Tag Archives: featured

Review: Sheraton Bandung Hotel & Towers

Sebetulnya, saya masih agak bingung dengan block editor WordPress yang baru. Karena sudah sangat terbiasa dengan classic editor, rasanya mau ini itu jadi susah. Saya rasa ini juga berpengaruh ke format tulisan-tulisan saya ke depannya. Editor yang baru menggunakan konsep blok. Saya sendiri masih mencoba mendapatkan gambaran mengenai fungsi ini itu dan semacamnya. Beradaptasi dengan perubahan baru memang nggak selalu gampang.

Anyway, saya ingin bahas satu hotel mewah di Bandung yang, setelah bertahun-tahun saya tinggal di kota ini, baru saya inapi bulan Juli kemarin (tahun 2020). Sebetulnya, ada teman saya yang bekerja di hotel tersebut dan dia dari lama sudah minta saya buat datang untuk nge-review (bahkan ngasih breakfast gratis dan kalau udah makan, boleh main piano, katanya). Maap ya, Andre. Saya baru bisa mampir dan nginap bulan Juli kemarin. Akhirnya pecah bisul juga, ya.

Sheraton Bandung Hotel & Towers dengan lagoon-style pool

Sheraton Bandung Hotel & Towers adalah hotel bintang lima yang berlokasi di Jl. Ir. H. Juanda No. 390, Bandung. Kawasan ini sendiri lebih dikenal dengan nama Dago dan kalau weekend, beuh! Jangan ditanya deh padatnya kayak gimana! Hotel mewah di Bandung ini sebetulnya menjadi salah satu hotel yang usianya paling tua. Dilansir dari Travelweekly, hotel yang berada di bawah naungan Marriott Hotels ini sudah beroperasi sejak tahun 1990. Ya, saya belum lahir pada tahun itu. Jadi, usia hotel ini sudah jauh lebih tua dari umur saya. Bandung sendiri punya beberapa hotel yang sudah beroperasi sejak tahun 90an, termasuk Hyatt Regency (sekarang Aryaduta Bandung).

Dari beberapa teman, saya dengar bahwa Sheraton yang dulu bukanlah yang sekarang (udah kayak lagunya si Tegar aja). Dilansir dari DestinAsian Indonesia, Sheraton Bandung mengalami renovasi besar-besaran di tahun 2014. Renovasi ini mengaplikasikan desain Art Deco pada eksterior dan interior bangunan. Nah, kalau saya lihat review atau cerita-cerita dari orang lain soal hotel ini, katanya zaman dulu hotel didominasi oleh elemen-elemen kayu berwarna gelap. Hmm… Saya malah jadi penasaran dengan perawakan hotel pada era sebelum renovasi.

Ada 145 kamar dan 11 suite di hotel mewah ini yang terbagi ke dalam 7 tipe: Deluxe, Executive, Tower Room, Junior Suite, Executive Suite, Tower Suite, dan Presidential Suite. Tipe Deluxe sendiri ada yang punya akses langsung ke kolam renang. Jadi, kalau dihitung sih totalnya sebetulnya ada 8 tipe. Sheraton Bandung Hotel & Towers juga punya fasilitas-fasilitas penunjang seperti gym, kolam renang, restoran, spa, sauna, jogging track, kids’ club, event room, meeting & business equipment, dan lain-lain. Bangunan-bangunan hotel juga dikelilingi oleh taman-taman yang asri dan cantik. Bahkan, ada area outdoor yang cukup luas yang, kata Andre, sering dipakai untuk acara-acara macam nikahan, ulang tahun, dan semacamnya. Saat menginap, rasanya memang seperti sedang di sebuah resor. Dari jendela kamar, kita bisa lihat pemandangan taman atau kolam (tergantung tipe kamar). Untuk beberapa tipe, bahkan ada balkon atau teras sendiri. Cocok lah buat escape in luxury di Bandung.

Waktu berkunjung, saya memesan kamar Deluxe dengan king-size bed. Selama menginap, hampir tidak ada kendala yang dialami dan jujur aja, saya ingin ke sana lagi, terutama saat okupansi hotel sedang agak turun dan suasana jadi jauh lebih tenang. Cocok banget buat kerja dan bersantai! Ulasan lengkapnya saya bahas di segmen berikutnya, ya!

Desain Kamar

Tipe terkecil di Sheraton Bandung adalah tipe Deluxe. Dengan luas 32 meter persegi, tipe ini bisa dibilang “kecil-kecil cabe rawit” karena cukup luas, terlepas dari furnitur-furniturnya yang ukurannya relatif besar. Hanya saja, langit-langit kamar terasa lebih pendek dan pencahayaan yang cenderung redup membuat atmosfer di kamar saat malam hari terasa, what’s the word, mengekang (?). Namun, untungnya efek ini tidak sampai bikin claustrophobic.

Oh, ya! Kamar-kamar yang ada di hotel ini tersebar di beberapa bangunan. Setiap bangunan terhubung lewat jembatan atau koridor. Pada awalnya, saya sempat agak bingung mencari kamar saya saking pusingnya dengan koridor dan tangga yang ada. Namun, ada papan informasi yang membuat saya bisa kembali ke jalan yang benar *insert OST sinetron Hidayah here*. Buat anak-anak, konsep seperti ini mungkin agak memusingkan, walaupun anak-anak yang jiwanya petualang sih kayaknya bakalan seneng buat mengeksplorasi kompleks hotel yang luas ini.

Interior kamar menampilkan desain kontemporer dan didominasi oleh warna krem yang hangat. Pencahayaan pun menggunakan warna-warna hangat yang membangun kesan inviting dan cozy, terutama mengingat kawasan Dago ini jadi salah satu kawasan di Bandung yang terbilang lebih dingin. Lukisan bunga berwarna merah ditempatkan di belakang tempat tidur. Sebetulnya, ada banyak aksen atau motif bunga yang bisa ditemukan di kamar, termasuk di jendela kaca yang memisahkan area shower kamar mandi dengan area utama kamar tidur. Furnitur yang tersedia di kamar mencakup meja kerja, TV counter, kursi kerja, loveseat, dan lemari pakaian. Counter TV sendiri kelihatannya perlu diperbaiki karena pintunya tampak miring. Coffee/tea maker dan kulkas juga tersedia. Bahkan, di kamar pun disediakan Fire Chicken Cheese-nya Samyang (berbayar)! Di dalam lemari pakaian ada electronic safe, ironing board, dan setrika. Untuk fasilitas hiburan, ada TV dengan beragam kanal lokal dan internasional, dan alarm merangkap Bluetooth speaker. Untuk kerja, ada koneksi WiFi yang, anehnya, bisa diakses tanpa password. Hmm… Ini artinya semua orang, termasuk orang di luar hotel, bisa pakai koneksi hotel. Dampaknya, kecepatan koneksi bisa dibilang lebih lambat, meskipun masih bisa dipakai untuk ngecek e-mail atau YouTube-an. Duh, Sheraton Bandung, tolong dong koneksinya dikasih password. He he he.

Kamar saya punya balkon sempit yang menawarkan view taman. Posisi kamar saya yang berdekatan dengan kamar lain (yang kebetulan ada orangnya) membuat saya nggak bisa menikmati balkon ini dengan bebas. Untungnya, di hari terakhir, saya masih sempat membuka lebar pintu menuju balkon dan kerja sambil dimanjakan udara segar dan suara-suara alam. Seandainya saya nginap satu hari lagi, mungkin saya bisa menghabiskan satu sore tiduran di loveseat sambil dengar musik dan dimanjakan angin segar. Oh, ya! Mengikuti protokol kebersihan dan kesehatan, ada beberapa barang yang sengaja tidak disediakan di kamar. Barang-barang seperti bathrobe bisa kita minta dengan menghubungi operator. Saat masuk ke kamar pun, ada dua pak tisu disinfektan yang bisa digunakan untuk mengelap barang-barang seperti telepon, remote TV, sampai HP.

Kamar Mandi

Untuk tipe Deluxe, kamar mandi hanya dilengkapi shower, tanpa bathtub. Namun, shower yang tersedia ada dua jenis: shower tangan dan rainshower. Untuk kalian yang sering baca review saya, sepertinya udah tahu kalau saya suka banget rainshower. Kehadiran shower tangan juga sebetulnya sangat disukai, terutama saat dipakai dengan opsi semburan jet. Cocok banget buat pijat bahu, leher, kepala, lengan, dan kaki.

Shower area di kamar mandi sangat luas dengan bentuk ke arah memanjang. Biasanya, saya menghitung luas shower area dengan Sorry Sorry-nya Super Junior. Kalau saya bisa dance dengan nyaman dan lancar, berarti shower area-nya luas. Please teknik ini jangan ditiru, ya, karena joget-joget di shower area itu berbahaya, terutama pas lantainya basah dan licin. Teknik itu juga jadi salah satu dumb ways to die.

Kelengkapan kamar mandi mencakup kloset dengan water gun (saya lebih suka water gun daripada bidet yang dipasang langsung ke kloset), wastafel, produk mandi, dan hair dryer. Seperti yang saya bilang sebelumnya, kalau perlu bathrobe, kita bisa minta ke operator. Kamar mandi terasa makin lapang dengan penggunaan warna-warna terang dan pencahayaan warna hangat. Cermin berbentuk persegi dengan pola herringbone di keempat sisinya memberikan sentuhan glamor pada interior kamar mandi. Secara keseluruhan, nggak ada yang benar-benar wah di kamar mandi. Namun, dari segi kelengkapan dan suasana, semuanya sudah pas buat saya.

Fasilitas Umum

Lagoon Pool

Soal fasilitas di Sheraton Bandung, saya ingin mulai dari fasilitas yang paling saya suka (walaupun saya nggak gunakan). Berada di bagian tengah kompleks hotel, kolam renang hotel mengusung konsep laguna yang dikelilingi taman-taman cantik, lengkap dengan pulau mini berpohon kamboja. Kolam utama punya ukuran yang cukup luas dan menarik perhatian para tamu, bahkan sejak tamu menginjakkan kaki di lobi. Beberapa tipe kamar punya akses langsung ke kolam.

Di sisi selatan, terdapat kolam kecil untuk anak. Shower bilas tersedia di beberapa titik. Di sisi utara kolam utama, terdapat semacam platform dengan beberapa lounge chair. Kata Andre, dulu sempat ada beberapa cocoon dipasang di area kolam, tapi fitur tersebut tidak lagi tersedia. Kursi-kursi malas yang ditempatkan di sisi timur dilengkapi parasol. Sayangnya, tidak semua kursi dan meja di area kolam dilengkapi payung. Jadi, kalau nggak kebagian kursi dan meja berpayung, siap-siap panas-panasan. Sebetulnya, kursi dan meja di sisi barat diteduhi oleh tanaman-tanaman besar dan bangunan lobi di atasnya. Waktu menginap, saya nggak berenang, tapi saya cukup bersantai di pinggir kolam di sore hari sambil menikmati complimentary Opera cake (thank you, Dre!). Bisa dibilang, lagoon pool ini jadi primadonanya Sheraton Bandung Hotel & Towers. Mungkin di kunjungan berikutnya, saya coba berenang deh.

Feast Restaurant

Untuk bersantap di Sheraton Bandung, para tamu bisa langsung berkunjung ke Feast Restaurant yang berada di lantai satu, atau selantai dengan area kolam renang. Kalau dari lobi, kita bisa mengakses restoran lewat tangga yang katanya sih jadi salah satu spot Instagrammable di hotel. Namun, setelah dikasih tahu si Andre, saya justru tahu spot lain yang jauh lebih Instaworthy.

Dari segi desain interior, secara pribadi saya tidak melihat sesuatu yang spesial di restoran ini. Interior bergaya kontemporer dengan dominasi warna krem dan putih sebetulnya banyak diusung oleh restoran atau hotel lain. Feast punya area yang cukup luas dan terbagi menjadi area indoor dan semi-outdoor. Untuk area semi-outdoor, ada dua teras di restoran ini, dan salah satunya menghadap ke arah kolam renang (tetapi view ke arah kolam terhalangi oleh tanaman-tanaman besar). Di sisi barat restoran, terdapat pintu menuju gym dan spa.

Foto interior saya ambil di malam hari saat restoran kosong. Setiap island ditempati oleh stan berbagai sajian. Menu yang disajikan untuk sarapan cukup variatif, meskipun selama menginap saya pilih menu yang kurang lebih sama. Untuk jus dan infused water, kita bisa datang langsung ke island yang bersangkutan, tetapi kalau ingin teh dan kopi, kita bisa minta langsung ke staf yang bertugas. Mengikuti protokol kesehatan dan keamanan, tamu tidak boleh mengambil sendiri makanan, tetapi diambilkan oleh para staf yang bertugas. Interaksi tamu dan para staf pun dibatasi oleh fiberglass. Setiap tamu juga diimbau untuk tidak duduk berdekatan dengan tamu-tamu lain. Oh, ya! Saat check-in, saya diminta memilih “shift” jam sarapan. Di Sheraton Bandung, jam sarapan dibagi ke dalam tiga shift dan setiap tamu diminta memilih satu shift. Saya sendiri pilih shift paling awal (jam 6 sampai 7.30 pagi) karena kata Winky, resepsionis yang handle check-in saya, shift itu yang paling sepi. Dalam kondisi kayak gini, saya mendingan bangun lebih awal dan sarapan dalam kondisi restoran yang masih sepi. In fact, yang sepikiran sama saya ternyata banyak. Meskipun demikian, shift pagi ini ternyata lebih sepi dibandingkan shift-shift berikutnya. Saran saya sih, kalau hotel yang kalian kunjungi menerapkan sistem shift untuk sarapan, tanya ke resepsionis shift yang paling sepi dan kosong itu apa, dan pilih shift itu. Jangan ambil risiko deh.

Pada hari kedua kunjungan, saya memutuskan untuk makan siang lagi di Feast karena malas kalau harus keluar hotel dan terjebak kemacetan (ya, Bandung udah mulai macet lagi di masa pandemi begini). Untuk makan siang, saya pilih light meal karena masih kenyang dengan cake yang super manis. Saya pesan kentang goreng dan calamari. Untuk minuman, duh, saya lupa namanya apa, tapi dia segar deh pokoknya dan banyak buahnya. Oh, ya! Yang saya suka dari Feast adalah harga yang tertera di menu ini sudah termasuk pajak. Jadi, saya nggak perlu repot-repot hitung pajak dan service charge-nya berapa. Ditambah lagi, dapat diskon dari si Andre. Duh! Memang, ya, tenaga orang dalam ini tenaga yang ampuh (nanti aku traktir makan di tempat lain, Dre!). Si Andre juga memperkenalkan saya dengan salah satu minuman signature di Sheraton Bandung, Bandrek Capuccino. Dari segi rasa, ya, rasanya seperti halnya bandrek pada umumnya, tetapi teksturnya lebih halus dan foam di atasnya memberikan pengalaman minum bandrek yang unik. Oh, ya! Rasa bandreknya pun nggak begitu strong. Jadi, cocok lah buat lidah saya yang lemah ini.

Tower Lounge

Fasilitas berikutnya yang saya suka di Sheraton Bandung Hotel & Towers adalah club lounge-nya. Posisinya masih satu lantai dengan kamar saya. Di awal tulisan, saya mengutip informasi dari sebuah sumber yang menyebutkan bahwa renovasi hotel di tahun 2014 turut menerapkan sentuhan Art Deco pada interior hotel, dan sentuhan tersebut terasa lebih kental di club lounge. Sebelumnya, mohon maaf untuk hasil jepretan kamera di malam hari tampak blur.

Tower Lounge kalau saya bilang sih merupakan salah satu tempat paling elegan dan mewah di Sheraton Bandung. Dari segi interior, saya melihat perpaduan beberapa desain atau aesthetics. Vaulted ceiling setinggi dua lantai dengan beam kayu yang dibiarkan terekspos dan perapian besar yang dibalut batu alam membangun kesan rustic lodge. Sayangnya, waktu saya menginap, club lounge masih belum beroperasi sehingga si perapian juga nggak dinyalakan. Pemilihan panel kayu berpola herringbone memberikan kesan hangat nan mewah. Sebagai aksen, beberapa bagian dinding dipasangi panel dengan motif clamshell khas Art Deco yang memberikan sentuhan elegan. Namun, yang bikin saya betah dan takjub lagi adalah dua chandelier besar bergaya gothic yang langsung mengingatkan saya dengan The Addams Family. I can’t get over them!

Food station berada masing-masing di sisi timur dan barat lounge. Meskipun saya dapat akses ke lounge, untuk sarapan saya tetap ke Feast. Saya ke lounge setelah sarapan untuk ngeteh sambil kerja. Di pagi hari, semua pintu menuju balkon dibuka. Area balkon sendiri menjadi dining area alternatif yang menawarkan pemandangan perbukitan yang asri, terutama di pagi hari. Kata Andre sih, dari balkon pemandangan sunrise-nya bagus banget, but I’m not a morning person so… begitulah. Area balkon juga terkena langsung paparan cahaya matahari. Jadi, kalau makan di sana, lebih cepat juga ngerasa gerah.

Selama menginap, saya sering banget ke lounge buat nyantai dan kerja. Lounge memang belum beroperasi (dan hanya buka pada jam sarapan karena afternoon tea dipindahkan ke lobi), tapi justru itu bikin saya senang karena bisa kerja tanpa gangguan. Di hari kedua dan ketiga, lounge sudah tutup sejak jam 10. Staf yang bertugas tahu kalau saya datang untuk kerja dan ngopi, dan mengizinkan saya stay di lounge selama yang diinginkan (hanya saja, setelah jam 10 sudah nggak bisa pesan makanan dan minuman). Tanpa siapa pun, rasanya kayak satu lounge itu punya saya sendiri. Oh, ya! Tangga di depan lounge juga jadi spot yang Instagrammable.

