, dan Presidential Suite. Tipe Deluxe sendiri ada yang punya akses langsung ke kolam renang. Jadi, kalau dihitung sih totalnya sebetulnya ada 8 tipe. Sheraton Bandung Hotel & Towers juga punya fasilitas-fasilitas penunjang seperti gym, kolam renang, restoran, spa, sauna, jogging track, kids’ club, event room, meeting & business equipment, dan lain-lain. Bangunan-bangunan hotel juga dikelilingi oleh taman-taman yang asri dan cantik. Bahkan, ada area outdoor yang cukup luas yang, kata Andre, sering dipakai untuk acara-acara macam nikahan, ulang tahun, dan semacamnya. Saat menginap, rasanya memang seperti sedang di sebuah resor. Dari jendela kamar, kita bisa lihat pemandangan taman atau kolam (tergantung tipe kamar). Untuk beberapa tipe, bahkan ada balkon atau teras sendiri. Cocok lah buat escape in luxury di Bandung.

Waktu berkunjung, saya memesan kamar Deluxe dengan king-size bed. Selama menginap, hampir tidak ada kendala yang dialami dan jujur aja, saya ingin ke sana lagi, terutama saat okupansi hotel sedang agak turun dan suasana jadi jauh lebih tenang. Cocok banget buat kerja dan bersantai! Ulasan lengkapnya saya bahas di segmen berikutnya, ya!

Desain Kamar

Tipe terkecil di Sheraton Bandung adalah tipe Deluxe. Dengan luas 32 meter persegi, tipe ini bisa dibilang “kecil-kecil cabe rawit” karena cukup luas, terlepas dari furnitur-furniturnya yang ukurannya relatif besar. Hanya saja, langit-langit kamar terasa lebih pendek dan pencahayaan yang cenderung redup membuat atmosfer di kamar saat malam hari terasa, what’s the word, mengekang (?). Namun, untungnya efek ini tidak sampai bikin claustrophobic.

Oh, ya! Kamar-kamar yang ada di hotel ini tersebar di beberapa bangunan. Setiap bangunan terhubung lewat jembatan atau koridor. Pada awalnya, saya sempat agak bingung mencari kamar saya saking pusingnya dengan koridor dan tangga yang ada. Namun, ada papan informasi yang membuat saya bisa kembali ke jalan yang benar *insert OST sinetron Hidayah here*. Buat anak-anak, konsep seperti ini mungkin agak memusingkan, walaupun anak-anak yang jiwanya petualang sih kayaknya bakalan seneng buat mengeksplorasi kompleks hotel yang luas ini.

Interior kamar menampilkan desain kontemporer dan didominasi oleh warna krem yang hangat. Pencahayaan pun menggunakan warna-warna hangat yang membangun kesan inviting dan cozy, terutama mengingat kawasan Dago ini jadi salah satu kawasan di Bandung yang terbilang lebih dingin. Lukisan bunga berwarna merah ditempatkan di belakang tempat tidur. Sebetulnya, ada banyak aksen atau motif bunga yang bisa ditemukan di kamar, termasuk di jendela kaca yang memisahkan area shower kamar mandi dengan area utama kamar tidur. Furnitur yang tersedia di kamar mencakup meja kerja, TV counter, kursi kerja, loveseat, dan lemari pakaian. Counter TV sendiri kelihatannya perlu diperbaiki karena pintunya tampak miring. Coffee/tea maker dan kulkas juga tersedia. Bahkan, di kamar pun disediakan Fire Chicken Cheese-nya Samyang (berbayar)! Di dalam lemari pakaian ada electronic safe, ironing board, dan setrika. Untuk fasilitas hiburan, ada TV dengan beragam kanal lokal dan internasional, dan alarm merangkap Bluetooth speaker. Untuk kerja, ada koneksi WiFi yang, anehnya, bisa diakses tanpa password. Hmm… Ini artinya semua orang, termasuk orang di luar hotel, bisa pakai koneksi hotel. Dampaknya, kecepatan koneksi bisa dibilang lebih lambat, meskipun masih bisa dipakai untuk ngecek e-mail atau YouTube-an. Duh, Sheraton Bandung, tolong dong koneksinya dikasih password. He he he.

Kamar saya punya balkon sempit yang menawarkan view taman. Posisi kamar saya yang berdekatan dengan kamar lain (yang kebetulan ada orangnya) membuat saya nggak bisa menikmati balkon ini dengan bebas. Untungnya, di hari terakhir, saya masih sempat membuka lebar pintu menuju balkon dan kerja sambil dimanjakan udara segar dan suara-suara alam. Seandainya saya nginap satu hari lagi, mungkin saya bisa menghabiskan satu sore tiduran di loveseat sambil dengar musik dan dimanjakan angin segar. Oh, ya! Mengikuti protokol kebersihan dan kesehatan, ada beberapa barang yang sengaja tidak disediakan di kamar. Barang-barang seperti bathrobe bisa kita minta dengan menghubungi operator. Saat masuk ke kamar pun, ada dua pak tisu disinfektan yang bisa digunakan untuk mengelap barang-barang seperti telepon, remote TV, sampai HP.

Kamar Mandi

Untuk tipe Deluxe, kamar mandi hanya dilengkapi shower, tanpa bathtub. Namun, shower yang tersedia ada dua jenis: shower tangan dan rainshower. Untuk kalian yang sering baca review saya, sepertinya udah tahu kalau saya suka banget rainshower. Kehadiran shower tangan juga sebetulnya sangat disukai, terutama saat dipakai dengan opsi semburan jet. Cocok banget buat pijat bahu, leher, kepala, lengan, dan kaki.

Shower area di kamar mandi sangat luas dengan bentuk ke arah memanjang. Biasanya, saya menghitung luas shower area dengan Sorry Sorry-nya Super Junior. Kalau saya bisa dance dengan nyaman dan lancar, berarti shower area-nya luas. Please teknik ini jangan ditiru, ya, karena joget-joget di shower area itu berbahaya, terutama pas lantainya basah dan licin. Teknik itu juga jadi salah satu dumb ways to die.

Kelengkapan kamar mandi mencakup kloset dengan water gun (saya lebih suka water gun daripada bidet yang dipasang langsung ke kloset), wastafel, produk mandi, dan hair dryer. Seperti yang saya bilang sebelumnya, kalau perlu bathrobe, kita bisa minta ke operator. Kamar mandi terasa makin lapang dengan penggunaan warna-warna terang dan pencahayaan warna hangat. Cermin berbentuk persegi dengan pola herringbone di keempat sisinya memberikan sentuhan glamor pada interior kamar mandi. Secara keseluruhan, nggak ada yang benar-benar wah di kamar mandi. Namun, dari segi kelengkapan dan suasana, semuanya sudah pas buat saya.

