Tag Archives: hotel mewah

Review: JW Marriott Jakarta

Kawasan Mega Kuningan Jakarta, selain terkenal sebagai distrik bisnis juga ternyata gudangnya properti-properti mewah. Sejujurnya, salah satu goal saya untuk urusan review hotel adalah meninggalkan β€œjejak” di properti-properti yang ada di kawasan Mega Kuningan dan Jalan Dr. Satrio. Sebelumnya, saya sudah merasakan serunya menginap dan berenang di Ritz-Carlton Mega Kuningan dan asyiknya liburan Natal dengan teman dan kakak di Ascott Sudirman. Nah, di Desember 2020 kemarin (haduh lama banget ya ini jedanya, setahun lebih), saya menginap di salah satu properti milik Marriott Hotels, yang juga tetanggaan deket sama Ritz-Carlton. Pokoknya sih, dari jendela kamar saya di Ritz-Carlton dulu, bangunan hotel ini keliatan jelas banget. Maklum bangunannya badag!

review jw marriott jakarta

JW Marriott Jakarta adalah hotel bintang lima yang berlokasi di Jalan DR. Ide Anak Agung Gde Agung Kav. E.1.2 No 1&2, Kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Hotel ini bisa dibilang salah satu properti mewah Marriott yang pertama di Jakarta. Menurut CVENT, properti ini dibangun dan dibuka sejak tahun 2001. Ini artinya umurnya sudah 21 tahun di tahun 2022. Yang jelas sih, dari waktu saya SD hotel ini sudah ada. Bangunannya yang besar dan terbilang β€œmelebar” (saya ngeliatnya seperti blazer cewek kalau dipasangi shoulder pad) jadi ciri khas properti ini. 

Bicara soal JW Marriott Jakarta, rasanya ingatan saya nggak lepas dari insiden di tahun 2003 dan 2009 akibat teroris. Pasalnya, hotel ini dua kali menjadi sasaran terorisme yang memakan banyak korban. Di tahun 2009, tetangganya, Ritz-Carlton pun malah ikut jadi sasaran pembomban dan walhasil, Manchester United pun gagal main di Jakarta. Sumpah gedeg banget saya dengarnya. Namun, saya sangat senang dan bangga karena JW Marriott Jakarta bisa kembali bangkit dan beroperasi hingga sekarang, dan jadi salah satu properti bintang lima yang populer di ibukota.

Menurut situs resminya, ada 317 kamar yang tersedia di hotel ini. Dari 317 kamar tersebut, 285 unit merupakan tipe kamar biasa, sementara 32 unit lainnya merupakan suite room. Pada dasarnya, ada enam tipe kamar di JW Marriott Jakarta: Deluxe Room (King atau Double), Executive Room, Governor Suite, Diplomat Suite, JW Marriott Suite, dan Presidential Suite. Luas kamar di hotel ini sendiri mulai dari 42 meter persegi untuk tipe terkecil. Tipe paling besar, Presidential Suite, hadir dengan luas 210 meter persegi. Untuk fasilitas, ada restoran, bar, gym, kolam renang, spa, ballroom, meeting room, hingga coffee shop. Oh! Ada juga outdoor kids’ corner yang, kalau saya nggak salah ingat, hanya digelar pas weekend. Ya, digelar karena waktu saya menginap selama tiga hari dua malam, di hari kedua itu si kids’ corner ini belum ada. And oh! Di JW Marriott Jakarta juga ada taman di dekat area kolam renang, serta musala. Ini sih dugaan saya ya. Karena hotel ini lokasinya di kawasan bisnis dan memang waktu saya menginap pun, banyak diadakan acara seperti rapat dan seminar, adanya musala sebagai fasilitas standalone (bukan satu boardroom yang dipakai sebagai musala) jadi hal yang perlu diapresiasi. Dan ukuran musalanya pun cukup luas, dengan segregasi area untuk pria dan wanita.

Waktu menginap, saya memesan kamar tipe Executive. Tipe ini pada dasarnya adalah tipe Deluxe, tapi dilengkapi akses ke executive lounge di lantai 29. Secara keseluruhan, pengalaman menginap saya bisa dibilang positif. Ada kendala yang saya temukan saat menginap, tetapi langkah yang diambil oleh pihak hotel sangat saya apresiasi. Dan juga, pihak hotel kasih saya pralines, cokelat, makaron, dan kue dua hari berturut-turut! Senangnya saya! Lengkapnya, review JW Marriott Jakarta dari saya ada di segmen berikutnya, ya!

Desain Kamar

Berdiri sejak tahun 2001, kalau saya lihat dari luar nih, eksterior hotel tampaknya nggak β€œkolot”. Dari segi desain, JW Marriott Jakarta masih bisa β€œmejeng kece” bersama gedung-gedung pencakar langit di kawasan Mega Kuningan. Namun, begitu masuk ke dalam hotel, dari area lobi saja saya bisa merasakan aura β€œlawas” pada interiornya. Well, nggak lawas as in lagu tahun 70-80an, tapi dari interiornya saya tahu pasti bahwa hotel ini bukanlah hotel baru. Interiornya mewah, tapi mewah khas tahun 90an akhir atau 2000an awal. 

Tipe Executive sendiri punya luas 42 meter persegi, seperti tipe Deluxe. Furniturnya tampak dated, tapi bukan sesuatu yang problematik. Sekali lagi, hotel ini dibangun di tahun 2001 dan tampaknya kalau pun ada renovasi, perubahan yang diterapkan tidak begitu drastis. Menempatkan diri di suasana tahun 2000an awal, saya bisa melihat bahwa desain interior yang diusung cukup mencerminkan kemewahan pada era tersebut. Desain kontemporer dengan sedikit bumbu Art-Deco dan minimalism tercermin dari interior kamar. Yang saya suka lagi adalah palet warna yang digunakan. Rona cokelat yang terang dan ke arah pasir seperti rose beige dan bisque (beberapa warna punya sentuhan oranye) diterapkan pada furnitur-furnitur. Dipadukan dengan pencahayaan yang cukup, suasana kamar jadi terasa hangat dan cozy di malam hari. Secara pribadi, inilah suasana yang saya suka. 

Penggunaan warna yang terang dan hangat memberikan kesan yang lebih luas juga pada kamar. Pasalnya, furnitur-furnitur yang ada saya rasa ukurannya cukup bulky (terutama si oversized armchair). Ditambah lagi jendela besar yang menghadap ke jalan, kamar jadi terasa lapang. Saya awalnya minta kamar yang jendelanya menghadap ke arah utara karena ingin lihat lebih banyak gedung-gedung, tapi view kawasan Mega Kuningan pun ternyata nggak begitu membosankan. Beberapa lukisan berbingkai emas dipasang di dinding untuk mempercantik ruangan. 

Kalau biasanya kita bisa menemukan lemari pakaian di vestibule atau hallway, di kamar lemari justru ada di area utama kamar, tepatnya di sisi kiri tempat tidur. Mungkin alasan penempatannya seperti adalah untuk mengisi kekosongan pada dinding supaya dinding nggak terkesan bare. Namun, entah kenapa karena saya terbiasa dengan closet atau lemari pakaian yang adanya di vestibule, ada perasaan belum terbiasa. Di dalam lemari pakaian, ada mini-fridge, setrika, ironing board, dan brankas. Soal gantungan sih, jangan ditanya. Ruang yang ada cukup besar. Oh, ya! Ada satu hal yang saya baru sadari waktu lihat-lihat dokumentasi. Lampu meja yang ada di sisi kiri dan kanan tempat tidur nggak sama! Justru, lampu yang saya rasa seharusnya berpasangan dengan lampu di sisi kiri tempat tidur malah ditempatkan di atas meja kerja. Ini kenapa bisa begini (hahaha). Selain itu, di atas nightstand juga masih ada panel kendali untuk menyalakan atau mematikan lampu dan mengaktifkan indikator β€œdon’t disturb” atau β€œclean the room”—teknologi peninggalan modernitas di tahun 90an akhir dan 2000an awal. 

review jw marriott jakarta
Control panel-nya masih berfungsi lho!

Yang saya suka lagi adalah di bagian bawah jendela, ada semacam apa ya, platform? Intinya sih kalau mau duduk-duduk di samping jendela, dek atau platformnya itu cukup besar sehingga nyaman. Dibilang window seat juga sebetulnya bukan sih, tapi pas hari kedua, saya sempat malas-malasan di kamar sambil ngemil dan lihat pemandangan di luar, dan itu sambil duduk di samping jendela. Buat menggalau sih cocok lah, terutama ketika hujan. 

Kamar Mandi

Interior kamar mandi unit Executive di JW Marriott Jakarta sebetulnya masih mengusung desain yang selaras dengan interior utama kamar. Namun, warna-warna earthy yang lebih cerah dan hangat dipadukan dengan penggunaan marmer berwarna hitam pada wastafel, bingkai cermin, dan border lantai sehingga memberikan kesan elegan khas hotel mewah di tahun 90an akhir dan 2000an awal. Lagi-lagi saya harus menggunakan referensi tersebut karena, well, ya memang begitu. Dari segi desain, kamar mandi ini mengingatkan saya dengan desain kamar mandi di Aryaduta Bandung.

Ukuran kamar mandi cukup luas. Ditambah pencahayaan yang mumpuni dan cermin-cermin besar di salah satu sisi panjang dan lebar bathtub, kesan lapang mun makin tercipta. Shower dan bathtub dipasang terpisah, meskipun bersebelahan dan dibatasi oleh dinding kaca. Area shower sendiri cukup luas, meskipun tanpa rainfall head dan shower tangan. Katup air panas dan air dingin pun terpisah dari keran yang mengatur debit keluaran air. Kloset ada di samping wastafel dan dipisahkan dengan half wall yang membangun semacam privasi, meskipun buat saya jatuhnya β€œsudut merenung” ini jadi sedikit klaustrofobik. Sedikit, ya. Produk-produk mandi dan perawatan kulit yang tersedia datang dari lini Mandarin Tea, seperti produk yang saya temukan di Intercontinental Dago Pakar Bandung. Oh! Saya juga baru tahu informasi soal lini Mandarin Tea ini. Iseng-iseng saya googling dan menurut informasi dari PinterPoin, produk-produk Mandarin Tea ini diproduksi di Sidoarjo. Ini didukung oleh informasi dari Cek BPOM yang menunjukkan bahwa amenities dari lini Mandarin Tea diproduksi oleh Budi Jaya Amenities yang bermarkas di Sidoarjo. Oalah baru tahu saya! Wanginya enak πŸ₯°

Bathroom amenities dan perlengkapan seperti hairdryer, razor, sisir, sikat gigi, dan lain-lain tersedia di kamar mandi. Selain itu, saya juga suka bathtub di kamar mandi ini karena dimensinya yang panjang, dan bahkan bisa dibilang lebih panjang dari ekspektasi. Soal maintenance, saya rasa ini perlu ditingkatkan oleh pihak hotel. Lantai di area shower sudah mulai menunjukkan tanda-tanda β€œpenuaan” dan bekas kesiram air panas. Terlihat dari tampilan lantai yang mulai pudar dan menguning. Keran shower juga sempat rusak dan saya rasa cukup parah. Pasalnya, katup air panas dan air dinginnya rusak sehingga air yang keluar, meskipun saya udah putar katup full ke air dingin, tetap air panas, and it was freaking hot I could burn myself if I kept using the shower. Untuk menikmati air dengan suhu yang pas (hangat atau dingin), mau nggak mau saya harus mandi di bathtub. Agak merepotkan. Saya laporkan kendala tersebut ke pihak hotel dan meskipun awalnya saya kira saya harus nunggu cukup lama, ternyata reparasinya memakan waktu yang cukup singkat. Patut diapresiasi.

Fasilitas Hotel

Sailendra Restaurant

Reservasi saya di JW Marriott Jakarta sudah mencakup breakfast dan akses ke executive lounge di lantai 29. Namun untuk sarapan, saya beserta Kak Ami dan Pak Suneo lebih memilih makan di Sailendra Restaurant karena pilihan menunya lebih variatif. Pas Natal tahun 2019 sendiri, saya dan Pak Suneo sempat makan di sini dan buffet-nya memang ajib sih. Restoran ini berada di lantai lobi. Kalau begitu masuk ke hotel, restoran ini ada di sayap kiri bangunan.

Area restoran ini sangat luas dan punya beberapa section. Waktu sarapan, saya pilih tempat duduk yang lebih dekat ke station, biar gampang ngambil ini itu. Sailendra Restaurant hadir dengan desain interior kontemporer yang saya rasa lebih modern kalau dibandingkan dengan desain kamar dan lobi utama. Langit-langitnya yang tinggi bikin restoran ini makin terkesan megah dan lapang, dan ada area semi-basement (nggak bisa dibilang basemen juga sih) yang menurut saya jauh lebih luas, dengan langit-langit yang lebih tinggi (ya karena dia ketinggiannya lebih rendah dibandingkan area penerimaan restoran) dan jendela-jendela besar yang menghadap ke luar hotel. Rasanya seperti berkunjung ke restoran di kapal pesiar. 

Banyaknya station bisa dibilang berbanding lurus dengan pilihan menu yang disediakan. Saya sempat sarapan dengan udon karena bisa dibilang saya nggak pernah makan udon untuk sarapan. Menu-menu sarapan lain khas hotel seperti baked beans dan kawan-kawannya sudah jelas tersedia. Pilihan bakery yang disajikan pun variatif. Untuk teh, kopi, atau bahkan air tawar, nanti akan dibawakan oleh staf yang bertugas (termasuk ketika kita mau nambah, bisa minta tolong ke staf yang ada). 

Besarnya area restoran sangat bisa dipahami. Pasalnya, untung mengakomodasi tamu-tamu yang stay di seluruh 317 kamar di JW Marriott Jakarta, tentunya dibutuhkan ruang yang lebih besar. Ada beberapa area yang lebih privat dan dibatasi oleh panel-panel kaca. Di ruangan atau area privat ini juga dipajang botol-botol wine, mungkin untuk wine tasting ya. Oh! Berhubung saya menginap menjelang Natal, dekorasi-dekorasi khas Natal terlihat di area restoran. Ada juga semacam pohon Natal yang terbuat dari roti-roti jahe. Pas ngeliatnya, bawaannya gatel ingin nyomot satu. 

Executive Lounge

Seperti yang saya bilang sebelumnya, tipe Executive di JW Marriott Jakarta sebetulnya sama dengan tipe Deluxe, tapi sudah dilengkapi akses ke executive lounge yang ada di lantai 29. Dengan akses ke lounge ini, saya juga bisa menikmati sajian sarapan, high tea, dan evening cocktails. Saya awalnya nggak baca apa saja culinary offering dari lounge ini, dan sekitar jam satu siang, pergi ke lounge sama Kak Ami dengan ekspektasi makan siang di sana. Ternyata, nggak ada lunch di lounge dan karena kadung ke sana (dan malu juga kalau ngilang begitu aja), kami pun β€œterpaksa” pesan teh sambil ngobrol barang 15 menitan sebelum akhirnya makan siang di Lotte Shopping Avenue.

Executive lounge di properti ini bisa dibilang nggak begitu besar. Ukurannya mungkin hampir sebelas dua belas dengan executive lounge di Grand Hyatt Jakarta, meskipun dari segi bentuk atau dimensi sih, lounge di JW Marriott Jakarta terasa lebih luas dan lapang. Suasana elegan dan Christmas-y terasa dari interior lounge. Palet warna yang diterapkan ke interior kamar ikut diaplikasikan ke interior lounge. Namun, beberapa furnitur dan carpeting di lounge menggunakan warna yang lebih gelap. Bahkan, karpetnya sendiri berwarna merah Santa. Accidentally Christmas, I guess?

Sebuah koridor menuju toilet dan ruangan-ruangan employee-only membagi dua lounge menjadi dua area. Sisi selatan menawarkan view kawasan Mega Kuningan, sementara sisi utara menawarkan view Jalan Dr. Satrio dan gedung-gedung tinggi di kawasan Sudirman, dan menurut saya area ini jauh lebih seru sih kalau untuk lihat pemandangan sambil makan malam. Namun, station-station berada di sisi selatan lounge. Keputusan saya, Kak Ami, dan Pak Suneo untuk breakfast di Sailendra Restaurant tampaknya sudah sangat tepat. Pasalnya, station yang ada hanya dua, satu untuk makanan dan satu untuk minuman. Jadi, variasi menu yang dihadirkan pun jauh lebih terbatas.

Soal menu, buat saya sih decent. Culinary offering dari lounge memang dari segi variasi ya terbatas, tapi dari segi rasa sih enak-enak aja. Pilihan kue dan pastry-nya pun ya fine-fine aja. Minuman beralkohol bisa dinikmati pada jam evening cocktail, dan itu free flow. Sparkling wine cukup lah buat saya. Dan, oh! Saya suka banget sama kue cokelat dan chocolate mousse mereka! Saya nggak tahu dan nggak nanya nama kuenya apa, tapi itu kue cokelat dan enak banget. Chocolate mousee-nya jauh lebih enak! Di malam terakhir, saya nongkrong agak lama di lounge setelah makan malam buat baca buku. Ditemani beberapa gelas chocolate mousse, kue cokelat, dan sparkling wine, betah tuh saya sampai nggak kerasa beberapa bab terlewati. Saya sampai minta ke staf tolong dibawakan lagi mousse beberapa kali saking enaknya.

Ada satu hal lagi yang jadi catatan saya. Menurut saya, para staf di executive lounge memberikan pelayanan yang kurang personalized. Padahal, ekspektasi saya adalah saya bisa mendapatkan personalized service sesuai kebutuhan atau kondisi saya. Namun, jatuhnya saya amati semua tamu yang datang ke lounge mendapatkan pelayanan yang disamaratakan. Mungkin karena waktu itu lounge juga sedang ramai, tapi tetap saja ini jadi hal yang saya sayangkan sih.Β 

Blu Martini Bar & Lounge dan Asuka

Saat nulis review JW Marriott Jakarta ini, sejujurnya saya ngerasa ada yang kurang. Pasalnya, seperti halnya di beberapa review sebelumnya, saya nggak selalu menikmati fasilitas hotel secara maksimal. Untuk dining venue, misalnya, saya kadang hanya datang, foto-foto, dan beres, tanpa mencoba makanan atau minuman yang ditawarkan. But anyway, saya bertiga (dengan Kak Ami dan Pak Suneo) sempat lihat-lihat ke Blu Martini dan Asuka. Keduanya juga berada di lantai lobi. Namun untuk ke Blu Martini, harus turun dulu tangga. Bisa dibilang lokasinya Blu Martini ini di semi-basement

Lounge ini menurut saya cukup besar dan luas. Saya nggak masuk lebih dalam karena ternyata di area ujung, sedang ada acara. Jadi, batas saya hanyalah long bar dan area bilyar. Area mixology dipercantik oleh empat pilar yang dipasangi panel motif dan lampu neon yang berubah warna di dalamnya. Sebagai background, dipasang display raksasa berisi botol-botol liquor. Area mixology dan meja bar utamajuga jadi focal point di lounge ini. Saat lampu mulai masuk ke siklus warna ungu, pink, dan biru muda, saya langsung teringat sesuatu: Hotel del Luna! Bar di Hotel del Luna punya desain yang, meskipun nggak mirip, menggunakan palet warna yang sama untuk pencahayaannya. Jadi, ya, otomatis pikiran ini langsung teringat ke adegan Jang Man-wol dan Kim Shi-ik yang berantem di bar gegara urusan cocktail yang nggak enak. Blu Martini Bar & Lounge di JW Marriott Jakarta juga punya pool table buat yang suka main bilyar. 

Selepas dari Blu Martini, kami mampir ke Asuka karena ternyata si Pak Suneo sudah ke sana duluan buat ngobrol sama staf di sana dan beli Purin. Di Asuka, kami berkesempatan bertemu dengan Bu Yuli yang memberikan saya tur singkat (terima kasih banyak, Bu Yuli karena sudah mengizinkan saya ambil foto-foto Asuka). Sesuai namanya, sajian yang ditawarkan Asuka adalah hidangan Jepang. Di Asuka, kita juga bisa menikmati pengalaman omakase dining. Untuk yang belum tahu, omakase merupakan semacam konsep restoran atau sistem pemesanan makanan di mana kita mempersilakan chef untuk menentukan sendiri mau buat apa. Kasarnya sih, terserah lo deh. Dilansir dari situs resmi hotel, bahan-bahan bogabahari yang digunakan diimpor dari pasar ikan Toyoshu di Jepang. 

Soal interior, shades cokelat ala Sutei (istilah saya aja itu) digunakan untuk membangun suasana yang hangat dalam desain Jepang kontemporer. Area restoran cukup besar, meskipun saya nggak masuk-masuk sampai ke ujung karena terlalu asyik ngobrol dengan Bu Yuli dan Chef Nishiura Osamu. Yap betul! Kami berkesempatan bertemu dengan executive chef di Asuka, Chef Nishiura, and it was an honour for us (meskipun bahasa Jepang saya sangat sangat terbatas). Di area utama restoran, ada bar yang jadi spot seru untuk menikmati live cooking.Β 

Asuka juga punya beberapa ruang tatami yang lebih privat. Ruangan-ruangan ini cocok untuk ngumpul bareng keluarga atau mengadakan acara kecil seperti pesta ulang tahun atau semacamnya. Ada juga sudut-suduAsuka juga punya beberapa ruang tatami yang lebih privat. Ruangan-ruangan ini cocok untuk ngumpul bareng keluarga atau mengadakan acara kecil seperti pesta ulang tahun atau semacamnya. Ada juga sudut-sudut non-tatami (meja kursi biasa) yang terasa lebih privat karena tertutup atau tersegregasi dari area-area lain oleh panel-panel bergaya kontemporer. Di situs web hotel, ada beberapa offer yang ditawarkan, dan salah satunya adalah paket weekend okawari brunch yang diadakan setiap Sabtu dan Minggu dari jam 11.30 siang hingga jam 2.30 sore. Kalau saya ada kesempatan ke Jakarta, saya ingin coba ini.