Gym

Fasilitas yang satu ini letaknya dekat dengan Feast Restaurant. Untuk mengakses gym, kita bisa lewat restoran atau jalan kecil di dekat area drop off. Gym hotel berada satu bangunan dengan venue acara dan spa. Sauna sendiri berada di dalam spa. Sayangnya, saat saya menginap, fasilitas spa belum buka.

Sebagai (bukan) seorang gym rat, bagi saya equipment yang tersedia di gym sudah cukup lengkap (toh saya biasanya cuman pakai treadmill, elliptical trainer, dan stationary bike). Jumlah alat-alatnya pun cukup banyak. Namun, karena mengikuti protokol kesehatan dan keselamatan, beberapa alat dinonaktifkan supaya pengguna bisa saling menjaga jarak. Dari segi teknologi, alat-alat yang tersedia pun nggak tergolong obsolete, meskipun ada beberapa alat yang tombolnya harus mulai diperbaiki, seperti mesin elliptical trainer. Sayangnya, di gym juga tidak ada area atau ruangan khusus untuk yang suka senam, yoga, atau pilates. Kalau mau coba pun, space yang ada sempit sih. Oh, ya! Untuk menggunakan fasilitas ini, saya harus mendaftarkan diri dulu ke resepsionis. Setelah itu, saya akan diantar oleh staf ke gym karena akses ke gym hanya bisa diberikan oleh staf. Lagi musim kayak gini sih, pengamanan harus ketat deh pokoknya dan kita pun nggak boleh bandel.

Lobby Lounge

Fasilitas Sheraton Bandung terakhir yang saya kunjungi dan gunakan adalah lobby lounge. Sebetulnya, area publik yang satu ini sih dikunjungi semua orang. Lha wong resepsionisnya ada di sini. Namun, di lobi juga ada bar yang menyajikan beragam minuman dan makanan. Afternoon tea yang biasanya digelar di Tower Lounge diadakan di lobi.

Bicara soal desain, area lobi tampil mencolok dengan instalasi seni/chandelier berwarna turquoise dengan bentuk memanjang. Sepintas, saya jadi ingat instalasi seni Kinetic Rain di Changi Airport. Bedanya, di sini sih tidak bergerak. Kebayang kalau harus membersihkan setiap gelasnya. Kata Andre sih, pernah ada kaca yang jatuh dan pecah. Saya sih nggak berani membayangkan. Seating area di lobi punya langit-langit yang tidak begitu tinggi, tetapi beratapkan kaca sehingga cahaya matahari bisa masuk. Untuk seating area di sini sendiri, sebetulnya ukurannya cukup luas karena memanjang. Set sofa, kursi, dan meja pun disebar di beberapa titik. Ada pula grand piano berwarna putih yang ditempatkan di stan wedding. Sayangnya, pianonya di kunci πŸ˜•

Dalam dominasi warna putih dan krem (serta beberapa warna earthy di sana sini), kehadiran warna turquoise menjadi elemen atraktif. Adanya warna tersebut membangun kesan tropis yang, bagi saya sih, membangun vibe pantai atau perairan dangkal ala ala Finding Nemo. Warna turquoise juga tercermin dari karpet yang digunakan di seating area. Ditambah lagi, di sisi timur lobi terdapat jendela-jendela yang menghadap langsung ke kolam renang. Bawaannya langsung ingin nyebur.

Lokasi

Berada di kawasan Dago Atas, Sheraton Bandung Hotel & Towers cocok untuk yang ingin menikmati liburan tropis dan sejenak kabur dari ingar bingar Bandung yang makin lama makin bikin keblinger (I do have a love-hate relationship with this city). Dengan posisi yang cukup tinggi, udara di kawasan ini terbilang segar, terutama di pagi hari. Taman-taman yang mempercantik kompleks hotel juga bikin mata segar.

Hotel ini masih berada di jalur yang dilewati angkutan umum. Berdasarkan pengalaman saya, jalan di depan Sheraton Bandung di akhir pekan sih “agak” kosong. Cuman, kalau naik atau turun sedikit, kita bisa melihat kemacetan. Maklum, baik kawasan Dago Atas maupun Dago Bawah ‘kan favoritnya para turis. Ada beberapa restoran, terutama di kawasan Dago Atas yang bisa dikunjungi. Di seberang hotel sendiri ada beberapa minimarket kalau-kalau ingin jajan. Toko swalayan yang lebih besar berjarak sekitar 5-10 menit dari hotel, tergantung moda transportasi yang digunakan. Secara pribadi, saya sendiri jarang main ke kawasan Dago Atas. Bisa dibilang, saya anak downtown.

Dari Stasiun Bandung, hotel ini berjarak kurang lebih 30 menit, tergantung kondisi lalu lintas. Kalau dari Bandara Internasional Husein Sastranegara sih, mungkin jarak tempuhnya sekitar 30-35 menit, lagi-lagi tergantung kondisi lalu lintas. Saya nggak segan-segan mengingatkan. Berhubung Bandung ini kalau udah macet benar-benar mengesalkan, informasi dari saya ini nggak 100% akurat. Kalau jalanan lagi lancar, mungkin bisa lebih cepat sampai ke hotel. Hanya saja, sekali lagi, di akhir pekan kawasan Dago itu biasanya macet, terutama Dago Atas.

Pelayanan

Segmen ini memuat pendapat saya mengenai pelayanan yang diberikan pihak hotel. Apa yang saya tulis bersifat subjektif dan bukan merupakan informasi umum, dan lebih merupakan pendapat pribadi. Experience yang saya alami bisa jadi berbeda dari apa yang orang lain alami. Tulisan dalam segmen ini tidak ditujukan untuk menjelek-jelekkan atau menurunkan reputasi hotel. Jika informasi yang saya tulis bersifat positif, semoga manajemen hotel bisa tetap menjaga kualitas layanannya. Jika bernada negatif, semoga bisa menjadi bahan perbaikan bagi pihak hotel. 

Untuk segmen ini, saya sebetulnya agak takut buat nulis. Bukan kenapa. Saya takut memberikan kesan bias karena punya teman yang menjadi staf di hotel. Namun, segmen ini saya tulis secara jujur dan objektif. Jadi, nggak ada bias, ya.

Dari aspek pelayanan, saya tidak punya keluhan serius. Hmm… Bisa dibilang juga, saya nggak punya hal yang perlu dikeluhkan. Namun, proses check-in berjalan lebih lama dari dugaan. Saya harus nunggu selama sekitar 20 menit (awalnya diminta menunggu 15 menit) karena ternyata kamar saya belum ready. Saya pun nunggu di lobi sambil kerja. Kalau saya nggak ada kerjaan yang harus dibereskan, mungkin saya bakalan ngerasa bete sih. Untungnya, sambil nunggu dan kerja, saya ditawari minuman, dan saya pilih lychee tea. Lamanya proses persiapan ini karena kamar harus dibersihkan secara lebih menyeluruh. Ditambah lagi, tingkat okupansi hotel pada hari saya check-in terbilang ramai. Sebenarnya, kalau bisa dibersihkan lebih awal, akan lebih bagus but who knows? Para tamu mungkin pada late check-out dan para staf hanya punya waktu singkat untuk bersih-bersih. Ya, semoga sih di kunjungan berikutnya, saya nggak perlu menunggu lama lagi.

Beberapa barang (mis. bathrobe) sejak awal tidak disediakan di kamar sebagai tindakan preventif. Untungnya, saya nggak harus menunggu lama saat menelepon minta barang-barang tersebut. Salah satu hal yang bikin saya sering kali kesal adalah barang yang datangnya lama banget. Padahal, yang diminta itu bukan sesuatu yang ribet dan perlu dipersiapkan dalam waktu lama (mis. Q-tips, slippers, atau semacamnya). Para staf segera membawakan barang yang saya minta, dan kecepatan ini layak diapresiasi.

Soal kebersihan kamar, ada satu hal yang menurut saya harus lebih diperhatikan. Waktu saya buka-buka kabinet, ada satu platter buah-buahan yang belum dibuang oleh staf housekeeping. Dari penampilannya sih, buah-buahannya memang nggak busuk dan ditutupi plastic wrap, cuman mungkin ke depannya staf housekeeping harus melakukan pembersihan secara lebih teliti lagi. Di luar itu, kondisi kamar sudah baik dan bersih. Saya juga dikasih dua pak tisu disinfektan untuk membersihkan berbagai surface di kamar.

Keramahan dan perhatian staf jadi hal yang membuat saya senang saat menginap. Di Tower Lounge, saya ketemu dengan Pak Enang (eh, betul nggak ya namanya? Maaf kalau salah). Selama di sana, Pak Enang ini yang “ngasuh” saya. Beliau yang handle pesanan saya dan ngajak ngobrol. Personalized service seperti ini sangat diapresiasi. Bahkan, Pak Enang sendiri yang bilang kalau saya boleh kerja di lounge, meskipun memang lounge tidak beroperasi setelah jam 10 pagi. Again, having the lounge for myself was so great! Oh, ya! Di musim pandemi seperti sekarang, saya juga memperhatikan ketegasan dan kedisiplinan pihak hotel. Saya senang dengan diadakannya sistem shift untuk sarapan karena memungkinkan saya untuk tidak bertemu terlalu banyak orang. Pengecekan suhu juga dilakukan di beberapa titik. Waktu bersantai di pinggir kolam renang, ada beberapa anak-anak yang mau menempati lounge chair di samping saya. Staf yang bertugas di kolam renang dengan tegas langsung menyuruh mereka untuk tidak menempati kursi tersebut supaya bisa menjaga jarak dengan saya (syukurlah sudah diingatkan karena kalau saya yang ngingetin, ada kemungkinan saya justru bakalan ngomel dan galak). Dengan langkah-langkah preventif yang dilakukan pihak hotel, saya merasa lebih lega dan tenang saat menginap. Kalau pihak hotel sudah melakukan langkah-langkah preventif, para tamu pun harusnya bisa, ya. Namun, pada kenyataannya, ya, ada aja tamu hotel yang bandel dan keras kepala. Kalau sudah begitu sih, biasanya saya yang menghindar dan menjauh.

Satu lagi! Saat tiba di kamar, saya dikirimi Opera cake sebagai hadiah selamat datang. Dan nggak tanggung-tanggung, slice-nya besar! Saya bahkan sampai harus bungkus kuenya karena selama menginap dua malam, si kue nggak habis-habis!

Kesimpulan

Sheraton Bandung Hotel & Towers berhasil membawa atmosfer tropis ala resor pinggir pantai ke dataran tinggi. Pada awalnya, saya tidak berekspektasi seperti itu. Namun, setelah datang langsung ke hotel dan melihat lagoon pool-nya, wah! Rasanya memang kayak lagi di resor tepi pantai (minus pantai dan view laut tentunya).

Meskipun usianya jauh lebih tua daripada saya, Sheraton Bandung tetap menawarkan pengalaman menginap yang mengesankan. Renovasi di tahun 2014 benar-benar memberikan wujud baru pada properti milik Marriott ini. Saya sendiri masih belum menemukan foto lama Sheraton Bandung (yang katanya didominasi elemen-elemen kayu berwarna gelap). Jadi, saya masih penasaran. Seandainya bisa lihat fotonya, saya mungkin bisa bandingkan vibe lama dengan vibe barunya. Dengan lokasi di kawasan touristic, nggak aneh kalau hotel ini sering dikunjungi. Dari pusat kota sih, memang nggak begitu dekat. Namun, jaraknya masih bisa ditoleransi dan lokasinya masih dekat dengan “peradaban”, one might say.

Kamar mengusung desain kontemporer, dengan ukuran yang cukup luas dan balkon yang mengarah ke taman atau kolam renang. Terlepas dari usia properti, furnitur yang ada tidak lagi terkesan dated, thanks to the renovation. Fasilitas yang tersedia di kamar cukup lengkap. Hanya saja, koneksi internet hotel tidak ditambahi password sehingga memungkinkan siapa saja, termasuk orang di luar hotel menggunakan koneksi tersebut. Walhasil, kecepatannya pun jadi kena imbasnya. Selain itu, ini juga cukup berisiko karena takut ada orang asing masuk ke jaringan dan justru melakukan tindak kejahatan dalam jaringan.

Fasilitas yang tersedia di Sheraton Bandung cukup lengkap. Saya pikir seandainya ada whirlpool, mungkin kunjungan akan makin lengkap rasanya. Beberapa fasilitas masih belum beroperasi, tetapi gym, restoran, dan kolam renang sudah bisa digunakan (setidaknya pada waktu saya berkunjung). Taman-taman asri yang menghiasi kompleks hotel memberikan efek sejuk di mata. Tanpa harus pergi ke daerah yang lebih jauh dan remote, menginap di sini sudah cukup untuk menyegarkan pikiran dan menikmati suasana yang lebih tenang (unless tingkat okupansi hotel sedang mencapai puncaknya dan suara orang-orang yang nyaring terdengar di sana sini).

Mengacu pada Tripadvisor, rate hotel ini mulai dari 1,2 juta rupiah. Namun, kalau saya cek di Marriott Bonvoy, rate mulai 1,0 jutaan pun bisa dapat (coba rajin-rajin cek kode promo). Saya sendiri waktu itu pakai promo buy one get one dan secara keseluruhan dapat rate 1,6 juta (nett) untuk dua malam, sudah termasuk sarapan. Lumayan, ‘kan? Dengan fasilitas yang lengkap dan mumpuni, serta lingkungan yang asri dan ijo royo-royo, Sheraton Bandung Hotel & Towers cocok jadi pilihan staycation mewah di Bandung dengan suasana yang lebih alami, tanpa harus bepergian jarak jauh.

Pros & Cons

πŸ‘πŸ» Pros

  • Lagoon pool-nya bagus dan cantik banget!
  • Secara pribadi, club lounge-nya adalah salah satu executive lounge paling keren dan mewah di Bandung.
  • Informasi harga yang tertera di menu restoran sudah termasuk pajak dan service charge (sepele, tapi buat saya ini membantu banget karena nggak harus pusing ngitung-ngitung berapanya).
  • Bangunan-bangunan hotel dikelilingi taman-taman cantik. Cocok buat menyegarkan mata.
  • Lingkungan di sekitar hotel relatif tenang. Udaranya pun masih lebih segar, terutama di pagi hari.
  • Dari segi rate, hotel ini menawarkan rate yang relatif lebih terjangkau untuk hotel bintang 5.
  • Fasilitas yang ditawarkan cukup lengkap. Pas lah untuk properti bintang 5.
  • Meskipun di Dago Atas, lokasinya masih terbilang lebih dekat ke pusat kota.

πŸ‘ŽπŸ» Cons

  • Staf housekeeping mohon lebih teliti lagi saat bersih-bersih kamar. Kabinet dan laci tolong dibuka untuk cek apakah ada piring, gelas, atau sampah yang tertinggal atau tidak.
  • Koneksi WiFi tidak punya password, memungkinkan orang di luar hotel untuk memanfaatkan koneksi dan (ngerinya) nge-hack perangkat para tamu/staf hotel.
  • Kalau ada whirlpool atau jacuzzi, sepertinya lebih baik.

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌😢
Desain: πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†βšͺ️
Lokasi: 🀩🀩🀩🀩βšͺ️
Harga: πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°

Review: Ritz-Carlton Mega Kuningan Jakarta

Sekarang sudah masuk bulan April dan ini artinya sebentar lagi ulang tahun saya. Tahun ini sepertinya akan jadi ulang tahun yang berat karena di tengah wabah COVID-19 yang sepertinya bukannya mereda, malah tambah memburuk, ada kemungkinan saya masih nggak bisa ke mana-mana saat ulang tahun nanti di bulan Mei. Ya, harapannya sih, wabahnya bisa segera terkendali dan jangan ada case baru (which sounds unlikely, ya). Ya, setidaknya semoga sudah ada obatnya dan bisa segera digunakan deh.

Ngomongin soal ulang tahun, saya mau throwback nih ke ulang tahun saya di tahun 2019. Nah, tahun kemarin itu perayaannya bisa dibilang cukup seru dan banyak hotel hopping. Walaupun agak repot karena harus pindah dari satu hotel ke hotel lain, secara keseluruhan sih pengalaman liburan dan ulang tahunnya sangat berkesan. Pada momen itu, saya stay di tiga hotel, dan salah satunya adalah The Mayflower Jakarta – Marriott Executive Apartments, properti yang udah saya review sebelumnya. Untuk properti yang pertama, saya rahasiakan dulu deh soalnya review-nya belum saya tulis. Nah, setelah dari Mayflower, saya pindah ke hotel baru yang berada di kawasan Mega Kuningan. Sebetulnya, nginep di sini itu terbilang tidak direncanakan. Awalnya, saya kepikiran untuk stay dua malam di Mayflower, tapi saat itu entah kenapa saya malah browsing pilihan hotel lain dan pilihan saya jatuh ke hotel ini.

0
Fasad Ritz-Carlton Mega Kuningan Jakarta. Foto milik pihak manajemen hotel.

Ritz-Carlton Mega Kuningan Jakarta adalah hotel bintang 5 yang berlokasi di Jl. Dr. Ide Anak Agung Gde Agung, Kav. E.11, No. 1, Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Hotel mewah di Jakarta ini adalah salah satu properti yang terkenal. Letaknya berseberangan dengan JW Marriott Jakarta. Sebenarnya, di daerah Kuningan sendiri ada 3 properti Marriott, JW Marriott Jakarta, Ritz-Carlton Mega Kuningan, dan The Westin Jakarta. Dari segi umur, JW Marriott Jakarta ini yang paling tua. Sebetulnya, Jakarta punya dua Ritz-Carlton. Satu lagi ada di SCBD, satu bangunan dengan Pacific Place dan umurnya lebih muda.