Fasilitas Umum

Lagoon Pool

Soal fasilitas di Sheraton Bandung, saya ingin mulai dari fasilitas yang paling saya suka (walaupun saya nggak gunakan). Berada di bagian tengah kompleks hotel, kolam renang hotel mengusung konsep laguna yang dikelilingi taman-taman cantik, lengkap dengan pulau mini berpohon kamboja. Kolam utama punya ukuran yang cukup luas dan menarik perhatian para tamu, bahkan sejak tamu menginjakkan kaki di lobi. Beberapa tipe kamar punya akses langsung ke kolam.

Di sisi selatan, terdapat kolam kecil untuk anak. Shower bilas tersedia di beberapa titik. Di sisi utara kolam utama, terdapat semacam platform dengan beberapa lounge chair. Kata Andre, dulu sempat ada beberapa cocoon dipasang di area kolam, tapi fitur tersebut tidak lagi tersedia. Kursi-kursi malas yang ditempatkan di sisi timur dilengkapi parasol. Sayangnya, tidak semua kursi dan meja di area kolam dilengkapi payung. Jadi, kalau nggak kebagian kursi dan meja berpayung, siap-siap panas-panasan. Sebetulnya, kursi dan meja di sisi barat diteduhi oleh tanaman-tanaman besar dan bangunan lobi di atasnya. Waktu menginap, saya nggak berenang, tapi saya cukup bersantai di pinggir kolam di sore hari sambil menikmati complimentary Opera cake (thank you, Dre!). Bisa dibilang, lagoon pool ini jadi primadonanya Sheraton Bandung Hotel & Towers. Mungkin di kunjungan berikutnya, saya coba berenang deh.

Feast Restaurant

Untuk bersantap di Sheraton Bandung, para tamu bisa langsung berkunjung ke Feast Restaurant yang berada di lantai satu, atau selantai dengan area kolam renang. Kalau dari lobi, kita bisa mengakses restoran lewat tangga yang katanya sih jadi salah satu spot Instagrammable di hotel. Namun, setelah dikasih tahu si Andre, saya justru tahu spot lain yang jauh lebih Instaworthy.

Dari segi desain interior, secara pribadi saya tidak melihat sesuatu yang spesial di restoran ini. Interior bergaya kontemporer dengan dominasi warna krem dan putih sebetulnya banyak diusung oleh restoran atau hotel lain. Feast punya area yang cukup luas dan terbagi menjadi area indoor dan semi-outdoor. Untuk area semi-outdoor, ada dua teras di restoran ini, dan salah satunya menghadap ke arah kolam renang (tetapi view ke arah kolam terhalangi oleh tanaman-tanaman besar). Di sisi barat restoran, terdapat pintu menuju gym dan spa.

Foto interior saya ambil di malam hari saat restoran kosong. Setiap island ditempati oleh stan berbagai sajian. Menu yang disajikan untuk sarapan cukup variatif, meskipun selama menginap saya pilih menu yang kurang lebih sama. Untuk jus dan infused water, kita bisa datang langsung ke island yang bersangkutan, tetapi kalau ingin teh dan kopi, kita bisa minta langsung ke staf yang bertugas. Mengikuti protokol kesehatan dan keamanan, tamu tidak boleh mengambil sendiri makanan, tetapi diambilkan oleh para staf yang bertugas. Interaksi tamu dan para staf pun dibatasi oleh fiberglass. Setiap tamu juga diimbau untuk tidak duduk berdekatan dengan tamu-tamu lain. Oh, ya! Saat check-in, saya diminta memilih “shift” jam sarapan. Di Sheraton Bandung, jam sarapan dibagi ke dalam tiga shift dan setiap tamu diminta memilih satu shift. Saya sendiri pilih shift paling awal (jam 6 sampai 7.30 pagi) karena kata Winky, resepsionis yang handle check-in saya, shift itu yang paling sepi. Dalam kondisi kayak gini, saya mendingan bangun lebih awal dan sarapan dalam kondisi restoran yang masih sepi. In fact, yang sepikiran sama saya ternyata banyak. Meskipun demikian, shift pagi ini ternyata lebih sepi dibandingkan shift-shift berikutnya. Saran saya sih, kalau hotel yang kalian kunjungi menerapkan sistem shift untuk sarapan, tanya ke resepsionis shift yang paling sepi dan kosong itu apa, dan pilih shift itu. Jangan ambil risiko deh.

Pada hari kedua kunjungan, saya memutuskan untuk makan siang lagi di Feast karena malas kalau harus keluar hotel dan terjebak kemacetan (ya, Bandung udah mulai macet lagi di masa pandemi begini). Untuk makan siang, saya pilih light meal karena masih kenyang dengan cake yang super manis. Saya pesan kentang goreng dan calamari. Untuk minuman, duh, saya lupa namanya apa, tapi dia segar deh pokoknya dan banyak buahnya. Oh, ya! Yang saya suka dari Feast adalah harga yang tertera di menu ini sudah termasuk pajak. Jadi, saya nggak perlu repot-repot hitung pajak dan service charge-nya berapa. Ditambah lagi, dapat diskon dari si Andre. Duh! Memang, ya, tenaga orang dalam ini tenaga yang ampuh (nanti aku traktir makan di tempat lain, Dre!). Si Andre juga memperkenalkan saya dengan salah satu minuman signature di Sheraton Bandung, Bandrek Capuccino. Dari segi rasa, ya, rasanya seperti halnya bandrek pada umumnya, tetapi teksturnya lebih halus dan foam di atasnya memberikan pengalaman minum bandrek yang unik. Oh, ya! Rasa bandreknya pun nggak begitu strong. Jadi, cocok lah buat lidah saya yang lemah ini.

Tower Lounge

Fasilitas berikutnya yang saya suka di Sheraton Bandung Hotel & Towers adalah club lounge-nya. Posisinya masih satu lantai dengan kamar saya. Di awal tulisan, saya mengutip informasi dari sebuah sumber yang menyebutkan bahwa renovasi hotel di tahun 2014 turut menerapkan sentuhan Art Deco pada interior hotel, dan sentuhan tersebut terasa lebih kental di club lounge. Sebelumnya, mohon maaf untuk hasil jepretan kamera di malam hari tampak blur.

Tower Lounge kalau saya bilang sih merupakan salah satu tempat paling elegan dan mewah di Sheraton Bandung. Dari segi interior, saya melihat perpaduan beberapa desain atau aesthetics. Vaulted ceiling setinggi dua lantai dengan beam kayu yang dibiarkan terekspos dan perapian besar yang dibalut batu alam membangun kesan rustic lodge. Sayangnya, waktu saya menginap, club lounge masih belum beroperasi sehingga si perapian juga nggak dinyalakan. Pemilihan panel kayu berpola herringbone memberikan kesan hangat nan mewah. Sebagai aksen, beberapa bagian dinding dipasangi panel dengan motif clamshell khas Art Deco yang memberikan sentuhan elegan. Namun, yang bikin saya betah dan takjub lagi adalah dua chandelier besar bergaya gothic yang langsung mengingatkan saya dengan The Addams Family. I can’t get over them!