Saya hampir lupa! Asuka juga menawarkan Purin, custard pudding khas Jepang. Saya lupa harganya berapa karena yang beli si Pak Suneo. Namun, dia beli dua varian. Teksturnya lembut dan manisnya nggak sampai bikin pusing! Kalau ingin pesan atau cari tahu lebih lanjut, bisa main ke Instagram-nya Asuka di sini.

Gym, Kolam Renang, dan Taman

JW Marriott Jakarta punya gym dan kolam renang sebagai fasilitas kebugaran utama. Ada juga spa dan area spa mencakup ruang ganti, kamar mandi/bilas, whirlpool, dan sauna. Sayangnya, sauna dan whirlpool belum bisa beroperasi karena pandemi. Namun, saya masih bisa menggunakan gym dan kolam renang untuk olahraga. Untuk gym sendiri, areanya cukup luas dan besar menurut saya. Peralatan yang tersedia pun variatif dan banyak. Oh, ya! Waktu saya menginap, saya harus reservasi slot dulu sebelum bisa pakai gym dan kolam renang. Seingat saya, slot waktu yang dikasih adalah satu jam. Kalau memang gym atau kolam renang sedang kosong dan kita masih mau olahraga, kita boleh lanjut. Cuman kalau sedang ramai, kita harus gantian dulu dengan orang lain yang ingin pakai slot waktu berikutnya. Banyaknya alat untuk setiap jenis peralatan membuat saya nggak perlu nunggu karena harus gantian dengan tamu lain. I had a good 20-minute exercise at the gym. Sebentar sih sebetulnya, tapi saya setelah lari di treadmill ingin berenang dan rencananya, besok paginya mau joging keliling Mega Kuningan (tapi nggak terlaksana because I’m not a morning person to be honest). Di gym juga ada staf yang bertugas jika sewaktu-waktu kita perlu bantuan atau ingin titip barang.

Kolam renang di hotel ini merupakan kolam outdoor dan punya bentuk yang menurut saya sih aneh. Posisinya yang mojok dan benar-benar mengikuti bentuk atau perimeter bangunan bikin bentuk kolam ini jadi, ya, itu, aneh kalau menurut saya. Di salah satu sisi kolam, terdapat barisan patung-patung itik (atau merpati ya?) yang dari mulutnya keluar air. Kolam dewasa memiliki kedalaman 1,2 meter. Kolam anak sendiri kedalamannya saya nggak ingat, tapi yang jelas nggak ada pemisah permanen antara kolam anak dan kolam dewasa. Jadi, buat yang bawa anak-anaknya berenang, tolong diawasi baik-baik, ya. Air kolam juga nggak dihangatkan. Saat cuaca panas, saya rasa menyegarkan sih untuk berenang di sini. Namun, karena saya berenang pas hari benar-benar gelap dan mau hujan, cuaca Jakarta jadi lebih dingin dan saya nggak kuat berenang lama-lama. Apalagi, waktu itu tamu yang berenang juga cukup banyak. I just didn’t like being around too many people

Di sekitar kolam, ada beberapa recliner dan kursi untuk para tamu. Namun, nggak ada parasol untuk meneduhi area duduk tersebut. Nggak jauh dari kolam renang, ada taman dan gazebo yang kelihatannya jadi rebutan para tamu yang ingin tempat teduh buat duduk atau bersantai. Taman tersebut nggak begitu besar, tapi well-maintained dan punya semacam jogging track, meskipun pendek. Saya bertiga sempat main ke taman tersebut sambil lihat-lihat, dan dari ujung taman, saya bisa lihat view area Mega Kuningan. Dari area kolam sendiri, kalau saya lihat ke arah atas, pemandangan yang terlihat bagus. Saya dikelilingi oleh bangunan-bangunan tinggi. By the way, pardon my finger di foto gazebo.

Fasilitas Lain

Sebetulnya, masih ada beberapa fasilitas lain seperti ballroom, meeting room, dan bahkan Chinese restaurant (Pearl) di hotel ini. Namun, karena nggak semua fasilitas saya kunjungi atau gunakan, saya nggak cantumkan di review JW Marriott Jakarta ini. Oh, ya! Untuk Pearl, restoran ini berada satu lantai di atas lantai lobi dan bisa diakses lewat lift atau grand staircase yang ada di dekat Sailendra Restaurant. 

Hanya saja, dua fasilitas lain yang saya sempat lihat langsung adalah musala dan kids’ corner. Musala di hotel ini berada satu lantai dengan area kolam renang dan gym. Ukurannya cukup luas. Area pria dan wanita juga dipisah. Mengingat hotel ini berada di kawasan bisnis dan sering menjadi tempat diadakan seminar atau pertemuan besar, adanya musala jadi fasilitas penunjang yang sangat berguna, terutama untuk para Muslim karena ini artinya penyelenggara acara nggak perlu mempersiapkan ruangan untuk disulap jadi musala dadakan. 

Di akhir pekan, di area kolam suka digelar kids’ corner. Saya berkesempatan lihat-lihat dan β€œnyebur” ke ball pit-nya. Mainan yang disediakan cukup beragam, dari kuda-kudaan, ball pit, sampai rumah-rumahan. Buat yang menginap bersama anak-anak, fasilitas yang satu ini bisa dicoba. Apalagi, kids’ corner ini juga dibuka di dekat kolam renang. Jadi, sebelum atau sesudah berenang, bisa main dulu di sini. 

Lokasi

Bicara soal lokasi, JW Marriott Jakarta berada di kawasan yang menurut saya strategis dari beberapa perspektif. Kalau dilihat dari sudut pandang pebisnis, misalnya, hotel ini berlokasi di kawasan bisnis dan perkantoran. Ke area perkantoran di Jalan Rasuna Said, deket. Ke kawasan SCBD, lumayan lah. Ke perkantoran di Jalan Sudirman, ya, lumayan juga sih. Intinya sih kalau menurut saya, nggak begitu repot untuk bepergian dari sini. Jalan Rasuna Said juga jadi salah satu β€œgudang”-nya embassy beberapa negara. Jadi, nggak heran ketika banyak tamu-tamu asing yang menginap di hotel ini.

Untuk jarak ke mal, sebetulnya mal terdekat dari hotel adalah Lotte Shopping Avenue dan Bellagio Boutique Mall. Jaraknya cukup dekat, cuman buat sebagian orang mungkin jaraknya terbilang jarak nanggung. Kalau jalan kaki, mungkin agak jauh. Kalau pakai taksi, mungkin terlalu dekat. Saya sendiri waktu menginap di sana dan makan siang ke Lotte, memang pakai Grab sih. Ya, kalau mau sekalian olahraga sih bisa jalan kaki aja. Nggak hanya Lotte Shopping Avenue, beberapa mal di Jalan Dr. Satrio seperti Kuningan City, Mal Ambassador, dan ITC Kuningan bisa jadi opsi alternatif. Nggak repot sih kalau untuk urusan belanja dan makan di luar hotel, menurut saya. Bahkan, pihak hotel pun menawarkan shuttle ke beberapa lokasi. Sayangnya waktu saya menginap, layanan ini lagi nggak aktif. 

Dari Stasiun Gambir, hotel ini berjarak kurang lebih 20 menit, tergantung kondisi lalu lintas (berdasarkan perkiraan saya sendiri ini). Saya sendiri waktu menginap, nggak ke Jakarta menggunakan kereta api. Jadi, saya nggak hitung atau amati jarak dari Stasiun Gambir ke hotel. Namun, kalau dipikir-pikir atau dipertimbangkan, jaraknya kurang lebih segitu sih. Stasiun MRT terdekat dari hotel adalah Stasiun MRT Bendungan Hilir. LRT Jakarta di Rasuna Said masih dalam pembangunan, tapi kalau sudah jadi, stasiun LRT terdekat dari hotel adalah stasiun yang ada di depan Pasar Festival atau Agro Plaza. 

Pelayanan

Segmen ini memuat pendapat saya mengenai pelayanan yang diberikan pihak hotel. Apa yang saya tulis bersifat subjektif dan bukan merupakan informasi umum, dan lebih merupakan pendapat pribadi. Experience yang saya alami bisa jadi berbeda dari apa yang orang lain alami. Tulisan dalam segmen ini tidak ditujukan untuk menjelek-jelekkan atau menurunkan reputasi hotel. Jika informasi yang saya tulis bersifat positif, semoga manajemen hotel bisa tetap menjaga kualitas layanannya. Jika bernada negatif, semoga bisa menjadi bahan perbaikan bagi pihak hotel. 

Review JW Marriott Jakarta yang saya tulis tentunya nggak lengkap tanpa testimoni saya mengenai kualitas pelayanan yang diberikan oleh pihak hotel. Selama menginap selama dua malam, buat saya sih secara keseluruhan kualitas pelayanan yang diberikan oleh hotel sudah bagus. Ada beberapa hal yang pada awalnya bikin saya kaget dan agak kesal, tetapi baik pihak hotel dan saya bisa sama-sama cari solusi yang tepat. 

Di sore hari pertama, saya, Kak Ami, dan Pak Suneo memutuskan untuk keliling-keliling hotel dan ambil foto beberapa fasilitas hotel. Saat keliling-keliling di area lobi, kami seperti diikuti oleh staf keamanan hotel. Bahkan waktu kami ke Blu Martini pun, staf di sana sempat tanya-tanya tujuan kami ke bawah itu untuk apa. Setelah saya jelaskan (dan saya juga bilang bahwa saya menginap), akhirnya kami diizinkan foto-foto area bar dan lihat-lihat. Saat itu, staf keamanan hotel masih mengawasi kami dari jauh. Pak Suneo yang ngerasa risi akhirnya ngomong ke pihak resepsionis. Setelah ngobrol, kami (terutama saya) jadi paham kenapa kami seperti diikuti atau diawasi ketat. Insiden terorisme yang terjadi dua kali di hotel bikin pihak hotel harus jauh lebih ketat dalam menjaga properti dan mengawasi siapa pun yang datang ke hotel, termasuk kami. Namun, staf resepsionis menginformasikan ke beberapa pihak di hotel bahwa kami mungkin akan datang dan lihat-lihat untuk foto-foto. Setelah itu, kami bisa lihat-lihat dan ambil dokumentasi untuk review ini dengan santai dan nyaman. 

review jw marriott jakarta

Waktu tiba di kamar, saya senang dan terharu saat mendapatkan sambutan hangat dari pihak hotel. Di kamar saya, sudah tersedia makaron dan kue, dan di jendela kamar saya pun digambari doodle selamat datang. Senang sekali rasanya saat tahu bahwa pihak hotel sejak awal sudah berusaha membuat saya merasa welcomed dan nyaman di JW Marriott Jakarta. Kebetulan saya pun menginap dua malam di sana. Kenyamanan tentunya jadi faktor yang penting karena kalau saya nggak nyaman dari awal, kemungkinan stay saya ke sananya nggak akan terasa enjoyable.

Ada kendala yang saya alami saat menginap. Di pagi hari kedua, saya nggak bisa pakai shower kamar mandi karena katup air panas air dinginnya rusak. Walhasil, air yang keluar hanya air panas dan itu benar-benar panas. Kalau mau pakai air dingin atau hangat, harus mandi di bathtub, tapi itu sangat nggak praktis menurut saya. Akhirnya, saya pun minta tolong teknisi untuk memperbaiki shower di kamar mandi saya. Ternyata, prosesnya nggak begitu lama dan sekitar jam 12 siang, saya udah bisa pakai shower lagi dengan air bersuhu sejuk. Pas saya kembali ke kamar (setelah makan siang di luar hotel), kamar saya sudah rapi dan di atas meja sudah ada kue dan ucapan terima kasih. Waktu saya telepon, katanya sih itu ucapan terima kasih karena saya suka upload foto-foto properti ke Instagram Story. Apa pun itu, saya apresiasi ucapan terima kasih dari pihak hotel (dan saya habisin kuenya he he he). 

Overall, soal kualitas pelayanan sih saya nggak ada keluhan. Memang kalau boleh jujur, saat saya berada di lounge dan restoran, tidak ada pelayanan yang super spesial atau gimana. Bisa dibilang ya sama rata lah dengan para tamu lain. Namun, pelayanan yang diberikan juga nggak buruk atau messy. Saat check-in dan check-out pun, prosesnya berjalan cukup lancar dan para staf yang bertugas cukup helpful. No objection.Β 

Kesimpulan

Kunjungan saya ke JW Marriott Jakarta melengkapi goal saya untuk menginap di dua properti Marriott di Mega Kuningan. Bagi saya, Ritz-Carlton dan JW Marriott ini seperti duo Miriam Forcible dan April Spink dari film Coraline atau The Barry Sisters, duo penyanyi Amerika Serikat keturunan Yahudi yang terkenal di tahun 1940an hingga 1970an. Karena usianya lebih tua daripada Ritz-Carlton, saya bisa melihat tanda-tanda usia tersebut, terutama dari interior hotel. Soal interior, gaya yang diusung adalah gaya kontemporer dengan palet warna earthy. Kalau dibandingkan dengan properti-properti di kelasnya, dari segi interior sih memang dated, tapi saya secara pribadi nggak keberatan.Β 

review jw marriott jakarta

Dengan luas 42 meter persegi, kamar tetap terasa luas dan lapang, terutama dengan langit-langit yang tinggi dan jendela besar, meskipun beberapa furnitur terkesan oversized dan β€œbadag”. Ditambah lagi, palet warna yang cerah dan pencahayaan yang cukup membuat atmosfer ruangan terasa hangat dan nyaman, terutama di malam hari. Di bawah jendela pun, terdapat semacam dudukan yang membuat saya bisa menikmati pemandangan Jakarta di malam hari sambil ngemil atau ngeteh.Β Kamar mandi di kamar saya pun cukup besar, dan yang saya suka dengan bathtub-nya yang panjang. Meskipun sempat ada kendala dengan shower, masalah bisa terselesaikan dengan baik dan kamar mandi tetap bisa digunakan.Β 

Soal fasilitas, JW Marriott Jakarta menawarkan beragam pilihan, dari fasilitas MICE, kebugaran, sampai hiburan. Ada tiga restoran, satu bar, dan satu coffee/tea shop di hotel ini. Kalau menginap di beberapa tipe kamar, kita juga bisa dapat akses ke executive lounge yang menyajikan sarapan, high tea, dan evening cocktail. Menu sarapan yang disajikan di Sailendra Restaurant menurut saya sangat variatif, dan setiap harinya berganti-ganti. Pilihan menu yang disajikan di executive lounge memang terbatas, tetapi kalau prioritasnya adalah eksklusifitas, makan dan minum di lounge memang pilihan yang pas. Apalagi, pemandangan dari lounge juga bagus. Yang saya agak sayangkan, lounge tidak menggelar lunch. Namun, selain itu sih soal makan minum, saya hepi-hepi aja.Β 

Dari semua fasilitas kebugaran yang tersedia, saya hanya pakai gym dan kolam renang. Sayangnya, sauna dan whirlpool belum beroperasi. Padahal, saya membayangkan enaknya berendam di whirlpool setelah selesai berenang dan nge-gym. Namun, berendam di bathtub juga bisa membayar keinginan tersebut. Posisi dan bentuk kolam renang yang menurut saya β€œaneh” sebetulnya urusannya soal preferensi saya. 

Waktu menginap, saya book lewat aplikasi Marriott Bonvoy dan dapat rate yang cukup terjangkau untuk dua malam, yaitu 2,2 juta rupiah. Ini karena saya dapat special rate ulang tahun JW Marriott Jakarta yang hanya valid kalau saya menginap selama dua malam di weekday. Apalagi, saya juga dapat kamar tipe Executive yang dilengkapi sarapan dan akses ke executive lounge. Asyik nggak tuh? Terakhir saya cek, harga-harga properti-properti Marriott, terutama yang bintang lima di Jakarta jadi pada naik cukup signifikan. Hotel ini menyentuh angka dua jutaan terakhir kali saya cek (sekitar beberapa hari yang lalu dari tanggal upload tulisan ini). Dulu sih, rate untuk properti ini sempat ada di kisaran 1,3 atau 1,5 jutaan. Mungkin karena sekarang orang-orang sudah bisa liburan lagi kali ya? Entahlah. 

Untuk kalian yang cari properti yang lebih baru dengan desain interior yang lebih modern, hotel ini memang menawarkan opsi yang agak dated, meskipun dari aspek teknologi sih, teknologi-teknologi baru sudah tersedia. Namun, hotel ini menghadirkan kamar-kamar yang luas, dengan fasilitas komprehensif, kualitas pelayanan yang baik, pengalaman bersantap yang berkesan, dan lokasi yang sangat strategis.Β 

Pros & Cons

πŸ‘πŸ» Pros

  • Ukuran kamar cukup luas, dengan langit-langit yang tinggi dan jendela besar.
  • Bathtub di kamar mandi lebih panjang dari ekspektasi.
  • Lokasi strategis, dekat ke mana-mana, terutama kawasan perkantoran.
  • Menu breakfast sangat variatif.
  • As expected from a five-star hotel, fasilitas yang ditawarkan properti komprehensif, termasuk musala (ini saya nggak sangka-sangka sih sebetulnya, walaupun mungkin properti-properti lain juga banyak yang menyediakan musala, tapi saya nggak tahu).
  • Gym hotel cukup besar dengan banyak equipment.
  • Ini personal preference, tapi saya suka dengan desain interior barnya.

πŸ‘ŽπŸ» Cons

  • Bagi sebagian orang, desain interior kamar mungkin terkesan dated, tapi saya secara pribadi nggak masalah sih. Saya pernah bilang sebelumnya kalau hotel-hotel mewah di tahun 90an itu punya charm-nya tersendiri.
  • Pilihan menu di executive lounge jauh lebih terbatas (tapi entah kenapa, menurut saya terlalu terbatas jatuhnya meskipun saya suka dessert-nya).
  • Bentuk dan posisi kolam renangnya agak aneh buat saya.
  • Sempat ada kendala dengan shower. Menurut saya, ini perlu jadi catatan buat pihak hotel agar maintenance kamar lebih ditingkatkan.
  • Pelayanan di executive lounge terasa kurang personalized.

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌😢
Desain: πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜Άβšͺ️
Lokasi: 🀩🀩🀩🀩βšͺ️
Harga: πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°

Review: Crowne Plaza Bandung

Sebagai urang Bandung, saya sering mengamati perkembangan yang terjadi di kota saya, terutama di kawasan pusat kota dan area-area yang sering didatangi atau dilewati. Hotel baru, restoran baru, kafe baru, dan semacamnya. Flashback ke beberapa tahun silam, di Jalan Lembong ada bangunan pencakar langit yang sedang dibangun. Saya dapat informasi dari satu utas di Skyscrapercity kalau bangunan tersebut awalnya akan jadi Plaza Panasia, dan pembangunannya sudah dimulai dari tahun 1997. Dari strukturnya, bangunan ini kelihatan megah dan, terutama sebelum bangunan-bangunan tinggi mulai dibangun di sekitarnya, bangunan itu jadi hal yang menonjol. Namun, konstruksinya terhenti dan bangunan pun sempat mangkrak lama. Bisa dibilang lama banget soalnya sampai saya SMP, SMA, dan kuliah semester awal, nggak ada perubahan signifikan. Sempat jalan lagi, tapi berhenti lagi. Saya nggak tahu alasannya apa, sementara di sekitarnya udah mulai banyak bangunan pencakar langit lain. Dan akhirnya, konstruksi pun berjalan lagi dan saya mulai bisa lihat mau jadi seperti apa bangunan tersebut. Sekarang, bangunan ini berfungsi sebagai hotel bintang 5 di Bandung yang bulan Agustus kemarin sempat saya kunjungi.

review crowne plaza bandung

Crowne Plaza Bandung adalah hotel bintang 5 yang berlokasi di Jalan Lembong nomor 19, Bandung. Hotel ini (at least sampai saat tulisan ini terbit, ya) merupakan satu dari 3 properti IHG yang ada di Kota Kembang. Buat nyari hotel ini nggak susah karena bangunannya yang tinggi (23 lantai) bikin hotel ini gampang dikenali. Ditambah lagi, fasadnya megah dan ada satu bagian bangunan yang berbentuk melingkar. Ikonik. Saya takjub karena dari bangunan yang sempat mangkrak bertahun-tahun, akhirnya jadi hotel mewah yangβ€”wellβ€”stylish.

Menurut informasi dari Tripadvisor, hotel mewah di Bandung ini punya 270 kamar. Dari situs resmi hotel, saya lihat ada 9 tipe kamar yang tersedia di Crowne Plaza Bandung. Soal fasilitas pun, hotel ini menawarkan pilihan yang beragam dan mumpuni. Ada gym, restoran, sky lounge, poolside bar, kolam renang, kids’ corner, spa, ruang rapat, dan ballroom. Sayangnya, waktu saya menginap, saya nggak bisa mencoba sebagian besar fasilitas hotel karena berdasarkan peraturan kota yang berlaku, beberapa fasilitas masih belum bisa dibuka. Sebetulnya, fasilitas seperti kolam renang bisa digunakan sih, tetapi di akhir pekan saja. Duh! Padahal saya pengen banget coba berenang dan nyantai di outdoor whirpool-nya. Gym, kids’ corner, dan sky lounge juga masih tutup waktu saya menginap, tapi saya sempat ambil dokumentasi buat fasilitas-fasilitas itu.