Ngobrolin soal hotelnya dulu secara keseluruhan, untuk member Marriott Bonvoy, hotel ini masuk ke kategori 5, satu level dengan adiknya yang di SCBD. Soal fasad, ini salah satu aspek yang saya suka dari hotel ini. Kalau kalian pernah atau sering ke kawasan ini, pasti tahu kalau Jalan Dr. Ide Anak Agung Gde Agung ini melingkar. Nah, bangunan Ritz-Carlton Mega Kuningan Jakarta menempati seperempat lingkaran itu. Karena mengikuti bentuk bangunan, fasad terluarnya ikut dibentuk melingkar, mirip Koloseum. Fasad hotel tampil majestic dalam balutan warna putih dan pilar-pilar bergaya Doric. Berdasarkan info dari halaman Wikipedia-nya, hotel ini dibuka pada tahun 2005. Berarti umurnya udah 15 tahunan. Ritz-Carlton Jakarta juga punya beberapa rekor lain sebetulnya. Daftar gedung tertinggi di Jakarta dari Wikipedia menunjukkan hingga tanggal ini nih (5 April 2020), kedua menara Ritz-Carlton menempati posisi ke-29 sebagai gedung tertinggi di Jakarta dengan tinggi 212 meter. Selain itu, dilansir dari situs resmi hotel, Ritz-Carlton Mega Kuningan  menawarkan kamar hotel terbesar di Jakarta. Sounds braggadocious? Nanti saya jelasin di paragraf berikutnya.

Kalau menyebut nama Ritz-Carlton, saya kayaknya nggak bisa hapus asosiasi hotel ini dengan tragedi di tahun 2009. Hotel ini menjadi salah satu target pemboman teroris. Selain Ritz-Carlton, JW Marriott Jakarta juga jadi target pemboman pada hari yang sama. JW Marriott sendiri udah dua kali kena bom, dengan pemboman pertama itu pada tahun 2003. Jahat banget teroris tuh. Dua minggu setelah kejadian, hotel kembali dibuka dan beroperasi seperti biasa.

Oke, kembali ke review. Saya baca brosur lengkap hotel (bisa di-download di sini) untuk pelajari lebih lanjut tentang hotel ini. Sebetulnya, saya udah baca brosurnya dari lama, tapi ya saya baca-baca lagi takutnya salah informasi. Ada 296 kamar dan 37 suite room di Ritz-Carlton Mega Kuningan Jakarta. Untuk tipe kamar sendiri, ada tujuh tipe kamar, dengan tipe terkecil adalah Grand Room dan tipe terbesar adalah Presidential Suite. Untuk tipe Grand Room sendiri ada dua opsi, tipe biasa dan Grand Club. Nah, tipe-tipe lainnya udah mencakup akses ke exclusive Club Lounge. Sebelumnya, saya bilang kalau hotel ini mengklaim sebagai hotel yang menawarkan kamar dengan luas terbesar di Jakarta. Saya coba riset beberapa hotel bintang 5 di Jakarta dan membandingkan ukuran kamarnya. Untuk Four Seasons Jakarta (kebetulan saya udah pernah nginep di sana), ukuran kamar yang paling kecil adalah 62 meter persegi dan tipe paling besar adalah 330 meter persegi (info dari situs resmi hotel). Untuk Raffles Jakarta, tipe Signature Room punya luas 60 meter persegi dan tipe Raffles Suite punya luas 390 meter persegi. Nah, Ritz-Carlton Mega Kuningan Jakarta menawarkan tipe Grand Room dengan luas 63 meter persegi, cuman beda 1 meter persegi aja sama Executive/Deluxe Suite-nya Four Seasons Jakarta. Tipe terluasnya adalah Presidential Suite dengan luas 401 meter persegi. Namun, The Duke Suite-nya Mulia Jakarta hadir dengan luas 650 meter persegi. Jadi, kalau dibilang yang paling besar sih, sebetulnya nggak. Hanya saja, luas yang ditawarkan tetap signifikan (a 401-square meter space is really big, lor). Kalau yang dibandingkan adalah kamar terkecil, Ritz-Carlton Mega Kuningan masih kalah dengan adiknya yang di SCBD karena Ritz-Carlton Pacific Place menawarkan tipe Deluxe Grand Room dengan luas 72 meter persegi. Pretty spacious, isn’t it?

Untuk fasilitas, hotel ini hadir dengan beragam amenities berkelas seperti gym, kolam renang, spa, grand ballroom, meeting room, executive club lounge, dua restoran, kids’ club, jogging track, dan yang terbaru adalah Ozone Bar & Karaoke. Waktu berkunjung, saya pesan Mayfair Suite, tipe terbesar keempat di Ritz-Carlton Mega Kuningan Jakarta. Pengalamannya mengesankan, and I really had a good time with my friends. Ulasan lengkapnya saya bahas di segmen berikutnya, ya!

Desain Kamar

As expected from a luxury hotel, ukuran jadi satu hal yang ditonjolkan. Tipe Mayfair Suite di Ritz-Carlton Mega Kuningan Jakarta punya luas 110 meter persegi. Pemilihan tipe ini sebetulnya karena saya juga ingin punya living area terpisah untuk menyambut teman-teman yang datang. Jadi, di tipe ini ada living area, powder room, kamar tidur utama, walk-in closet, dan master bathroom. Dengan luas 110 meter persegi dan lima ruangan terpisah, setiap ruang punya ukuran yang cukup luas, terutama powder room-nya yang menurut saya sih way too big, terutama dengan bentuk yang memanjang. But I think that’s one of the perks of enjoying the luxury.

Secara keseluruhan, interior suite room mengusung desain kontemporer. Kalau saya perhatikan, untuk ukuran hotel yang dibangun di tahun 2005 (dan selama belum ada perubahan pada interior kamar), desain yang diusung sudah cukup modern dan belum obsolete. Menurut saya secara pribadi, salah satu risiko penerapan desain kontemporer adalah seberapa cepat desain dianggap obsolete. Begitu masuk, saya disambut dengan living area yang luasnya hampir sama dengan luas master bedroom. Dengan space yang besar, penggunaan oversized furniture items masih nggak bikin ruangan terasa sempit. Pada kenyataannya, ruangan justru terasa sangat lapang dan ke arah kosong, terutama di sisi-sisi belakang armchair. Ada sofa untuk tiga bahkan empat orang, dan satu armchair besar. LED TV sebesar 55 inci dipasang pada dinding dan di bawahnya ada kabinet yang cukup besar. Di salah satu sudut, ada area kerja dengan meja yang cukup besar. Jendela-jendela di living area dengan tinggi hampir selangit-langit menawarkan view Jalan Dr. Satrio dan Rasuna Said.

IMG_20190616_171318
IMG_20190616_171339
IMG_20190616_171759
View dari living area

Di living area ini, saya dan teman-teman merayakan ulang tahun saya sambil ngemil, ngobrol, dan main game. Dengan ukuran yang luas, sebenernya area ini bisa menampung tamu, mungkin sampai 7 atau 8 orang (kalau kursi kurang, bisa pakai kursi kerja atau ambil kursi dari master bedroom). Di dekat pintu keluar, ada powder room. Ini artinya teman-teman saya bisa pakai kamar mandi di situ, tanpa harus masuk ke area master bedroom. Privasi masih terjaga lah. Nah, si powder room ini sendiri bentuknya memanjang dengan satu bathroom counter yang besar dengan counter top berbahan marble.

IMG_20190616_171409
IMG_20190616_171403
Powder room

Beralih ke master bedroom, untuk tipe Mayfair Suite di Ritz-Carlton Jakarta, sebetulnya kamar tidur utamanya sih mirip dengan tipe Grand Room. Ya, anggaplah tipe Grand Room ditambah living area terpisah dan powder room tambahan. Desain interiornya masih sama dengan interior living area. Di sini, ada satu sofa (dengan ukuran yang lebih kecil) dan coffee table, tempat tidur king-size, LED TV 55 inci, dan satu oversized armchair di dekat jendela. Nah, kali ini jendelanya menghadap ke arah JW Marriott Jakarta. Adanya TV di master bedroom juga jadi penolong, in case nih temen sekamarmu pengen nonton channel apa, tapi kamu pengen nonton channel yang lain. Eh, saya hampir lupa! Untuk palet warna sendiri, tipe Mayfair Suite mengusung warna-warna earthy, dengan dinding berwarna krem ke arah beige. Pencahayaan ruangan ke arah dim sebetulnya, tetapi membangun kesan mewah. Ranjang yang digunakan adalah two-poster bed. Nah, kalau biasanya ranjang dengan post atau tiang ini biasanya punya tiang di keempat sisinya, di sini tiang hanya ada di bagian headboard. Di atas tempat tidur sendiri, ada dua lukisan sebagai dekorasi ruangan. Secara keseluruhan, ruangan nggak terkesan kosong karena ada lebih banyak furnitur di sini. Waktu ke sini, ada empat orang yang ikut nginap. Karena kasur cukup besar, king bed bisa memuat tiga orang (kebetulan badannya pada kecil). Sementara itu, teman saya yang satu lagi tidur di sofa. In fact, keesokan harinya setelah berenang, saya sempet tidur siang dulu di sofa living area dan tidurnya pun nyaman. So, parah-parahnya sih kalau memang harus “keroyokan” banget tidur di satu unit, tipe Mayfair Suite ini bisa menampung 5 orang: 3 orang di kasur, 1 orang di sofa master bedroom, dan 1 orang di sofa living area. Kalau memang nggak mau tidur di sofa, rollover bed pun bisa dipesan dari hotel (dengan biaya tambahan). Saya rasa tipe ini cocok buat keluarga kecil yang punya 2 atau 3 anak.

IMG_20190616_171653
IMG_20190616_171658
IMG_20190616_171710
IMG_20190616_171423
IMG_20190616_175326

Oh, ya! Sebelum masuk ke master bedroom, ada semacam nook dengan counter yang memuat kulkas, coffee/tea maker, beragam pilihan kopi dan teh, dan dua piece cokelat. Yang satu milk chocolate, yang satu lagi dark chocolate. I LOVED BOTH OF THEM! Cokelat yang ini gratis, ya, tapi kalau minuman dan makanan yang ada di kulkas, dan wine yang tersedia sih harus bayar lagi. Nah di samping kiri area ini, baru ada walk-in closet. Ukuran ruangannya nggak begitu luas memang, tapi ukuran closet-nya sih cukup besar. Di sini juga ada ironing board dan setrika. Walk-in closet ini juga punya akses langsung ke master bath.

Kamar Mandi

Kamar mandi tipe Mayfair Suite di Ritz-Carlton Mega Kuningan Jakarta menawarkan space yang besar. Ada area shower yang cukup besar, bathtub, dan his-and-hers sink. Untuk bathtub, posisinya ada di samping jendela besar yang menghadap ke JW Marriott Jakarta. Nah, di depan jendela ini sendiri ada semacam tembokan. Jadi, kalau badannya kurang tinggi atau duduknya kurang tegak, saya rasa nggak akan bisa berendam sambil lihat view (dan juga, view-nya cuman hotel tetangga so, yeah, not a really special thing). Nah, bathtub ini ternyata lebih besar dari dugaan saya. Ketika berendam, ternyata bathtub cukup dalam. Interior kamar mandi didominasi oleh marmer palet monokrom. Cukup mewah.

IMG_20190616_171630
IMG_20190616_171513

Hadirnya his-and-hers sink bikin tamu bisa pakai wastafel masing-masing. Cermin besar yang dipajang dipercantik dengan frame warna emas dan sepasang wall lamp bergaya modern classic. Produk mandi yang tersedia di Ritz-Carlton Jakarta adalah produk-produk line Purple Water dari Asprey, brand asal London. Aromanya nggak intense, cuman buat saya sih nggak begitu unik karena sepertinya pernah cium aroma serupa di tempat lain. Selain itu, di kamar mandi juga tersedia hair dryer, emery board (alat buat menghaluskan ujung kuku setelah digunting), korek kuping, dan perlengkapan pribadi lainnya.

IMG_20190616_171456
IMG_20190616_171448

Untuk area shower, ruang yang ada cukup luas. Di sini nggak ada rainshower, tapi ada shower permanen dan hand shower. Produk mandi yang ditawarkan masih dari Asprey. Untuk kloset, saya kurang suka posisinya karena di sampingnya, ada pintu geser menuju walk-in closet. Pintu ini memang ada kuncinya, cuman kalau sewaktu-waktu lupa kunci dan ada orang yang buka pintu sementara kita lagi do our business, kayaknya bakalan awkward banget.

Fasilitas Umum

Bicara soal fasilitas umum, ada banyak opsi yang tersedia di Ritz-Carlton Mega Kuningan Jakarta. Di sini ada dua restoran, kolam renang, gym, spa, sauna, steam room, whirlpool, grand ballroom, meeting room, dan banyak lagi. Untuk tamu yang menempati kamar-kamar dengan akses Club Lounge, di lounge juga ada beberapa fasilitas tambahan. Yang paling baru, hotel ini punya Ozone Karaoke & Bar yang dibuka beberapa bulan setelah saya berkunjung. Jadi, ya saya nggak sempat ke sana. Saya mau bahas dulu dari fasilitas yang paling saya suka, Club Lounge.

Club Lounge

Berada di lantai 26, Club Lounge Ritz-Carlton Jakarta bisa dibilang salah satu executive lounge terbesar di Jakarta. Lounge ini bahkan punya extension di lantai 25 yang biasanya digunakan untuk tamu-tamu yang bawa anak-anak. Kalau mau ke sini, tamu wajib pakai sepatu dan pakaian berkerah (smart casual). Oh, ya. Pakai celana pendek juga nggak boleh. Waktu saya menginap, saya lihat satu tamu (orang asing) yang, karena dia pakai tank top, dia cuman “stuck” di reception dan ngobrol sama staf. Saya check-in di sini by the way.

IMG_20190617_103908

Club Lounge terasa makin lapang karena area-area utamanya nggak dipisahkan oleh tembok (ya, ada pilar atau tembok, tapi bukan tembok yang memanjang). Para tamu dengan akses ke executive lounge bisa sarapan di sini, menikmati camilan dan afternoon tea, dan pakai meeting room secara gratis selama 2 jam. Untuk benefit lengkapnya, bisa dibaca di sini. Yang jelas sih, menurut saya kalau memang dananya ada, coba pilih kamar dengan akses ke executive lounge ini karena it really is worth your money! Buat yang sering laper, daripada harus pesan makanan lagi dari luar, cukup ke sini aja. Pas sore, ada juga free flow wine dan beer.

IMG_20190616_165618
IMG_20190616_165637

Dining area utama berada nggak jauh dari reception area. Area ini cukup luas dan tampil hangat dalam balutan didning warna krem/beige, lantai karpet berwarna merah dengan motif keemasan, dan furnitur bergaya kontemporer. Secara keseluruhan, interior Club Lounge mengingatkan saya dengan interior ruang-ruang publik di RMS Queen Mary 2. Ada beberapa meja yang ditempatkan di sebelah jendela. Jadi, kalau ingin makan sambil liat view, pilih aja meja-meja ini. Area buffet ada di ujung dining area dan bicara soal ukuran, luasnya sih memang nggak seberapa kalau dibandingkan restoran-restoran utama di lantai lobi. Namun, saya suka karena selain tempat yang jauh lebih tenang, para staf yang bertugas juga memberikan personalized service. Soal service, nanti saya bahas di segmen khusus, ya.

IMG_20190617_082502

Oh, ya! Untuk menu sarapan, memang pilihan yang tersedia nggak sevariatif menu sarapan di Asia Restaurant. Namun, ya, untuk level executive lounge sih, menu yang ditawarkan sudah decent. Waktu sarapan, saya nggak banyak makan karena saat itu kondisinya masih nggak enak badan. Saya hanya ambil hashbrown potato dan sushi. Saya minta staf untuk buatkan scrambled egg. Untuk minuman, staf lounge berinisiatif kasih saya ginger tea. I really appreciated her gesture.

Beralih ke bagian lounge yang lain (kayaknya ini di sisi utara). Area ini bisa dibilang area perpustakaan yang lebih tenang. Di sini, ada banyak set sofa, kursi lengan, dan meja. Ada juga beberapa lemari yang memuat koleksi-koleksi buku. Di salah satu sisi ruangan, ada LED TV. Karena posisinya berada di ujung dining hall utama, area ini cocok banget buat baca buku atau ngobrol yang lebih serius bareng temen atau keluarga.  Ada satu hal yang menarik perhatian saya. Di tengah-tengah ruangan, ada end table dengan set papan catur di atasnya. Yang lebih unik adalah pion-pionnya terbuat dari kayu dan diukir dengan gaya ukiran khas Bali. Saya jadi ingat di rumah pun ada set catur seperti ini (dan skema warnanya mirip). Cuman, saya lupa wo baba simpan di mana, ya. Untuk pustaka bacaan, buku-buku yang tersedia beragam dari segi genre dan tahun keluaran. Bahkan, ada beberapa buku bahasa asing yang saya lihat di sini (saya nemu buku bahasa Jerman kalau nggak salah ingat). Sebetulnya, di area ini ada banyak lagi seating area yang lebih tersembunyi di antara dinding-dinding. I got to say it feels like a maze.

IMG_20190616_165749
IMG_20190617_092208
IMG_20190616_165725

Setelah sarapan, staf lounge menawarkan saya untuk coba fasilitas lain yang ada. Salah satunya adalah game room yang berada satu hallway dengan business center. Di game room ini ada meja bilyar dan televisi. Sementara untuk business room, ada beberapa komputer dan set meja kursi. Oh, ya! Ada juga mesin fotokopi. Masih di hallway yang sama, ada beberapa meeting room yang bisa digunakan tamu secara gratis selama dua jam per hari.