Food station berada masing-masing di sisi timur dan barat lounge. Meskipun saya dapat akses ke lounge, untuk sarapan saya tetap ke Feast. Saya ke lounge setelah sarapan untuk ngeteh sambil kerja. Di pagi hari, semua pintu menuju balkon dibuka. Area balkon sendiri menjadi dining area alternatif yang menawarkan pemandangan perbukitan yang asri, terutama di pagi hari. Kata Andre sih, dari balkon pemandangan sunrise-nya bagus banget, but I’m not a morning person so… begitulah. Area balkon juga terkena langsung paparan cahaya matahari. Jadi, kalau makan di sana, lebih cepat juga ngerasa gerah.

Selama menginap, saya sering banget ke lounge buat nyantai dan kerja. Lounge memang belum beroperasi (dan hanya buka pada jam sarapan karena afternoon tea dipindahkan ke lobi), tapi justru itu bikin saya senang karena bisa kerja tanpa gangguan. Di hari kedua dan ketiga, lounge sudah tutup sejak jam 10. Staf yang bertugas tahu kalau saya datang untuk kerja dan ngopi, dan mengizinkan saya stay di lounge selama yang diinginkan (hanya saja, setelah jam 10 sudah nggak bisa pesan makanan dan minuman). Tanpa siapa pun, rasanya kayak satu lounge itu punya saya sendiri. Oh, ya! Tangga di depan lounge juga jadi spot yang Instagrammable.

Gym

Fasilitas yang satu ini letaknya dekat dengan Feast Restaurant. Untuk mengakses gym, kita bisa lewat restoran atau jalan kecil di dekat area drop off. Gym hotel berada satu bangunan dengan venue acara dan spa. Sauna sendiri berada di dalam spa. Sayangnya, saat saya menginap, fasilitas spa belum buka.

Sebagai (bukan) seorang gym rat, bagi saya equipment yang tersedia di gym sudah cukup lengkap (toh saya biasanya cuman pakai treadmill, elliptical trainer, dan stationary bike). Jumlah alat-alatnya pun cukup banyak. Namun, karena mengikuti protokol kesehatan dan keselamatan, beberapa alat dinonaktifkan supaya pengguna bisa saling menjaga jarak. Dari segi teknologi, alat-alat yang tersedia pun nggak tergolong obsolete, meskipun ada beberapa alat yang tombolnya harus mulai diperbaiki, seperti mesin elliptical trainer. Sayangnya, di gym juga tidak ada area atau ruangan khusus untuk yang suka senam, yoga, atau pilates. Kalau mau coba pun, space yang ada sempit sih. Oh, ya! Untuk menggunakan fasilitas ini, saya harus mendaftarkan diri dulu ke resepsionis. Setelah itu, saya akan diantar oleh staf ke gym karena akses ke gym hanya bisa diberikan oleh staf. Lagi musim kayak gini sih, pengamanan harus ketat deh pokoknya dan kita pun nggak boleh bandel.

Lobby Lounge

Fasilitas Sheraton Bandung terakhir yang saya kunjungi dan gunakan adalah lobby lounge. Sebetulnya, area publik yang satu ini sih dikunjungi semua orang. Lha wong resepsionisnya ada di sini. Namun, di lobi juga ada bar yang menyajikan beragam minuman dan makanan. Afternoon tea yang biasanya digelar di Tower Lounge diadakan di lobi.

Bicara soal desain, area lobi tampil mencolok dengan instalasi seni/chandelier berwarna turquoise dengan bentuk memanjang. Sepintas, saya jadi ingat instalasi seni Kinetic Rain di Changi Airport. Bedanya, di sini sih tidak bergerak. Kebayang kalau harus membersihkan setiap gelasnya. Kata Andre sih, pernah ada kaca yang jatuh dan pecah. Saya sih nggak berani membayangkan. Seating area di lobi punya langit-langit yang tidak begitu tinggi, tetapi beratapkan kaca sehingga cahaya matahari bisa masuk. Untuk seating area di sini sendiri, sebetulnya ukurannya cukup luas karena memanjang. Set sofa, kursi, dan meja pun disebar di beberapa titik. Ada pula grand piano berwarna putih yang ditempatkan di stan wedding. Sayangnya, pianonya di kunci πŸ˜•

Dalam dominasi warna putih dan krem (serta beberapa warna earthy di sana sini), kehadiran warna turquoise menjadi elemen atraktif. Adanya warna tersebut membangun kesan tropis yang, bagi saya sih, membangun vibe pantai atau perairan dangkal ala ala Finding Nemo. Warna turquoise juga tercermin dari karpet yang digunakan di seating area. Ditambah lagi, di sisi timur lobi terdapat jendela-jendela yang menghadap langsung ke kolam renang. Bawaannya langsung ingin nyebur.

Lokasi

Berada di kawasan Dago Atas, Sheraton Bandung Hotel & Towers cocok untuk yang ingin menikmati liburan tropis dan sejenak kabur dari ingar bingar Bandung yang makin lama makin bikin keblinger (I do have a love-hate relationship with this city). Dengan posisi yang cukup tinggi, udara di kawasan ini terbilang segar, terutama di pagi hari. Taman-taman yang mempercantik kompleks hotel juga bikin mata segar.

Hotel ini masih berada di jalur yang dilewati angkutan umum. Berdasarkan pengalaman saya, jalan di depan Sheraton Bandung di akhir pekan sih “agak” kosong. Cuman, kalau naik atau turun sedikit, kita bisa melihat kemacetan. Maklum, baik kawasan Dago Atas maupun Dago Bawah ‘kan favoritnya para turis. Ada beberapa restoran, terutama di kawasan Dago Atas yang bisa dikunjungi. Di seberang hotel sendiri ada beberapa minimarket kalau-kalau ingin jajan. Toko swalayan yang lebih besar berjarak sekitar 5-10 menit dari hotel, tergantung moda transportasi yang digunakan. Secara pribadi, saya sendiri jarang main ke kawasan Dago Atas. Bisa dibilang, saya anak downtown.

Dari Stasiun Bandung, hotel ini berjarak kurang lebih 30 menit, tergantung kondisi lalu lintas. Kalau dari Bandara Internasional Husein Sastranegara sih, mungkin jarak tempuhnya sekitar 30-35 menit, lagi-lagi tergantung kondisi lalu lintas. Saya nggak segan-segan mengingatkan. Berhubung Bandung ini kalau udah macet benar-benar mengesalkan, informasi dari saya ini nggak 100% akurat. Kalau jalanan lagi lancar, mungkin bisa lebih cepat sampai ke hotel. Hanya saja, sekali lagi, di akhir pekan kawasan Dago itu biasanya macet, terutama Dago Atas.