Salah satu hal yang saya suka dari hotel ini adalah lokasinya. Bukan hanya sekadar karena berada di pusat kota (dan bisa lihat lampu-lampu kalau malam), tapi juga karena jaraknya yang dekat ke mana-mana. Kawasan Jalan Braga, salah satu ikon Bandung bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama 5 menit aja dari hotel. Oh, ya! Waktu berkunjung, saya menempati kamar tipe Deluxe dengan 2 single bed. Awalnya, saya rencana nginap dengan kakak saya, tapi karena satu dan lain hal, dia nggak bisa datang. Walhasil, si kasur yang satu lagi pun kosong dan saya langsung taruh koper dan laptop di atasnya supaya kasurnya nggak kosong melompong. Sempat ada insiden kecil waktu saya menginap, tapi saya apresiasi bantuan dan langkah dari pihak hotel. Saya pun dipindahkan ke kamar lain, tapi jadi ke kamar tipe King Junior Suite (terima kasih banyak, Crowne Plaza Hotel dan Pak Julius selaku GM hotel!). Ulasan lengkapnya di segmen berikutnya, ya!

Desain Kamar

Deluxe 2 Single Bed

Saya menginap selama 3 hari dua malam di hotel mewah di Bandung ini. Untuk malam pertama (eh? sama siapa?), saya menempati kamar tipe Deluxe dengan 2 single bed. Dengan luas 34 meter persegi, kamar ini terasa cukup luas meskipun ada dua tempat tidur. Nah, sebetulnya ada satu hal yang bikin saya bingung. Kalau saya buka aplikasi IHG di ponsel dan ngecek harga, untuk tipe kamar yang sama, beda arrangement tempat tidur, beda juga harganya. Ini berlaku untuk beberapa properti, ya, dan nggak hanya properti-properti di Bandung. Kamar dengan 2 single bed ditawarkan dengan harga yang lebih murah daripada kamar dengan 1 king bed (bedanya bisa sekitar 50-100 ribuan). Saya sempat tanya alasan perbedaan harga tersebut, dan jawabannya adalah “Karena lebih luas, Pak.” Padahal, bicara soal layout ruangan, mau 1 king bed atau 2 single bed, kamarnya tetap unya luas yang sama sebetulnya. Pada akhirnya, soal lebih luas atau sempit, itu karena ada satu furnitur tambahan, ‘kan?

Back to the review.

Bicara soal desain, semua kamar di Crowne Plaza Bandung punya interior bergaya kontemporer yang cukup stylish. Desain ini mengingatkan saya dengan saudaranya yang ada di Jakarta, Holiday Inn & Suites Gajah Mada. Palet warna earthy menjadi pilihan untuk interior kamar dan saya suka dengan accent wall berpola geometrik di belakang tempat tidur. Saya malah ingat satu area di Queen Elizabeth Walk di Singapura karena pola segi empatnya yang berundak. Area ini bahkan jadi salah satu setting di film Crazy Rich Asians (2018). Meskipun didominasi oleh warna-warna earthy yang lebih cerah dan muted, interior kamar masih terasa gelap. Entah karena jendelanya kurang besar atau karena memang pencahayaannya kurang banyak. Sebetulnya, kamar yang saya tempati ini layout-nya memang beda. Kalau lihat di foto-foto di galeri situs resmi hotel, jendela di kamar hotel ukurannya lebih lebar. Namun, kamar yang saya tempat punya dinding yang menjorok ke dalam sehingga jendelanya pun nggak selebar yang ditampilkan di foto. Kalau di malam hari, untuk tidur sih tingkat pencahayaannya sebetulnya nyaman. Namun, di sore hari atau malam hari sebelum tidur (pas masih nonton TV atau kerja, misalnya), saya rasa tingkat pencahayaannya masih kurang cerah.

Room amenities yang tersedia mencakup televisi 40 inci, alarm + Bluetooth speaker, WiFi, AC, tea/coffee maker, kulkas kecil, meja +kursi kerja, kursi lengan, dan meja kopi. Di atas meja kerja, ada cermin berbentuk lingkaran yang alih-alih fungsional, saya pikir lebih ke arah dekoratif karena posisinya cukup tinggi (atau mungkin saya yang terlalu pendek). Untuk yang mau touch up di meja kerja, bakalan susah sih karena harus berdiri, nggak bisa duduk. Jendela kamar saya menawarkan view ke arah utara. Yang bisa terlihat dari kamar adalah kolam renang dan bangunan-bangunan lain di sisi utara kota (terhalang sih sama Tera Residence, tapi gedung itu jadi background foto yang menurut saya sih cantik. Bisa dilihat di Instagram pribadi saya). Waktu saya tiba, di atas meja sudah tersedia buah-buahan segar, complimentary dari pihak hotel. Terima kasih banyak, Crowne Plaza Bandung!

Hal lain yang menarik perhatian saya di kamar ini adalah desain lemari pakaian. Lemari pakaian di kamar punya desain tertutup. Setrika, ironing board, bathrobe, slippers, dan electronic safe disimpan dengan rapi di dalam lemari. Hanya saja, gantungan yang tersedia nggak banyak. Di samping lemari, ada semacam panel kayu dengan desain Arabesque yang cantik. Tea/coffee maker dan kulkas ditempatkan di kabinet pendek di samping lemari.

Oh, ya! Waktu menempati kamar ini, saya sempat merasa kewalahan saat ngatur AC. Bukan karena saya nggak bisa pakainya, tapi karena suhunya tampaknya nggak berubah, meskipun saya udah atur dengan sesuai. Udara yang keluar terlalu dingin. Saya bahkan sampai atur ke suhu 28 dan kurangi kecepatan kipas pun masih dingin. Sempat saya matikan AC kamar karena suhu di kamar dingin banget dan alergi dingin saya agak kumat.

Kamar Mandi (Deluxe)

Untuk kamar mandi unit Deluxe di Crowne Plaza Bandung, ukurannya bisa saya bilang cukup luas. Interiornya didominasi marmer berwarna beige dan dilengkapi pencahayaan yang terang. Buat yang sudah baca review-review saya sebelumnya, mungkin tahu kalau saya nggak suka kamar mandi yang remang. Sebagai aksen, marmer berwarna hitam kecokelatan dipasang menyerupai “frame” yang mengelilingi cermin dan wastafel. Buat saya, elemen aksen ini yang bikin kamar mandi terlihat lebih elegan dan mewah, terutama dengan dua modern lantern yang digantung di sisi kiri dan kanan cermin. Kamar mandi unit Deluxe tidak dilengkapi his-and-hers sink, tapi berhubung saya nginep sendirian, hal ini nggak jadi masalah.

Kelengkapan kamar mandi mencakup timbangan, vanity mirror, dan hair dryer. Produk-produk mandi sudah jelas ada ya, dari shower gel, kondisioner, sampai grooming products. Untuk aromanya, buat saya sih nggak ada yang spesial. Ya, nice lah bisa dibilang. Yang saya suka dari kamar mandinya adalah adanya rainshower. Selain rainshower, shower tangan pun tersedia. Area shower ini cukup luas dan salah satu sisinya dipasangi kaca buram yang memisahkan kamar mandi dan area utama kamar. Pencahayaan juga bisa berasal dari kaca ini, terutama di siang hari.

Nah, di awal saya sempat bilang ada insiden, dan insiden tersebut terjadi di kamar mandi. Jadi, sebelum saya datang kamar tentunya dibersihkan dan didisinfektan terlebih dahulu. Langkah ini sangat saya apresiasi, terutama di masa wabah seperti sekarang. Namun, sepertinya staf housekeeping kurang teliti membersihkan sisa-sisa produk pembersihnya. Walhasil, di lantai kamar mandi saya lihat ada semacam bekas minyak atau produk pembersih. Awalnya, saya nggak pikirkan hal itu, tapi karena lantai yang licin, saya hampir jatuh di kamar mandi. Beruntung saya masih bisa jaga keseimbangan. Kalau nggak ‘kan mungkin saya jatuh dan kepala saya kebentur. Setelah kejadian itu, saya laporkan keluhan ke operator dan minta staf housekeeping datang untuk bersihkan lagi kamar mandi. Setelah dibersihkan lagi, untungnya lantai kamar mandi ngga begitu licin lagi, cuman tetap saja sih saya jadi agak was-was pas mandi.

Besoknya saat sarapan, saya ketemu dengan Pak Julius selaku GM Crowne Plaza Bandung. Ternyata, keluhan saya sampai ke beliau dan beliau minta maaf atas insiden yang saya alami. Kami juga ngobrol cukup lama, terutama soal pandemi dan dampaknya ke hotel. Ya, semoga aja pandemi ini (kalau pun tidak segera) bisa segera lebih terkendali. Oh, ya! Pak Julius juga menawarkan saya untuk pindah kamar dan ternyata, pindah kamar ini bukan sekadar pindah kamar. I got an upgrade!

King Junior Suite

Seperti yang saya bilang sebelumnya, saya bukan sekadar pindah kamar, tapi ternyata dapat upgrade. Terima kasih banyak, Pak Julius dan Crowne Plaza Bandung! Unit King Junior Suite punya luas 60 meter persegi, hampir dua kali lipat tipe kamar sebelumnya. Dari segi desain, interior kamar nggak jauh beda dengan interior kamar tipe Deluxe. Palet warnanya masih sama. Elemen-elemen dekoratif seperti accent wall-nya pun sama. Bedanya, di sini ada sentuhan warna teal pada coverlet tempat tidur dan throw pillow di three-seater sofa. Sepintas saya jadi ingat Garuda Airlines.

Dengan luas 60 meter persegi, tentunya ada banyak ruang di kamar ini. Room amenities yang tersedia pun sama, hanya dilengkapi dengan espresso maker dan sofa. Yang saya sayangkan adalah, untuk kamar dengan luas seperti ini, televisi yang dipasang ukurannya terlalu kecil. Namun, selama menginap saya nggak banyak nonton TV sih. Ya, nonton lah satu, dua, atau tiga film dari Celestial Movies, tapi selebihnya saya kerja, tidur, dan berendam. Tipe King Junior Suite juga punya jendela yang lebih besar dan tentunya full-height. View yang saya dapat masih sama, tapi dengan “layar” yang lebih lebar, rasanya lebih seru. Cahaya matahari yang masuk pun bisa lebih banyak. Sayangnya, waktu sore ternyata turun hujan deras dan yang awalnya niatnya mau menikmati matahari sore, malah jadi ngegalau sambil ngeteh di pinggir jendela.

Oh, ya! For your information, selama menginap di Crowne Plaza Bandung, saya nggak pergi ke mana-mana (kecuali di malam terakhir, pergi ke minimarket karena harus beli obat). Saya di hotel terus dan nggak pergi-pergi. Ngapain aja? Ya itu tadi: kerja, tidur, berendam. Bisa dibilang kunjungan kali ini gabungan antara kerja dan istirahat. Maklum, saya sering kurang tidur.

Di malam hari, pencahayaan di kamar bisa dibilang sudah cukup. Berbeda dengan tipe sebelumnya, entah kenapa di tipe ini kamar terasa lebih terang, meskipun dari segi jumlah, lampu yang tersedia ya kurang lebih sama aja dengan tipe sebelumnya. I had a goodnight sleep and woke up feeling refreshed.

Yang saya suka lagi dari tipe King Junior Suite adalah adanya walk-in closet. Kalau di tipe sebelumnya, storage pakaian tersedia dalam bentuk lemari tertutup, di tipe ini ada walk-in closet. Panel bergaya Arabesque digunakan sebagai double sliding door ke walk-in closet. Nah, karena walk-in closet di tipe ini besar, saya malah sempat mikir ini kelihatan kayak sauna. Coba lihat aja sendiri di foto. Di dalam walk-in closet, tersimpan setrika, ironing board, bathrobe, dan electronic safe. Karena pintunya masih ada lubang-lubang, saya rasa agak, what’s the word… Ya intinya sih kalau bawa tamu ke kamar, tamu tetap bisa lihat ke dalam walk-in closet. But still, it’s a pretty good-size walk-in closet… with a big mirror!

Kamar Mandi

Kamar mandi untuk tipe King Junior Suite di Crowne Plaza Bandung sebetulnya nggak jauh berbeda dari kamar mandi untuk tipe Deluxe dari segi desain. Interiornya didominasi marmer berwarna beige. Frame marmer berwarna hitam kecokelatan pun bisa ditemukan mengelilingi cermin yang dimensinya lebih panjang. Modern lantern pun dipasang di area wastafel sebagai sumber pencahayaan sekaligus elemen dekorasi yang mewah. Untuk tipe ini, wastafel yang tersedia juga hanya satu, bukan his-and-hers sink.

Perbedaan utama yang ada pada kamar mandi ini adalah hadirnya bathtub. Ukurannya cukup panjang untuk satu orang. Apalagi, saya kan pendek. Jadi bathtub terasa lapang saat dipakai berendam. Keluaran air dari keran pun deras dan suhu air panasnya stabil (nggak mengalami penurunan atau “ngadat”). Dari segi luas, saya pikir nggak berbeda secara signifikan dengan kamar mandi di tipe sebelumnya sebetulnya. Kamar mandi di tipe ini terasa lebih luas, saya pikir karena sudut yang tadinya shower area digunakan untuk bathtub. Menghilangnya dinding kaca pemisah shower area membuat ruang terasa tambah luas. Ditambah lagi, penggunaan cermin yang bentuknya memanjang dan dibingkai marmer berwarna gelap makin memberikan kesan space yang besar.

Di sisi ruangan yang lain, ada kloset dan shower area. Karena dipindahkan ke sudut, walhasil luas shower area pun berkurang. Namun, ukurannya tetap cukup besar untuk bergerak leluasa. Shower tangan dan rainshower tetap tersedia di sini. Perlengkapan kamar mandi lainnya seperti timbangan, hair dryer, vanity mirror, dan produk-produk kebersihan ada di bathroom counter. So far, saya nggak punya keluhan soal kamar mandi. Saya bisa berendam dengan nyaman dan pakai bath salt. Apalagi, ada jendela kaca di samping bathtub. Saya tinggal pindahkan channel TV, besarin volumenya, dan nonton sambil berendam.

Fasilitas Umum

Mosaic All Day Dining Restaurant

Sebagian besar dining venue di Crowne Plaza Bandung berada di lantai dasar. Sebagai restoran utama hotel, ada Mosaic All Day Dining Restaurant. Sarapan diadakan di restoran ini. Hal pertama yang saya perhatikan adalah ukuran restoran. Luas banget! Bahkan, ada semi-outdoor area juga yang digunakan sebagai area merokok. Ada beberapa ruang VIP yang cocok untuk rapat atau sekadar makan dalam suasana yang lebih privat. Di sisi barat restoran, ada The Deli yang menyediakan berbagai dessert, kopi, dan teh.

Dilansir dari situs resmi hotel, Mosaic All Day Dining Restaurant di Crowne Plaza Bandung bisa menampung maksimal 214 pengunjung. Restoran ini juga mengusung konsep open kitchen. Jadi, sambil ngider nyari makanan, pengunjung juga bisa melihat para koki dan staf restoran memasak hidangan. Saya sempat main ke sini saat restoran tutup untuk ambil foto-foto, tapi saya takjub saat keesokan harinya. Ya, karena tutup, lampu-lampu restoran jadi dimatikan. Namun, saat dinyalakan, saya cukup kagum dengan interiornya.

Pada dasarnya, interior restoran didominasi palet warna netral. Skema warna yang sama juga berlaku untuk furnitur-furnitur restoran. Namun, sebagai color pop, dipasang beberapa panel kaca sandblast dengan warna transparan, biru aquamarine, dan ungu. Bahkan, di tengah restoran, ada island counter besar dengan pilar yang membentuk semacam payung atau cendawan di atasnya. Nah, waktu saya sarapan, si pilar ini diterangi lampu-lampu neon berwarna putih kebiruan dan ungu. Ada sedikit kesan cyberpunk yang saya tangkap dari penggunaan lampu-lampu tersebut, tapi hal tersebut nggak lantas menghilangkan keeleganan interior restoran. Melihatnya, saya langsung inget salah satu setting di sebuah drama Korea: bar di Hotel del Luna!

Soal menu sarapan, untuk ukuran hotel bintang 5 mungkin variasinya setara hotel bintang 4, tapi segi rasa sih udah decent. Salah satu alasannya mungkin karena tingkat okupansi yang sedang rendah dan kondisi juga sedang pandemi (hotel-hotel masih pada adaptasi tentunya). Kalau situasi sudah jauh lebih baik, mungkin station-station yang lain akan dibuka dan opsi makanan jadi jauh lebih beragam. Saya sendiri memang nggak banyak makan, tetapi buat saya, menunya sudah cukup lah. Untuk teh, kita bisa minta ke staf yang bertugas. Pilihan tehnya juga cukup variatif. Waktu saya menginap, tingkat okupansi hotel sedang rendah dan restorannya sepi. Selain itu, protokol yang berlaku juga ketat. Namun, saya senang karena saya duduk pun nggak perlu takut terlalu berdekatan dengan orang lain. Para tamu yang datang juga duduknya saling berjauhan.

Gym, Kolam Renang, dan Kids Corner

Sebagai fasilitas kebugaran, ada gym di Crowne Plaza Bandung. Seperti yang saya bilang sebelumnya, sebagian fasilitas hotel belum berfungsi saat saya menginap, dan salah satunya adalah gym. Namun, saya bisa ngintip ke dalam gym untuk melihat keadaannya. Dari segi ruangan, gym di hotel ini bisa dibilang sangat luas. Jenis peralatan yang tersedia juga beragam, tetapi dari segi jumlah, bisa dibilang terbatas. Untuk ukuran gym seluas ini, jumlah peralatan yang ada rasanya terlalu sedikit.

Salah satu keunggulan gym di sini menurut saya adalah view yang ditawarkan dari jendela. Dengan pemandangan kota Bandung, sesi olahraga rasanya akan terasa lebih mengasyikkan. At least, ada sesuatu buat ditonton lah sambil lari di atas treadmill. Jujur agak sedih rasanya karena saya nggak bisa bahas lebih mendalam soal gym di Crowne Plaza Bandung karena fasilitas sedang tutup dan saya nggak bisa pakai fasilitas tersebut untuk merasakan sendiri secara langsung pengalamannya.

Berada satu lantai dengan gym, ada kids corner untuk anak-anak (ya iya lah! Namanya aja kids corner). Area ini sangat luas dan, seperti halnya area bermain anak-anak pada umumnya, didekorasi dengan warna-warni ceria. Kids corner juga tutup saat saya berkunjung ke sana.

Di salah satu sisi ruangan, terdapat mainan anak-anak seperti perosotan dan rumah-rumahan. Di sisi yang berseberangan, ada beberapa meja dan kursi supaya anak-anak bisa mewarnai, menggambar, atau bermain. Saya nggak tahu apakah di dekat area seluncur ada ball pit apa nggak, tapi kalau ada, kayaknya akan lebih seru. Maklum, waktu kecil saya seneng banget kalau diajak main ke ball pit atau mandi bola. Padahal, dulu rame banget isu yang beredar kalau mandi bola itu wahana yang berbahaya bagi anak karena katanya di dalamnya ada silet dan, bahkan, ular berbisa. Sebetulnya sih kalau soal bahaya, ya bisa aja ada, tapi kalau soal silet sih kayaknya berlebihan. Kalau soal hewan atau bekas urine, memang bisa terjadi.

Fasilitas unggulan Crowne Plaza Bandung yang sayangnya nggak bisa saya coba adalah kolam renangnya. Damn! Ini kolam luas dan keren banget padahal! Waktu saya tiba di kamar, saya langsung lihat kolam renang dan sempat bingung karena area kolam kelihatan sepi. Saya pun tanya ke resepsionis dan ternyata kolam renang hotel hanya beroperasi di akhir pekan. Duh!

Kolam renang berada satu lantai dengan gym dan kids corner. Kalau kebetulan lagi nginap di hotel dan ada fasilitas gym dan kolam renang, saya sih biasanya nge-gym dulu sebentar, lalu berenang, lalu pakai sauna/jacuzzi sebelum mandi dan ganti baju. Nah, di Crowne Plaza Bandung, fasilitas-fasilitas itu tersedia, tapi sayangnya saya nggak bisa pakai. Walhasil, selama menginap pun nggak olahraga. Aduh!

Desain kolam renang di hotel ini bisa dibilang unik. Dengan bentuk memanjang, area kolam anak menyatu dengan kolam dewasa. Namun, area kolam anak yang dangkal mengelilingi area kolam dewasa yang berada di tengahnya. Bisa dibilang sih area kolam anak ini jadi semacam frame untuk area kolam dewasa. Tidak ada pemisah yang sifatnya permanen antara kolam anak dan kolam dewasa so parents, watch your kids! Ada dua area shower di sekitar kolam. Whirlpool berada di salah satu sisi kolam renang. View yang ditawarkan di area kolam renang juga sebetulnya lumayan bagus. Di area kolam renang juga ada poolside bar buat yang ingin beli minuman dan camilan.

Infinite Lounge and Resto

Crowne Plaza Bandung punya sky lounge bernama Infinite Lounge and Resto. Berada di lantai 22, lounge cantik ini menawarkan pemandangan kota Bandung sebagai daya tarik utamanya. Interior lounge mengusung desain rustic yang didominasi elemen-elemen kayu dan warna-warna earthy yang selain homy, juga membangun kesan elegan dan seksi.