IMG_20190616_165806
Game room
IMG_20190617_092729
Game room
IMG_20190617_092820
Business center
IMG_20190617_092829
Business center
IMG_20190617_092841
Business center

Waktu saya berkunjung, kondisi ruangan-ruangan ini kosong. Memang pada saat itu, tamu yang datang ke Club Lounge juga nggak banyak. Jumlahnya bisa dihitung pakai jari. Momen itu saya manfaatkan akhirnya untuk lihat-lihat fasilitas yang ada dan foto-foto properti. Oh, ya! Hampir lupa, ‘kan! Di dekat dining hall utama, ada tangga panjang menuju lantai 25. Di lantai ini, ada satu area yang merupakan extension dari Club Lounge. Di lantai 25 sendiri, kamar-kamar yang ada merupakan tipe kamar dengan akses ke executive lounge. Di area ini, furnitur yang ada nggak banyak. Jadi, areanya luas banget (kayaknya sih kalau anak-anak bakalan senang lari-larian di sini). Ada beberapa set sofa dan meja, lemari besar, dan beberapa dekorasi lainnya. Langit-langit area ini setinggi dua lantai dan untuk pencahayaan, ada jendela-jendela setinggi dua lantai di salah satu sisinya. Di sini juga ada beberapa pot bambu setinggi dua lantai.

IMG_20190617_093158
IMG_20190617_093225
IMG_20190617_093407

Kolam Renang

Lantai 5 Ritz-Carlton Mega Kuningan Jakarta bisa dibilang jadi pusatnya sebagian besar fasilitas hotel. Nah, salah satu fasilitas yang ada di lantai ini adalah kolam renang. Untuk mencapai kolam renang ini, tamu akan melewati semacam courtyard dengan air mancur cantik. Saya sempat sore-sore ke sini dan area taman ini rasanya romantis banget, apalagi pas golden hour matahari mulai terbenam. Saya sih menyebut area ini sebagai secret garden.

IMG_20190617_095840
IMG_20190616_173924

Untuk menuju kolam renang, tamu bisa mengikuti pathway atau nyelip ke lorong kecil menuju gym. Bicara soal kolam renang, ukurannya besar dan cukup panjang untuk bolak-balik satu lap. Area kolam dihiasi tanaman-tanaman tropis. Di salah satu sudut kolam, ada ring basket. Outdoor lounge chair dan parasol ditempatkan berjajar di salah satu sisi kolam yang menghadap ke area kebun. Bangunan di belakang barisan lounge chair ini adalah gym hotel. Sayangnya, saya nggak sempat masuk ke dalamnya dan olahraga karena masih nggak enak badan (tapi saya malah berenang. Nah loh!). Oh, ya. Bisa dilihat di gambar di bawah ini, di area kebun, ada sepasang tembokan dengan air mancur. Sepasang tembokan itu sebetulnya merupakan “gapura” menuju secret pool. Saya nggak sempat foto secret pool-nya, tapi itu menurut saya area kolam yang cukup romantis. Posisinya juga teduh dan tersembunyi, but it doesn’t mean it’s a shady place, ya (pun intended).

IMG_20190617_095942
IMG_20190617_095948
IMG_20190617_095954
IMG_20190617_100903

Di area kolam Ritz-Carlton Jakarta juga ada tiga gazebo untuk bersantai. Kadang-kadang gazebo ini dipakai untuk customer spa. Jadi, di sini tamu bisa dipijat. Area kolam renang ini juga dikelilingi oleh jogging track. Sebetulnya, secara pribadi sih, kayaknya saya akan lebih senang jogging keliling Mega Kuningan. Setelah berenang, saya dan teman-teman niatnya ingin santai di whirlpool, tetapi sayangnya saat itu area whirlpool, sauna, dan steam room sedang dalam renovasi. Namun, staf yang bertugas mengarahkan kami ke ruang ganti yang ternyata merupakan bagian dari spa hotel.

IMG_20190617_111405

Sebelum masuk ke loker, area ruang ganti, dan shower, saya harus melewati atrium yang cukup mewah dengan pencahayaan yang redup. Awalnya, saya sempat ragu karena takut tersesat. Thank God, saya berada di jalan yang benar. Ada empat shower di sini dan untungnya, saat itu hanya ada satu pengunjung lagi. Jadi, ya pas lah saya bertiga dengan teman-teman dan satu pengunjung lain. Kami tidak perlu berebut atau menunggu giliran pakai shower. Di ujung area ini, ada whirlpool dan (sepertinya) cold plunge pool, serta sauna dan steam room. Semuanya belum bisa dipakai karena dalam renovasi.

IMG_20190617_111238
IMG_20190617_111248
IMG_20190617_111301

Untuk area loker, lemari-lemari yang ada cukup banyak. Vanity table ada di sisi ruangan yang lain, lengkap dengan produk-produk perawatan pribadi seperti hair tonic, hairspray, korek kuping, body lotion, dan hair dryer. Kalau ingin pinjam handuk, kita bisa pinjam ke petugas yang ada di meja reception sebelum masuk ke area wastafel.

IMG_20190617_111213
IMG_20190617_111224

Nah, setelah selesai mandi dan ganti baju, saya dan teman-teman sempat nyantai dulu di ruang santai yang berada di dekat area loker. Di ruang santai ini, ada set kursi dan meja kopi, televisi, dan sepasang recliner. Ruangan ini punya jendela setinggi langit-langit yang menghadap ke arah taman kecil di luar. Setelah berenang, sebetulnya saya ngantuk banget dan tadinya ingin tiduran sebentar di recliner. Ujung-ujungnya, saya malah tidur siang di sofa living area kamar.

IMG_20190617_111348
IMG_20190617_111355

Asia Restaurant

Seperti yang sudah saya bilang, Ritz-Carlton Mega Kuningan Jakarta punya dua restoran. Restoran yang dibuka untuk sarapan adalah Asia Restaurant. Kalau dari lobi, restoran ini berada di sayap kanan gedung. Saat saya berkunjung, waktu itu masih jam breakfast dan restoran cukup ramai (dan banyak anak-anak lari-lari ke sana kemari).

IMG_20190617_095435
IMG_20190617_095026
IMG_20190617_094809

Menu-menu yang disajikan sangat beragam, dari sajian Indonesia sampai internasional seperti Tiongkok dan India. Ada juga beberapa station untuk sajian Jepang dan Korea. Asia Restaurant mengusung konsep open kitchen. Jadi, waktu saya ke sana, saya juga bisa lihat para chef dan stafnya yang lagi memasak. Karena sudah sarapan di Club Lounge, saya nggak sarapan lagi di sini, meskipun memang menu-menu sarapan pada hari itu keliatannya menggoda selera. Dining hall utama di Asia Restaurant cukup luas. Set meja dan kursi makannya pun berbeda-beda jenisnya. Ada meja yang pakai empat kursi, ada juga yang pakai club chair melingkar. Interior restoran mengusung desain modern dan tampak mewah dengan penggunaan kisi-kisi berbahan logam berwarna platinum ash dengan kaca bertekstur. Sisi restoran yang dekat dengan jendela jadi area yang paling saya suka. Dengan kisi-kisi logam dan set meja dan kursi makan dengan skema warna hitam dan ash, area ini tampak paling stylish. Menurut saya, kisi-kisi logam ini juga merupakan modern rendition dari kisi-kisi khas Tionghoa yang biasanya dibuat dari kayu dan berwarna cokelat.

IMG_20190617_095214
IMG_20190617_095207

Asia Restaurant juga punya area yang lebih tertutup dan biasanya dipakai untuk acara-acara seperti pertemuan, seminar, rapat, atau semacamnya. Area ini tampil cantik dengan palet monokromatik plus redwood. Kisi-kisi logam juga masih terpasang di sana sini. Dinding pada salah satu sisi restoran dipasangi cermin yang tidak hanya memberikan efek luas, tetapi juga mewah.

Lobo Italian Bistro

Restoran kedua yang ada di Ritz-Carlton Jakarta adalah Lobo Italian Bistro. Posisinya berada di sisi kiri lobi. Menjelang masuk ke restoran, tamu bisa lihat pilihan wine yang dipajang.

IMG_20190616_215843

Bicara soal luas, Lobo nggak kalah besar dengan Asia Restaurant. Dari segi interior, desainnya lebih Eropa dibandingkan Asia. Secara pribadi sih, saya lebih suka desain interiornya Asia yang mencerminkan modern rendition dari desain-desain Asia, terutama dengan warna-warna earthy dan metal. Namun, ya, sesuai restorannya, wajar kalau desain yang lebih Eropa diterapkan di Lobo. Saya berkunjung ke sini malam-malam setelah makan bareng teman-teman. Jadi, kunjungan ke sini hanya untuk foto-foto properti. Namun, untuk menu, Lobo menyajikan beragam sajian Italia, termasuk piza dan pasta. Lobo sendiri suka ngadain promo menarik yang diunggah di Instagram resmi Ritz-Carlton Mega Kuningan Jakarta. Waktu itu, saya lihat ada promo pizza dan bir. Ya, lumayan lah buat ngajak nongkrong teman. Untuk informasi lebih lanjut, coba follow dan pantengin Instagram-nya Ritz-Carlton Jakarta, ya!

IMG_20190616_215853
IMG_20190616_215907
IMG_20190616_220028

Bahas soal interior lagi. Meja-meja ditempatkan dalam jarak yang cukup besar. Kesan lapang jelas terlihat di sini, terutama karena jumlah furniturnya nggak sebanyak meja kursi di Asia Restaurant. Mengusung desain modern classic, palet merah, putih, krem, dan emas mendominasi interior restoran. Beberapa pohon artifisial ditempatkan di titik-titik tertentu. Di ujung main hall, terdapat bar dan grand piano.

IMG_20190616_215917
IMG_20190616_220009

Sebelumnya, saya sempat bilang bahwa sebelum masuk, kita bisa lihat beragam pilihan wine yang tersedia. Lobo Italian Bistro memang punya wine cellar. Kalau untuk promo wine sih saya nggak ingat, cuman yang saya ingat itu mereka pernah adakan promo beer dan piza, tapi kayaknya sih promo wine pun ada. Well, you’d better ask the staff . Restoran ini juga sebetulnya punya balkon alfresco yang menawarkan view sekitar hotel. Saya nggak sempat ke balkon ini karena sudah malam juga. Namun, balkon ini kelihatan kok dari jalan. Dengan ambiance yang lebih eksklusif, Lobo bisa jadi tempat yang pas untuk meet up sama teman sambil ngobrol dan ngemil di sore hari, terutama di area balkonnya.

Fasilitas Lain

Selain fasilitas-fasilitas yang disebutkan sebelumnya, Ritz-Carlton Mega Kuningan Jakarta punya beberapa fasilitas lain. Untuk menggelar acara, misalnya, hotel ini punya lebih dari 20 ballroom & meeting room yang tersebar di lantai lower lobby, lantai dua, dan lantai tiga. Saya baca brosur resmi hotel dan ballroom terbesar yang ditawarkan hotel, The Ritz-Carlton Grand Ballroom memiliki luas 1.600 meter persegi dan bisa mengakomodasi sekitar 2.500 tamu. Sebetulnya, The Ritz-Carlton Grand Ballroom ini merupakan gabungan dari empat ballroom. Di belakang grand ballroom, ada foyer dengan luas 820 meter persegi. Oh, ya. Di hallway menuju Lobo Italian Restaurant, ada business center. Namun, di sini juga dijual beberapa suvenir dan aksesori.

IMG_20190616_215838

Salah satu spot Instagrammable di Ritz-Carlton Jakarta adalah grand lobby-nya. Lobi ini punya langit-langit setinggi tiga lantai dan grand staircase yang, bukan mengarah ke lantai atas, tapi ke lantai lower lobby. Tangga ini dikelilingi oleh pagar yang melingkar.

IMG_20190616_172543
IMG_20190617_135502

Di depan area resepsionis, ada dua pilar yang menahan balkon-balkon di dua lantai di atasnya. Kedua pilar tersebut dipasangi ottoman melingkar. Area resepsionis juga tampil cantik dengan chandelier modern yang cukup besar. Grand lobby ini, sesuai namanya, memang besar dan megah. Namun, buat saya secara pribadi, ada perasaan, umh… what’s the word… Kosong? Hampa? Dengan langit-langit setinggi tiga lantai dan struktur yang serba oversized, (terlalu) banyaknya ruang di sini bikin lobi terasa dingin dan kurang hangat, meskipun warna-warna earthy diterapkan di sana sini. Nevertheless, area ini tetap jadi kawasan yang Insta-worthy dan sayang untuk dilewatkan.

Untuk memudahkan bepergian, Ritz-Carlton Mega Kuningan Jakarta menawarkan layanan shuttle van gratis ke beberapa tempat di kawasan Mega Kuningan, termasuk mal Lotte Shopping Avenue. Namun, layanan ini bersifat one-way. Jadi, waktu saya ke mal untuk makan, saya ke sana pakai van hotel. Pas pulang, saya cari taksi sendiri. Sistem one-way ini agak disayangkan, terutama kalau saya bandingkan dengan properti yang menawarkan antar-jemput gratis, dan bukan hanya one-way trip, seperti Four Seasons Jakarta but it is what it is. Setidaknya, layanan ini membantu.

Lokasi

Ritz-Carlton Mega Kuningan Jakarta berada di Mega Kuningan, kawasan bisnis dan perkantoran yang terkenal di Jakarta. Kalau melihat dari lokasinya, hotel bintang 5 di Jakarta ini sebetulnya cocok untuk kalangan pebisnis, apalagi saat mempertimbangkan fasilitas-fasilitasnya. Beberapa tower perkantoran seperti The East, CoHive Menara Prima, dan BTPN Tower. Oh, ya! Di The East sendiri ada NET. TV. Jadi, kalau kebetulan lagi nginep di sini dan jalan-jalan di sekitar Mega Kuningan, ya, siapa tahu papasan sama artis.

Untuk transportasi, area ini memang nggak dilewati transportasi umum. Kalau mau pakai transportasi umum, harus jalan atau naik taksi/shuttle van ke at least jalan masuk Mega Kuningan di Jalan Dr. Satrio. Jadi, selama menginap di sini sih harus siap ke mana-mana pakai taksi atau kendaraan pribadi. Saya sendiri saat bepergian pakai taksi online dan shuttle van hotel. Ya, kalau mau jalan kaki sih sebetulnya bisa. Bisa banget. Cuman mungkin buat sebagian orang, jalan kaki dari Ritz-Carlton ke Dr. Satrio itu malesin. Ya, jujur sih kalau saya harus jalan kaki, kayaknya lumayan gempor juga berhubung kavling-kavling di sini ukurannya besar-besar.

Dari Stasiun Gambir, hotel ini bisa ditempuh dalam waktu, mungkin 40-50 menit, ya, tergantung kondisi lalu lintas. Stasiun BNI City bisa ditempuh dalam waktu sekitar 30 menitan. Ya, lagi-lagi semuanya tergantung kondisi lalu lintas.

Pelayanan

Segmen ini memuat pendapat saya mengenai pelayanan yang diberikan pihak hotel. Apa yang saya tulis bersifat subjektif dan bukan merupakan informasi umum, dan lebih merupakan pendapat pribadi. Experience yang saya alami bisa jadi berbeda dari apa yang orang lain alami. Tulisan dalam segmen ini tidak ditujukan untuk menjelek-jelekkan atau menurunkan reputasi hotel. Jika informasi yang saya tulis bersifat positif, semoga manajemen hotel bisa tetap menjaga kualitas layanannya. Jika bernada negatif, semoga bisa menjadi bahan perbaikan bagi pihak hotel. 

Sekarang, bicara soal service di Ritz-Carlton Mega Kuningan Jakarta. Pelayanan yang diberikan staf bagi saya mengesankan dan perlu diapresiasi, terutama para staf di Club Lounge. Seperti yang saya ceritain sebelumnya, saya berkunjung dalam kondisi kurang enak badan, dan yang saya apresiasi adalah kepekaan mereka terhadap kondisi saya. Kalau bahasa Koreanya sih 눈치 μžˆλ‹€ (nun-chi itta). Mereka punya nunchi alias kepekaan. Pas baru tiba, misalnya, dan saya lagi keliling-kelling sendiri di sekitar kolam renang, saya sempat ngobrol sama staf yang bertugas di spa. Mereka tanya apa saya mau coba massage, tapi saya bilang nggak usah. Penawaran layanan massage ini sebetulnya, ya, menjual layanan, tapi yang saya apresiasi lagi adalah, setelah saya menolak pun, mereka tanya apakah saya mau teh jahe apa nggak, karena mereka bisa siapkan (for free).

IMG_20190616_165711

Kayaknya selama menginap, saya memang temenannya sama teh jahe. Waktu breakfast di Club Lounge, saya dilayani sama Mbak Dahlia. Saat ngobrol, saya bilang kalau saya masih agak meriang. Mbak Dahlia langsung siapkan teh jahe buat saya, tanpa saya minta. Sambil breakfast, saya ngobrol panjang lebar bareng Mbak Dahlia tentang bermacam-macam hal, terutama soal hotel dan benefit akses ke executive lounge. Staf-staf lain seperti Mas Diki, Mas Krisna, Mbak Andriyani, dan Mbak Tiara juga sangat ramah. Bahkan, waktu saya pulang, mereka sampai membawakan koper-koper saya dan teman-teman, dan mengantar kami sampai area drop off. Saya juga dibawakan teh jahe lagi untuk diminum di jalan. Kudos to you all!