Pelayanan

Segmen ini memuat pendapat saya mengenai pelayanan yang diberikan pihak hotel. Apa yang saya tulis bersifat subjektif dan bukan merupakan informasi umum, dan lebih merupakan pendapat pribadi. Experience yang saya alami bisa jadi berbeda dari apa yang orang lain alami. Tulisan dalam segmen ini tidak ditujukan untuk menjelek-jelekkan atau menurunkan reputasi hotel. Jika informasi yang saya tulis bersifat positif, semoga manajemen hotel bisa tetap menjaga kualitas layanannya. Jika bernada negatif, semoga bisa menjadi bahan perbaikan bagi pihak hotel. 

Untuk segmen ini, saya sebetulnya agak takut buat nulis. Bukan kenapa. Saya takut memberikan kesan bias karena punya teman yang menjadi staf di hotel. Namun, segmen ini saya tulis secara jujur dan objektif. Jadi, nggak ada bias, ya.

Dari aspek pelayanan, saya tidak punya keluhan serius. Hmm… Bisa dibilang juga, saya nggak punya hal yang perlu dikeluhkan. Namun, proses check-in berjalan lebih lama dari dugaan. Saya harus nunggu selama sekitar 20 menit (awalnya diminta menunggu 15 menit) karena ternyata kamar saya belum ready. Saya pun nunggu di lobi sambil kerja. Kalau saya nggak ada kerjaan yang harus dibereskan, mungkin saya bakalan ngerasa bete sih. Untungnya, sambil nunggu dan kerja, saya ditawari minuman, dan saya pilih lychee tea. Lamanya proses persiapan ini karena kamar harus dibersihkan secara lebih menyeluruh. Ditambah lagi, tingkat okupansi hotel pada hari saya check-in terbilang ramai. Sebenarnya, kalau bisa dibersihkan lebih awal, akan lebih bagus but who knows? Para tamu mungkin pada late check-out dan para staf hanya punya waktu singkat untuk bersih-bersih. Ya, semoga sih di kunjungan berikutnya, saya nggak perlu menunggu lama lagi.

Beberapa barang (mis. bathrobe) sejak awal tidak disediakan di kamar sebagai tindakan preventif. Untungnya, saya nggak harus menunggu lama saat menelepon minta barang-barang tersebut. Salah satu hal yang bikin saya sering kali kesal adalah barang yang datangnya lama banget. Padahal, yang diminta itu bukan sesuatu yang ribet dan perlu dipersiapkan dalam waktu lama (mis. Q-tips, slippers, atau semacamnya). Para staf segera membawakan barang yang saya minta, dan kecepatan ini layak diapresiasi.

Soal kebersihan kamar, ada satu hal yang menurut saya harus lebih diperhatikan. Waktu saya buka-buka kabinet, ada satu platter buah-buahan yang belum dibuang oleh staf housekeeping. Dari penampilannya sih, buah-buahannya memang nggak busuk dan ditutupi plastic wrap, cuman mungkin ke depannya staf housekeeping harus melakukan pembersihan secara lebih teliti lagi. Di luar itu, kondisi kamar sudah baik dan bersih. Saya juga dikasih dua pak tisu disinfektan untuk membersihkan berbagai surface di kamar.

Keramahan dan perhatian staf jadi hal yang membuat saya senang saat menginap. Di Tower Lounge, saya ketemu dengan Pak Enang (eh, betul nggak ya namanya? Maaf kalau salah). Selama di sana, Pak Enang ini yang “ngasuh” saya. Beliau yang handle pesanan saya dan ngajak ngobrol. Personalized service seperti ini sangat diapresiasi. Bahkan, Pak Enang sendiri yang bilang kalau saya boleh kerja di lounge, meskipun memang lounge tidak beroperasi setelah jam 10 pagi. Again, having the lounge for myself was so great! Oh, ya! Di musim pandemi seperti sekarang, saya juga memperhatikan ketegasan dan kedisiplinan pihak hotel. Saya senang dengan diadakannya sistem shift untuk sarapan karena memungkinkan saya untuk tidak bertemu terlalu banyak orang. Pengecekan suhu juga dilakukan di beberapa titik. Waktu bersantai di pinggir kolam renang, ada beberapa anak-anak yang mau menempati lounge chair di samping saya. Staf yang bertugas di kolam renang dengan tegas langsung menyuruh mereka untuk tidak menempati kursi tersebut supaya bisa menjaga jarak dengan saya (syukurlah sudah diingatkan karena kalau saya yang ngingetin, ada kemungkinan saya justru bakalan ngomel dan galak). Dengan langkah-langkah preventif yang dilakukan pihak hotel, saya merasa lebih lega dan tenang saat menginap. Kalau pihak hotel sudah melakukan langkah-langkah preventif, para tamu pun harusnya bisa, ya. Namun, pada kenyataannya, ya, ada aja tamu hotel yang bandel dan keras kepala. Kalau sudah begitu sih, biasanya saya yang menghindar dan menjauh.

Satu lagi! Saat tiba di kamar, saya dikirimi Opera cake sebagai hadiah selamat datang. Dan nggak tanggung-tanggung, slice-nya besar! Saya bahkan sampai harus bungkus kuenya karena selama menginap dua malam, si kue nggak habis-habis!

Kesimpulan

Sheraton Bandung Hotel & Towers berhasil membawa atmosfer tropis ala resor pinggir pantai ke dataran tinggi. Pada awalnya, saya tidak berekspektasi seperti itu. Namun, setelah datang langsung ke hotel dan melihat lagoon pool-nya, wah! Rasanya memang kayak lagi di resor tepi pantai (minus pantai dan view laut tentunya).

Meskipun usianya jauh lebih tua daripada saya, Sheraton Bandung tetap menawarkan pengalaman menginap yang mengesankan. Renovasi di tahun 2014 benar-benar memberikan wujud baru pada properti milik Marriott ini. Saya sendiri masih belum menemukan foto lama Sheraton Bandung (yang katanya didominasi elemen-elemen kayu berwarna gelap). Jadi, saya masih penasaran. Seandainya bisa lihat fotonya, saya mungkin bisa bandingkan vibe lama dengan vibe barunya. Dengan lokasi di kawasan touristic, nggak aneh kalau hotel ini sering dikunjungi. Dari pusat kota sih, memang nggak begitu dekat. Namun, jaraknya masih bisa ditoleransi dan lokasinya masih dekat dengan “peradaban”, one might say.