Seperti halnya kolam renang dan gym, sky lounge ini pun tidak beroperasi. Padahal, tempat ini cocok banget buat nongkrong bareng teman atau romantic dinner dengan pasangan. Sofa-sofa bulky berbahan kulit ditempatkan di sisi railing dan jendela yang menghadap ke arah kota. Area lounge sendiri berbentuk setengah lingkaran (karena di sisi yang lain masih ada juga area lounge) sehingga view yang didapatkan dari sini tentunya bagus dan lebih beragam. Melangkah masuk ke sini, saya menangkap kesan rustic lodge di hutan atau pegunungan. Maklum, elemen kayunya dominan soalnya.

Di Infinite Lounge and Resto juga ada wine shop. Makanya, tempat ini cocok buat ketemu teman, ngobrol dengan rekan kerja, atau makan malam romantis dengan pasangan. Seadainya fasilitas ini buka waktu saya menginap, kayaknya malam-malam saya akan nongkrong di sini cukup lama. Ya, mungkin sambil nge-YouTube, beresin kerjaan, dan lihat pemandangan kota.

Connexion Lobby Lounge

Berlokasi di lantai lobi, Connexion Lobby Lounge bisa jadi dining venue alternatif di Crowne Plaza Bandung. Dengan atmosfer santai nan elegan, lounge ini merupakan tempat yang pas buat ngobrol dengan teman atau keluarga di sore hari, atau buat sekadar kerja. Desain kontemporer dengan warna-warna earthy diusung di sini. Meja dan kursi yang tersedia pun cukup banyak. Ditambah lagi, ada bar di sini. Cocok buat yang seneng nge-beer.

Di sisi selatannya, terdapat seating area yang saya pikir lebih elegan dan mewah. Area ini dipercantik dengan kursi lengan yang empuk berwarna violet dan oranye sebagai colour pop yang membuat interior terlihat makin hidup. Dengan langit-langit setinggi dua lantai, area ini saya pikir lebih cocok dijadikan tempat pertemuan yang sifatnya semiformal, apalagi dengan lantai karpet yang membuat suasana terasa lebih hangat.

Lokasi

Berdiri di pusat kota, Crowne Plaza Bandung jadi salah satu akomodasi bintang lima unggulan di kota Bandung. Pasalnya, meskipun bukan berada di jantung keramaian, hotel ini dekat dari mana-mana. Salah satu kawasan yang layak disambangi pas nginap di sini adalah Jalan Braga. Dari hotel, kawasan Jalan Braga bisa ditempuh dengan jalan kaki selama 5 menit aja. Deket kok! Nggak jauh dari hotel, ada kawasan Jalan Sumatera yang di kiri kanannya banyak restoran dan kafe (dulu ada restoran favorit saya, namanya Indischetafel. Sayangnya restoran ini udah tutup 😒).

Dari Jalan Braga, kalau lanjut jalan lagi bisa sampai ke Alun-Alun Bandung. Kawasan ini berjarak sekitar 10-15 menit dengan berjalan kaki. Soal cari makan, sebetulnya nggak susah sih ketika kita menginap di Crowne Plaza Bandung. Di Jalan Braga, silakan pilih sendiri deh restoran dan kafe yang diinginkan. Ada juga Braga Citywalk, mal dengan beberapa pilihan restoran dan kafe. Di kawasan Alun-Alun Bandung sendiri ada banyak restoran dan kafe yang bisa dikunjungi. Untuk minimarket, kita memang harus jalan kaki ke Jalan Braga atau Naripan (ya kurang lebih 5 menitan) karena minimarket terdekat adanya di dua jalan itu.

Faktor lokasi membuat hotel ini juga menawarkan view kota Bandung yang keren. Jendela-jendela yang menghadap ke utara menawarkan view jalan Dago dan Gunung Tangkuban Parahu. Sayangnya, untuk beberapa kamar, view akan terhalangi oleh gedung Tera Residence. Kamar-kamar dengan jendela yang menghadap ke selatan punya view kawasan Jalan Asia Afrika.

Dari Stasiun Bandung, hotel ini bisa ditempuh dalam jarak sekitar 10-15 menit menggunakan kendaraan bermotor. Kalau dari Bandara Internasional Husein Sastranegara, waktu tempuhnya sekitar 15-20 menit, tergantung kondisi lalu lintas.

Pelayanan

Segmen ini memuat pendapat saya mengenai pelayanan yang diberikan pihak hotel. Apa yang saya tulis bersifat subjektif dan bukan merupakan informasi umum, dan lebih merupakan pendapat pribadi. Experience yang saya alami bisa jadi berbeda dari apa yang orang lain alami. Tulisan dalam segmen ini tidak ditujukan untuk menjelek-jelekkan atau menurunkan reputasi hotel. Jika informasi yang saya tulis bersifat positif, semoga manajemen hotel bisa tetap menjaga kualitas layanannya. Jika bernada negatif, semoga bisa menjadi bahan perbaikan bagi pihak hotel. 

Selama menginap dua malam, saya bisa menilai kualitas layanan di Crowne Plaza Bandung. Salah satu keuntungan long stay adalah kita bisa merasakan layanan yang diberikan properti dalam jangka waktu yang lebih lama sehingga kita bisa lihat apa saja kelebihan dan kekurangannya. Dari check-in, saya jujur merasa cukup puas. Sebagai anggota IHG Rewards Club, saya dapat recognition sebagai anggota waktu check-in (dan ini sudah ada aturannya, lho. Silakan cari dan baca informasi tentang privilege member IHG Rewards Club). Proses check-in juga nggak bertele-tele dan relatif cepat.

Seperti yang saya bilang sebelumnya, saya mengalami masalah dengan kamar mandi di kamar pertama saya (Deluxe Twin). Sangat disayangkan karena pihak housekeeping kurang teliti dalam membersihkan kamar mandi sehingga lantainya masih licin akibat sisa-sisa produk pembersih. Namun, tim housekeeping segera datang dan membersihkan kembali kamar mandi sehingga lantainya nggak licin lagi. Kecepatan tanggap ini sangat diapresiasi. Ya, namanya masalah kadang ada aja, tapi langkah yang diambil propertilah yang menentukan kualitas layanan hotel. Bukan hanya itu, besoknya saya pun ditawari untuk pindah kamar, dan ternyata bukan sekadar pindah kamar, tapi dapat upgrade. Saya sangat apresiasi langkah ini, meskipun sebetulnya masalahnya hanya ada di kamar mandi.

Secara keseluruhan, kualitas layanan yang diberikan Crowne Plaza Bandung sangat baik. Para staf juga ramah dan helpful. Bisa saya bilang, pelayanan dan kelas hotel sama-sama bintang lima.

Kesimpulan

New life for an old building. Gedung tinggi yang pembangunannya dulu sempat mangkrak akhirnya mendapatkan a new life sebagai hotel bintang lima. Crowne Plaza Bandung berhasil menawarkan kemewahan, kenyamanan, dan layanan unggul untuk saya. Kendala yang saya alami selama menginap berhasil ditangani dengan baik. Bahkan, langkah yang pihak hotel ambil menurut saya jauh lebih baik dari dugaan.

Desain kedua tipe kamar yang saya tempati cukup menarik. Sebetulnya, interior bergaya kontemporer bukan hal yang asing lagi. Namun, kekhasan kamar seperti accent wall dengan pola segi empat berundak dan divider kayu bergaya Arabesque menjadi ciri khas hotel ini. Ukuran kamar tipe Deluxe terbilang cukup luas dan fasilitas yang tersedia sudah oke lah. Hanya saja, untuk hotel bintang lima, rasanya kurang lengkap kalau di kamar mandi tipe terkecil tidak ada bathtub. Saya sempat telepon pihak hotel dan mereka menjelaskan bahwa untuk tipe Deluxe Twin, memang tidak tersedia bathtub. Namun, di tipe Deluxe King dan selanjutnya, bathtub sudah tersedia. Meskipun demikian, kekurangan itu dikompensasi dengan adanya rainshower, fitur kamar mandi yang saya suka.

Ah! Sekarang saya tahu kenapa tipe Deluxe King lebih mahal daripada Deluxe Twin!

Tipe Junior King Suite hadir dengan ukuran yang lebih luas dan jendela yang lebih besar, serta bathtub yang cukup besar dan panjang, cocok buat kalangan pebisnis yang datang untuk keperluan pekerjaan, tetapi di malam hari mungkin perlu merilekskan diri.

Fasilitas yang tersedia di Crowne Plaza Bandung sudah cukup lengkap. Sebagai fasilitas kebugaran, ada kolam renang, whirlpool, dan gym. Untuk anak-anak, ada kids corner. Dining venue di hotel pun beragam. Namun, saya hanya menyayangkan satu hal: sebagian masih pada tutup. Review saya rasanya kurang mendalam karena saya nggak mencoba fasilitas-fasilitas itu secara langsung. Ya, semoga ke depannya sih pas saya menginap di sana lagi, fasilitas-fasilitas yang ada sudah beroperasi. Duh! Saya pengen banget nyoba kolam renang dan whirlpool-nya!

review crowne plaza bandung

Dengan rate mulai dari 535 ribuan (berdasarkan Tripadvisor), Crowne Plaza Bandung bisa jadi opsi hotel bintang 5 untuk yang ingin menikmati pengalaman menginap di hotel mewah di Bandung dengan biaya yang relatif lebih terjangkau. Kalau di aplikasi resmi IHG sendiri, kadang saya dapat rate 600 ribuan (nett) per malam. Kadang-kadang bisa lebih murah lagi. Secara keseluruhan, properti ini memberikan kesan yang positif untuk saya sebagai hotel berbintang dengan layanan berkualitas dan staf bertalenta di pusat kota Bandung.

Pros & Cons

πŸ‘πŸ» Pros

  • Lokasinya strategis dan berada di pusat kota. Ke mana-mana dekat dan bisa dengan jalan kaki.
  • Menempati bangunan yang tinggi, view yang ditawarkan dari kamar pun bagus-bagus. Untuk beberapa kamar dengan jendela yang menghadap. keutara, mungkin view terhalangi oleh Tera Residence but for me, it wasn’t a really big deal.
  • Fasilitas yang tersedia cukup lengkap (sayangnya waktu saya menginap belum banyak yang beroperasi karena peraturan pemerintah kota terkait COVID-19)
  • Saya nggak sebutkan ini di review, tapi sebetulnya banyak spot yang Instagrammable, termasuk grand staircase di dekat Mosaic.
  • Hotel ini punya sky lounge yang cocok banget buat romantic dinner atau nongkrong bareng teman-teman sambil lihat view kota Bandung di malam hari.
  • Kolam renangnya besar banget! Cocok pula buat foto-foto.
  • Tipe King Junior Suite punya space yang luas dan nyaman, dan walk-in closet yang gede. Cocok buat yang barang bawaannya banyak (terutama baju-baju yang digantung).

πŸ‘ŽπŸ» Cons

  • AC di kamar pertama yang saya tempati sepertinya rusak atau gimana. Indikatornya bilang 25 derajat, tapi rasanya kayak 18 derajat.
  • Untuk hotel bintang 5, sayang banget ketika tipe kamar terkecil pun nggak ada bathtub.
  • Nggak ada pembatas yang lebih permanen antara kolam anak dan kolam dewasa. Anak-anak kalau mau berenang harus diawasi ketat banget.
  • Insiden di kamar mandi yang terjadi cukup mengejutkan. Mungkin ke depannya, pihak housekeeping harus lebih teliti lagi saat bersih-bersih kamar dan pastikan sisa produk pembersihnya nggak tertinggal.

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌βšͺ️
Desain: πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜Ά
Lokasi: 🀩🀩🀩🀩🀩
Harga: πŸ’°πŸ’°πŸ’°

Review: Grand Hotel Preanger

Waktu SMA, saya cukup sering main ke daerah Braga untuk sebatas foto-foto, jajan kue di Canary Bakery atau es krim di Toko Sumber Hidangan, atau gabut di Braga City Walk. Kadang-kadang, saya jalan sedikit ke Jalan Asia Afrika dan setiap kali di sana, saya selalu mengagumi dua hotel yang sebetulnya sejak SMP sudah saya sukai, Savoy Homann dan Grand Hotel Preanger. Sebetulnya, saya pernah ke kedua hotel itu dulu, tapi hanya sebatas datang dan pulang lagi karena nyamper ayah saya yang memang lagi ada urusan kerjaan atau rapat. Nah, bertahun-tahun kemudian, puji Tuhan saya bisa menginap di kedua hotel tersebut. Review untuk Savoy Homann sudah bisa dibaca di blog. Nah, untuk Grand Preanger, saya baru bisa tulis sekarang. Padahal, nginepnya itu bulan Agustus 2019. Telat banget, ya. But better late than never, ‘kan?

Bangunan tower Grand Hotel Preanger

Grand Hotel Preanger adalah akomodasi bersejarah yang berlokasi di Jalan Asia Afrika No. 81, Bandung. Hotel ini juga dikenal dengan nama Prama Grand Preanger, tapi kalau saya sebagai urang Bandung sih (dan para urang Bandung lainnya) biasanya menyebut hotel ini sebagai Hotel Preanger atau Grand Preanger. Seperti halnya Savoy Homann, Grand Preanger adalah hotel historis yang sudah berdiri sejak era kolonial. Informasi dari Wikipedia dan situs resmi Grand Hotel Preanger menyebutkan bahwa hotel ini sudah berdiri sejak tahun 1897.

Nah, sebelum beroperasi sebagai hotel, bangunan Grand Preanger Bandung ternyata merupakan sebuah toko swalayan. Namun, informasi dari Travel Kompas menyebutkan bahwa bangunan sempat digunakan sebagai toko roti. Hmm… Jadi sebetulnya, toko swalayan apa toko roti? Atau toko swalayan mencakup toko roti? Toko tersebut sudah ada sejak tahun 1884 dan melayani para pemilik perkebunan yang sering turun ke kota. Ketika toko bangkrut, bangunannya dibeli oleh orang Belanda bernama W.H.C. van Deeterkom dan dijadikan hotel bernama Hotel Preanger di tahun 1897, seperti yang saya sebut di paragraf sebelumnya.

Informasi baru yang saya baru tahu lagi (duh, ribet banget ngomongnya) adalah ternyata, seperti Savoy Homann, bangunan Hotel Preanger sebelumnya tidak mengusung gaya Art Deco seperti sekarang. Bangunan mengusung gaya Indische Empire khas rumah-rumah gedongan milik orang Belanda pada era kolonial. Desain ini mengingatkan saya dengan sebuah rumah jadul di Kuningan, kampung halaman ayah saya. Saya nggak tahu kabar rumah itu seperti apa sekarang, tapi dulu sih konon berhantu. Bangunan hotel kemudian direnovasi dan mengusung gaya Art Deco di tahun 1929 oleh C. P. Wolff Schoemaker, dibantu oleh presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno. Oh, ya! Schoemaker juga meninggalkan banyak jejak di Kota Kembang. Salah satunya adalah Villa Isola, bangunan historis di kompleks Universitas Pendidikan Indonesia (kampus aku lho itu!). Tiap hari saya lihat bangunan itu dan nggak pernah bosan lihatnya (kalau bergidik karena ngeri sih, pernah). Duh! Ngomongin sejarah tuh nggak ada habisnya dan selalu seru!

Hotel Preanger era 1910-1930an. Foto milik Tropenmuseum.

Jujur, saya agak bingung dengan informasi yang cukup simpang siur mengenai kelas hotel. Kalau melihat di Agoda, Grand Hotel Preanger menyandang gelar hotel bintang 5. Ada beberapa informasi yang menyebutkan bahwa Preanger merupakan akomodasi bintang 4. Namun, waktu saya dan Pak Suneo ngobrol langsung dengan Teh Yayu, guest relation officer, kami dikasih tahu bahwa hotel menyandang predikat akomodasi bintang 5. Nah, kalau sudah dengar dari orang hotelnya sih, lebih yakin ya.

Tripadvisor menyebutkan ada 188 kamar di hotel bersejarah di Bandung ini. Kalau saya lihat di situs resminya, ada 8 tipe kamar yang tersedia: Deluxe, Executive, Naripan Wing 1 Bed, Malabar Suite, Priangan Suite, Naripan Wing 2 Bed, Pandawa Suite, dan Presidential Suite. Dulu, saya sempat mengira kalau hotel ini nggak begitu besar karena waktu saya kecil, yang saya anggap hotel itu hanya sayap depan yang berada di Jalan Asia Afrika (bangunan Art Deco), tapi ternyata, dang! It’s humongous! Untuk fasilitas, Grand Preanger Bandung punya kolam renang, gym, restoran, bar, ballroom, meeting room, spa, business center, dan museum. Ya! Museum! Waktu saya tahu bahwa di hotel ini ada museum, saya excited banget. Meskipun ukurannya nggak besar, tapi saya senang bisa menyelami waktu dan melihat berbagai koleksi yang ada di sana.

Waktu menginap, saya menempati kamar tipe Deluxe. Kamar tipe ini lokasinya ada di tower hotel. Untuk kunjungan berikutnya, saya ingin coba kamar-kamar yang ada di wing lama. Nah, karena segmen awal ini sudah terlanjur panjang banget, langsung saja baca ulasan lengkapnya di segmen berikutnya, ya!

Desain Kamar

Tipe Deluxe merupakan tipe kamar terkecil di Grand Hotel Preanger. Dilansir dari situs resminya, tipe ini memiliki luas 32 meter persegi. Luasnya kurang lebih sama dengan luas tipe Business di Aryaduta Bandung dan tipe Deluxe di Sheraton Bandung. Kamar-kamar tipe Deluxe menempati tower hotel dan yang suka adalah lift yang digunakan merupakan lift panoramik dengan pemandangan ke arah utara. I have a soft spot for panoramic lifts!

Interior kamar mengusung desain kontemporer yang menurut saya cukup khas di era tahun 90an akhir dan 2000an awal. Dated, memang, tapi khas dan punya charm-nya tersendiri. Saya pernah ke beberapa hotel yang mengusung desain seperti itu (saya menyebutnya desain paling modern “pada zamannya”), termasuk Hotel Harbour Bay Amir dan Nagoya Plaza di Batam. Desainnya tipikal hotel-hotel mewah di era tahun segitu lah bisa dibilang. Menurut informasi dari setiapgedung.web.id, Grand Hotel Preanger direnovasi besar-besaran di 1987 dan beroperasi penuh di tahun 1990. Renovasi ini mencakup adanya tower sebagai ekspansi bangunan. Kalau melihat dari tahunnya, nggak heran sih interiornya seperti apa yang ada di kamar.

Ruang seluas 32 meter persegi memang terasa luas. Ukuran furnitur yang relatif besar berhasil menyeimbangkan kekosongan di ruangan. Hasilnya, ruangan terasa lived in, tanpa terkesan kosong banget atau penuh banget. Warna-warna earthy mendominasi interior dan sebagai colour pop, digunakan warna merah “lipen emak-emak” pada coverlet dan throw pillow. Sementara itu, karpet berwarna biru kehijauan (turquoise tua) memberikan kesan sejuk yang diseimbangkan oleh pencahayaan berwarna hangat. Tempat tidur terasa mendominasi ruangan dengan penggunaan headboard besar dengan desain polos. Oh! Ini saya wajib kasih tahu PAKE banget. Di kamar ada guling! Sejauh ini, saya jaraaaaaang banget nemu hotel yang menyediakan bantal guling, dan tidur pake guling itu nyaman sekaligus nostalgic banget! Waktu kecil, saya kalau tidur harus ada guling. Tidur tanpa guling itu rasanya seperti lebaran tanpa ketupat. Kata Bunda Inul sih, “Kurang enak kurang sedap.”

Yang unik lagi adalah alih-alih menggunakan tirai atau gorden, jendela dipasangi semacam double sliding panel dengan motif batik. Saat dibuka, kamar serasa punya balkon tertutup yang menawarkan pemandangan Jalan Asia Afrika atau Bandung sisi utara. Kebetulan, saya dapat kamar dengan view Jalan Asia Afrika. Nggak begitu jelas sih karena kamar berada di lantai 6, tetapi ya mending lah daripada nggak ada view sama sekali. Kelengkapan kamar mencakup televisi, AC, WiFi, coffee/tea maker, dan electronic safe. Oh, ya! Di end table samping tempat tidur, terpasang panel kendali untuk televisi, musik, dan pencahayaan. Ini fitur lawas banget yang biasanya ditemukan di hotel-hotel era tahun 80-90an.

Kelengkapan ruangan berfungsi dengan baik. Televisi menawarkan channel yang cukup beragam. Jaringan WiFi juga lancar dengan kecepatan yang decent. Overall, tidak ada keluhan untuk kedua hal tersebut.

Kamar Mandi

Kamar mandi untuk tipe Deluxe di Grand Preanger Bandung menurut saya tidak semewah interior area utama kamar. Ukurannya memang cukup luas dan well-lit. Seperti yang kalian tahu kalau sudah baca-baca tulisan saya sebelumnya, saya paling nggak suka kamar mandi yang suasananya redup dan gelap. Mandinya kayak nggak nyaman dan ngeri aja jatuhnya. Namun, dari aspek desain, kamar mandinya biasa saja.

Interior kamar mandi didominasi ubin berwarna abu-abu muda dengan pencahayaan berwarna putih yang membuat kamar mandi terasa luas dan terang. Hanya saja, ya itu tadi, dari segi desain sih biasa saja. Bahkan, penggunaan pintu geser berbahan aluminium ke shower area membuat kamar mandi terasa… apa ya. Jatuhnya menurut saya sih mirip kamar mandi dan toilet kolam renang umum. Jujur saja hal ini cukup disayangkan, mengingat interior area utama kamar sudah cukup elegan.