Oh, ya! Ada juga staf yang bertugas di area kolam renang (bapak-bapak, tapi saya lupa namanya). Setelah berenang (padahal saya lagi meriang lho), saya tanya shower, whirlpool, dan ruang gantinya di mana. Staf tersebut bilang kalau whirlpool hotel sedang direnovasi. Uniknya (saya bilang unik ya), bapak ini bilang, “Tapi tenang aja, ya, Mas. Segala sesuatu itu pasti ada jalan keluarnya.” Si bapak menyarankan kami untuk pakai whirlpool di JW Marriott kalau mau, dan itu gratis. Cuman, ya, kayaknya repot ya kalau harus keluar hotel dan masuk ke hotel lain demi berendam air panas doang. Akhirnya, kami hanya diarahkan ke shower dan ruang ganti yang lokasinya ada di dekat spa.

Kesimpulan

I got what I expected. Salah satu mindset yang saya pakai ketika memesan hotel adalah ekspektasi saya biasanya mengikuti properti. Ya, gini deh. Let’s say kita menginap di hotel bintang dua, tapi kita mengharapkan fasilitas super mewah dan personalized service. ‘Kan nggak reasonable. Untuk Ritz-Carlton Mega Kuningan Jakarta, apa yang saya dapatkan bisa dibilang sesuai ekspektasi. Bahkan, beberapa aspek melebihi ekspektasi.

IMG_20190617_135458

Untuk kamar, misalnya, saya cukup kaget karena tipe Mayfair Suite lebih luas dari bayangan saya. En-suite amenities yang disediakan cukup memuaskan. Saya punya ruang yang luas dan nyaman untuk menyambut teman-teman, dan bisa tetap menjaga privasi dan keamanan barang-barang. Produk mandi, cokelat, dan jendela besar di samping bathtub jadi sesuatu yang menambah kepuasan saya di kamar. Desain interior kamar memang tidak mengusung gaya yang terkini banget, tapi masih tetap mewah dan elegan. And the view from my room? It was amazing!

Agak disayangkan karena selama menginap, saya nggak banyak mencoba fasilitas yang tersedia di Ritz-Carlton Jakarta. Namun, kolam renang dan Club Lounge sudah saya cicipi. Fasilitas-fasilitas lainnya hanya saya kunjungi. Kayaknya, yang bikin saya ingin balik lagi adalah kolam renang hotel dan executive lounge-nya. Bisa dibilang itu adalah salah satu executive lounge terbesar di Jakarta, dengan ambiance yang lebih tenang dan eksklusif, pemandangan yang cantik, dan fasilitas yang mumpuni.Β  Oh, ya. Untuk yang seneng makan, menurut saya akses ke executive lounge ini bakalan menyenangkan. Di siang hari, ada light lunch. Sore-sore, kita bisa coba afternoon tea. Menjelang petang, ada free flow wine. Malam hari, ada dinner. Pagi-pagi, jelas ada sarapan. It’s worth your money.Β Keramahan staf juga menjadi hal yang bikin saya merasa nyaman, terutama dengan kondisi saya yang pada saat itu nggak enak badan. Staf-staf yang saya sebut di atas perlu diapresiasi atas keramahan dan kepekaannya.

Halaman Tripadvisor Ritz-Carlton Mega Kuningan Jakarta menyebutkan bahwa rate hotel mulai dari 1,8 juta rupiah per malam. Kalau saya cek di Marriott Bonvoy sendiri sih, rate-nya memang naik turun. Kalau lagi hoki, bisa tuh dapat 1,75 juta sudah dengan pajak untuk tipe Grand Room. Tipe Mayfair Suite sendiri dilepas di kisaran 2,8-3 jutaan lebih sebetulnya. Saran saya sih rajin cek harga. Untuk tipe terkecil, dengan rate segitu saya rasa masih reasonable, terutama dengan fasilitas yang mantap jiwa. Sebagai salah satu hotel bintang 5 di Jakarta, Ritz-Carlton Mega Kuningan Jakarta berhasil memberikan pengalaman menginap yang mengesankan buat saya.

Pros & Cons

πŸ‘πŸ» Pros

  • Kamar memiliki ukuran yang luas. Bahkan, lebih luas dari ekspektasi. Untuk tipe Mayfair Suite (110 meter persegi), ada living area dan powder room terpisah. Teman yang berkunjung tidak perlu masuk ke kamar tidur utama kalau mau pakai kamar mandi.
  • Ada jendela besar di samping bathtub. Memang sih harus mendongak kalau mau lihat view, tapi adanya jendela di samping bathtub jadi hal yang saya suka.
  • Akses ke Club Lounge memberikan keuntungan yang sayang dilewatkan. Dari free flow wine di sore hari, sajian makanan sepanjang hari, sampai complimentary use of meeting room selama dua jam per hari, ada banyak benefit yang bisa didapatkan. View dari lounge juga cantik banget.
  • Kolam renang hotel besar dan cantik. Ada juga secret pool yang dikelilingi pohon-pohon rindang. Tiga gazebo berdiri di salah satu sisi kolam dan jadi tempat leha-leha yang cozy.
  • Staf-staf yang bertugas begitu ramah, terutama para staf di Club Lounge yang memberikan personalized service.
  • Ritz-Carlton Mega Kuningan Jakarta adalah salah satu hotel di Jakarta yang menawarkan kamar standar dengan ukuran terluas. Unit Grand Room, tipe terkecil hadir dengan luas 63 meter persegi.
  • Ada banyak spot Instagrammable di sini. Yang saya suka sih secret garden-nya.
  • Di antara hotel-hotel bintang 5 lainnya di Jakarta, starting rate yang ditawarkan masih reasonable dan lebih terjangkau, terutama saat mempertimbangkan fasilitas yang ada di properti.

πŸ‘ŽπŸ» Cons

  • Faktor lokasi: kalau nggak bawa kendaraan pribadi, pergi ke mana-mana agak repot. Mau nggak mau harus pakai taksi. Kalau mau jalan, ya, bisa aja sih, cuman memang jaraknya lumayan jauh.
  • Layanan shuttle van gratis hanya menerima one-way trip. Berangkat diantar, pulang ke hotel harus cari kendaraan sendiri.
  • Desain interior kamar memang bukan yang paling baru, mengingat hotel ini sendiri sudah berdiri cukup lama. Sebetulnya, ini bukan masalah buat saya. Hanya saja, mungkin buat sebagian orang, bisa kelihatan dari interior kamar bahwa hotel ini lebih “lawas” dibandingkan hotel-hotel bintang 5 lainnya. Grand lobby hotel memang tampil keren dan megah dengan langit-langit setinggi tiga lantai, tapi saya melihat kesan braggadocious.
  • Posisi kloset yang bersebelahan dengan pintu menuju walk-in closet di kamar mandi ini, apa ya, agak awkward menurut saya.

Penilaian

Kenyamanan: πŸ˜ŒπŸ˜ŒπŸ˜ŒπŸ˜ŒπŸ˜Œ
Desain: πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜Ά
Lokasi: πŸ€©πŸ€©πŸ€©πŸ€©βšͺ️
Harga: πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°

Review: Four Seasons Jakarta

Wah, tak terasa ya sudah masuk kerja lagi. Rasanya masih ingin liburan dan saya masih dalam fase transisi ke rutinitas setelah kemarin ini libur Lebaran dan menikmati euforia ulang tahun yang bisa dibilang cukup panjang (sebetulnya ini masih belum bisa move on dari euforianya).

Nah, berhubung saya sebut-sebut ulang tahun, di tulisan ini saya akan bahas satu properti di bilangan Jakarta Selatan yang saya kunjungi untuk kabur sekalian merayakan ulang tahun. Ulang tahun ke berapanya nggak perlu saya sebut, tapi yang jelas saya sangat menikmati kunjungan ke properti ini. Dari mulai check-in, istirahat, sampai check-out, saya benar-benar menikmati liburan singkat di sini. Harapannya sih ingin tinggal lebih lama, tapi apa daya masih ada bahan review lain yang harus dikunjungi. Hopefully, I can stay longer there in the near future.

four seasons jakarta
Four Seasons Jakarta. Foto milik pihak manajemen

Four Seasons Jakarta adalah akomodasi bintang lima yang Jl. Jendral Gatot Subroto Kav. 18 Capital Place, Jakarta. Seperti alamatnya, hotel ini berada satu lokasi dengan gedung perkantoran Capital Place. Secara pribadi, bisa saya bilang kalau Four Seasons Jakarta merupakan salah satu hotel mewah Jakarta yang terbaik di kelasnya, dan ini bukan tanpa alasan (atau seenggaknya, bukan untuk alasan klise macam “hotelnya ‘kan bintang lima”).

Buat yang tinggal di Jakarta, mungkin tahu kalau Four Seasons Jakarta sendiri dulunya berada di bilangan Setiabudhi. Di tahun 2016 kalau nggak salah dengar, hotel ini pindah ke Gatot Subroto dan lokasinya yang dulu sekarang ditempati oleh soon-to-be St. Regis Jakarta. Di belakang lokasi pembangunan St. Regis sendiri ada Four Seasons Residence.

Ada 125 suite room di properti ini yang terbagi ke dalam dua kategori utama: Suite dan Specialty Suite. Untuk kategori Suite sendiri ya, sesuai dengan namanya, merupakan kamar suite “standar” mereka (tapi ya, se-standar standar-nya Four Seasons, tetap aja fasilitasnya mewah dan berkelas). Untuk kategori Suite ini dibagi lagi jadi tiga tipe: Executive Suite, Deluxe Suite, dan Club Premier Suite (yang ini tuh corner room). Kalau untuk Specialty Suite sendiri dibagi jadi dua tipe: Ambassador Suite dan Presidential Suite.

Sebagai fasilitas umum untuk pengunjung, Four Seasons Jakarta punya dua restoran, satu bar, satu patisserie, kolam renang, gym, spa, salon, barbershop, business center, meeting room, dan ballrom, dengan opsi terbesar yang bisa mengakomodasi maksimal 650 tamu. Hotel ini juga menawarkan layanan shuttle van gratis ke beberapa tempat di kawasan SCBD dan Senayan. Pemesanannya bisa lewat telepon atau aplikasi Four Seasons di HP.

Waktu menginap di Four Seasons Jakarta, saya pesan kamar Deluxe Suite di lantai 15 dengan view ke arah Jalan Gatot Subroto. Menurut staf hotel sendiri, kamar saya itu merupakan salah satu kamar dengan view terbaik (duh, jadi senang ‘kan). Ditambah lagi, Ms. Dika, Guest Experience Supervisor secara personal mengantar kami ke kamar, kasih lihat kejutan yang sudah disiapkan di kamar untuk saya, dan ngajak kami tur keliling hotel untuk lihat-lihat berbagai fasilitas yang ada sambil cerita banyak tentang hotel dan topik-topik random. Intinya sih kunjungan saya ke Four Seasons Jakarta sangat menyenangkan! Cocok buat saya yang sering mengalami stres ini. Ulasan lengkapnya saya kasih di segmen berikutnya ya!

Desain Kamar

Salah satu alasan terbesar saya memilih hotel ini untuk merayakan ulang tahun adalah desainnya. If you’re looking for a luxury, Four Seasons Jakarta is one of the answers! Ini bukan paid promotion; ini murni komentar saya sebagai interior design enthusiast, hotel reviewer, dan The Sims player. Dengan luas 62 meter persegi, Deluxe Room yang saya tempati terasa lapang. Bahkan, ketika teman-teman saya berkunjung untuk ketemu sambil ngobrol-ngobrol dan ngopi di kamar pun, kamar nggak kerasa sempit. Secara keseluruhan, interior kamar mengusung desain modern classic dengan elemen-elemen Chinoiserie, Louis XVI, dan Art Deco. Kamar-kamar di sini didesain oleh Champalimaud Design, firma berkapten Alexandra Champalimaud yang juga mendesain beberapa properti ternama seperti The Ritz-Carlton Kuala Lumpur, The Plaza New York, dan Waldorf Astoria Chengdu.

Bicara tentang tata letak kamar, area tidur dan living area dipisahkan oleh pintu geser. Jadi, privasi masih bisa tetap terjaga lah in case nih ada tamu yang datang. Sebetulnya ketika saya ke sana sih, nggak ada sesuatu yang harus disembunyikan di area tidur. Hanya saja ‘kan, kalau tamu lain mau simpan apa gitu, dompet atau apa lah misalnya, mungkin perlu tutup area kamar biar nggak kelihatan orang lain.

IMG_20190531_173203
IMG_20190531_173211
IMG_20190531_173226
IMG_20190531_173238

Area tidur kamar saya punya luas yang kurang lebih sih sama dengan living area-nya. Seperti yang bisa dilihat di gambar, suite room saya dihias dengan birthday banner dan tiga balon (saya telepon layanan housekeeping selesai foto-foto untuk keluarkan balon-balon itu). Terima kasih banyak untuk Ms. Dika dan para staf di Four Seasons Hotel yang sudah mempersiapkan kejutan ini untuk saya (walaupun maaf banget balon-balonnya harus segera saya keluarkan karena saya fobia balon).

Dinding area tidur dipasangi panel kayu berwarna abu-abu muda dengan sedikit hue biru kehijauan. Untuk pencahayaan, saya suka kamar yang terang (terutama dengan lampu warna hangat) karena selain tampak lebih mewah, kesannya juga lebih lapang. Ada dua lampu dinding dengan sentuhan Art Deco (atau mungkin baroque ya karena desainnya cukup intricate) yang mengapit king bed. Tempat tidurnya sendiri luas dan bisa memuat bahkan 3 orang dewasa. Headboard-nya tampak elegan dan mewah, dengan bantalan berwarna abu-abu tua dan frame warna emas.

Di sisi kiri tempat tidur, ada jendela besar yang menghadap ke arah jalan dan menawarkan pemandangan kota yang keren banget. Di area tidur juga ada satu kursi lengan dengan floor lampΒ di sampingnya. Cocok buat baca buku, meskipun saya lebih suka baca sambil duduk di chaise lounge yang ada di living area.

IMG_20190531_173248
IMG_20190531_173314
IMG_20190531_173330
IMG_20190531_173443
IMG_20190531_173149

Untuk living area, penempatan furnitur berfokus di sisi-sisi ruangan sehingga menyisakan ruang kosong di tengah ruangan. Saya rasa tata letak furnitur seperti ini jadi siasat untuk membuat ruangan terasa lebih luas, mengingat furnitur-furnitur di sini terbilang oversized, terutama dua kursi lengan di arat barat ruangan. Di dinding barat ruangan, tepatnya di belakang dua kursi lengan bergaya Louis XVI dipasang cermin buram yang dibentuk dalam pola kotak-kotak. Nah, dinding sisi barat dan juga timur juga dihias oleh mural bergaya Chinoiserie yang menonjolkan elemen-elemen floral. Pada awalnya, saya kira mural itu adalah wallpaper, tapi setelah dilihat lebih dekat, ternyata memang lukisan.

Di depan jendela, ada chaise lounge bergaya kontemporer yang ditempatkan menghadap televisi. Nah, televisinya sendiri berada di atas meja kerja yang besar, cocok buat saya yang kalau kerja pasti berantakan mejanya karena kebanyakan barang. Di atas meja kerja, ada panel yang memuat beberapa porta, termasuk porta audio in. Kalau lihat di foto, kan ada dua tirai di kedua sisi jendela. Nah, tirai yang ada di belakang chaise lounge itu ternyata menyembunyikan sound system. Awalnya, saya bingung karena ketika nonton Fast and Furious, kok ada suara bas yang lebih kentara dari belakang kursi. Ditambah lagi, saya dengar suara-suara yang lebih detail, seperti bunyi metal dan semacamnya. Saya kira itu suara dari luar (dan sempat berpikir kayaknya kamarnya kurang sound-proof). Ternyata setelah dicari-cari, ada sound system yang disembunyikan di balik tirai. Wah, ini bisa jadi trik nih!

Foyer kamar sendiri berbentuk koridor pendek, dengan dressing table dan display yang memuat camilan dan minuman. Meskipun nggak besar, foyer tetap tampil cantik dalam balutan marmer putih dan panel dinding berwarna putih dengan lis emas.

Kamar Mandi

Semua tipe di kategori Suite punya kamar mandi dengan bentuk memanjang. Kamar mandi unit saya tampil mewah dan cantik dalam balutan marmer putih beraksen abu-abu. Ada area shower terpisah dan his-and-hers sink, lengkap dengan vanity mirror supaya nggak perlu rebutan wastafel saat mau cuci muka atau gosok gigi.

IMG_20190531_173455
IMG_20190531_173555

Kamar mandi bisa diakses lewat area tidur dan foyer. Untuk walk-in closet-nya sendiri sih ukurannya cukup besar (lagian memang mau bawa baju sebanyak apa sampai perlu walk-in closet sebesar ruang keluarga?). Di depan walk-in closet, ada “bilik merenung”, istilahnya si Mike buat kubikel kloset. Ukurannya sendiri mirip ukuran kubikel kloset di mal. Hanya saja, yang ini lebih mewah dalam balutan marmer dan lukisan. Masalah yang sama alami adalah pintu geser kubikel ini nggak ada kuncinya dan ketika ditutup, justru bergeser lagi. Walhasil, saya harus nahan pintunya supaya nggak terbuka ketika saya lagi ada urusan penting–satu aspek yang perlu diperbaiki Four Seasons Jakarta.

IMG_20190531_173607
IMG_20190531_183347
IMG_20190531_183359

Deep soaking tub di kamar mandi cukup besar dan bisa menampung 2 dewasa, in case perlu some romantic time. Di seberangnya ada shower area yang cukup luas dengan rainshower, salah satu bathroom amenities yang paling saya suka. Produk mandi yang tersedia adalah produk-produk dari Etro, fashion house asal Italia. Secara pribadi, saya nggak begitu suka dengan aromanya (Vicolo Fiori) karena menurut saya secara pribadi sih “terlalu formal” dan terlalu floral, tapi ini sih soal preferensi pribadi aja ya. In fact, body lotion-nya cukup melembapkan dan bikin tangan terasa halus.