Kamar mengusung desain kontemporer, dengan ukuran yang cukup luas dan balkon yang mengarah ke taman atau kolam renang. Terlepas dari usia properti, furnitur yang ada tidak lagi terkesan dated, thanks to the renovation. Fasilitas yang tersedia di kamar cukup lengkap. Hanya saja, koneksi internet hotel tidak ditambahi password sehingga memungkinkan siapa saja, termasuk orang di luar hotel menggunakan koneksi tersebut. Walhasil, kecepatannya pun jadi kena imbasnya. Selain itu, ini juga cukup berisiko karena takut ada orang asing masuk ke jaringan dan justru melakukan tindak kejahatan dalam jaringan.

Fasilitas yang tersedia di Sheraton Bandung cukup lengkap. Saya pikir seandainya ada whirlpool, mungkin kunjungan akan makin lengkap rasanya. Beberapa fasilitas masih belum beroperasi, tetapi gym, restoran, dan kolam renang sudah bisa digunakan (setidaknya pada waktu saya berkunjung). Taman-taman asri yang menghiasi kompleks hotel memberikan efek sejuk di mata. Tanpa harus pergi ke daerah yang lebih jauh dan remote, menginap di sini sudah cukup untuk menyegarkan pikiran dan menikmati suasana yang lebih tenang (unless tingkat okupansi hotel sedang mencapai puncaknya dan suara orang-orang yang nyaring terdengar di sana sini).

Mengacu pada Tripadvisor, rate hotel ini mulai dari 1,2 juta rupiah. Namun, kalau saya cek di Marriott Bonvoy, rate mulai 1,0 jutaan pun bisa dapat (coba rajin-rajin cek kode promo). Saya sendiri waktu itu pakai promo buy one get one dan secara keseluruhan dapat rate 1,6 juta (nett) untuk dua malam, sudah termasuk sarapan. Lumayan, ‘kan? Dengan fasilitas yang lengkap dan mumpuni, serta lingkungan yang asri dan ijo royo-royo, Sheraton Bandung Hotel & Towers cocok jadi pilihan staycation mewah di Bandung dengan suasana yang lebih alami, tanpa harus bepergian jarak jauh.

Pros & Cons

πŸ‘πŸ» Pros

  • Lagoon pool-nya bagus dan cantik banget!
  • Secara pribadi, club lounge-nya adalah salah satu executive lounge paling keren dan mewah di Bandung.
  • Informasi harga yang tertera di menu restoran sudah termasuk pajak dan service charge (sepele, tapi buat saya ini membantu banget karena nggak harus pusing ngitung-ngitung berapanya).
  • Bangunan-bangunan hotel dikelilingi taman-taman cantik. Cocok buat menyegarkan mata.
  • Lingkungan di sekitar hotel relatif tenang. Udaranya pun masih lebih segar, terutama di pagi hari.
  • Dari segi rate, hotel ini menawarkan rate yang relatif lebih terjangkau untuk hotel bintang 5.
  • Fasilitas yang ditawarkan cukup lengkap. Pas lah untuk properti bintang 5.
  • Meskipun di Dago Atas, lokasinya masih terbilang lebih dekat ke pusat kota.

πŸ‘ŽπŸ» Cons

  • Staf housekeeping mohon lebih teliti lagi saat bersih-bersih kamar. Kabinet dan laci tolong dibuka untuk cek apakah ada piring, gelas, atau sampah yang tertinggal atau tidak.
  • Koneksi WiFi tidak punya password, memungkinkan orang di luar hotel untuk memanfaatkan koneksi dan (ngerinya) nge-hack perangkat para tamu/staf hotel.
  • Kalau ada whirlpool atau jacuzzi, sepertinya lebih baik.

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌😢
Desain: πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†βšͺ️
Lokasi: 🀩🀩🀩🀩βšͺ️
Harga: πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°

Review: Art Deco Luxury Hotel & Residence Bandung

Lagi-lagi hiatus. Jujur kadang saya sedih ketika sadar bahwa blog ini mulai terbengkalai. Sebenarnya, mau gimana lagi. Tanggung jawab pekerjaan memang nggak bisa dilepas begitu aja. No pain no gain. Nggak kerja, nggak dapet duit. Padahal, utang review masih banyak sebetulnya. Ada beberapa hotel yang sudah dikunjungi dan tinggal diulas. Hanya waktunya saja sih yang belum ada.

But anyway, saya lagi ada waktu luang setelah beresin kerjaan. Nah, momen ini akan saya manfaatin untuk mengulas hotel yang satu ini. Sebetulnya, saya kunjungi hotel ini udah cukup lama, tapi baru sempat sekarang nih nulis review-nya. Ada cerita unik sebetulnya tentang hotel ini. Jadi, waktu itu saya lagi iseng-iseng cek Agoda. As usual, saya sering iseng cek Agoda, Traveloka, Marriott Bonvoy, IHG, dan situs-situs booking lainnya dengan harapan dapet diskon atau deal asyik. Nah, waktu lagi cek, tiba-tiba hotel ini muncul di list. Yang bikin saya excited adalah diskonnya cukup menarik. Di Agoda sendiri, rate hotel ini cukup tinggi. Karena diskonnya cukup besar dan reservasinya sudah mencakup breakfast, akhirnya saya putuskan buat book hotel ini sekalian review.

Screen Shot 2019-12-04 at 10.57.04 PM
Fasad Art Deco Luxury & Residence Bandung. Foto milik pihak manajemen hotel.

Art Deco Luxury & Residence Bandung berlokasi di Jl. Rancabentang No. 2, Bandung. Dari segi lokasi, hotel ini dekat banget dengan Universitas Katolik Parahyangan. Namun, yang jadi fokus saya sebetulnya bukan jaraknya dari kawasan UNPAR, tapi lingkungannya yang asri dan rimbun. Menurut saya secara pribadi sih Art Deco Luxury ini salah satu hotel di Bandung yang menawarkan view alam terbaik, tapi juga akses yang lebih dekat ke pusat kota. Karena dikelilingi banyak pepohonan, gedungnya yang bergaya modern klasik ini tampak mencolok, apalagi dengan tinggi 9 lantai dan dominasi warna putih.

Ada 65 kamar di hotel ini. Mengusung nama “art deco”, ekspektasi saya sebetulnya cukup besar karena saya ingin tahu seberapa art deco sih hotel ini. Saya sampai ngontak kakak saya yang arsitek buat minta konfirmasi. Sebelum datang, saya hanya lihat kamarnya dari foto-foto di internet dan jujur, saya suka dengan desainnya. Sepintas saya ingat dengan kamar saya di Four Seasons Jakarta dulu. Oh, ya! Semua kamar yang ada terbagi ke dalam empat tipe, yaitu Deluxe, Premier, Corner Suite, dan Jacuzzi Suite. Untuk tipe yang terakhir, ada jacuzzi di balkonnya. Next time mungkin saya coba deh book tipe kamar itu (masalahnya, rate-nya lumayan mahal sih). Untuk fasilitas sendiri, ada gym, restoran, rooftop pool, whirlpool, spa, dan meeting room. Untuk hotel bintang empat, fasilitas segitu sudah terbilang lengkap lah.