Ada split level sebelum masuk ke area shower. Area ini berada lebih rendah dari area kamar mandi yang lain sehingga air nggak akan meleber ke seluruh kamar mandi (adanya pintu geser juga membantu menahan air). Sayangnya, dibutuhkan waktu agak lama hingga air terbuang ke saluran drainase. Walhasil, air jadi menggenang dan membuat semacam kolam. Di area shower juga hanya tersedia satu shower, dan itu pun fixed shower yang dipasang di dinding. Nggak ada shower tangan maupun rainshower. Namun, keluaran airnya kencang. Jadi, cukup nyaman buat dipakai pijat bahu atau leher.

Kelengkapan kamar mandi mencakup hair dryer, sampo, sabun, kondisioner, dan beberapa produk kebersihan pribadi lainnya. Sayangnya, saya nggak menemukan body lotion dan korek kuping (mungkin ini harus minta ke housekeeping). Ah! Untuk kondisioner, saya merasa aromanya aneh. Baunya mirip rumput kalau menurut saya.

Fasilitas Umum

Brasserie Restaurant

Berada di lantai lobi, Brasserie Restaurant merupakan restoran utama Grand Hotel Preanger. Areanya cukup luas, mencakup semi-outdoor seating area dengan pemandangan taman dan kolam renang. Untuk indoor seating area sendiri, sentuhan Art Deco mendominasi restoran. Area teras juga sering kali digunakan untuk event.

Ada satu hal yang menarik perhatian saya. Di salah satu sisi restoran, terdapat area dengan dinding berpanel kayu berwarna mahogany dengan corak kemerahan. Panel ini dipercantik dengan lis-lis logam berwarna perak, serta dekorasi berbentuk lingkaran yang menyerupai kaca jendela kapal laut. Seketika, saya langsung ingat Observation Bar di Queen Mary Hotel, hotel yang menempati RMS Queen Mary, kapal pesiar buatan tahun 1930 yang dimiliki oleh Cunard-White Star Line. Something rings the bell? Ya, White Star Line adalah firma perkapalan yang memiliki Titanic, kapal mewah terkenal era Victorian yang tenggelam di tahun 1912. Observation Bar di Queen Mary Hotel pun mengusung desain Art Deco untuk interiornya dan tampil cantik dalam balutan panel kayu berwarna cokelat gelap yang memikat. Ya, mirip dengan salah satu sudut yang ada di Brasserie Resturant Grand Preanger. Saya juga jadi ingat interior restoran kapal yang menjadi salah satu setting film komedi keluarga tahun 1998 yang dibintangi Lindsay Lohan, The Parent Trap.

Di dekat pintu masuk menuju restoran (dari arah lift), ada area dengan skylight pada bagian atasnya. Skylight pendek ini dipercantik oleh kaca patri yang membentuk motif bunga dengan warna hijau dan merah muda. Saya langsung ingat dome yang menghiasi area lobi Mercure Jakarta Kota. Hanya saja, skylight di Brasserie Restaurant tidak berbentuk kubah.

Banyaknya kursi dan meja yang tersedia, termasuk area tambahan di teras membuat restoran ini bisa menampung cukup banyak tamu. Saat sarapan pun, saya nggak kesulitan mencari meja kosong. Hanya saja, staf restoran kurang cepat mengisi ulang station yang kosong. Untuk beberapa station, saya harus menunggu agak lama sebelum masakan kembali dihidangkan. Namun, pilihan menu yang tersedia sudah variatif. Untuk menemani sarapan, ada grup musik yang memainkan musik tradisional Sunda secara live. Alih-alih terasa seperti di kondangan, atmosfer restoran pada jam sarapan terasa seperti restoran Sunda mewah.

Kolam Renang & Gym

Kolam renang dan gym menjadi fasilitas hiburan dan kesehatan di Grand Hotel Preanger. Untuk mengakses kolam renang, kita tinggal keluar melalui pintu yang ada di dekat lobi. Di dekat kolam renang, ada taman dan area berumput yang cukup luas. Saya suka area tersebut. Di sore hari area ini cocok dimanfaatkan untuk bersantai dan main, terlebih karena sinar matahari terhalangi oleh tower hotel.

Kolam renang di Grand Preanger berbentuk persegi panjang yang memanjang dari barat ke timur. Di sisi barat, terdapat kolam anak berbentuk lingkaran. Area shower juga berada di sisi ini. Kursi malas dan meja dinaungi oleh parasol sehingga para tamu nggak perlu takut terkena paparan cahaya matahari secara langsung. Dari segi ukuran, saya rasa kolam renang di hotel ini sudah cukup besar, terutama dengan dimensinya yang memanjang (meskipun tidak sampai seukuran olimpik). Di dekat kolam anak, ada papan peringatan yang menampilkan aturan dan regulasi penggunaan kolam renang. Uniknya, teks judul dan informasi jam operasional dicetak dalam font Art Deco (kalau di komputer saya, fonnya semacam Caviar Dreams). Di area kolam, saya nggak menemukan jacuzzi. Bahkan waktu masuk ke gym pun, saya nggak melihat ada jacuzzi. Seandainya ada, akan jadi fasilitas tambahan yang seru.

Di sisi barat, terdapat bangunan yang menjadi area gym dan spa hotel. Waktu saya baca informasi di situs resmi hotel, fitness centre menempati lantai 3. Nah, waktu saya menginap, gym masih berada satu lantai dengan kolam renang dengan luas yang terbatas. Sepertinya, gym sudah pindah ke lokasi barunya dan kalau lihat di foto yang ada di situs resmi hotel, kelihatannya area gym jadi lebih luas. Kalau memang gym betul sudah pindah ke lokasi baru, informasi dari saya ini berarti obsolete karena membahas gym di lokasi lamanya. Namun, saya akan tetap cantumkan untuk memberikan gambaran (setidaknya kondisi pada masa sebelum gym dipindahkan). Untuk mengakses gym, kita harus melewati lorong di area spa.

Dari segi ruang, gym hotel memiliki luas yang terbatas. Cermin-cermin berukuran full-height dipasang di dinding ruangan untuk memberikan kesan luas. Sayangnya, penggunaan warna biru tua pada dinding memberikan kesan gelap yang justru membuat ruangan tetap terasa sempit. Untuk peralatan, kelengkapannya sih sudah cukup baik. Saya sendiri saat menginap tidak sempat menggunakan fasilitas ini karena keterbatasan waktu (udah ada janji makan malam bareng si Alifa). Alat-alat gym yang ada pun tidak terlihat obsolete dari segi desain (saya kurang yakin kalau dari aspek sistem atau komputernya). Gym juga mencakup area loker, toilet, dan kamar mandi. Lokernya mirip dengan loker di SMA saya dulu. He he he.

Lounge

Lounge di Grand Hotel Preanger berada di sisi timur dan menampilkan pemandangan persimpanan Jalan Tamblong dan Jalan Asia Afrika. Dari segi ukuran, area lounge memang nggak begitu besar, tapi tidak sempit juga. Di sini juga ada stage untuk penampilan musik. Oh, ya! Saat check-in, saya dikasih tahu bahwa ada welcome drink yang bisa dinikmati di lounge. Ternyata, welcome drink itu berupa minuman secang. Enak banget dan menyegarkan! Rasanya mirip apa ya? Hmm… Saya pikir rasanya mirip minuman jahe merah.

Interior lounge mengingatkan saya dengan bar atau lounge hotel mewah di era tahun 80-90an. Di malam hari, saya mendapatkan vibe acara-acara musik nostalgia di lounge ini. Sofa dan kursi berbahan kulit dengan warna hitam dan beige tersebar di beberapa titik. Di sisi selatan lounge, ada meja dengan bar stool yang ditempatkan di dekat jendela dan menawarkan pemandangan persimpangan Jalan Tamblong dan Jalan Asia Afrika. Saya sama Pak Suneo nongkrong di sini sambil menghabiskan minuman secang dan ngebahas nanti malam mau makan apa sama si Alifa.

Lounge di Grand Preanger juga memiliki toko wine yang menjual beragam pilihan anggur. Beberapa pilihan juga dipajang di dalam lounge (di luar ruangan toko) untuk menarik perhatian pengunjung. Untuk stage, setelah dipikir-pikir lagi, area penampil nggak begitu luas. Ditambah lagi, stage tidak berbentuk platform yang lebih tinggi dari lantai. Grand piano Yamaha ditempatkan di area ini. Seperti biasa, kalau ada grand piano, saya suka ikut main. Kondisi piano baik dan well-tuned. Untuk sore itu, saya putuskan untuk mainkan lagu A Whole New World, lagu tema film animasi Disney, Aladdin.

Museum

Fasilitas terakhir yang saya kunjungi di Grand Hotel Preanger adalah museumnya. Museum ini bisa dikunjungi secara gratis dan bisa diakses dari tangga ke lantai dasar kalau dari lobi. Museum ini sendiri berlokasi di sayap depan hotel, gedung dengan eksterior bergaya Art Deco. Seingat saya, dulu juga di sini tuh ada kafe, tapi sepertinya tutup atau justru dipindahkan jadi lounge.

Lorong-lorong di luar area museum menonjolkan desain Art Deco yang lebih kental. Eksplorasi ke area ini rasanya seperti main ke Museum Konferensi Asia Afrika karena beberapa area di sana pun mengusung desain serupa, terutama di hall utama. Ada juga lift antik dengan pintu geser yang mengingatkan saya dengan gerbang-gerbang besi di kelas tiga RMS Titanic (maksudnya, bagian dalam liftnya sih cantik dan antik, tapi pintunya ya pintu geser besi). Soal jumlah, memang tidak banyak koleksi yang ada di museum ini. Namun, untuk ukuran museum hotel sih, segini sudah cukup. After all, adanya museum saja sudah jadi nilai tambah yang signifikan lho buat Grand Hotel Preanger.

Di museum, terdapat barang-barang seperti kamera video (atau pemutar video, ya?), furnitur antik yang diduduki figur bersejarah, foto-foto lama, mesin tik, dan barang-barang dari era lawas. Di salah satu sudut museum, terdapat poster Charlie Chaplin, aktor komedi asal Inggris yang terkenal dengan silent film-nya. Buat yang inget, di akhir tahun 90an dan awal tahun 2000an, ada acara komedi Spontan yang ditayangkan di SCTV. Nah, di acara tersebut, ada satu sketsa atau segmen yang menampilkan karakter Den Bagus, versi Indonesia dari Charlie Chaplin. Entah kenapa, saya sampai sekarang masih takut lihat dua-duanya.

Lokasi

Berada di pusat kota Bandung membuat Grand Hotel Preanger jadi salah satu properti yang strategis. Soal kebutuhan, ada banyak tempat yang bisa dikunjungi dengan berjalan kaki, terutama tempat-tempat bersejarah dan wisata. Titik 0 KM Bandung jaraknya paling cuman 1-2 menit dari hotel. Museum Konferensi Asia Afrika bisa ditempuh dengan jalan kaki selama 3 menit. Alun-Alun Bandung, Masjid Raya Bandung, dan Jalan Braga jaraknya sekitar 7-10 menit dari hotel. Untuk urusan makan, sebetulnya ada banyak restoran dan kafe yang bisa ditemui di kawasan Jalan Braga dan Alun-Alun Bandung. Kadang-kadang, di area Cikapundung juga suka diadakan pasar malam, festival, atau semacamnya. Starbucks juga dekat kok dari hotelβ€”sekitar 3 menit dan letaknya pun berseberangan dengan Museum Konferensi Asia Afrika.

Pada jam-jam tertentu, kawasan Jalan Asia Afrika sering macet, terutama ke arah barat (titik kemacetan mulai terasa di depan De Vries dan Alun-Alun). Namun, kalau di depan Grand Preanger sendiri, lalu lintas biasanya masih lancar. Dari Stasiun Bandung, hotel ini berjarak kurang lebih 15 menit dengan kendaraan bermotor (paling titik padat ada di Jalan Kebonjati, dekat Stasiun Hall dan belokan ke Pasar Baru). Kalau dari Bandara Internasional Husein Sastranegara, hotel ini bisa ditempuh dalam waktu sekitar 20-25 menit, tergantung kondisi lalu lintas.

Pelayanan

Segmen ini memuat pendapat saya mengenai pelayanan yang diberikan pihak hotel. Apa yang saya tulis bersifat subjektif dan bukan merupakan informasi umum, dan lebih merupakan pendapat pribadi. Experience yang saya alami bisa jadi berbeda dari apa yang orang lain alami. Tulisan dalam segmen ini tidak ditujukan untuk menjelek-jelekkan atau menurunkan reputasi hotel. Jika informasi yang saya tulis bersifat positif, semoga manajemen hotel bisa tetap menjaga kualitas layanannya. Jika bernada negatif, semoga bisa menjadi bahan perbaikan bagi pihak hotel. 

Selama menginap, hampir tidak ada masalah yang saya alami. Hanya saja, proses check-in terasa lama. Sebetulnya, bukan lama pada saat check-in, tapi lama nunggu antreannya. Si Suneo sempat marah karena yang harusnya kita giliran check-in, tapi justru orang lain yang dikasih giliran duluan. Padahal, kita sudah datang dan ngantri lebih awal. Untungnya, proses check-in nggak bertele-tele dan relatif cepat. Kebayang kalau prosesnya lama. Sudah giliran kita disela orang lain, harus melewati proses check-in yang tedious. Saya juga bakalan marah banget sih.

Di Grand Hotel Preanger, saya juga sempat ngobrol dengan Teh Yayu, guest relation officer. Kami ngobrol soal properti dan segala macam. Saya juga baru tahu kalau di hotel ada museum pas ngobrol itu. Kalau ngobrol sama orang hotelnya langsung, rasanya lebih puas sih cari tahu tentang properti.

Untuk pelayanan di restoran, yang saya sayangkan adalah lamanya makanan di-refill dari kitchen. Ketika sudah pada kosong, tray nggak cepat diisi lagi, padahal waktu itu masih cukup pagi (sekitar jam setengah 9). Waktu saya udah duduk dan makan, baru deh tray diisi lagi makanan. Kalau udah mager ‘kan, malah jadi malas buat ke buffet lagi. Namun, soal kebersihan meja sih, saya rasa staf cukup gesit membersihkan meja-meja yang berantakan. Ditambah lagi, meja yang tersedia cukup banyak. Jadi, tamu punya banyak pilihan tempat untuk duduk.

Kesimpulan

Bucat bisul. Itu istilah untuk sesuatu yang dinanti-nanti dan akhirnya terjadi (biasanya sesuatu yang positif). Waktu masih kecil, saya pengen banget nyoba nginep di Grand Hotel Preanger dan akhirnya harapan saya bisa terlaksana. Meskipun Preanger yang dulu bukanlah yang sekarang (terutama dengan banyaknya perubahan di sana sini), vibe tempo doeloe masih tetap terasa dan desain sebagian besar area hotel masih dipertahankan.

Area lobi hotel

Untuk ukuran properti bintang lima dan bersejarah, hotel ini menawarkan fasilitas yang mumpuni. Kolam renang, gym, spa, ballroom, restoran, lounge, dan museumβ€”ini sudah lumayan. Yang paling saya suka dari properti ini adalah kehadiran museum sebagai fasilitas edukatif untuk para tamu. Correct me if I’m wrong, tapi sejauh ini di Bandung, baru Grand Hotel Preanger yang menghadirkan museum di dalam hotel.

Interior kamar tipe Deluxe mengusung desain yang lebih baru dibandingkan tipe-tipe di wing lama (meskipun beberapa tipe sudah direnovasi dan menghadirkan desain yang lebih baru juga). Penggunaan sliding panel sebagai pengganti tirai jadi salah satu keunikan tipe tersebut, terlebih dengan adanya railing yang membuat kamar bisa disulap menjadi enclosed balcony saat panel dibuka. Teknologi “lawas” berupa panel kendali di end table samping tempat tidur pun masih dipertahankan di kamar. Buat sebagian orang, panel seperti ini mungkin agak gimana, tapi buat saya, justru itu unik karena hotel-hotel lawas (terutama yang heyday-nya di era tahun 80-90an) itu punya charm-nya tersendiri. Sayangnya, desain kamar mandi terasa “B aja” dan bahkan, memberikan vibe area kamar mandi/bilas kolam renang umum, I would say.

Dilansir dari situs resmi hotel, rate yang ditawarkan mulai dari 478 ribuan per malam (belum nett ini kemungkinan). Namun, rate segitu untuk hotel bintang lima dan bersejarah sih saya rasa masih terjangkau. Ditambah lagi, lokasinya dekat ke mana-mana dan fasilitasnya cukup lengkap. Kalau cari akomodasi bintang lima di pusat Bandung, secara spesifik di kawasan Asia Afrika, Grand Hotel Preanger layak dipertimbangkan. Nilai historis hotel dan berbagai fasilitas yang ada, termasuk museum, menjadi keunggulan hotel yang menjadi saksi beberapa momen penting bagi bangsa Indonesia.

Pros & Cons

πŸ‘πŸ» Pros

  • Nilai historis hotel ini jadi keunggulan tersendiri. Well, nggak semua hotel menyimpan nilai sejarah.
  • Adanya museum menjadi nilai tambah buat properti ini.
  • Untuk hotel bintang lima, rate yang ditawarkan masih terjangkau.
  • Lokasinya prima. Ke mana-mana deket dan bisa dengan jalan kaki (terutama kawasan wisata Alun-Alun Bandung dan Jalan Braga).
  • Ada guling di kamar!
  • Hotel ini jadi salah satu ikon Bandung, terutama dari aspek arsitektur karena menonjolkan pesona Art Deco dari era 1920an.
  • Fasilitas yang tersedia cukup lengkap.

πŸ‘ŽπŸ» Cons

  • Desain interior kamar mungkin terlalu dated buat sebagian orang.
  • Interior kamar mandi tipe Deluxe “B” aja. Nothing special.
  • Saya kurang puas dengan proses check-in yang bikin giliran saya dilewat orang lain terus. Padahal, saya udah datang dan antre lebih awal (ini semoga nggak terjadi ke kalian).
  • Makanan di buffet sarapan lama di-refill-nya (semoga nggak terjadi lagi).
  • Kondisionernya kok aneh sih baunya?

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌βšͺ️
Desain: πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†βšͺ️
Lokasi: 🀩🀩🀩🀩🀩
Harga: πŸ’°πŸ’°πŸ’°

Review: Ritz-Carlton Mega Kuningan Jakarta

Sekarang sudah masuk bulan April dan ini artinya sebentar lagi ulang tahun saya. Tahun ini sepertinya akan jadi ulang tahun yang berat karena di tengah wabah COVID-19 yang sepertinya bukannya mereda, malah tambah memburuk, ada kemungkinan saya masih nggak bisa ke mana-mana saat ulang tahun nanti di bulan Mei. Ya, harapannya sih, wabahnya bisa segera terkendali dan jangan ada case baru (which sounds unlikely, ya). Ya, setidaknya semoga sudah ada obatnya dan bisa segera digunakan deh.

Ngomongin soal ulang tahun, saya mau throwback nih ke ulang tahun saya di tahun 2019. Nah, tahun kemarin itu perayaannya bisa dibilang cukup seru dan banyak hotel hopping. Walaupun agak repot karena harus pindah dari satu hotel ke hotel lain, secara keseluruhan sih pengalaman liburan dan ulang tahunnya sangat berkesan. Pada momen itu, saya stay di tiga hotel, dan salah satunya adalah The Mayflower Jakarta – Marriott Executive Apartments, properti yang udah saya review sebelumnya. Untuk properti yang pertama, saya rahasiakan dulu deh soalnya review-nya belum saya tulis. Nah, setelah dari Mayflower, saya pindah ke hotel baru yang berada di kawasan Mega Kuningan. Sebetulnya, nginep di sini itu terbilang tidak direncanakan. Awalnya, saya kepikiran untuk stay dua malam di Mayflower, tapi saat itu entah kenapa saya malah browsing pilihan hotel lain dan pilihan saya jatuh ke hotel ini.

0
Fasad Ritz-Carlton Mega Kuningan Jakarta. Foto milik pihak manajemen hotel.

Ritz-Carlton Mega Kuningan Jakarta adalah hotel bintang 5 yang berlokasi di Jl. Dr. Ide Anak Agung Gde Agung, Kav. E.11, No. 1, Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Hotel mewah di Jakarta ini adalah salah satu properti yang terkenal. Letaknya berseberangan dengan JW Marriott Jakarta. Sebenarnya, di daerah Kuningan sendiri ada 3 properti Marriott, JW Marriott Jakarta, Ritz-Carlton Mega Kuningan, dan The Westin Jakarta. Dari segi umur, JW Marriott Jakarta ini yang paling tua. Sebetulnya, Jakarta punya dua Ritz-Carlton. Satu lagi ada di SCBD, satu bangunan dengan Pacific Place dan umurnya lebih muda.