Dining Venues

Alto

Bertempat di lantai 20, Alto merupakan salah satu restoran yang ada di Four Seasons Jakarta. Restoran ini menyajikan hidangan Italia dan buka pada jam makan siang (11.30 siang sampai 2.30 sore), makan malam (6.00 sore sampai 10.30 malam), dan Sunday brunch (11.30 siang sampai 3.00 sore).

Dari segi desain, Alto tampil berani dalam balutan warna merah yang tajam. Wall paneling warna merah dipadukan dengan lis warna emas, menciptakan kesan mewah. Furnitur, lampu, dan aksen dinding bergaya Art Deco memperkuat sisi glamor restoran ini. Ada ruang privat, main area, outdoor area, dan bar di restoran ini, dan semuanya selaras didesain dalam gaya yang sama. Untuk bar sendiri, areanya memang tidak seluas main area, tetapi tetap terasa mewah dan dilengkapi jendela besar dengan pemandangan Jalan Gatot Subroto.  Outdoor seating area dipercantik dengan potted plants dan oversized armchair berbahan cowhide. Sayangnya saya lupa foto outdoor area-nya karena fokus ngobrol bersama Ms. Jani dan justru malah foto-foto centil di sana, bukannya ambil foto buat bahan review.

IMG_20190531_185126
IMG_20190531_185119
IMG_20190531_185017
IMG_20190531_185012

Private area punya kapasitas 10 orang dan terasa lebih intimate. Area ini punya meja makan berbentuk lingkaran dan jendela-jendela besar yang menghadap ke Jalan Gatot Subroto. Sepintas, dengan meja makan bentuk lingkaran, interior yang didominasi warna merah, dan chandelier berbentuk bunga lotus, saya merasa seperti sedang berkunjung ke Chinese restaurant. Sementara itu, ada satu lagi area yang bisa dibilang cukup privat, tapi bisa menampung lebih banyak tamu dan punya beberapa meja terpisah. Area ini punya jendela yang menghadap ke arah selatan. Ketika saya lihat ke luar sih, view-nya memang nggak sebagus view ke kawasan Jalan Gatot Subroto.

IMG_20190531_183953
IMG_20190531_184002
IMG_20190531_184159

The Palm Court

Bertempat di lantai lobi, The Palm Court ini tempatnya para tamu sarapan di pagi hari. Sebetulnya ketika saya baca-baca informasi tentang Four Seasons Jakarta, restoran ini merupakan salah satu tempat yang bikin saya penasaran. Ketika berkunjung ke Savoy Homann Bandung, saya sarapan di Garden Restaurant yang mengusung konsep palm court, dan memang lengkap dengan pohon-pohon palem. Entah kenapa, saya tertarik dengan restoran berkonsep palm court karena kesannya lapang, cerah, dan eksotis.

Sayangnya, di dining hall utama, memang tidak ada pohon-pohon palem tinggi di tengah ruangan (walaupun tetap ada beberapa potted plants di sana sini). Meskipun demikian, saya dibuat kagum dengan langit-langit berkubah yang tinggi dan chandelier kristal kontemporer dengan desain yang rumit, tapi elegan. Sepintas, saya melihat desain chandelier-nya ini mirip bunga dandelion. Plafon ruangan juga menampilkan permainan tekstur yang memberikan kesan mewah.

IMG_20190531_191128
IMG_20190531_191142
IMG_20190531_191150
IMG_20190601_103752
IMG_20190601_103800
IMG_20190601_103930

Furnitur di The Palm Court tampil elegan dalam dominasi warna hijau dan cokelat tua. Ada beberapa kursi bersandaran tinggi berbahan velvet hijau yang mengingatkan saya sama singgasana raja dan ratu. Dari belakang, kursi-kursi ini kelihatan kayak shield. Cocok lah buat main cilukba. Dari belakang diterka-terka siapa yang duduk, pas dilihat eh taunya Sehun.

giphy

Untuk makanan sendiri sih saya nggak banyak komentar. Maksudnya, saya nggak ada keluhan. Saya suka salad-nya yang jelas. Ada juga pilihan keju, bacon, dan semacamnya. Bisa dibilang tipikal menu sarapan internasional di hotel bintang lima sih. Karena saya datang ke restoran jam 10, para staf udah mulai beres-beres restoran, tapi saya tetap kebagian makanan kok. Bisa dilihat di foto, menu sarapan yang saya ambil sih cukup sederhana. Takutnya nggak habis masalahnya, ‘kan sayang makanan dibuang-buang.

1559389373295

The Palm Court ini nggak hanya punya indoor dining area. Di sebelah timur ruangan, ada pintu menuju taman dan The Orchid Court. Area outdoor ini tampil cantik dengan tanaman-tanaman tropis dan paviliun semi-outdoor dengan sentuhan Arabesque.

IMG_20190601_104340
IMG_20190601_104324
IMG_20190601_104349

Untuk The Orchid Court sendiri tempatnya tertutup, tetapi jendela-jendela besarnya memungkinkan banyak cahaya matahari untuk masuk dan menerangi ruangan di pagi atau siang hari. Sentuhan Arabesque masih terlihat di beberapa bagian ruangan, tetapi yang menjadi primadona area ini tentunya koleksi bunga anggrek berwarna ungu. Bunga-bunga ini ditanam di sekitar ruangan. Furniturnya sendiri tampil lebih santai dalam balutan warna biru dan putih, berbeda dari furnitur di The Palm Court dengan balutan warna velvet green yang memang terasa lebih elegan, tapi juga austere.

Ukuran ruangan memang tidak begitu besar dan hanya ada beberapa set meja kursi di sini. Karena ukurannya bisa dibilang kecil dengan bentuk memanjang, udara di dalam The Orchid Court terasa jauh lebih sejuk (atau malahan dingin). Sebetulnya, bisa dipahami sih kenapa di pagi hari suhunya terasa dingin karena pasti untuk mengantisipasi suhu yang lebih panas di siang hari, terutama dengan jendela kaca besar yang memungkinkan paparan cahaya matahari secara penuh.

IMG_20190601_103959
IMG_20190601_104004
IMG_20190601_104301

Nautilus Bar

Tidak jauh dari lobi, ada Nautilus Bar yang buka dari jam 12 siang sampai 1 pagi. Di antara dining venues lain di Four Seasons Jakarta, Nautilus Bar ini yang tampak paling dark dan sexy. Konsep interiornya sendiri nautical, tapi dengan pemilihan warna hitam sebagai warna dominan dan palet sepia untuk mural kapal layar di dinding, rasanya saya seperti diceritakan dongeng sejarah zaman dulu.

Seperti yang disebutkan sebelumnya, interior Nautilus Bar didominasi warna hitam yang elegan dengan aksen emas di sana sini. Ada dua niche di sisi utara dan selatan bar dengan dinding bermotif sisik ikan (atau ular ya) yang berkilau. Waktu ke sana, sayangnya salah satu spot sudah ditempati musisi bar. Satu spot di sampingnya memang sih kosong, tapi saya lagi nggak mau duduk dekat-dekat pengunjung lain. Lagi kumat antisosialnya.

tenor
I hate people!

Sebagian besar furnitur menampilkan desain Art Deco, baik dari bentuk maupun pattern di bagian sampingnya. Langit-langitnya sendiri punya plafon berbentuk chocolate bar, dengan lampu-lampu yang sengaja diredupkan untuk membangun atmosfer yang sexy. Di atas meja, ada lampu berbahan logam berbentuk cendawan. Grand piano ditempatkan di sisi utara ruangan. Saya sempat main beberapa lagu (dan diizinkan untuk main, selama memang kita bisa dan betul mainnya).

IMG_20190531_230545
IMG_20190531_230603
IMG_20190531_232025
IMG_20190531_232122
IMG_20190531_224203

Ketika berkunjung, saya pesan Nutmeg Old-Fashioned, cocktail eksotis dengan rasa pala yang cukup kentara. Tamu yang datang juga disuguhi camilan gratis untuk dinikmati sambil minum dan ngobrol. Buat yang suka cocktail yang lebih ringan, saya sarankan sih pilih menu yang lain karena aroma dan rasa pala di Nutmeg Old-Fashioned ini bisa dibilang sangat kuat. Pilihan cocktail yang ditawarkan di Nautilus Bar terinspirasi dari rempah-rempah khas Indonesia, makanya banyak menu-menu yang mengintegrasikan rempah-rempah dalam campurannya.

La Patisserie

Buka dari jam 11 siang sampai jam 8 malam, La Patisserie ini cocok buat afternoon tea bareng temen-temen sambil ngobrol dan ngemil kue. Lokasinya berada nggak jauh dari lobi dan Nautilus Bar. Dengan langit-langit tinggi dan pemilihan warna-warna cerah, La Patisserie memberikan atmosfer yang lebih santai, tapi tetap mewah.

IMG_20190601_104457
IMG_20190601_104508

Di bagian tengah ruangan, ada semacam lounge chair berbentuk lingkaran besar yang dipisahkan oleh beberapa lengan. Di tengahnya, ditempatkan vas bunga sebagai pemanis. Set kursi dan meja lainnya tampil lebih kasual dalam desain yang lebih sederhana dan warna kuning yang menonjol. Panel dinding menggunakan warna aquamarine yang selaras dengan warna lounge chair di tengah ruangan, sepintas mengingatkan saya dengan ruang Le MΓ©ridienne di private apartment-nya Marie Antoinette. Aksen-aksen emas tetap ditampilkan di sini.

IMG_20190601_104528
IMG_20190601_104533
IMG_20190601_104539

Fasilitas Lain

The Library

Berada di lantai lobi dan berseberangan dengan grand staircase yang jadi salah satu spot ikoniknya Four Seasons Jakarta, ada The Library. Ruangan ini ukurannya kurang lebih sama dengan La Patisserie, tetapi menawarkan atmosfer yang lebih serius dan tenang. Desainnya sepintas mirip dengan satu ruangan di Gatsby’s Mansion. Kalau pernah nonton The Great Gatsby, mungkin ingat ada satu ruangan di istananya Gatsby yang menampilkan kumpulan foto-foto dia, grand piano, dan lounge chairs. Kalau nggak salah itu ada di scene pesta pertama Gatsby yang dihadiri sama Nick.

IMG_20190531_230018
IMG_20190531_230041

Meskipun namanya The Library, yang saya sayangkan adalah koleksi bukunya nggak begitu banyak. Sebagian besar sih kalau saya perhatikan, buku-buku yang ada di sini adalah ensiklopedia. Bisa dipahami sih karena dari segi desain, bukunya pas dengan desain ruangan. Tempat duduk yang tersedia di sini nggak banyak, dan saya rasa ini tepat karena ruangan ini lebih cocok buat baca, ngobrol serius (bukan ngobrol hahah heheh), atau kerja. Di salah satu sudut dinding, ada mural bergaya nautical yang senada dengan mural di Nautilus Bar.

Pool Terrace

Nah, ini fasilitas yang saya suka di Four Seasons Jakarta. Berada di lantai yang sama dengan gym dan spa, kolam renang di hotel ini besar dan cukup panjang buat bolak-balik satu lap. Kolam utamanya nggak begitu dalam, sekitar 1,4 meter kalau nggak salah. Di sisi barat juga ada kolam untuk anak. Selain itu, di area ini juga ada pool bar yang menyajikan beragam cocktail. Ada juga tangga menuju sun deck yang ternyata kosong karena, well, siapa juga yang mau dengan sengaja panas-panasan untuk bersantai di bawah teriknya matahari Jakarta yang menyengat banget.

IMG_20190601_121301
IMG_20190601_121237

Ada cukup banyak deck chair dan recliner di area ini. Jadi, pengunjung nggak perlu berebut tempat duduk, meskipun memang area yang teduhnya lebih sedikit. Selain itu, ada juga beberapa bale-bale buat bersantai sambil lihat orang-orang yang berenang. Area kolam sendiri didesain dalam gaya tropis, lengkap dengan pohon-pohon kamboja yang bikin saya seolah lagi ada di sebuah resor di Bali, sampai saya mengalihkan pandangan ke arah utara dan sadar kalau saya ternyata lagi ada di Jakarta.

Ketika berenang, saya sengaja cari area yang diteduhi pepohonan. Air kolam juga terasa hangat karena terpapar cahaya matahari. Oh ya, kolam renang di Four Seasons Jakarta juga buka selama 24 jam ya. Kalau malam-malam, ada beberapa torch raksasa yang dinyalakan untuk menerangi area kolam. Torch-nya gede, kayak yang di film The Mummy.

IMG_20190601_121313

Gym

Berada satu lantai dengan Pool Terrace, gym di Four Seasons Jakarta memiliki peralatan yang cukup lengkap. Saya sendiri nggak pakai gym karena keburu capek berenang. Salah satu sisi ruangan punya jendela yang menghadap ke arah kolam. Untuk masuk, kita bisa masuk lewat pintu kaca utama atau “pintu samping”. Nah, kalau mau akses lewat pintu kaca, kita harus tap kartu kamar ke card reader. Lucunya, waktu itu pintu samping ini terbuka jadi saya (atau siapa pun) bisa masuk tanpa harus tap kartu.

IMG_20190531_190008
IMG_20190531_190017
IMG_20190531_190035

Area gym sendiri sebetulnya cukup luas, hanya saja kurang besar kayaknya kalau mau senam, kecuali peralatannya digeser-geser supaya ada ruang cukup besar di tengah gym. Saya kurang tahu ini ganti pakaiannya di mana, tapi bisa jadi shower area dan ruang ganti pakaiannya bergabung dengan ruang ganti dan bilas kolam renang. Di dekat gym juga ada spa, salon, dan barbershop.

Grand Staircase

Sebetulnya, tangga ini bukan termasuk fasilitas umum di Four Seasons Jakarta, tapi karena desainnya yang majestic, tangga ini jadi salah satu spot foto terbaik di hotel ini. Posisinya berada di lantai lobi, tepatnya di persimpangan antara Palm Court dan Nautilus Bar.

IMG_20190531_190412
IMG_20190531_190429

Area tangga tampak mewah dalam balutan warna krem, handle bar berwarna emas, langit-langit yang tinggi, dan karpet motif floral warna cokelat dan hitam. Sebagian besar tamu yang datang ke sini pasti nyempetin foto-foto di tangga ini, dan para staf pun biasanya dengan senang hati akan bantu fotoin tamu.

Lokasi

Four Seasons Jakarta berada di Jalan Gatot Subroto, salah satu kawasan perkantoran yang cukup sibuk di Jakarta. Hotel ini sendiri berada satu kompleks dengan Capital Place. Dari Stasiun Gambir, perjalanan ke hotel ini memakan waktu sekitar 35 menit menggunakan kendaraan roda empat. Kalau dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta, perjalanan ke hotel paling cepat memakan waktu sekitar 50 menit lewat Tol Bandara.

Pihak hotel menyediakan layanan shuttle van gratis ke beberapa destinasi terdekat, seperti SCBD dan Senayan. Waktu itu, saya coba pakai layanan shuttle van mereka ke Pacific Place yang ternyata bisa diakses lewat jalur di belakang hotel. Perjalanan dari hotel ke Pacific Place memakan waktu sekitar 10 menit aja. Lumayan cepat, ‘kan?

Dari segi lokasi sendiri, sebetulnya Four Seasons Jakarta memang sudah strategis. Kalau pesan kamar dengan view ke arah kota pun, view yang didapatkan cantik banget. Yang jadi masalah menurut saya sih kondisi lalu lintas yang kadang-kadang nggak bisa diprediksi. Namun, selama di sana sih lalu lintas dari hotel ke kawasan SCBD lancar-lancar aja. Hanya saja, perjalanan dari Stasiun Gambir ke hotel memang cukup lama karena kejebak macet di beberapa titik.

Kesimpulan

Sebagai salah satu akomodasi bintang lima di Jakarta, Four Seasons Jakarta memang nggak main-main dalam menawarkan pengalaman menginap atau berlibur yang mengesankan untuk para tamu. Dari mulai desain interior, fasilitas, sampai staf, Four Seasons Jakarta berhasil memberikan momen ulang tahun yang berkesan buat saya.

Dari aspek desain interior, Alexandra Champalimaud did a great job. Saya sendiri sebetulnya penggemar desain-desain klasik, meskipun saya nggak menutup diri untuk desain-desain kontemporer. Ukuran kamar yang luas dengan ruang keluarga terpisah, mural bergaya Chinoiserie di dinding, kamar mandi marmer dengan deep soaking tub, dan jendela yang menawarkan view kota bikin saya betah di kamar. If I stayed longer, I would have spend one day staying in my room, reading some books, taking naps, and doing nothing.

Four Seasons Jakarta menawarkan fasilitas umum yang lengkap untuk para pengunjung. Nautilus Bar, Palm Court, Pool Terrace, dan Library jadi fasilitas-fasilitas yang paling saya sukai saat berkunjung. Untuk perpustakaan sendiri sih, sayangnya koleksi bukunya nggak begitu banyak dan kebanyakan buku-buku yang ada memang memiliki desain yang cocok dengan desain interior ruangan. Mungkin kalau koleksinya diperbanyak, akan lebih baik. Ah, hampir lupa! Saya nggak nemu jacuzzi di area kolam renang. Waktu cek ke area ganti, di dalam pun nggak ada sauna atau steam room. Mungkin ketiga fasilitas itu tersedia di spa hotel, tapi karena saya nggak berkunjung ke sana, saya pun nggak sempat tanya-tanya. Padahal, kalau ada jacuzzi, sauna, atau steam room di area yang lebih mudah diakses pengunjung, kayaknya akan lebih baik.