Waktu berkunjung, saya pesan kamar tipe Deluxe. Saya dapat kamar dengan twin bed. Sebetulnya, kalau bisa dapat yang king bed sih sepertinya enak buat guling-guling di atas kasur, walaupun saya sebetulnya kalau tidur nggak motah. Untuk ulasan lengkapnya, bisa baca segmen berikutnya, ya!

Desain Kamar

Kalau melihat dari namanya, ekspektasi saya dari Art Deco Luxury & Residence Bandung ini adalah kamar-kamar bergaya art deco. Sebetulnya, ada beberapa elemen interior, tidak hanya kamar tapi juga area publik lainnya yang mencerminkan gaya ini (dan sudah dikonfirmasi sama kakak saya. Xiexie, Bang Michan). Untuk kamar sendiri, dengan luas 28 meter persegi, saya merasa kamar sudah terasa cukup luas. Interior kamar sendiri buat saya lebih ke arah gaya modern classic. Penggunaan panel kayu saja sebetulnya tidak lantas membuat interior kamar bergaya art deco. Namun, headboard tempat tidur punya bentuk yang hampir menyerupai clamshell, dan buat saya sih  headboard berbentuk clamshell cukup art deco. Seandainya motifnya adalah garis-garis vertikal, dan bukan quilted, saya rasa kesan art deco-nya akan makin kentara.

IMG_20190719_153600_BURST1
IMG_20190719_153648
IMG_20190719_153707

Terlepas dari seberapa art deco-nya interior kamar, satu hal yang berani saya bilang adalah suasana kamar terasa elegan. Pemilihan warna gading yang dipadukan beberapa shades cokelat bikin kamar terlihat mewah. Pencahayaan ruangan memang cenderung redup, tapi saya rasa cocok sih kalau niatnya datang untuk istirahat. Saat menginap, saya hampir nggak pergi ke mana-mana lagi (kecuali sekitar jam 9an untuk makan malam, dan balik lagi jam 10). Jujur saya betah sebetulnya di kamar. Apalagi waktu sore-sore saat hari masih cerah. Saya senang nongkrong di balkon buat sebatas ngeteh sambil lihat kebun.

Sayangnya, personal request saya nggak terpenuhi. Saya rasa mungkin karena tingkat okupansi Art Deco Luxury & Residence Bandung pada saat itu lagi tinggi. Saya minta kamar di lantai yang lebih tinggi, tapi malah dapat kamar di lantai 2. Walhasil, pemandangan yang didapat pun kurang tinggi.

IMG_20190719_153748
IMG_20190719_153758

Untuk en suite amenities sendiri, jelas ada TV, WiFi, dan AC. Sebelumnya saya sempat bilang kalau interior kamar lebih ke arah modern classic. Saya punya alasannya. Bisa dilihat sendiri, working desk dan kursinya lebih bergaya kontemporer. Kalau gini, jatuhnya sih seperti modern meets classic, dan saya sendiri fine dengan hal itu. Hanya saja, kalau memang ingin menonjolkan “art deco”, mungkin penggunaan furnitur dengan nuansa art deco yang lebih kental akan jauh lebih bagus.

Di kamar juga ada coffee/tea maker dan electronic safe. Lemari pakaiannya sendiri cukup besar. Di dekat counter teh dan kopi, ada pintu menuju connecting room di sebelah. Nah, yang saya kurang suka adalah pemotongan panel dinding yang “maksa”. Bisa dilihat di foto sebelumnya, alih-alih memasang pintu dengan desain yang memang pintu banget (mis. pintu utama kamar), pintu menuju kamar sebelah terkesan seperti dipaksa dibuat dengan membongkar dinding yang sudah ada. Saat lihat itu, saya langsung ingat salah satu episode serial Mr. Bean. Di episode itu, si Bean mencoba menutup bukaan di dinding dengan menggambar persegi panjang pada salah satu dinding gipsum, menjebol dinding tersebut sesuai gambar, dan memasangkan si potongan persegi panjang itu ke bukaan dinding pertama.

IMG_20190719_154140
IMG_20190719_154204

Sebelumnya, saya sempat bilang bahwa interior kamar ini mengingatkan saya dengan interior kamar saya waktu menginap di Four Seasons Jakarta. Salah satu aspek pengingat yang paling menonjol adalah mural di dinding belakang tempat tidur. Di Art Deco Luxury & Residence Bandung, mural yang ada tampil dengan warna yang lebih kontras dari latar belakang. Meskipun demikian, muralnya masih berdesain floral dengan burung dan kupu-kupu. Saya juga suka dengan adanya sconce kristal di kedua sisi tempat tidur. Kehadiran sconce ini menambah kemewahan interior kamar.

Oh, ya! Saya lupa cerita lebih banyak tentang balkonnya. Saya udah bilang kalau saya menempati kamar di lantai 2. Ya, dari segi ketinggian sih masih belum cukup tinggi buat melihat pemandangan yang lebih luas. Apalagi, tepat di bawah kamar saya ada unit-unit punya residents. Nah, kalau saya perhatikan, unit-unit itu dilengkapi kolam renang kecil. Sayangnya, sebagian besar kolam renang di unit-unit itu pada nggak keurus dan dibiarin kotor. Saya sengaja nggak foto karena memang kelihatannya kurang rapi. Untuk view sendiri, saya langsung dapat view kebun. Cukup menyegarkan mata, terutama di pagi hari. Waktu bangun, hal yang pertama saya lakukan adalah buka tirai dan pintu, lalu ke balkon buat bersantai. Udara kawasan Ciumbuleuit ini masih segar banget. Dingin, tapi menyegarkan.

IMG_20190719_154059
IMG_20190719_154042
IMG_20190719_154051

Kamar Mandi

Desain kamar mandi sendiri senada dengan desain kamar. Lagi-lagi, ada satu sudut kamar mandi yang mengingatkan saya dengan kamar mandi di Four Seasons Jakarta. Di dinding belakang kloset, terpasang lukisan kecil. Kalau penasaran, bisa coba lihat di review saya sebelumnya. Nggak 100% identik, tapi mirip.

IMG_20190719_153921
IMG_20190719_153836
IMG_20190719_153853

Bentuk kamar mandinya memanjang, dengan sisi lebar yang menurut saya sih kecil. Posisi “default” tempat sampah terlalu dekat dengan kloset. Jadi, kalau mau buang air, saya harus geser dulu tempat sampahnya supaya nggak sempit. Meskipun demikian, saya suka dengan penggunaan marble wall berwarna beige yang bikin interior kamar mandi terasa mewah dan elegan. Bathroom sink-nya pun besar dengan bentuk oval.