Ngobrolin soal hotelnya dulu secara keseluruhan, untuk member Marriott Bonvoy, hotel ini masuk ke kategori 5, satu level dengan adiknya yang di SCBD. Soal fasad, ini salah satu aspek yang saya suka dari hotel ini. Kalau kalian pernah atau sering ke kawasan ini, pasti tahu kalau Jalan Dr. Ide Anak Agung Gde Agung ini melingkar. Nah, bangunan Ritz-Carlton Mega Kuningan Jakarta menempati seperempat lingkaran itu. Karena mengikuti bentuk bangunan, fasad terluarnya ikut dibentuk melingkar, mirip Koloseum. Fasad hotel tampil majestic dalam balutan warna putih dan pilar-pilar bergaya Doric. Berdasarkan info dari halaman Wikipedia-nya, hotel ini dibuka pada tahun 2005. Berarti umurnya udah 15 tahunan. Ritz-Carlton Jakarta juga punya beberapa rekor lain sebetulnya. Daftar gedung tertinggi di Jakarta dari Wikipedia menunjukkan hingga tanggal ini nih (5 April 2020), kedua menara Ritz-Carlton menempati posisi ke-29 sebagai gedung tertinggi di Jakarta dengan tinggi 212 meter. Selain itu, dilansir dari situs resmi hotel, Ritz-Carlton Mega Kuningan  menawarkan kamar hotel terbesar di Jakarta. Sounds braggadocious? Nanti saya jelasin di paragraf berikutnya.

Kalau menyebut nama Ritz-Carlton, saya kayaknya nggak bisa hapus asosiasi hotel ini dengan tragedi di tahun 2009. Hotel ini menjadi salah satu target pemboman teroris. Selain Ritz-Carlton, JW Marriott Jakarta juga jadi target pemboman pada hari yang sama. JW Marriott sendiri udah dua kali kena bom, dengan pemboman pertama itu pada tahun 2003. Jahat banget teroris tuh. Dua minggu setelah kejadian, hotel kembali dibuka dan beroperasi seperti biasa.

Oke, kembali ke review. Saya baca brosur lengkap hotel (bisa di-download di sini) untuk pelajari lebih lanjut tentang hotel ini. Sebetulnya, saya udah baca brosurnya dari lama, tapi ya saya baca-baca lagi takutnya salah informasi. Ada 296 kamar dan 37 suite room di Ritz-Carlton Mega Kuningan Jakarta. Untuk tipe kamar sendiri, ada tujuh tipe kamar, dengan tipe terkecil adalah Grand Room dan tipe terbesar adalah Presidential Suite. Untuk tipe Grand Room sendiri ada dua opsi, tipe biasa dan Grand Club. Nah, tipe-tipe lainnya udah mencakup akses ke exclusive Club Lounge. Sebelumnya, saya bilang kalau hotel ini mengklaim sebagai hotel yang menawarkan kamar dengan luas terbesar di Jakarta. Saya coba riset beberapa hotel bintang 5 di Jakarta dan membandingkan ukuran kamarnya. Untuk Four Seasons Jakarta (kebetulan saya udah pernah nginep di sana), ukuran kamar yang paling kecil adalah 62 meter persegi dan tipe paling besar adalah 330 meter persegi (info dari situs resmi hotel). Untuk Raffles Jakarta, tipe Signature Room punya luas 60 meter persegi dan tipe Raffles Suite punya luas 390 meter persegi. Nah, Ritz-Carlton Mega Kuningan Jakarta menawarkan tipe Grand Room dengan luas 63 meter persegi, cuman beda 1 meter persegi aja sama Executive/Deluxe Suite-nya Four Seasons Jakarta. Tipe terluasnya adalah Presidential Suite dengan luas 401 meter persegi. Namun, The Duke Suite-nya Mulia Jakarta hadir dengan luas 650 meter persegi. Jadi, kalau dibilang yang paling besar sih, sebetulnya nggak. Hanya saja, luas yang ditawarkan tetap signifikan (a 401-square meter space is really big, lor). Kalau yang dibandingkan adalah kamar terkecil, Ritz-Carlton Mega Kuningan masih kalah dengan adiknya yang di SCBD karena Ritz-Carlton Pacific Place menawarkan tipe Deluxe Grand Room dengan luas 72 meter persegi. Pretty spacious, isn’t it?

Untuk fasilitas, hotel ini hadir dengan beragam amenities berkelas seperti gym, kolam renang, spa, grand ballroom, meeting room, executive club lounge, dua restoran, kids’ club, jogging track, dan yang terbaru adalah Ozone Bar & Karaoke. Waktu berkunjung, saya pesan Mayfair Suite, tipe terbesar keempat di Ritz-Carlton Mega Kuningan Jakarta. Pengalamannya mengesankan, and I really had a good time with my friends. Ulasan lengkapnya saya bahas di segmen berikutnya, ya!

Desain Kamar

As expected from a luxury hotel, ukuran jadi satu hal yang ditonjolkan. Tipe Mayfair Suite di Ritz-Carlton Mega Kuningan Jakarta punya luas 110 meter persegi. Pemilihan tipe ini sebetulnya karena saya juga ingin punya living area terpisah untuk menyambut teman-teman yang datang. Jadi, di tipe ini ada living area, powder room, kamar tidur utama, walk-in closet, dan master bathroom. Dengan luas 110 meter persegi dan lima ruangan terpisah, setiap ruang punya ukuran yang cukup luas, terutama powder room-nya yang menurut saya sih way too big, terutama dengan bentuk yang memanjang. But I think that’s one of the perks of enjoying the luxury.

Secara keseluruhan, interior suite room mengusung desain kontemporer. Kalau saya perhatikan, untuk ukuran hotel yang dibangun di tahun 2005 (dan selama belum ada perubahan pada interior kamar), desain yang diusung sudah cukup modern dan belum obsolete. Menurut saya secara pribadi, salah satu risiko penerapan desain kontemporer adalah seberapa cepat desain dianggap obsolete. Begitu masuk, saya disambut dengan living area yang luasnya hampir sama dengan luas master bedroom. Dengan space yang besar, penggunaan oversized furniture items masih nggak bikin ruangan terasa sempit. Pada kenyataannya, ruangan justru terasa sangat lapang dan ke arah kosong, terutama di sisi-sisi belakang armchair. Ada sofa untuk tiga bahkan empat orang, dan satu armchair besar. LED TV sebesar 55 inci dipasang pada dinding dan di bawahnya ada kabinet yang cukup besar. Di salah satu sudut, ada area kerja dengan meja yang cukup besar. Jendela-jendela di living area dengan tinggi hampir selangit-langit menawarkan view Jalan Dr. Satrio dan Rasuna Said.

IMG_20190616_171318
IMG_20190616_171339
IMG_20190616_171759
View dari living area

Di living area ini, saya dan teman-teman merayakan ulang tahun saya sambil ngemil, ngobrol, dan main game. Dengan ukuran yang luas, sebenernya area ini bisa menampung tamu, mungkin sampai 7 atau 8 orang (kalau kursi kurang, bisa pakai kursi kerja atau ambil kursi dari master bedroom). Di dekat pintu keluar, ada powder room. Ini artinya teman-teman saya bisa pakai kamar mandi di situ, tanpa harus masuk ke area master bedroom. Privasi masih terjaga lah. Nah, si powder room ini sendiri bentuknya memanjang dengan satu bathroom counter yang besar dengan counter top berbahan marble.

IMG_20190616_171409
IMG_20190616_171403
Powder room

Beralih ke master bedroom, untuk tipe Mayfair Suite di Ritz-Carlton Jakarta, sebetulnya kamar tidur utamanya sih mirip dengan tipe Grand Room. Ya, anggaplah tipe Grand Room ditambah living area terpisah dan powder room tambahan. Desain interiornya masih sama dengan interior living area. Di sini, ada satu sofa (dengan ukuran yang lebih kecil) dan coffee table, tempat tidur king-size, LED TV 55 inci, dan satu oversized armchair di dekat jendela. Nah, kali ini jendelanya menghadap ke arah JW Marriott Jakarta. Adanya TV di master bedroom juga jadi penolong, in case nih temen sekamarmu pengen nonton channel apa, tapi kamu pengen nonton channel yang lain. Eh, saya hampir lupa! Untuk palet warna sendiri, tipe Mayfair Suite mengusung warna-warna earthy, dengan dinding berwarna krem ke arah beige. Pencahayaan ruangan ke arah dim sebetulnya, tetapi membangun kesan mewah. Ranjang yang digunakan adalah two-poster bed. Nah, kalau biasanya ranjang dengan post atau tiang ini biasanya punya tiang di keempat sisinya, di sini tiang hanya ada di bagian headboard. Di atas tempat tidur sendiri, ada dua lukisan sebagai dekorasi ruangan. Secara keseluruhan, ruangan nggak terkesan kosong karena ada lebih banyak furnitur di sini. Waktu ke sini, ada empat orang yang ikut nginap. Karena kasur cukup besar, king bed bisa memuat tiga orang (kebetulan badannya pada kecil). Sementara itu, teman saya yang satu lagi tidur di sofa. In fact, keesokan harinya setelah berenang, saya sempet tidur siang dulu di sofa living area dan tidurnya pun nyaman. So, parah-parahnya sih kalau memang harus “keroyokan” banget tidur di satu unit, tipe Mayfair Suite ini bisa menampung 5 orang: 3 orang di kasur, 1 orang di sofa master bedroom, dan 1 orang di sofa living area. Kalau memang nggak mau tidur di sofa, rollover bed pun bisa dipesan dari hotel (dengan biaya tambahan). Saya rasa tipe ini cocok buat keluarga kecil yang punya 2 atau 3 anak.

IMG_20190616_171653
IMG_20190616_171658
IMG_20190616_171710
IMG_20190616_171423
IMG_20190616_175326

Oh, ya! Sebelum masuk ke master bedroom, ada semacam nook dengan counter yang memuat kulkas, coffee/tea maker, beragam pilihan kopi dan teh, dan dua piece cokelat. Yang satu milk chocolate, yang satu lagi dark chocolate. I LOVED BOTH OF THEM! Cokelat yang ini gratis, ya, tapi kalau minuman dan makanan yang ada di kulkas, dan wine yang tersedia sih harus bayar lagi. Nah di samping kiri area ini, baru ada walk-in closet. Ukuran ruangannya nggak begitu luas memang, tapi ukuran closet-nya sih cukup besar. Di sini juga ada ironing board dan setrika. Walk-in closet ini juga punya akses langsung ke master bath.

Kamar Mandi

Kamar mandi tipe Mayfair Suite di Ritz-Carlton Mega Kuningan Jakarta menawarkan space yang besar. Ada area shower yang cukup besar, bathtub, dan his-and-hers sink. Untuk bathtub, posisinya ada di samping jendela besar yang menghadap ke JW Marriott Jakarta. Nah, di depan jendela ini sendiri ada semacam tembokan. Jadi, kalau badannya kurang tinggi atau duduknya kurang tegak, saya rasa nggak akan bisa berendam sambil lihat view (dan juga, view-nya cuman hotel tetangga so, yeah, not a really special thing). Nah, bathtub ini ternyata lebih besar dari dugaan saya. Ketika berendam, ternyata bathtub cukup dalam. Interior kamar mandi didominasi oleh marmer palet monokrom. Cukup mewah.

IMG_20190616_171630
IMG_20190616_171513

Hadirnya his-and-hers sink bikin tamu bisa pakai wastafel masing-masing. Cermin besar yang dipajang dipercantik dengan frame warna emas dan sepasang wall lamp bergaya modern classic. Produk mandi yang tersedia di Ritz-Carlton Jakarta adalah produk-produk line Purple Water dari Asprey, brand asal London. Aromanya nggak intense, cuman buat saya sih nggak begitu unik karena sepertinya pernah cium aroma serupa di tempat lain. Selain itu, di kamar mandi juga tersedia hair dryer, emery board (alat buat menghaluskan ujung kuku setelah digunting), korek kuping, dan perlengkapan pribadi lainnya.

IMG_20190616_171456
IMG_20190616_171448

Untuk area shower, ruang yang ada cukup luas. Di sini nggak ada rainshower, tapi ada shower permanen dan hand shower. Produk mandi yang ditawarkan masih dari Asprey. Untuk kloset, saya kurang suka posisinya karena di sampingnya, ada pintu geser menuju walk-in closet. Pintu ini memang ada kuncinya, cuman kalau sewaktu-waktu lupa kunci dan ada orang yang buka pintu sementara kita lagi do our business, kayaknya bakalan awkward banget.

Fasilitas Umum

Bicara soal fasilitas umum, ada banyak opsi yang tersedia di Ritz-Carlton Mega Kuningan Jakarta. Di sini ada dua restoran, kolam renang, gym, spa, sauna, steam room, whirlpool, grand ballroom, meeting room, dan banyak lagi. Untuk tamu yang menempati kamar-kamar dengan akses Club Lounge, di lounge juga ada beberapa fasilitas tambahan. Yang paling baru, hotel ini punya Ozone Karaoke & Bar yang dibuka beberapa bulan setelah saya berkunjung. Jadi, ya saya nggak sempat ke sana. Saya mau bahas dulu dari fasilitas yang paling saya suka, Club Lounge.

Club Lounge

Berada di lantai 26, Club Lounge Ritz-Carlton Jakarta bisa dibilang salah satu executive lounge terbesar di Jakarta. Lounge ini bahkan punya extension di lantai 25 yang biasanya digunakan untuk tamu-tamu yang bawa anak-anak. Kalau mau ke sini, tamu wajib pakai sepatu dan pakaian berkerah (smart casual). Oh, ya. Pakai celana pendek juga nggak boleh. Waktu saya menginap, saya lihat satu tamu (orang asing) yang, karena dia pakai tank top, dia cuman “stuck” di reception dan ngobrol sama staf. Saya check-in di sini by the way.

IMG_20190617_103908

Club Lounge terasa makin lapang karena area-area utamanya nggak dipisahkan oleh tembok (ya, ada pilar atau tembok, tapi bukan tembok yang memanjang). Para tamu dengan akses ke executive lounge bisa sarapan di sini, menikmati camilan dan afternoon tea, dan pakai meeting room secara gratis selama 2 jam. Untuk benefit lengkapnya, bisa dibaca di sini. Yang jelas sih, menurut saya kalau memang dananya ada, coba pilih kamar dengan akses ke executive lounge ini karena it really is worth your money! Buat yang sering laper, daripada harus pesan makanan lagi dari luar, cukup ke sini aja. Pas sore, ada juga free flow wine dan beer.

IMG_20190616_165618
IMG_20190616_165637

Dining area utama berada nggak jauh dari reception area. Area ini cukup luas dan tampil hangat dalam balutan didning warna krem/beige, lantai karpet berwarna merah dengan motif keemasan, dan furnitur bergaya kontemporer. Secara keseluruhan, interior Club Lounge mengingatkan saya dengan interior ruang-ruang publik di RMS Queen Mary 2. Ada beberapa meja yang ditempatkan di sebelah jendela. Jadi, kalau ingin makan sambil liat view, pilih aja meja-meja ini. Area buffet ada di ujung dining area dan bicara soal ukuran, luasnya sih memang nggak seberapa kalau dibandingkan restoran-restoran utama di lantai lobi. Namun, saya suka karena selain tempat yang jauh lebih tenang, para staf yang bertugas juga memberikan personalized service. Soal service, nanti saya bahas di segmen khusus, ya.

IMG_20190617_082502

Oh, ya! Untuk menu sarapan, memang pilihan yang tersedia nggak sevariatif menu sarapan di Asia Restaurant. Namun, ya, untuk level executive lounge sih, menu yang ditawarkan sudah decent. Waktu sarapan, saya nggak banyak makan karena saat itu kondisinya masih nggak enak badan. Saya hanya ambil hashbrown potato dan sushi. Saya minta staf untuk buatkan scrambled egg. Untuk minuman, staf lounge berinisiatif kasih saya ginger tea. I really appreciated her gesture.

Beralih ke bagian lounge yang lain (kayaknya ini di sisi utara). Area ini bisa dibilang area perpustakaan yang lebih tenang. Di sini, ada banyak set sofa, kursi lengan, dan meja. Ada juga beberapa lemari yang memuat koleksi-koleksi buku. Di salah satu sisi ruangan, ada LED TV. Karena posisinya berada di ujung dining hall utama, area ini cocok banget buat baca buku atau ngobrol yang lebih serius bareng temen atau keluarga.  Ada satu hal yang menarik perhatian saya. Di tengah-tengah ruangan, ada end table dengan set papan catur di atasnya. Yang lebih unik adalah pion-pionnya terbuat dari kayu dan diukir dengan gaya ukiran khas Bali. Saya jadi ingat di rumah pun ada set catur seperti ini (dan skema warnanya mirip). Cuman, saya lupa wo baba simpan di mana, ya. Untuk pustaka bacaan, buku-buku yang tersedia beragam dari segi genre dan tahun keluaran. Bahkan, ada beberapa buku bahasa asing yang saya lihat di sini (saya nemu buku bahasa Jerman kalau nggak salah ingat). Sebetulnya, di area ini ada banyak lagi seating area yang lebih tersembunyi di antara dinding-dinding. I got to say it feels like a maze.

IMG_20190616_165749
IMG_20190617_092208
IMG_20190616_165725

Setelah sarapan, staf lounge menawarkan saya untuk coba fasilitas lain yang ada. Salah satunya adalah game room yang berada satu hallway dengan business center. Di game room ini ada meja bilyar dan televisi. Sementara untuk business room, ada beberapa komputer dan set meja kursi. Oh, ya! Ada juga mesin fotokopi. Masih di hallway yang sama, ada beberapa meeting room yang bisa digunakan tamu secara gratis selama dua jam per hari.

IMG_20190616_165806
Game room
IMG_20190617_092729
Game room
IMG_20190617_092820
Business center
IMG_20190617_092829
Business center
IMG_20190617_092841
Business center

Waktu saya berkunjung, kondisi ruangan-ruangan ini kosong. Memang pada saat itu, tamu yang datang ke Club Lounge juga nggak banyak. Jumlahnya bisa dihitung pakai jari. Momen itu saya manfaatkan akhirnya untuk lihat-lihat fasilitas yang ada dan foto-foto properti. Oh, ya! Hampir lupa, ‘kan! Di dekat dining hall utama, ada tangga panjang menuju lantai 25. Di lantai ini, ada satu area yang merupakan extension dari Club Lounge. Di lantai 25 sendiri, kamar-kamar yang ada merupakan tipe kamar dengan akses ke executive lounge. Di area ini, furnitur yang ada nggak banyak. Jadi, areanya luas banget (kayaknya sih kalau anak-anak bakalan senang lari-larian di sini). Ada beberapa set sofa dan meja, lemari besar, dan beberapa dekorasi lainnya. Langit-langit area ini setinggi dua lantai dan untuk pencahayaan, ada jendela-jendela setinggi dua lantai di salah satu sisinya. Di sini juga ada beberapa pot bambu setinggi dua lantai.

IMG_20190617_093158
IMG_20190617_093225
IMG_20190617_093407

Kolam Renang

Lantai 5 Ritz-Carlton Mega Kuningan Jakarta bisa dibilang jadi pusatnya sebagian besar fasilitas hotel. Nah, salah satu fasilitas yang ada di lantai ini adalah kolam renang. Untuk mencapai kolam renang ini, tamu akan melewati semacam courtyard dengan air mancur cantik. Saya sempat sore-sore ke sini dan area taman ini rasanya romantis banget, apalagi pas golden hour matahari mulai terbenam. Saya sih menyebut area ini sebagai secret garden.

IMG_20190617_095840
IMG_20190616_173924

Untuk menuju kolam renang, tamu bisa mengikuti pathway atau nyelip ke lorong kecil menuju gym. Bicara soal kolam renang, ukurannya besar dan cukup panjang untuk bolak-balik satu lap. Area kolam dihiasi tanaman-tanaman tropis. Di salah satu sudut kolam, ada ring basket. Outdoor lounge chair dan parasol ditempatkan berjajar di salah satu sisi kolam yang menghadap ke area kebun. Bangunan di belakang barisan lounge chair ini adalah gym hotel. Sayangnya, saya nggak sempat masuk ke dalamnya dan olahraga karena masih nggak enak badan (tapi saya malah berenang. Nah loh!). Oh, ya. Bisa dilihat di gambar di bawah ini, di area kebun, ada sepasang tembokan dengan air mancur. Sepasang tembokan itu sebetulnya merupakan “gapura” menuju secret pool. Saya nggak sempat foto secret pool-nya, tapi itu menurut saya area kolam yang cukup romantis. Posisinya juga teduh dan tersembunyi, but it doesn’t mean it’s a shady place, ya (pun intended).

IMG_20190617_095942
IMG_20190617_095948
IMG_20190617_095954
IMG_20190617_100903

Di area kolam Ritz-Carlton Jakarta juga ada tiga gazebo untuk bersantai. Kadang-kadang gazebo ini dipakai untuk customer spa. Jadi, di sini tamu bisa dipijat. Area kolam renang ini juga dikelilingi oleh jogging track. Sebetulnya, secara pribadi sih, kayaknya saya akan lebih senang jogging keliling Mega Kuningan. Setelah berenang, saya dan teman-teman niatnya ingin santai di whirlpool, tetapi sayangnya saat itu area whirlpool, sauna, dan steam room sedang dalam renovasi. Namun, staf yang bertugas mengarahkan kami ke ruang ganti yang ternyata merupakan bagian dari spa hotel.

IMG_20190617_111405

Sebelum masuk ke loker, area ruang ganti, dan shower, saya harus melewati atrium yang cukup mewah dengan pencahayaan yang redup. Awalnya, saya sempat ragu karena takut tersesat. Thank God, saya berada di jalan yang benar. Ada empat shower di sini dan untungnya, saat itu hanya ada satu pengunjung lagi. Jadi, ya pas lah saya bertiga dengan teman-teman dan satu pengunjung lain. Kami tidak perlu berebut atau menunggu giliran pakai shower. Di ujung area ini, ada whirlpool dan (sepertinya) cold plunge pool, serta sauna dan steam room. Semuanya belum bisa dipakai karena dalam renovasi.