Kualitas layanan dan keramahtamahan para staf harus diacungi jempol. Ms. Dika selaku Guest Experience Supervisor dan Ms. Jani di Alto dengan senang hati menemani dan mengantar saya berkeliling sambil bercerita tentang hotel. Untuk Ms. Dika sendiri, dia yang mewujudkan momen ulang tahun berkesan saya di Four Seasons Jakarta. Staf-staf lain di reception area pun sama ramahnya (sayangnya saya lupa tanyakan nama-namanya).

Dengan rate mulai dari 2,5 juta rupiah per malam (berdasarkan situs web resmi hotel, belum termasuk tax), Four Seasons Jakarta memang salah satu properti dengan harga rata-rata yang cukup tinggi di Jakarta, bahkan di antara properti-properti di kelasnya. Namun, dengan kualitas layanan yang memukau, fasilitas berkelas, dan desain interior yang mewah dan elegan, you will definitely get what you pay for. Ditambah lagi, dengan layanan in-room breakfast dan shuttle van gratis, menurut saya dana yang harus dikeluarkan cukup sepadan dengan sedikit kemewahan dan oasis ketenangan di tengah ingar-bingarnya kota Jakarta.

Pros & Cons

πŸ‘πŸ» Pros

  • Desain interiornya keren banget. Untuk penggemar interior bergaya klasik, Four Seasons Jakarta jadi pilihan yang harus dipertimbangkan, terutama dengan wall paneling, chandelier di kamar, dan mural bergaya Chinoiserie di living area.
  • Komunikasi dengan staf bisa melalui aplikasi Four Seasons dari ponsel. Cukup praktis, terutama ketika kita ingin minta jemputan pulang dari mal atau lokasi lain ke hotel.
  • Setiap suite punya living area terpisah. Jadi, tetap ada ruangan terpisah untuk menerima tamu yang datang.
  • Di kamar mandi, ada deep soaking tub yang bisa memuat maksimal 2 orang. Cocok buat mandi mewah atau sekadar menikmati momen galau.
  • Kolam renangnya cantik banget, dengan pohon-pohon kamboja dan tanaman-tanaman eksotis yang membangun atmosfer resor tropis.
  • Ada banyak Instagrammable spot di hotel ini, dari mulai area drop-off tamu, kolam renang, perpustakaan, sampai The Orchid Court.
  • Stafnya ramah dan helpful, terutama Ms. Dika sebagai Guest Experience Supervisor dan Ms. Jani dari Alto
  • Tipe Executive Suite dan Deluxe Suite sebetulnya punya luas yang sama, tetapi view yang beda. Deluxe Suite menawarkan view ke arah perkotaan, tetapi dengan rate yang sedikit lebih tinggi. Worth paying sih menurut saya.
  • Lokasinya dekat dari SCBD dan kawasan Kuningan. Ada juga layanan shuttle van gratis yang bisa kita gunakan untuk menuju tempat-tempat di kedua kawasan tersebut. Dari hotel, Pacific Place bisa ditempuh dalam waktu sekitar 10 menitan. Di samping hotel juga ada Museum Satria Mandala.

πŸ‘ŽπŸ» Cons

  • Kalau bicara soal rate, Four Seasons Jakarta memang salah satu yang rate-nya cukup tinggi, bahkan di antara hotel-hotel bintang lima lainnya. Bisa dibilang, Four Seasons Jakarta ini masuk ke upper-tier hotel bintang lima di Jakarta kalau dari segi rate (ada beberapa hotel bintang lima yang rate-nya di bawah 2 juta soalnya, apalagi kalau dapat kode atau promo diskon).
  • Saya lupa jelaskan di atas. Di dekat hotel ada minimarket yang buka hanya sampai jam 10 malem. Kalau tengah malam tiba-tiba craving ingin camilan, minimarket terdekat ada di seberang jalan. Dan ketika saya bilang seberang jalan, kita harus nyebrangin dulu jalan raya dan jalan tol.
  • Jacuzzi, sauna, dan steam room-nya di mana sih?
  • Koleksi buku di The Library terbatas. Semoga sih bisa diperbanyak dan merangkul lebih banyak genre, termasuk novel.

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌😌
Desain: πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†
Lokasi: 🀩🀩🀩🀩🀩
Harga: πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°

Review: U Janevalla Bandung

Di tengah-tengah kesibukan, akhirnya saya bisa kembali lagi ke sini untuk nulis review baru. Things have been quite crazy lately. Ada kerjaan ini itu, ada proyekan ini itu, ya segala macem. Semoga aja tetap dikasih kesehatan supaya bisa melewati semua ini dengan lancar. Amiin. Oh, ya! Selamat Jumat Agung juga buat yang merayakan! Semoga kasih dan damai Tuhan selalu beserta kita semua.

giphy
Selamat Paskah dari saya yang liburan begini masih harus kerja~

Nah, untuk review kali ini, saya mau bahas satu hotel yang bisa dibilang masih baru di Bandung. Berlokasi di pusat kota, bangunan hotel ini tampak unik dan nyentrik, dan itu yang bikin saya penasaran. Ditambah lagi, hotel ini punya rooftop swimming pool dengan view yang keren banget. Kayaknya basa-basinya sampai sini aja, ya. Kita langsung bahas identitas hotel ini.

IMG_20190224_175331
Fasad U Janevalla Bandung

U Janevalla Bandung adalah sebuah hotel bintang empat yang berlokasi di Jalan Aceh no. 65, Bandung. Posisi hotel ini bersebelahan tepat dengan Aryaduta Bandung. Kalau dilihat dari luar, fasad dan eksterior bangunan yang asimetris ini tampak menarik dan nyentrik. Brutalist, I would say, dengan jendela-jendela berbentuk trapesium terdistorsi dan beberapa bagian yang menonjol keluar. Edgy lah pokoknya.

Desain Industrial tampak kental di hotel ini, dan bisa terlihat dari beton yang dibiarkan terekspos dan tidak bercat, lantai beton sederhana, aksen-aksen bersudut tajam (bukan rounded), dan pemilihan furnitur bernuansa Utilitarian. Kalau lihat sepintas, U Janevalla Bandung ini tampak seperti bangunan yang masih dalam pembangunan. Sebenarnya, memang konsepnya seperti itu, dan saya suka.

Ada 119 kamar dan suite room di hotel yang dibuka pada bulan April 2018 ini. Tipe-tipe kamar yang tersedia adalah Superior, Deluxe, Grand Deluxe, dan Suite. Tipe Superior sendiri memilki luas 24-28 meter persegi, sementara tipe Suite merupakan kamar duplex dengan luas 82 meter persegi. Fasilitas-fasilitas hotel sendiri mencakup restoran, rooftop bar, kolam renang, meeting room, gym, dan perpustakaan. Kayaknya, nggak banyak hotel di Bandung yang punya perpustakaan. Jadi, perpustakaan di hotel ini memberikan daya tarik tersendiri. Oh, ya! Hotel ini juga menawarkan konsep 24-hour stay. Jadi, kalau misalnya kita check-in pada jam 4 sore, kita bisa dapat late check-out pada jam 4 sore juga. Intinya sih kita bisa stay di hotel selama 24 jam.

Ketika menginap, saya pesan kamar Superior yang letaknya di lantai 8. Nah, untuk kamarnya sendiri saya rasa lumayan luas dan desain interiornya mantap betul, tetapi ada satu hal yang menurut saya agak mengganggu dari kamar itu. Ulasan lengkapnya dibahas di segmen berikutnya, ya!

Desain Kamar

Saya harus akui bahwa sejauh ini, hotel di Bandung yang menawarkan kamar dengan interior bergaya Industrial yang paling kental adalah U Janevalla Bandung. Dibandingkan hotel-hotel lain, si U ini menampilkan desain industrial yang menurut saya jauh lebih autentik.

IMG_20190224_142152
IMG_20190224_142303
IMG_20190224_142310
IMG_20190224_142333

Interior kamar tampil simpel dan sleek dalam balutan warna-warna monokrom. Putih, hitam, dan abu-abu; ketiga warna itu mendominasi interior kamar yang luasnya saya rasa 28 meter persegi (saya coba bandingkan kamar saya dengan foto kamar Superior yang posisinya beda, dan kamar ini tampaknya lebih luas). Dinding bata ekspos putih, langit-langit yang tinggi, lantai dan langit-langit beton, serta jendela full-height benar-benar menciptakan tampilan Industrial yang legit.

Untuk furnitur sendiri, desainnya lebih ke arah Utilitarian menurut saya. Kesederhanaan dari tampilan rak dan TV stand dari tiang besi bercat hitam dan papan kayu cokelat yang dipasang “apa adanya” justru jadi sesuatu yang menarik perhatian. Selain itu, saya juga suka tampilan tempat tidurnya, dengan headboard besi pendek bermotif chicken wire (silang-silang) dan nightstand bernuansa Scandinavian. Buat saya, desainnya ini maskulin banget. Saya menamainya kasur “anak bengkel”.

IMG_20190224_171739
IMG_20190224_173036

Pencahayaan ruangan memang kurang. Saya rasa karena memang sudah seperti itulah seharusnya supaya kesan Industrial-nya makin kental. Jujur saya suka dengan desain lampu gantung yang ada di atas nightstand. Selain itu, ada juga lampu baca untuk dinyalakan kalau mau baca novel sebelum tidur. Pipa pelindung kabel juga dibiarkan terekspos begitu saja dan ini yang bikin kamar ini makin Instagrammable.

Secara keseluruhan, kamar ini “saya” banget. Terlebih lagi, dengan outfit saya yang rocker pada saat berkunjung, saya ambil banyak foto di kamar ini. Di imajinasi saya, setelah manggung saya langsung pulang ke hotel, tidur di kamar ini, dan dengan kondisi agak mabuk langsung jatuhkan badan ke tempat tidur. Leather jacket dan sepatu bot masih dipakai, dan tangan mencoba ngambil kaleng bir yang ada di nightstand, tapi nggak bisa karena terlalu pusing. Actually, one of my dreams is to become a pianist for a rock band. Also, Jung Dong Ha is my idol.

Nah, setelah membahas kelebihannya, saya mau bahas satu kekurangan yang menurut saya sedikit mengganggu. Posisi kamar saya diapit oleh dua koridor yang panjangnya melebihi panjang kamar. Oh ya, koridor ini juga semiterbuka. Ini artinya, ketika saya buka jendela, saya bisa lihat koridor di luar, begitu juga orang-orang yang ada di koridor, bisa lihat ke dalam kamar.

IMG_20190224_144145
IMG_20190224_144141
IMG_20190224_173819
IMG_20190224_174136

Sebetulnya, posisi kamar saya ini ada keuntungan dan kelebihannya. Keuntungannya adalah kamar saya punya view yang lebih luas dan bagus ke arah pusat kota, terutama dibandingkan kamar-kamar yang posisinya di samping (ada yang jendela kamarnya hadap-hadapan sama jendela kamar di Aryaduta). Di sisi lain, kamar saya berada di antara dua koridor semiterbuka dan kaca jendela kamar saya pun bukan cermin dua arah. Saya udah buktikan sendiri dengan pergi ke ujung koridor dan lihat ke arah kamar. I can see everything inside clearly. Di siang hari pun, saya harus tutup gorden untuk jaga privasi.

Namun, kalau diperhatikan si koridornya, kita bisa lihat ada semacam planter yang dipasang di bawah railing kaca. Saya suka dengan pemasangannya karena mencerminkan bahwa hotel ini masih peduli terhadap lingkungan dan tetap ingin menyediakan ruang hijau terlepas dari keterbatasan ruang.

Kamar Mandi

Untuk kamar mandinya sendiri saya rasa cukup luas. Interiornya masih sama, mengusung desain Industrial yang cukup kental, dengan beberapa ubin berpola yang dipasang secara acak. Area shower dipisahkan oleh dinding beton. Area kloset dan wastafel terasa cukup lapang. Ada satu jendela dengan kaca buram yang kalau dipikir-pikir lagi nggak begitu berpengaruh ke suasana kamar mandi.

IMG_20190224_142510
IMG_20190224_142516
IMG_20190224_142533

Dua cermin trapesium bergaya futuristik dengan backlight terpasang di dinding bata ekspos berwarna putih. Bicara tentang produk mandi, U Janevalla Bandung menawarkan U Choose Programme yang memungkinkan kita untuk memilih aroma produk mandi yang diinginkan. Waktu berkunjung, saya pilih body lotion dan sampo aroma jasmine, serta shower gel aroma wild orchid. Kalau perlu mengeringkan rambut, hair dryer ada, tapi disimpan di dalam tote bag yang ada di bawah gantungan pakaian di samping televisi.

Area shower sendiri terpisah oleh dinding dan cukup luas. Hanya saja, di sini nggak ada rak untuk menyimpan alat-alat mandi. Walhasil, saya harus simpan botol sabun dan sampo di lantai. Agak merepotkan sih. Untungnya, ada shower tangan dan rainshower di sini. Pencahayaannya pun baik dan saya suka.

Fasilitas Umum

Sae’ Restaurant

Menempati dua lantai, Sae’ Restaurant merupakan restoran utama di U Janevalla Bandung. Sarapan pagi untuk tamu disajikan di sini, tapi di jam-jam lainnya, restoran ini juga tetap bisa dikunjungi, bahkan untuk umum. Untuk weekday, restoran ini buka hari Senin sampai Kamis, dari jam 6 pagi sampai 12 malam. Kalau weekend, restoran buka hari Jumat sampai Sabtu, dari jam 6 pagi sampai 12 malam.

IMG_20190225_074959
IMG_20190224_175257
IMG_20190224_215446
IMG_20190224_215501
IMG_20190224_215526
IMG_20190225_084709

Di lantai lobi, restoran terbagi jadi dua area, indoor dan terrace. Waktu sarapan, saya kebagian meja kosong di luar. Untungnya nggak hujan, meskipun cuaca mendung memang. Nah, menu sarapannya menurut saya enak. Saya pilih nasi kebuli dan kakap goreng, serta earl grey tea untuk minumnya.

Di lantai atas, ada bar yang cukup panjang buat pesan kopi atau minuman lainnya. Furnitur restoran sendiri masih bergaya Industrial/Utilitarian dan sepintas mengingatkan saya sama meja dan kursi di TK dulu. Di lantai atas juga ada teras, tapi waktu saya ke sana, terasnya dipakai sama orang-orang yang merokok. Selain itu, entah kenapa penempatan meja dan kursi di luar tampaknya terlalu rapat. Jadi, kesannya kayak sempit.

65 Rooftop Pool Bar

Bertempat di lantai teratas, 65 Rooftop Pool Bar di U Janevalla Bandung bisa jadi tempat nongkrong yang pas sambil lihat pemandangan kota Bandung dari ketinggian 9 lantai. Bar ini bersebelahan dengan kolam renang hotel. Sayangnya, seating area yang terlindungi kanopi menurut saya kurang besar. Sebagian besar kursi-kursi ditempatkan di area yang lebih terbuka, tanpa atap. Ini artinya kalau cuaca lagi jelek, tempat duduk yang tersedia jadi lebih terbatas, terutama kalau pengunjung lagi banyak.

IMG_20190224_174821

Untuk desainnya sendiri masih sama–industrial, tapi dengan sentuhan vintage melalui penggunaan ubin-ubin printed design di tembok bar. Sisi timur bar dibatasi oleh dinding kaca yang dipasang dalam rangka besi berbentuk trapesium, senada dengan fasad bangunan yang banyka menampilkan bentuk-bentuk freeform. Pot-pot tanaman ditempatkan di dekat railing dan menjadi elemen hijau yang menyejukkan. Oh ya, rooftop bar ini buka dari jam 10 pagi sampai 10.30 malam. 

IMG_20190224_174832

Kolam Renang dan Gym

Nah, menurut saya inilah fasilitas yang paling kece di U Janevalla Bandung. Berada di samping rooftop bar, kolam renang di hotel ini punya bentuk yang memanjang, dengan sisi panjang menghadap ke arah Jalan Merdeka, dan sisi lebarnya menghadap ke Jalan Aceh. Railing kaca pembatas ditempatkan lebih rendah dari dinding kolam sehingga memberikan kesan infinity. Untungnya, tidak ada bangunan yang lebih tinggi di samping barat hotel sehingga dari kolam renang, kita bisa lihat pemandangan kota dengan lebih jelas tanpa halangan.

IMG_20190224_174449
IMG_20190224_174444
IMG_20190224_222448

Untuk menambah kesan tropis, di area kolam renang ada dua pohon kamboja. Di siang hari, biasanya pihak hotel menyediakan beberapa bean bag di atas dek buat duduk-duduk. Ada juga recliner di sisi utara kolam renang. Biasanya, orang-orang pada foto-foto di dinding ujung kolam renang. Hati-hati aja kalau mau jalan ke dinding sana supaya nggak kepeleset.

Nggak jauh dari kolam renang, ada gym. Untuk mengakses gym, kita hanya perlu masuk ke semacam gang kecil yang ada di samping lift. Ruangan gym-nya sendiri berada di sisi utara kolam renang. Dari segi peralatan sih memang nggak banyak. Di sini ada treadmill, exercise bike, dan elliptical trainer. Ada juga televisi di salah satu dinding ruangan.

IMG_20190225_093718
IMG_20190225_093703

Meskipun ada jendela-jendela besar yang menghadap ke arah Jalan Merdeka, ukuran gym ini tetap terasa kecil. Jatuhnya ini kayak gym pribadi yang ada di rumah. Nevertheless, gym di hotel ini tetap bisa jadi fasilitas yang mumpuni buat berolahraga.

Perpustakaan

Selain kolam renang, perpustakaan jadi fasilitas hotel yang saya suka. Berada di lantai mezzanine, perpustakaan kecil ini memang koleksi bukunya nggak banyak, tapi bagus-bagus. Nggak hanya buku buat orang dewasa, tetapi buat anak-anak pun ada.