IMG_20190719_153908
IMG_20190719_153938

Bathroom amenities-nya mencakup produk mandi, hairdryer (ada di dalam laci), dan handuk. Nggak ada vanity mirror di sini. Nah, karena ukuran kamar mandinya juga yang serba terbatas, shower area-nya bisa agak kecil. Ada fixed shower dan shower tangan di sini, dan saya lebih suka pakai shower tangannya karena bisa diatur ke semburan jet. Lumayan buat pijat bahu dan leher yang pegal. Untuk bath product sendiri, Art Deco Luxury & Residence Bandung menghadirkan produk-produk lini White River Falls dari Waterl’Eau, perusahaan asal Belgia yang sudah berkecimpung di dunia produk mandi sejak tahun 1992.

Nah, saya sempat research singkat tentang lini ini. Dilansir dari situs resminya, produk-produk dari lini White River Falls ini mengandung witch hazel sebagai bahan utamanya. Witch hazel sendiri bermanfaat menghaluskan kulit dan mencegah peradangan. Tanaman ini juga bisa membasmi jerawat, dan saya sendiri pakai toner wajah yang bahan utamanya witch hazel karena kulit saya cenderung berminyak dan gampang jerawatan. Dari segi aroma, saya suka karena nggak menyengat (kecuali body lotion-nya karena aromanya lebih intens). Sepintas aromanya mengingatkan saya sama sampo bayi Johnsons. Kalau mau mencoba mandi mewah, produk-produk ini bisa jadi andalan.

Fasilitas Umum

Restoran

Art Deco Luxury & Residence Bandung punya satu restoran di lantai rooftop. Sebenarnya, ini satu-satunya dining venue di hotel ini. Begitu keluar dari lift, saya disambut dengan satu dinding dengan mural bertema oriental dan dua buah kursi tangan bergaya Chinoiserie sebagai focal point. Untuk restorannya sendiri sebetulnya cukup besar. Ada area indoor dan outdoor. Area indoor-nya masih mengusung desain interior yang sejalan dengan interior kamar. Dan lagi-lagi, buat saya sih masih kurang art deco (kalau mengambil definisi art deco era Roaring Twenties).

IMG_20190719_170752
IMG_20190719_154903

Interior restoran tampil elegan dalam dominasi warna putih dan furnitur bergaya modern klasik dalam balutan warna krem dan emas. Ada sofa beludru berwarna royal blue sebagai colour pop di area indoor restoran. Pencahayaan didukung oleh beberapa chandelier dan sconce yang mirip dengan sconce di kamar atau koridor hotel. Penggunaan cermin di dinding membangun kesan lapang di dalam ruangan. Restoran juga terasa lapang karena banyak jendela besar yang menghadap ke arah luar. Di siang hari, jendela-jendela ini membantu banyak cahaya untuk masuk ke ruangan. Jadi, bisa mengurangi penggunaan lampu dan menghemat listrik. Di salah satu sudut restoran, ada lemari penyimpanan wine. Sabi lah kalau mau selebrasi.

IMG_20190719_155102
IMG_20190719_155009

Waktu sarapan, saya sengaja pilih tempat di area outdoor. Area ini sendiri punya kelebihdan dan kekurangan. Kelebihannya ya view yang didapatkan dan paparan udara segar yang lebih besar. Kekurangannya adalah saat angin lagi kenceng, siap-siap deh kedinginan dan tisu berterbangan. Karena bangun agak telat, saya sarapan sekitar jam setengah sepuluh. Dengan kondisi cuaca yang mendung dan angin yang kencang, lagi sarapan tuh rasanya kedinginan. Tadinya, saya mau makan di area indoor, tapi berhubung okupansi lagi ramai dan terlalu banyak orang, yang sepi dan lebih nyaman buat makan ya area outdoor ini. Tapi serius deh, view dari area ini tuh cantik banget!

IMG_20190719_155230
IMG_20190719_154955
IMG_20190719_154938
IMG_20190719_154848

Untuk menu sarapan sendiri sih, dibilang basic banget nggak. Bisa dibilang standar hotel bintang empat kali ya. Ada cake, sajian penutup mulut, salad, dan semacamnya. Waktu itu saya hampir kehabisan makanan karena bangunnya telat. Saya sarapan dengan hashbrown potato, sosis, dan tipikal makanan sarapan. Ada kopi dan teh juga tentunya. Overall sih saya nggak kecewa dengan menu sarapannya. Everything was okay.

IMG_20190720_103501
IMG_20190720_103448

Kolam Renang

Fasilitas yang satu ini sebetulnya jadi fasilitas yang pengen saya coba waktu menginap di Art Deco Luxury & Residence Bandung. Namun, karena kolam renangnya selalu ramai sama tamu, terutama anak-anak, niat berenang pun urung. Malas aja rasanya kalau berenang keganggu banyak tamu. Kan nggak enak ketika lagi mau renang satu lap, eh kehalangin anak kecil. Ditambah lagi cuaca sedang mendung. Intinya sih mager.

Terlepas dari kondisinya, kolam renang di hotel ini bisa jadi salah satu yang terbaik di Bandung, terutama dari segi view. Posisinya di rooftop berarti kolam ini punya view yang cantik. Ukurannya memanjang dan bisa dibilang cukup luas. Untuk kedalaman, seingat saya sih 1,4 meter. Cukup lah buat menyelam.

IMG_20190720_103532
IMG_20190719_154545
IMG_20190720_103842

Di sisi utara kolam renang, ada whirlpool yang ternyata laku di kalangan anak-anak. Bahkan, ban renang bentuk flamingo pun sampai dibawa ke whirlpool yang sebetulnya kedalamannya cetek. Ya, mungkin karena airnya yang hangat, anak-anak lebih betah berendem di sana daripada nyebur ke kolam renang. Duh, padahal saya tuh ingin banget berendam di sana. Ada juga beberapa gazebo dan recliners buat bersantai. Dari segi desain, area ini sebetulnya cantik sih, terutama kalau lagi sepi. Mungkin lain kali saya coba deh berendam di whirlpool itu dan semoga aja nggak ramai sama anak-anak.

Gym

Di sisi utara kolam renang, ada gym yang cukup luas. Dengan posisi di ujung bangunan, gym ini menawarkan pengalaman olahraga yang menyegarkan. View dari jendelanya keren banget dan bikin mata adem! Bisa dibilang, salah satu keunggulan Art Deco Luxury & Residence Bandung ini view yang ditawarkan, baik dari kamar maupun fasilitas hotel.

IMG_20190719_154654
IMG_20190719_154647
IMG_20190719_154704

Meskipun ruangannya luas, peralatan di gym ini bisa terbilang terbatas. Dari segi jenis peralatan sih memang variatif, tapi jumlahnya sedikit. Satu jenis alat hanya ada satu unit. Misalnya, di sini hanya ada satu treadmill dan satu stationary bike. Kalau ada beberapa tamu yang mau pakai treadmill, mau nggak mau harus gantian. Unit-unitnya sendiri cukup modern, bukan tipikal mesin obsolete. No objection sih buat gym di sini. Asyik banget rasanya lari di atas treadmill sambil ngeliat view kota Bandung.