IMG_20190617_111238
IMG_20190617_111248
IMG_20190617_111301

Untuk area loker, lemari-lemari yang ada cukup banyak. Vanity table ada di sisi ruangan yang lain, lengkap dengan produk-produk perawatan pribadi seperti hair tonic, hairspray, korek kuping, body lotion, dan hair dryer. Kalau ingin pinjam handuk, kita bisa pinjam ke petugas yang ada di meja reception sebelum masuk ke area wastafel.

IMG_20190617_111213
IMG_20190617_111224

Nah, setelah selesai mandi dan ganti baju, saya dan teman-teman sempat nyantai dulu di ruang santai yang berada di dekat area loker. Di ruang santai ini, ada set kursi dan meja kopi, televisi, dan sepasang recliner. Ruangan ini punya jendela setinggi langit-langit yang menghadap ke arah taman kecil di luar. Setelah berenang, sebetulnya saya ngantuk banget dan tadinya ingin tiduran sebentar di recliner. Ujung-ujungnya, saya malah tidur siang di sofa living area kamar.

IMG_20190617_111348
IMG_20190617_111355

Asia Restaurant

Seperti yang sudah saya bilang, Ritz-Carlton Mega Kuningan Jakarta punya dua restoran. Restoran yang dibuka untuk sarapan adalah Asia Restaurant. Kalau dari lobi, restoran ini berada di sayap kanan gedung. Saat saya berkunjung, waktu itu masih jam breakfast dan restoran cukup ramai (dan banyak anak-anak lari-lari ke sana kemari).

IMG_20190617_095435
IMG_20190617_095026
IMG_20190617_094809

Menu-menu yang disajikan sangat beragam, dari sajian Indonesia sampai internasional seperti Tiongkok dan India. Ada juga beberapa station untuk sajian Jepang dan Korea. Asia Restaurant mengusung konsep open kitchen. Jadi, waktu saya ke sana, saya juga bisa lihat para chef dan stafnya yang lagi memasak. Karena sudah sarapan di Club Lounge, saya nggak sarapan lagi di sini, meskipun memang menu-menu sarapan pada hari itu keliatannya menggoda selera. Dining hall utama di Asia Restaurant cukup luas. Set meja dan kursi makannya pun berbeda-beda jenisnya. Ada meja yang pakai empat kursi, ada juga yang pakai club chair melingkar. Interior restoran mengusung desain modern dan tampak mewah dengan penggunaan kisi-kisi berbahan logam berwarna platinum ash dengan kaca bertekstur. Sisi restoran yang dekat dengan jendela jadi area yang paling saya suka. Dengan kisi-kisi logam dan set meja dan kursi makan dengan skema warna hitam dan ash, area ini tampak paling stylish. Menurut saya, kisi-kisi logam ini juga merupakan modern rendition dari kisi-kisi khas Tionghoa yang biasanya dibuat dari kayu dan berwarna cokelat.

IMG_20190617_095214
IMG_20190617_095207

Asia Restaurant juga punya area yang lebih tertutup dan biasanya dipakai untuk acara-acara seperti pertemuan, seminar, rapat, atau semacamnya. Area ini tampil cantik dengan palet monokromatik plus redwood. Kisi-kisi logam juga masih terpasang di sana sini. Dinding pada salah satu sisi restoran dipasangi cermin yang tidak hanya memberikan efek luas, tetapi juga mewah.

Lobo Italian Bistro

Restoran kedua yang ada di Ritz-Carlton Jakarta adalah Lobo Italian Bistro. Posisinya berada di sisi kiri lobi. Menjelang masuk ke restoran, tamu bisa lihat pilihan wine yang dipajang.

IMG_20190616_215843

Bicara soal luas, Lobo nggak kalah besar dengan Asia Restaurant. Dari segi interior, desainnya lebih Eropa dibandingkan Asia. Secara pribadi sih, saya lebih suka desain interiornya Asia yang mencerminkan modern rendition dari desain-desain Asia, terutama dengan warna-warna earthy dan metal. Namun, ya, sesuai restorannya, wajar kalau desain yang lebih Eropa diterapkan di Lobo. Saya berkunjung ke sini malam-malam setelah makan bareng teman-teman. Jadi, kunjungan ke sini hanya untuk foto-foto properti. Namun, untuk menu, Lobo menyajikan beragam sajian Italia, termasuk piza dan pasta. Lobo sendiri suka ngadain promo menarik yang diunggah di Instagram resmi Ritz-Carlton Mega Kuningan Jakarta. Waktu itu, saya lihat ada promo pizza dan bir. Ya, lumayan lah buat ngajak nongkrong teman. Untuk informasi lebih lanjut, coba follow dan pantengin Instagram-nya Ritz-Carlton Jakarta, ya!

IMG_20190616_215853
IMG_20190616_215907
IMG_20190616_220028

Bahas soal interior lagi. Meja-meja ditempatkan dalam jarak yang cukup besar. Kesan lapang jelas terlihat di sini, terutama karena jumlah furniturnya nggak sebanyak meja kursi di Asia Restaurant. Mengusung desain modern classic, palet merah, putih, krem, dan emas mendominasi interior restoran. Beberapa pohon artifisial ditempatkan di titik-titik tertentu. Di ujung main hall, terdapat bar dan grand piano.

IMG_20190616_215917
IMG_20190616_220009

Sebelumnya, saya sempat bilang bahwa sebelum masuk, kita bisa lihat beragam pilihan wine yang tersedia. Lobo Italian Bistro memang punya wine cellar. Kalau untuk promo wine sih saya nggak ingat, cuman yang saya ingat itu mereka pernah adakan promo beer dan piza, tapi kayaknya sih promo wine pun ada. Well, you’d better ask the staff . Restoran ini juga sebetulnya punya balkon alfresco yang menawarkan view sekitar hotel. Saya nggak sempat ke balkon ini karena sudah malam juga. Namun, balkon ini kelihatan kok dari jalan. Dengan ambiance yang lebih eksklusif, Lobo bisa jadi tempat yang pas untuk meet up sama teman sambil ngobrol dan ngemil di sore hari, terutama di area balkonnya.

Fasilitas Lain

Selain fasilitas-fasilitas yang disebutkan sebelumnya, Ritz-Carlton Mega Kuningan Jakarta punya beberapa fasilitas lain. Untuk menggelar acara, misalnya, hotel ini punya lebih dari 20 ballroom & meeting room yang tersebar di lantai lower lobby, lantai dua, dan lantai tiga. Saya baca brosur resmi hotel dan ballroom terbesar yang ditawarkan hotel, The Ritz-Carlton Grand Ballroom memiliki luas 1.600 meter persegi dan bisa mengakomodasi sekitar 2.500 tamu. Sebetulnya, The Ritz-Carlton Grand Ballroom ini merupakan gabungan dari empat ballroom. Di belakang grand ballroom, ada foyer dengan luas 820 meter persegi. Oh, ya. Di hallway menuju Lobo Italian Restaurant, ada business center. Namun, di sini juga dijual beberapa suvenir dan aksesori.

IMG_20190616_215838

Salah satu spot Instagrammable di Ritz-Carlton Jakarta adalah grand lobby-nya. Lobi ini punya langit-langit setinggi tiga lantai dan grand staircase yang, bukan mengarah ke lantai atas, tapi ke lantai lower lobby. Tangga ini dikelilingi oleh pagar yang melingkar.

IMG_20190616_172543
IMG_20190617_135502

Di depan area resepsionis, ada dua pilar yang menahan balkon-balkon di dua lantai di atasnya. Kedua pilar tersebut dipasangi ottoman melingkar. Area resepsionis juga tampil cantik dengan chandelier modern yang cukup besar. Grand lobby ini, sesuai namanya, memang besar dan megah. Namun, buat saya secara pribadi, ada perasaan, umh… what’s the word… Kosong? Hampa? Dengan langit-langit setinggi tiga lantai dan struktur yang serba oversized, (terlalu) banyaknya ruang di sini bikin lobi terasa dingin dan kurang hangat, meskipun warna-warna earthy diterapkan di sana sini. Nevertheless, area ini tetap jadi kawasan yang Insta-worthy dan sayang untuk dilewatkan.

Untuk memudahkan bepergian, Ritz-Carlton Mega Kuningan Jakarta menawarkan layanan shuttle van gratis ke beberapa tempat di kawasan Mega Kuningan, termasuk mal Lotte Shopping Avenue. Namun, layanan ini bersifat one-way. Jadi, waktu saya ke mal untuk makan, saya ke sana pakai van hotel. Pas pulang, saya cari taksi sendiri. Sistem one-way ini agak disayangkan, terutama kalau saya bandingkan dengan properti yang menawarkan antar-jemput gratis, dan bukan hanya one-way trip, seperti Four Seasons Jakarta but it is what it is. Setidaknya, layanan ini membantu.

Lokasi

Ritz-Carlton Mega Kuningan Jakarta berada di Mega Kuningan, kawasan bisnis dan perkantoran yang terkenal di Jakarta. Kalau melihat dari lokasinya, hotel bintang 5 di Jakarta ini sebetulnya cocok untuk kalangan pebisnis, apalagi saat mempertimbangkan fasilitas-fasilitasnya. Beberapa tower perkantoran seperti The East, CoHive Menara Prima, dan BTPN Tower. Oh, ya! Di The East sendiri ada NET. TV. Jadi, kalau kebetulan lagi nginep di sini dan jalan-jalan di sekitar Mega Kuningan, ya, siapa tahu papasan sama artis.

Untuk transportasi, area ini memang nggak dilewati transportasi umum. Kalau mau pakai transportasi umum, harus jalan atau naik taksi/shuttle van ke at least jalan masuk Mega Kuningan di Jalan Dr. Satrio. Jadi, selama menginap di sini sih harus siap ke mana-mana pakai taksi atau kendaraan pribadi. Saya sendiri saat bepergian pakai taksi online dan shuttle van hotel. Ya, kalau mau jalan kaki sih sebetulnya bisa. Bisa banget. Cuman mungkin buat sebagian orang, jalan kaki dari Ritz-Carlton ke Dr. Satrio itu malesin. Ya, jujur sih kalau saya harus jalan kaki, kayaknya lumayan gempor juga berhubung kavling-kavling di sini ukurannya besar-besar.

Dari Stasiun Gambir, hotel ini bisa ditempuh dalam waktu, mungkin 40-50 menit, ya, tergantung kondisi lalu lintas. Stasiun BNI City bisa ditempuh dalam waktu sekitar 30 menitan. Ya, lagi-lagi semuanya tergantung kondisi lalu lintas.

Pelayanan

Segmen ini memuat pendapat saya mengenai pelayanan yang diberikan pihak hotel. Apa yang saya tulis bersifat subjektif dan bukan merupakan informasi umum, dan lebih merupakan pendapat pribadi. Experience yang saya alami bisa jadi berbeda dari apa yang orang lain alami. Tulisan dalam segmen ini tidak ditujukan untuk menjelek-jelekkan atau menurunkan reputasi hotel. Jika informasi yang saya tulis bersifat positif, semoga manajemen hotel bisa tetap menjaga kualitas layanannya. Jika bernada negatif, semoga bisa menjadi bahan perbaikan bagi pihak hotel. 

Sekarang, bicara soal service di Ritz-Carlton Mega Kuningan Jakarta. Pelayanan yang diberikan staf bagi saya mengesankan dan perlu diapresiasi, terutama para staf di Club Lounge. Seperti yang saya ceritain sebelumnya, saya berkunjung dalam kondisi kurang enak badan, dan yang saya apresiasi adalah kepekaan mereka terhadap kondisi saya. Kalau bahasa Koreanya sih 눈치 μžˆλ‹€ (nun-chi itta). Mereka punya nunchi alias kepekaan. Pas baru tiba, misalnya, dan saya lagi keliling-kelling sendiri di sekitar kolam renang, saya sempat ngobrol sama staf yang bertugas di spa. Mereka tanya apa saya mau coba massage, tapi saya bilang nggak usah. Penawaran layanan massage ini sebetulnya, ya, menjual layanan, tapi yang saya apresiasi lagi adalah, setelah saya menolak pun, mereka tanya apakah saya mau teh jahe apa nggak, karena mereka bisa siapkan (for free).

IMG_20190616_165711

Kayaknya selama menginap, saya memang temenannya sama teh jahe. Waktu breakfast di Club Lounge, saya dilayani sama Mbak Dahlia. Saat ngobrol, saya bilang kalau saya masih agak meriang. Mbak Dahlia langsung siapkan teh jahe buat saya, tanpa saya minta. Sambil breakfast, saya ngobrol panjang lebar bareng Mbak Dahlia tentang bermacam-macam hal, terutama soal hotel dan benefit akses ke executive lounge. Staf-staf lain seperti Mas Diki, Mas Krisna, Mbak Andriyani, dan Mbak Tiara juga sangat ramah. Bahkan, waktu saya pulang, mereka sampai membawakan koper-koper saya dan teman-teman, dan mengantar kami sampai area drop off. Saya juga dibawakan teh jahe lagi untuk diminum di jalan. Kudos to you all!

Oh, ya! Ada juga staf yang bertugas di area kolam renang (bapak-bapak, tapi saya lupa namanya). Setelah berenang (padahal saya lagi meriang lho), saya tanya shower, whirlpool, dan ruang gantinya di mana. Staf tersebut bilang kalau whirlpool hotel sedang direnovasi. Uniknya (saya bilang unik ya), bapak ini bilang, “Tapi tenang aja, ya, Mas. Segala sesuatu itu pasti ada jalan keluarnya.” Si bapak menyarankan kami untuk pakai whirlpool di JW Marriott kalau mau, dan itu gratis. Cuman, ya, kayaknya repot ya kalau harus keluar hotel dan masuk ke hotel lain demi berendam air panas doang. Akhirnya, kami hanya diarahkan ke shower dan ruang ganti yang lokasinya ada di dekat spa.

Kesimpulan

I got what I expected. Salah satu mindset yang saya pakai ketika memesan hotel adalah ekspektasi saya biasanya mengikuti properti. Ya, gini deh. Let’s say kita menginap di hotel bintang dua, tapi kita mengharapkan fasilitas super mewah dan personalized service. ‘Kan nggak reasonable. Untuk Ritz-Carlton Mega Kuningan Jakarta, apa yang saya dapatkan bisa dibilang sesuai ekspektasi. Bahkan, beberapa aspek melebihi ekspektasi.

IMG_20190617_135458

Untuk kamar, misalnya, saya cukup kaget karena tipe Mayfair Suite lebih luas dari bayangan saya. En-suite amenities yang disediakan cukup memuaskan. Saya punya ruang yang luas dan nyaman untuk menyambut teman-teman, dan bisa tetap menjaga privasi dan keamanan barang-barang. Produk mandi, cokelat, dan jendela besar di samping bathtub jadi sesuatu yang menambah kepuasan saya di kamar. Desain interior kamar memang tidak mengusung gaya yang terkini banget, tapi masih tetap mewah dan elegan. And the view from my room? It was amazing!

Agak disayangkan karena selama menginap, saya nggak banyak mencoba fasilitas yang tersedia di Ritz-Carlton Jakarta. Namun, kolam renang dan Club Lounge sudah saya cicipi. Fasilitas-fasilitas lainnya hanya saya kunjungi. Kayaknya, yang bikin saya ingin balik lagi adalah kolam renang hotel dan executive lounge-nya. Bisa dibilang itu adalah salah satu executive lounge terbesar di Jakarta, dengan ambiance yang lebih tenang dan eksklusif, pemandangan yang cantik, dan fasilitas yang mumpuni.Β  Oh, ya. Untuk yang seneng makan, menurut saya akses ke executive lounge ini bakalan menyenangkan. Di siang hari, ada light lunch. Sore-sore, kita bisa coba afternoon tea. Menjelang petang, ada free flow wine. Malam hari, ada dinner. Pagi-pagi, jelas ada sarapan. It’s worth your money.Β Keramahan staf juga menjadi hal yang bikin saya merasa nyaman, terutama dengan kondisi saya yang pada saat itu nggak enak badan. Staf-staf yang saya sebut di atas perlu diapresiasi atas keramahan dan kepekaannya.

Halaman Tripadvisor Ritz-Carlton Mega Kuningan Jakarta menyebutkan bahwa rate hotel mulai dari 1,8 juta rupiah per malam. Kalau saya cek di Marriott Bonvoy sendiri sih, rate-nya memang naik turun. Kalau lagi hoki, bisa tuh dapat 1,75 juta sudah dengan pajak untuk tipe Grand Room. Tipe Mayfair Suite sendiri dilepas di kisaran 2,8-3 jutaan lebih sebetulnya. Saran saya sih rajin cek harga. Untuk tipe terkecil, dengan rate segitu saya rasa masih reasonable, terutama dengan fasilitas yang mantap jiwa. Sebagai salah satu hotel bintang 5 di Jakarta, Ritz-Carlton Mega Kuningan Jakarta berhasil memberikan pengalaman menginap yang mengesankan buat saya.

Pros & Cons

πŸ‘πŸ» Pros

  • Kamar memiliki ukuran yang luas. Bahkan, lebih luas dari ekspektasi. Untuk tipe Mayfair Suite (110 meter persegi), ada living area dan powder room terpisah. Teman yang berkunjung tidak perlu masuk ke kamar tidur utama kalau mau pakai kamar mandi.
  • Ada jendela besar di samping bathtub. Memang sih harus mendongak kalau mau lihat view, tapi adanya jendela di samping bathtub jadi hal yang saya suka.
  • Akses ke Club Lounge memberikan keuntungan yang sayang dilewatkan. Dari free flow wine di sore hari, sajian makanan sepanjang hari, sampai complimentary use of meeting room selama dua jam per hari, ada banyak benefit yang bisa didapatkan. View dari lounge juga cantik banget.
  • Kolam renang hotel besar dan cantik. Ada juga secret pool yang dikelilingi pohon-pohon rindang. Tiga gazebo berdiri di salah satu sisi kolam dan jadi tempat leha-leha yang cozy.
  • Staf-staf yang bertugas begitu ramah, terutama para staf di Club Lounge yang memberikan personalized service.
  • Ritz-Carlton Mega Kuningan Jakarta adalah salah satu hotel di Jakarta yang menawarkan kamar standar dengan ukuran terluas. Unit Grand Room, tipe terkecil hadir dengan luas 63 meter persegi.
  • Ada banyak spot Instagrammable di sini. Yang saya suka sih secret garden-nya.
  • Di antara hotel-hotel bintang 5 lainnya di Jakarta, starting rate yang ditawarkan masih reasonable dan lebih terjangkau, terutama saat mempertimbangkan fasilitas yang ada di properti.

πŸ‘ŽπŸ» Cons

  • Faktor lokasi: kalau nggak bawa kendaraan pribadi, pergi ke mana-mana agak repot. Mau nggak mau harus pakai taksi. Kalau mau jalan, ya, bisa aja sih, cuman memang jaraknya lumayan jauh.
  • Layanan shuttle van gratis hanya menerima one-way trip. Berangkat diantar, pulang ke hotel harus cari kendaraan sendiri.
  • Desain interior kamar memang bukan yang paling baru, mengingat hotel ini sendiri sudah berdiri cukup lama. Sebetulnya, ini bukan masalah buat saya. Hanya saja, mungkin buat sebagian orang, bisa kelihatan dari interior kamar bahwa hotel ini lebih “lawas” dibandingkan hotel-hotel bintang 5 lainnya. Grand lobby hotel memang tampil keren dan megah dengan langit-langit setinggi tiga lantai, tapi saya melihat kesan braggadocious.
  • Posisi kloset yang bersebelahan dengan pintu menuju walk-in closet di kamar mandi ini, apa ya, agak awkward menurut saya.

Penilaian

Kenyamanan: πŸ˜ŒπŸ˜ŒπŸ˜ŒπŸ˜ŒπŸ˜Œ
Desain: πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜Ά
Lokasi: πŸ€©πŸ€©πŸ€©πŸ€©βšͺ️
Harga: πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°

Review: Art Deco Luxury Hotel & Residence Bandung

Lagi-lagi hiatus. Jujur kadang saya sedih ketika sadar bahwa blog ini mulai terbengkalai. Sebenarnya, mau gimana lagi. Tanggung jawab pekerjaan memang nggak bisa dilepas begitu aja. No pain no gain. Nggak kerja, nggak dapet duit. Padahal, utang review masih banyak sebetulnya. Ada beberapa hotel yang sudah dikunjungi dan tinggal diulas. Hanya waktunya saja sih yang belum ada.

But anyway, saya lagi ada waktu luang setelah beresin kerjaan. Nah, momen ini akan saya manfaatin untuk mengulas hotel yang satu ini. Sebetulnya, saya kunjungi hotel ini udah cukup lama, tapi baru sempat sekarang nih nulis review-nya. Ada cerita unik sebetulnya tentang hotel ini. Jadi, waktu itu saya lagi iseng-iseng cek Agoda. As usual, saya sering iseng cek Agoda, Traveloka, Marriott Bonvoy, IHG, dan situs-situs booking lainnya dengan harapan dapet diskon atau deal asyik. Nah, waktu lagi cek, tiba-tiba hotel ini muncul di list. Yang bikin saya excited adalah diskonnya cukup menarik. Di Agoda sendiri, rate hotel ini cukup tinggi. Karena diskonnya cukup besar dan reservasinya sudah mencakup breakfast, akhirnya saya putuskan buat book hotel ini sekalian review.

Screen Shot 2019-12-04 at 10.57.04 PM
Fasad Art Deco Luxury & Residence Bandung. Foto milik pihak manajemen hotel.