IMG_20190225_084518
IMG_20190225_084537
IMG_20190225_084550

Koleksi bukunya memang hanya satu rak dan kebanyakan berbahasa Inggris. Furnitur yang dipakai punya sentuhan midcentury, terutama kursi lengan dan loveseat-nya. Di sini juga ada satu komputer yang bisa dipakai. Ya, hanya satu. Tapi, ada meja panjang yang bisa dipakai buat kerja pakai laptop. Kursi-kursinya ditempatkan menghadap ke arah Jalan Aceh. Jadi, lumayan lah untuk menyegarkan mata kalau udah jenuh.

Lokasi

Bicara soal lokasi, U Janevalla Bandung ini jadi salah satu pilihan akomodasi yang paling strategis. Berada di Jalan Aceh, hotel ini menawarkan akses mudah ke berbagai tempat di kawasan Jalan Merdeka dan Balai Kota Bandung. Kalau mau belanja nih, kita bisa jalan kaki ke BIP selama sekitar 5 menit, atau ke BEC selama 10 menit. Di dekat hotel juga ada Taman Ade Irma Suryani (dikenal juga dengan nama Taman Lalu Lintas), Taman Sejarah, dan Taman Balai Kota sebagai opsi tujuan wisata keluarga.

Dari Stasiun Bandung, jarak ke hotel kira-kira 10-15 menit kalau pakai mobil, tergantung kondisi lalu lintas. Berhubung Bandung tambah ke sini macetnya tambah nggak manusiawi, harap bersiap menghadapi kemacetan yang bikin pengen tobat rasanya.

Oh, ya! Hotel ini juga bersebelahan dengan Aryaduta Bandung yang menurut saya, memberikan semacam kelemahan tersendiri. Jadi, kamar-kamar yang posisinya berada di sisi timur ini punya jendela yang saling berhadapan dengan jendela kamar-kamar di Aryaduta yang posisinya di sisi barat gedung. Ini artinya bisa jadi jendela kamar kamu menghadap ke jendela kamar Aryaduta. Buat saya secara pribadi, ini nggak nyaman banget. Selain privasi bisa terganggu, akan awkward ketika kita liat-liatan dengan orang di kamar Aryaduta.

Kesimpulan

Interior bergaya industrial dengan sentuhan utilitarian jadi keunggulan U Janevalla Bandung. Buat orang-orang yang suka foto-foto, interior kamar dan beberapa ruang publik di hotel ini pas banget jadi latar foto. Jujur saya sendiri jatuh cinta sama interior kamar yang saya tempati. Hanya saja, memang posisi kamarnya membuat privasi agak terganggu.

U Choose Programme yang ditawarkan pihak hotel jadi salah satu keunggulan lain. Dengan program ini, pengunjung bisa pilih sendiri mini bar gratis yang bisa dinikmati, jenis aroma produk mandi, jenis bantal yang mau dipakai, dan semacamnya. Adanya program ini bikin kunjungan terasa lebih personal.

Untuk fasilitas sendiri, hotel ini menyediakan rooftop swimming pool, rooftop bar, restoran, MICE amenities, perpustakaan, dan gym (walaupun kecil). Saya rasa fasilitasi segitu sih udah mumpuni, apalagi dengan kehadiran perpustakaan. Koleksi bukunya memang nggak banyak, tapi cukup asyik sih buat dinikmati. Ada buku Spongebob Squarepants di sana. Ayo coba cari bukunya!

Berdasarkan situs resmi hotel, kamar ditawarkan dengan harga mulai dari 36 dolar Amerika Serikat atau sekitar 520 ribu rupiah. Secara keseluruhan, U Janevalla Bandung memberikan saya pengalaman menginap yang unik dan “gue banget”. Interior bergaya industrial “totok” dan furnitur dengan sentuhan utilitarian pas banget sama penampilan saya yang ke arah rockabilly ini. Memang ada satu atau dua kekurangan, tapi hal tersebut nggak lantas merusak kunjungan saya. Berbagai fasilitas yang dihadirkan juga melengkapi liburan singkat saya di kota Bandung.

Pros & Cons

πŸ‘πŸ» Pros

  • Desain kamarnya mantap betul! Interior bergaya industrial dengan sentuhan utilitarian itu udah perkawinan the best lah. Saya juga suka dengan langit-langit beton yang dibiarkan apa adanya dan dinding bata ekspos putih di kamar.
  • Fasilitasnya lengkap, termasuk rooftop swimming pool dengan pemandangan kota Bandung yang keren.
  • Dekat ke mana-mana. Mau ke mal tinggal jalan kaki 5-10 menit. Beberapa tujuan wisata keluarga murah meriah juga bisa dikunjungi dengan berjalan kaki.
  • Ada perpustakaan kecil di hotel. Koleksi bukunya nggak banyak, tapi bacaannya lumayan menarik. Inget! Ada buku Spongebob Squarepants!
  • Planters yang dipasang di dekat railing koridor menjadi elemen hijau yang membuat hotel ini semakin unik dan eco-friendly. Senang aja sih liatnya. Ijo royo-royo bikin adem mata.
  • U Choose Programme memungkinkan tamu buat personalize sendiri kunjungannya ke hotel. Tamu bisa pilih jenis aroma produk mandi, jenis bantal, produk mini bar gratis, dan lain-lain.

πŸ‘ŽπŸ» Cons

  • Privasi saya di kamar agak terganggu karena posisi kamar yang diapit oleh dua koridor semi-outdoor. Pengunjung yang jalan sampai ke ujung koridor bisa ngeliat isi kamar saya melalui jendela. Buat jaga privasi, curtain harus sering ditutup.
  • Beberapa kamar punya jendela yang berhadapan langsung dengan jendela hotel sebelahnya. Ini juga jadi privacy problem sih.
  • Gym-nya kecil.
  • Di area shower, nggak ada rak untuk simpan alat atau produk mandi. Walhasil, sabun dan sampo harus saya simpan di lantai.

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌βšͺ️
Desain: πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†
Lokasi: 🀩🀩🀩🀩🀩
Harga: πŸ’°πŸ’°πŸ’°

Review: Cottonwood Bed & Breakfast

Kalau pulang dari kampus atau kelas, kadang saya lewatin hotel ini. Lokasinya memang tidak disangka-sangka dan ketika beberapa teman tanya soal lokasi hotel ini, tanggapan mereka setelah saya jawab adalah “Oh, ada hotel di sana?”

Ada. Dan hotelnya gemes maksimal!

cottonwood bandung
Fasad Cottonwood Bed & Breakfast. Sederhana tapi manis.

Cottonwood Bed & Breakfast berlokasi di jalan Mustang nomor B2/1A. Kalau anak-anak Maranatha atau Sarijadi sih kemungkinan tahu hotel ini atau daerah ini. Nah, buat yang jarang masuk-masuk ke jalan yang lebih kecil di kawasan Sarijadi atau Surya Sumantri, hotel ini tuh nggak jauh dari Gerbang Tol Pasteur dan kawasan Cibogo (kira-kira sekitar 10 menit lah dari gerbang tol kalau kondisi jalan lagi lancar). Untuk saya pribadi sih kalau bahas segi lokasi, hotel ini punya keuntungan dan kekurangan tersendiri. Keuntungannya adalah hotel ini nggak berlokasi di jalan arteri dan berada di kawasan pemukiman yang tenang sehingga saya bisa kerja dan istirahat dengan nyaman tanpa banyak gangguan. Kekurangannya adalah karena lokasinya bukan di jalan arteri, akses ke area komersial nggak begitu mudah, walaupun sebetulnya jaraknya dari gerbang tol Pasteur itu cukup dekat.

Akomodasi bintang dua ini mengusung konsep bed and breakfast. Untuk tipikal pengunjung yang nggak neko-neko dan butuh tempat untuk “tidur doang”, hotel ini udah memenuhi kebutuhan. Bangunannya sendiri nggak besar, dengan fasad yang bukan tipikal grandiose, tapi lebih ke arah cute (driver Grab saya bilang, “Lucu ya kayak rumah Barbie!”). Oke sip, pak! πŸ€“

Jumlah kamarnya nggak banyak; hanya ada 11 kamar yang terdiri atas 9 kamar biasa, 1 loft, dan 1 familyΒ suite room untuk 4 orang. Fasilitas hotel pun hanya ada restoran slash kafe dan satu plant nursery. Meskipun demikian, menginap di sini dijamin nggak menyesal karena lokasinya yang cocok buat menyepi dan desain interior kamar yang bikin betah dan gemas sendiri.

Desain Kamar

Untuk kepentingan review ini, saya sempat galau beberapa jam untuk pilih desain kamar yang diinginkan. Seperti yang saya bilang sebelumnya, desain interior kamar di Cottonwood Bed & Breakfast ini unik dan menggemaskan. Asyiknya lagi, setiap kamar tampil dengan desain yang berbeda. Ini sih roman-romannya harus ke sana lagi buat coba nginap di kamar yang berbeda. Akhirnya, pilihan saya jatuh kepada kamar Popple Room yang ada di lantai dua.

Bicara tentang ukuran kamar, sebetulnya ukurannya sih nggak besar. Space kamar sebagian besar terisi sama tempat tidur double bed dengan seprai putih motif garis-garis warna biru yang memberikan sentuhan nautical. Supaya nuansa lautnya lebih kental, di samping tempat tidur ada lemari buku yang dibuat dari perahu yang dibagi dua. Cantik banget!

Di samping tempat tidur, ada meja belajar dan kursinya yang mengingatkan saya sama bangku dan kursi TK. Meja belajarnya ini dipasang di dinding dan entah kenapa saya merasa mejanya rentan jatuh (penahannya cuman satu). Di atas meja, disediakan terminal sebagai pengganti outlet listrik yang dipasang di dinding. Kurang A E S T H E T I C sih, tapi kelebihannya saya jadi punya banyak colokan buat charge ini itu. Di sini, saya mulai merasa juga bahwa kamar saya ini cocok jadi kosan tematik. Serius deh! Rasanya kayak kosan loh. Kosan mewah dan tematik.

AC dan televisi juga tersedia di kamar. Kalau butuh hiburan lain, ada WiFi gratis yang bisa dipakai untuk browsing internet atau cek media sosial. Oh ya, di kamar nggak ada lemari pakaian loh jadi kita nggak bisa simpan pakaian di dalam lemari. Meskipun demikian, masih ada gantungan pakaian (dan cukup banyak karena di kamar mandi pun ada) yang bisa kita pakai untuk simpan baju, jaket, atau celana.

Ketika datang sekitar pukul jam 4, suasana kamar bikin saya ngerasa betah. Apalagi dengan desain interior yang gemas begitu, saya jadi agak malas buat pergi beli makan. Walhasil, saya ketiduran sambil nonton kartun sampai sekitar jam setengah 8 malam. 😞

Oh ya, karena konsepnya bed and breakfast, kita diimbau untuk nggak mengganggu tamu lain dengan berisik di kamar atau nyalakan televisi dengan suara kencang. Kamar pun nggak punya peredam suara jadi suara dari dalam kamar bisa kedengaran ke luar, dan sebaliknya.

Oh ya, buat yang penasaran desain kamar-kamar lain di hotel ini, di bawah ini ada beberapa fotonya yang saya ambil dari website resmi hotel.

Kamar Mandi

Untuk urusan kamar mandi, saya nggak menyimpan ekspektasi besar. Bentuk kamar mandinya memanjang, tapi bisa dibilang cukup lapang dan nggak bikin claustrophobic. Appliances seperti shower, kloset, bidet, dan wastafel sudah tersedia jadi perlengkapan dasar kamar mandi sudah bisa dicentang dari list ya.

IMG_20181004_160609_HHT
Kamar mandi yang mungil tapi cerah

Nah, yang saya suka dari kamar mandi ini adalah penerangannya yang baik. Seperti yang saya ceritakan di beberapa review sebelumnya, saya kurang suka dengan kamar mandi yang remang karena rasanya gloomy dan mandi jadi tidak ceria. Dindingnya didominasi warna lemon chiffon, dengan setengah bagian bawahnya merupakan dinding bata ekspos bercat putih. Keluaran air dari shower-nya cukup kencang jadi enak buat pijat bahu. Hanya saja untuk air panas, saya harus menunggu sekitar beberapa menit sampai suhu yang diinginkan terasa.

Sabun dan sampo sudah disediakan di dispenser yang ada di area shower. Area ini dipisahkan oleh shower curtain yang sayangnya nggak sepenuhnya menghalau air ke area kloset (intinya sih mandinya nggak usah hardcore sampai loncat-loncat). Selain sabun dan sampo, sikat plus pasta gigi dan shower cap juga tersedia. Hanya saja, pisau cukur nggak disediakan jadi yang perlu bercukur, baiknya siapkan sejak awal dari rumah atau beli dari minimarket.

Fasilitas Umum

Meskipun konsepnya bed and breafkast, Cottonwood Bed & Breakfast punya fasilitas umum buat menunjang kebutuhan pengunjung. Salah satunya adalah kafe.

Di bagian belakang hotel, terdapat kafe Sun Porch yang bisa dikunjungi baik oleh pengunjung hotel maupun umum. Hanya saja untuk umum, kafe ini buka dari jam 7 pagi sampai jam 5 sore aja. Ukuran kafenya sepintas kelihatan kecil dan nggak luas, tapi seating area tambahan di belakang ternyata lebih menarik. Ada juga spot khusus untuk food photography yang disediakan pihak hotel secara gratis, lengkap dengan lighting dan properti lain yang bisa dipakai.

Interior kafe mengusung desain shabby chic, dengan kursi-kursi dari boks kayu, lemari dan rak bernuansa cottage, watering cans, patung-patung kecil berbentuk hewan, dan tanaman hias. Oh ya, di kafe ini juga ada rak yang menyimpan koleksi sukulen untuk dijual. Sayangnya, saya datang ke sini nggak bawa mobil sendiri. Kalau bawa sih, saya mungkin beli satu sukulen.

Suasana kafe yang cerah dan berdekatan dengan kebun ini bikin saya nyaman ketika sarapan di sini. Banyaknya tanaman-tanaman hias yang dipajang bikin area kafe terasa teduh. Pemilik sekaligus manager hotel ini juga ramah dan menanyakan gimana istirahat saya. Rasanya homy banget. Yang serunya lagi adalah sarapan saya bukan nasi goreng, mi goreng, atau makanan lain khas continental breakfast; saya makan laksa! Agak aneh sih pagi-pagi makan laksa, tapi ya ini unik aja. Jarang-jarang kan sarapan di hotel, makannya bihun laksa.

IMG_20181005_105246
Tangga utama
IMG_20181005_105402_HHT
Mau nitip salam?
IMG_20181005_090810
Boks pasir mainan untuk anak
IMG_20181005_100004
Taman depan, ada rumah burungnya
IMG_20181005_100019
Tempat duduk di teras depan

Desain interior ruangan atau public space yang lain sama atau senada dengan shabby chic. Dekorasi atau ornamen bertema burung dan hewan banyak di sana sini dan menambah sisi gemas hotel ini. Warna-warna pastel dan netral juga mendominasi interior hotel, menciptakan atmosfer yang hangat dan menyenangkan.

Kesimpulan

Dengan harga mulai dari 315 ribu rupiah per malam (berdasarkan plakat di hotel), Cottonwood Bed & Breakfast bisa jadi tempat istirahat atau sanctuary yang terjangkau buat yang ingin beristirahat sambil kerja dalam atmosfer yang hangat ala rumah sendiri. Kamar-kamar tematik dengan desain yang unik bikin hotel ini sayang kalau hanya dikunjungi satu kali (next time coba kamar yang lain).

Meskipun nggak banyak fasilitas umum, kafe dan taman di hotel ini menawarkan public space yang nyaman untuk bertemu teman-teman atau ngopi. Lokasinya yang cukup nyempil juga membuat hotel ini relatif tenang dan sepi, jadi enak buat beristirahat. Sayangnya kalau senang jalan-jalan dan ingin akses cepat ke minimarket atau tempat umum lainnya, mungkin agak susah. Minimarket terdekat jaraknya nanggung kalau jalan kaki, meskipun kalau pakai motor sih relatif dekat.

Overall, pengalaman saya nginap di Cottonwood Bed & Breakfast ini menyenangkan. Kalau mau cari akomodasi budget yang unik dengan desain interior kamar yang gemes, hotel ini bisa jadi pilihan yang tepat.

Pros & Cons

πŸ‘πŸ» Pros

  • Desain setiap kamar beda-beda, tapi yang jelas Instagrammable. Kayaknya nggak cukup sekali datang ke sana karena bawaannya ingin nginap di kamar-kamar lain.
  • Suasana hotel secara keseluruhan hangat dan nyaman, kayak nginap di rumah sendiri (dengan desain kamar yang unik).
  • Area di sekitar hotel cukup tenang, cocok buat yang ingin istirahat atau menyepi.
  • Restoran hotel menyediakan photo space gratis buat yang suka foto-foto makanan.
  • Rate-nya terjangkau dan dengan desain kamar yang cantik, hotel ini worth visiting.

πŸ‘ŽπŸ» Cons

  • Meskipun cukup dekat dari Gerbang Tol Pasteur dan Universitas Kristen Maranatha, minimarket terdekat jaraknya nanggung (jauh kalau jalan kaki, tapi deket kalau pakai motor).
  • Pintu kamar masih pakai kunci manual, bukan card.
  • Kamar nggak begitu kedap suara. Waktu saya nginap, bayi pengunjung lain ada yang nangis malam-malam dan kedengaran sampai kamar.
  • Jumlah kamar di Cottonwood nggak banyak jadi jangan kaget kalau full-booked di high season.

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌βšͺ️
Desain: πŸ˜„πŸ˜„πŸ˜„πŸ˜„πŸ˜Ά
Lokasi: 🀩🀩🀩😢βšͺ️
Harga: πŸ’°πŸ’°