Lokasi

Ngomongin faktor lokasi, ada nilai plus dan minus buat Art Deco Luxury & Residence Bandung. Sebetulnya sih, bukan soal plus minus, tapi lebih ke arah tujuan kunjungannya. Berdiri megah di kawasan Ciumbuleuit, hotel ini menawarkan view hutan dan perbukitan yang cantik banget. Udara di sini masih segar dan suhu udaranya masih sejuk. Pagi-pagi buka pintu balkon tuh rasanya asyik banget. Malahan, bisa meditasi kayaknya di balkon.

Selain itu, lokasinya yang tersembunyi membuat properti ini pas banget buat kalian yang ingin cari ketenangan saat berlibur. Hotel ini masih dikelilingi hutan dan pohon-pohon pinus. Ingar bingar dari Jalan Ciumbuleuit pun nggak kedengaran. Di kamar saya, misalnya, saat buka pintu ke balkon, yang saya dengar itu justru suara alam. Ada sih kedengaran suara orang ngobrol, tapi ternyata itu para staf yang lagi kerja di kebun. Sayup-sayup suara kendaraan masih terdengar, tapi nggak begitu mengganggu. Intinya sih cocok buat yang jengah sama hiruk pikuk pusat kota. Mungkin karena saya dapat kamar yang menghadap ke timur, dan bukan ke barat. Kamar-kamar di sisi barat sendiri punya jendela yang menghadap ke jalan kecil di samping hotel dan, bisa ditebak, jalan itu jadi jalur lalu lintas daerah situ.

Di sisi lain, posisinya yang remote bikin saya agak susah ke mana-mana. Sebetulnya, ada sih kayak tempat makan mahasiswa di sekitar UNPAR, tapi untuk ke sana pun kalau jalan kaki sih kurang convenient. At least, harus pakai motor biar cepat sampai. Untuk yang nggak biasa main ke daerah Ciumbuleuit, hotel ini mungkin agak susah dicari. Aksesnya bisa lewat belokan yang nggak jauh dari UNPAR sebetulnya, tapi saya justru akses hotel ini lewat atas. Kalau ingin cari properti yang punya akses lebih cepat ke pusat kota atau daerah rame-rame, sepertinya pikir-pikir lagi sebelum pilih hotel ini.

Art Deco Luxury & Residence Bandung berjarak kurang lebih 30-45 menit dari Stasiun Bandung. Jarak tempuhnya juga kurang lebih sama untuk Bandara Internasional Husein Sastranegara. Sebetulnya, tergantung kondisi lalu lintas sih. Ditambah lagi, Pertigaan Gandok itu terkenal dengan macetnya. Siap-siap aja pokoknya, tapi perjuangan mencapai hotel ini terbayar dengan sejuknya udara perbukitan dan view yang memanjakan mata.

Kesimpulan

Jewel of the forest. Coba bayangin di tengah-tengah kawasan berbukit dan banyak pepohonannya, ada bangunan hotel bergaya modern klasik yang menjulang tinggi. Art Deco Luxury & Residence Bandung menawarkan kemewahan dalam liburan di tengah suasana yang masih alami. Hotel bintang empat di Bandung ini berhasil bikin saya merasa nyaman dengan suasananya. Memang saya agak sedikit kecewa kalau bicara soal desain yang menurut saya masih kurang “art deco” but overall, saya apresiasi apa yang ditawarkan oleh hotel ini. Interior kamar terasa mewah dan elegan, terutama dengan penggunaan panel berwarna putih dan mural di dinding, termasuk sconce kristal yang cantik. Adanya balkon di unit juga jadi nilai tambah tersendiri. Waking up to the sound of nature and soft hill breeze is such a bliss.

IMG_20190719_170946
IMG_20190719_171105

Beberapa aspek di kamar memang terlihat aneh, tapi nggak sampai mengurangi kenyamanan beristirahat (pemasangan connecting door-nya itu loh). Produk mandi yang ditawarkan juga memuaskan karena bukan sebatas produk mandi standar. Hotel ini mengingatkan saya dengan Four Seasons Jakarta, tetapi dengan rate yang jauh lebih terjangkau dan jarak yang lebih dekat ke rumah saya. Fasilitas yang tersedia juga cukup lengkap. Restoran, gym, kolam renang, hot tub… Buat saya sih segitu sudah cukup.

Dengan rate mulai dari 662 ribu rupiah (berdasarkan TripAdvisor, tapi saya sendiri perhatikan di Agoda dan Traveloka, rata-rata rate jatuh di kisaran 800-900 ribuan). hotel ini terbilang reasonable untuk kemewahan dan fasilitas yang ditawarkan, meskipun memang lebih mahal kalau dibandingkan properti-properti lain di kelasnya. Ditambah lagi lingkungan sekitar hotel yang masih alami dan udara yang masih sejuk. Saya rasa properti ini cocok buat kalian yang ingin menjauh sejenak dari ingar bingar perkotaan.

Pros & Cons

Pros πŸ‘πŸ»

  • Desain interior kamar terasa elegan dan mewah. Semua kamar punya balkon, dan ini jadi daya tarik tersendiri, terutama untuk kamar-kamar di sisi timur dengan view perbukitan dan kota yang lebih cantik.
  • Rooftop pool-nya mantap abis! Ada juga whirlpool buat ngangetin badan kalau kedinginan habis berenang.
  • Gym-nya punya view yang bagus. Lari di atas treadmill sambil liat view perbukitan ‘kan menyegarkan, ya.
  • Lingkungan sekitar hotel masih cukup asri dan dikelilingi banyak pohon pinus. Cocok buat yang ingin nyari ketenangan.
  • Bath product-nya punya aroma yang unik, dan bukan tipikal bath product standar.
  • Ada beberapa unit yang punya private jacuzzi.

Cons πŸ‘ŽπŸ»

  • Mengusung nama art deco, interior kamar buat saya secara pribadi masih kurang art deco. Mungkin karena saya mengacu ke art deco dari era Roaring Twenties. Jatuhnya, interior lebih terlihat bergaya modern klasik.
  • Kamar mandi untuk tipe Deluxe bisa dibilang kecil dan sempit.
  • Lokasinya tersembunyi, cocok buat yang ingin cari ketenangan, tapi agak repot buat yang ingin akses cepat ke tempat-tempat makan atau daerah perkotaan.
  • Di kelasnya, properti ini punya rate yang relatif lebih tinggi.

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌βšͺ️
Desain: πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜Ά
Lokasi: 🀩🀩🀩😢βšͺ️
Harga: πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°