Art Deco Luxury & Residence Bandung berlokasi di Jl. Rancabentang No. 2, Bandung. Dari segi lokasi, hotel ini dekat banget dengan Universitas Katolik Parahyangan. Namun, yang jadi fokus saya sebetulnya bukan jaraknya dari kawasan UNPAR, tapi lingkungannya yang asri dan rimbun. Menurut saya secara pribadi sih Art Deco Luxury ini salah satu hotel di Bandung yang menawarkan view alam terbaik, tapi juga akses yang lebih dekat ke pusat kota. Karena dikelilingi banyak pepohonan, gedungnya yang bergaya modern klasik ini tampak mencolok, apalagi dengan tinggi 9 lantai dan dominasi warna putih.

Ada 65 kamar di hotel ini. Mengusung nama “art deco”, ekspektasi saya sebetulnya cukup besar karena saya ingin tahu seberapa art deco sih hotel ini. Saya sampai ngontak kakak saya yang arsitek buat minta konfirmasi. Sebelum datang, saya hanya lihat kamarnya dari foto-foto di internet dan jujur, saya suka dengan desainnya. Sepintas saya ingat dengan kamar saya di Four Seasons Jakarta dulu. Oh, ya! Semua kamar yang ada terbagi ke dalam empat tipe, yaitu Deluxe, Premier, Corner Suite, dan Jacuzzi Suite. Untuk tipe yang terakhir, ada jacuzzi di balkonnya. Next time mungkin saya coba deh book tipe kamar itu (masalahnya, rate-nya lumayan mahal sih). Untuk fasilitas sendiri, ada gym, restoran, rooftop pool, whirlpool, spa, dan meeting room. Untuk hotel bintang empat, fasilitas segitu sudah terbilang lengkap lah.

Waktu berkunjung, saya pesan kamar tipe Deluxe. Saya dapat kamar dengan twin bed. Sebetulnya, kalau bisa dapat yang king bed sih sepertinya enak buat guling-guling di atas kasur, walaupun saya sebetulnya kalau tidur nggak motah. Untuk ulasan lengkapnya, bisa baca segmen berikutnya, ya!

Desain Kamar

Kalau melihat dari namanya, ekspektasi saya dari Art Deco Luxury & Residence Bandung ini adalah kamar-kamar bergaya art deco. Sebetulnya, ada beberapa elemen interior, tidak hanya kamar tapi juga area publik lainnya yang mencerminkan gaya ini (dan sudah dikonfirmasi sama kakak saya. Xiexie, Bang Michan). Untuk kamar sendiri, dengan luas 28 meter persegi, saya merasa kamar sudah terasa cukup luas. Interior kamar sendiri buat saya lebih ke arah gaya modern classic. Penggunaan panel kayu saja sebetulnya tidak lantas membuat interior kamar bergaya art deco. Namun, headboard tempat tidur punya bentuk yang hampir menyerupai clamshell, dan buat saya sih  headboard berbentuk clamshell cukup art deco. Seandainya motifnya adalah garis-garis vertikal, dan bukan quilted, saya rasa kesan art deco-nya akan makin kentara.

IMG_20190719_153600_BURST1
IMG_20190719_153648
IMG_20190719_153707

Terlepas dari seberapa art deco-nya interior kamar, satu hal yang berani saya bilang adalah suasana kamar terasa elegan. Pemilihan warna gading yang dipadukan beberapa shades cokelat bikin kamar terlihat mewah. Pencahayaan ruangan memang cenderung redup, tapi saya rasa cocok sih kalau niatnya datang untuk istirahat. Saat menginap, saya hampir nggak pergi ke mana-mana lagi (kecuali sekitar jam 9an untuk makan malam, dan balik lagi jam 10). Jujur saya betah sebetulnya di kamar. Apalagi waktu sore-sore saat hari masih cerah. Saya senang nongkrong di balkon buat sebatas ngeteh sambil lihat kebun.

Sayangnya, personal request saya nggak terpenuhi. Saya rasa mungkin karena tingkat okupansi Art Deco Luxury & Residence Bandung pada saat itu lagi tinggi. Saya minta kamar di lantai yang lebih tinggi, tapi malah dapat kamar di lantai 2. Walhasil, pemandangan yang didapat pun kurang tinggi.

IMG_20190719_153748
IMG_20190719_153758

Untuk en suite amenities sendiri, jelas ada TV, WiFi, dan AC. Sebelumnya saya sempat bilang kalau interior kamar lebih ke arah modern classic. Saya punya alasannya. Bisa dilihat sendiri, working desk dan kursinya lebih bergaya kontemporer. Kalau gini, jatuhnya sih seperti modern meets classic, dan saya sendiri fine dengan hal itu. Hanya saja, kalau memang ingin menonjolkan “art deco”, mungkin penggunaan furnitur dengan nuansa art deco yang lebih kental akan jauh lebih bagus.

Di kamar juga ada coffee/tea maker dan electronic safe. Lemari pakaiannya sendiri cukup besar. Di dekat counter teh dan kopi, ada pintu menuju connecting room di sebelah. Nah, yang saya kurang suka adalah pemotongan panel dinding yang “maksa”. Bisa dilihat di foto sebelumnya, alih-alih memasang pintu dengan desain yang memang pintu banget (mis. pintu utama kamar), pintu menuju kamar sebelah terkesan seperti dipaksa dibuat dengan membongkar dinding yang sudah ada. Saat lihat itu, saya langsung ingat salah satu episode serial Mr. Bean. Di episode itu, si Bean mencoba menutup bukaan di dinding dengan menggambar persegi panjang pada salah satu dinding gipsum, menjebol dinding tersebut sesuai gambar, dan memasangkan si potongan persegi panjang itu ke bukaan dinding pertama.

IMG_20190719_154140
IMG_20190719_154204

Sebelumnya, saya sempat bilang bahwa interior kamar ini mengingatkan saya dengan interior kamar saya waktu menginap di Four Seasons Jakarta. Salah satu aspek pengingat yang paling menonjol adalah mural di dinding belakang tempat tidur. Di Art Deco Luxury & Residence Bandung, mural yang ada tampil dengan warna yang lebih kontras dari latar belakang. Meskipun demikian, muralnya masih berdesain floral dengan burung dan kupu-kupu. Saya juga suka dengan adanya sconce kristal di kedua sisi tempat tidur. Kehadiran sconce ini menambah kemewahan interior kamar.

Oh, ya! Saya lupa cerita lebih banyak tentang balkonnya. Saya udah bilang kalau saya menempati kamar di lantai 2. Ya, dari segi ketinggian sih masih belum cukup tinggi buat melihat pemandangan yang lebih luas. Apalagi, tepat di bawah kamar saya ada unit-unit punya residents. Nah, kalau saya perhatikan, unit-unit itu dilengkapi kolam renang kecil. Sayangnya, sebagian besar kolam renang di unit-unit itu pada nggak keurus dan dibiarin kotor. Saya sengaja nggak foto karena memang kelihatannya kurang rapi. Untuk view sendiri, saya langsung dapat view kebun. Cukup menyegarkan mata, terutama di pagi hari. Waktu bangun, hal yang pertama saya lakukan adalah buka tirai dan pintu, lalu ke balkon buat bersantai. Udara kawasan Ciumbuleuit ini masih segar banget. Dingin, tapi menyegarkan.

IMG_20190719_154059
IMG_20190719_154042
IMG_20190719_154051

Kamar Mandi

Desain kamar mandi sendiri senada dengan desain kamar. Lagi-lagi, ada satu sudut kamar mandi yang mengingatkan saya dengan kamar mandi di Four Seasons Jakarta. Di dinding belakang kloset, terpasang lukisan kecil. Kalau penasaran, bisa coba lihat di review saya sebelumnya. Nggak 100% identik, tapi mirip.

IMG_20190719_153921
IMG_20190719_153836
IMG_20190719_153853

Bentuk kamar mandinya memanjang, dengan sisi lebar yang menurut saya sih kecil. Posisi “default” tempat sampah terlalu dekat dengan kloset. Jadi, kalau mau buang air, saya harus geser dulu tempat sampahnya supaya nggak sempit. Meskipun demikian, saya suka dengan penggunaan marble wall berwarna beige yang bikin interior kamar mandi terasa mewah dan elegan. Bathroom sink-nya pun besar dengan bentuk oval.

IMG_20190719_153908
IMG_20190719_153938

Bathroom amenities-nya mencakup produk mandi, hairdryer (ada di dalam laci), dan handuk. Nggak ada vanity mirror di sini. Nah, karena ukuran kamar mandinya juga yang serba terbatas, shower area-nya bisa agak kecil. Ada fixed shower dan shower tangan di sini, dan saya lebih suka pakai shower tangannya karena bisa diatur ke semburan jet. Lumayan buat pijat bahu dan leher yang pegal. Untuk bath product sendiri, Art Deco Luxury & Residence Bandung menghadirkan produk-produk lini White River Falls dari Waterl’Eau, perusahaan asal Belgia yang sudah berkecimpung di dunia produk mandi sejak tahun 1992.

Nah, saya sempat research singkat tentang lini ini. Dilansir dari situs resminya, produk-produk dari lini White River Falls ini mengandung witch hazel sebagai bahan utamanya. Witch hazel sendiri bermanfaat menghaluskan kulit dan mencegah peradangan. Tanaman ini juga bisa membasmi jerawat, dan saya sendiri pakai toner wajah yang bahan utamanya witch hazel karena kulit saya cenderung berminyak dan gampang jerawatan. Dari segi aroma, saya suka karena nggak menyengat (kecuali body lotion-nya karena aromanya lebih intens). Sepintas aromanya mengingatkan saya sama sampo bayi Johnsons. Kalau mau mencoba mandi mewah, produk-produk ini bisa jadi andalan.

Fasilitas Umum

Restoran

Art Deco Luxury & Residence Bandung punya satu restoran di lantai rooftop. Sebenarnya, ini satu-satunya dining venue di hotel ini. Begitu keluar dari lift, saya disambut dengan satu dinding dengan mural bertema oriental dan dua buah kursi tangan bergaya Chinoiserie sebagai focal point. Untuk restorannya sendiri sebetulnya cukup besar. Ada area indoor dan outdoor. Area indoor-nya masih mengusung desain interior yang sejalan dengan interior kamar. Dan lagi-lagi, buat saya sih masih kurang art deco (kalau mengambil definisi art deco era Roaring Twenties).

IMG_20190719_170752
IMG_20190719_154903

Interior restoran tampil elegan dalam dominasi warna putih dan furnitur bergaya modern klasik dalam balutan warna krem dan emas. Ada sofa beludru berwarna royal blue sebagai colour pop di area indoor restoran. Pencahayaan didukung oleh beberapa chandelier dan sconce yang mirip dengan sconce di kamar atau koridor hotel. Penggunaan cermin di dinding membangun kesan lapang di dalam ruangan. Restoran juga terasa lapang karena banyak jendela besar yang menghadap ke arah luar. Di siang hari, jendela-jendela ini membantu banyak cahaya untuk masuk ke ruangan. Jadi, bisa mengurangi penggunaan lampu dan menghemat listrik. Di salah satu sudut restoran, ada lemari penyimpanan wine. Sabi lah kalau mau selebrasi.

IMG_20190719_155102
IMG_20190719_155009

Waktu sarapan, saya sengaja pilih tempat di area outdoor. Area ini sendiri punya kelebihdan dan kekurangan. Kelebihannya ya view yang didapatkan dan paparan udara segar yang lebih besar. Kekurangannya adalah saat angin lagi kenceng, siap-siap deh kedinginan dan tisu berterbangan. Karena bangun agak telat, saya sarapan sekitar jam setengah sepuluh. Dengan kondisi cuaca yang mendung dan angin yang kencang, lagi sarapan tuh rasanya kedinginan. Tadinya, saya mau makan di area indoor, tapi berhubung okupansi lagi ramai dan terlalu banyak orang, yang sepi dan lebih nyaman buat makan ya area outdoor ini. Tapi serius deh, view dari area ini tuh cantik banget!

IMG_20190719_155230
IMG_20190719_154955
IMG_20190719_154938
IMG_20190719_154848

Untuk menu sarapan sendiri sih, dibilang basic banget nggak. Bisa dibilang standar hotel bintang empat kali ya. Ada cake, sajian penutup mulut, salad, dan semacamnya. Waktu itu saya hampir kehabisan makanan karena bangunnya telat. Saya sarapan dengan hashbrown potato, sosis, dan tipikal makanan sarapan. Ada kopi dan teh juga tentunya. Overall sih saya nggak kecewa dengan menu sarapannya. Everything was okay.

IMG_20190720_103501
IMG_20190720_103448

Kolam Renang

Fasilitas yang satu ini sebetulnya jadi fasilitas yang pengen saya coba waktu menginap di Art Deco Luxury & Residence Bandung. Namun, karena kolam renangnya selalu ramai sama tamu, terutama anak-anak, niat berenang pun urung. Malas aja rasanya kalau berenang keganggu banyak tamu. Kan nggak enak ketika lagi mau renang satu lap, eh kehalangin anak kecil. Ditambah lagi cuaca sedang mendung. Intinya sih mager.

Terlepas dari kondisinya, kolam renang di hotel ini bisa jadi salah satu yang terbaik di Bandung, terutama dari segi view. Posisinya di rooftop berarti kolam ini punya view yang cantik. Ukurannya memanjang dan bisa dibilang cukup luas. Untuk kedalaman, seingat saya sih 1,4 meter. Cukup lah buat menyelam.

IMG_20190720_103532
IMG_20190719_154545
IMG_20190720_103842

Di sisi utara kolam renang, ada whirlpool yang ternyata laku di kalangan anak-anak. Bahkan, ban renang bentuk flamingo pun sampai dibawa ke whirlpool yang sebetulnya kedalamannya cetek. Ya, mungkin karena airnya yang hangat, anak-anak lebih betah berendem di sana daripada nyebur ke kolam renang. Duh, padahal saya tuh ingin banget berendam di sana. Ada juga beberapa gazebo dan recliners buat bersantai. Dari segi desain, area ini sebetulnya cantik sih, terutama kalau lagi sepi. Mungkin lain kali saya coba deh berendam di whirlpool itu dan semoga aja nggak ramai sama anak-anak.

Gym

Di sisi utara kolam renang, ada gym yang cukup luas. Dengan posisi di ujung bangunan, gym ini menawarkan pengalaman olahraga yang menyegarkan. View dari jendelanya keren banget dan bikin mata adem! Bisa dibilang, salah satu keunggulan Art Deco Luxury & Residence Bandung ini view yang ditawarkan, baik dari kamar maupun fasilitas hotel.

IMG_20190719_154654
IMG_20190719_154647
IMG_20190719_154704

Meskipun ruangannya luas, peralatan di gym ini bisa terbilang terbatas. Dari segi jenis peralatan sih memang variatif, tapi jumlahnya sedikit. Satu jenis alat hanya ada satu unit. Misalnya, di sini hanya ada satu treadmill dan satu stationary bike. Kalau ada beberapa tamu yang mau pakai treadmill, mau nggak mau harus gantian. Unit-unitnya sendiri cukup modern, bukan tipikal mesin obsolete. No objection sih buat gym di sini. Asyik banget rasanya lari di atas treadmill sambil ngeliat view kota Bandung.

Lokasi

Ngomongin faktor lokasi, ada nilai plus dan minus buat Art Deco Luxury & Residence Bandung. Sebetulnya sih, bukan soal plus minus, tapi lebih ke arah tujuan kunjungannya. Berdiri megah di kawasan Ciumbuleuit, hotel ini menawarkan view hutan dan perbukitan yang cantik banget. Udara di sini masih segar dan suhu udaranya masih sejuk. Pagi-pagi buka pintu balkon tuh rasanya asyik banget. Malahan, bisa meditasi kayaknya di balkon.

Selain itu, lokasinya yang tersembunyi membuat properti ini pas banget buat kalian yang ingin cari ketenangan saat berlibur. Hotel ini masih dikelilingi hutan dan pohon-pohon pinus. Ingar bingar dari Jalan Ciumbuleuit pun nggak kedengaran. Di kamar saya, misalnya, saat buka pintu ke balkon, yang saya dengar itu justru suara alam. Ada sih kedengaran suara orang ngobrol, tapi ternyata itu para staf yang lagi kerja di kebun. Sayup-sayup suara kendaraan masih terdengar, tapi nggak begitu mengganggu. Intinya sih cocok buat yang jengah sama hiruk pikuk pusat kota. Mungkin karena saya dapat kamar yang menghadap ke timur, dan bukan ke barat. Kamar-kamar di sisi barat sendiri punya jendela yang menghadap ke jalan kecil di samping hotel dan, bisa ditebak, jalan itu jadi jalur lalu lintas daerah situ.

Di sisi lain, posisinya yang remote bikin saya agak susah ke mana-mana. Sebetulnya, ada sih kayak tempat makan mahasiswa di sekitar UNPAR, tapi untuk ke sana pun kalau jalan kaki sih kurang convenient. At least, harus pakai motor biar cepat sampai. Untuk yang nggak biasa main ke daerah Ciumbuleuit, hotel ini mungkin agak susah dicari. Aksesnya bisa lewat belokan yang nggak jauh dari UNPAR sebetulnya, tapi saya justru akses hotel ini lewat atas. Kalau ingin cari properti yang punya akses lebih cepat ke pusat kota atau daerah rame-rame, sepertinya pikir-pikir lagi sebelum pilih hotel ini.

Art Deco Luxury & Residence Bandung berjarak kurang lebih 30-45 menit dari Stasiun Bandung. Jarak tempuhnya juga kurang lebih sama untuk Bandara Internasional Husein Sastranegara. Sebetulnya, tergantung kondisi lalu lintas sih. Ditambah lagi, Pertigaan Gandok itu terkenal dengan macetnya. Siap-siap aja pokoknya, tapi perjuangan mencapai hotel ini terbayar dengan sejuknya udara perbukitan dan view yang memanjakan mata.

Kesimpulan

Jewel of the forest. Coba bayangin di tengah-tengah kawasan berbukit dan banyak pepohonannya, ada bangunan hotel bergaya modern klasik yang menjulang tinggi. Art Deco Luxury & Residence Bandung menawarkan kemewahan dalam liburan di tengah suasana yang masih alami. Hotel bintang empat di Bandung ini berhasil bikin saya merasa nyaman dengan suasananya. Memang saya agak sedikit kecewa kalau bicara soal desain yang menurut saya masih kurang “art deco” but overall, saya apresiasi apa yang ditawarkan oleh hotel ini. Interior kamar terasa mewah dan elegan, terutama dengan penggunaan panel berwarna putih dan mural di dinding, termasuk sconce kristal yang cantik. Adanya balkon di unit juga jadi nilai tambah tersendiri. Waking up to the sound of nature and soft hill breeze is such a bliss.

IMG_20190719_170946
IMG_20190719_171105

Beberapa aspek di kamar memang terlihat aneh, tapi nggak sampai mengurangi kenyamanan beristirahat (pemasangan connecting door-nya itu loh). Produk mandi yang ditawarkan juga memuaskan karena bukan sebatas produk mandi standar. Hotel ini mengingatkan saya dengan Four Seasons Jakarta, tetapi dengan rate yang jauh lebih terjangkau dan jarak yang lebih dekat ke rumah saya. Fasilitas yang tersedia juga cukup lengkap. Restoran, gym, kolam renang, hot tub… Buat saya sih segitu sudah cukup.

Dengan rate mulai dari 662 ribu rupiah (berdasarkan TripAdvisor, tapi saya sendiri perhatikan di Agoda dan Traveloka, rata-rata rate jatuh di kisaran 800-900 ribuan). hotel ini terbilang reasonable untuk kemewahan dan fasilitas yang ditawarkan, meskipun memang lebih mahal kalau dibandingkan properti-properti lain di kelasnya. Ditambah lagi lingkungan sekitar hotel yang masih alami dan udara yang masih sejuk. Saya rasa properti ini cocok buat kalian yang ingin menjauh sejenak dari ingar bingar perkotaan.

Pros & Cons

Pros πŸ‘πŸ»

  • Desain interior kamar terasa elegan dan mewah. Semua kamar punya balkon, dan ini jadi daya tarik tersendiri, terutama untuk kamar-kamar di sisi timur dengan view perbukitan dan kota yang lebih cantik.
  • Rooftop pool-nya mantap abis! Ada juga whirlpool buat ngangetin badan kalau kedinginan habis berenang.
  • Gym-nya punya view yang bagus. Lari di atas treadmill sambil liat view perbukitan ‘kan menyegarkan, ya.
  • Lingkungan sekitar hotel masih cukup asri dan dikelilingi banyak pohon pinus. Cocok buat yang ingin nyari ketenangan.
  • Bath product-nya punya aroma yang unik, dan bukan tipikal bath product standar.
  • Ada beberapa unit yang punya private jacuzzi.

Cons πŸ‘ŽπŸ»

  • Mengusung nama art deco, interior kamar buat saya secara pribadi masih kurang art deco. Mungkin karena saya mengacu ke art deco dari era Roaring Twenties. Jatuhnya, interior lebih terlihat bergaya modern klasik.
  • Kamar mandi untuk tipe Deluxe bisa dibilang kecil dan sempit.
  • Lokasinya tersembunyi, cocok buat yang ingin cari ketenangan, tapi agak repot buat yang ingin akses cepat ke tempat-tempat makan atau daerah perkotaan.
  • Di kelasnya, properti ini punya rate yang relatif lebih tinggi.

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌βšͺ️
Desain: πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜Ά
Lokasi: 🀩🀩🀩😢βšͺ️
Harga: πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°