Tag Archives: asia afrika

Review: Grand Hotel Preanger

Waktu SMA, saya cukup sering main ke daerah Braga untuk sebatas foto-foto, jajan kue di Canary Bakery atau es krim di Toko Sumber Hidangan, atau gabut di Braga City Walk. Kadang-kadang, saya jalan sedikit ke Jalan Asia Afrika dan setiap kali di sana, saya selalu mengagumi dua hotel yang sebetulnya sejak SMP sudah saya sukai, Savoy Homann dan Grand Hotel Preanger. Sebetulnya, saya pernah ke kedua hotel itu dulu, tapi hanya sebatas datang dan pulang lagi karena nyamper ayah saya yang memang lagi ada urusan kerjaan atau rapat. Nah, bertahun-tahun kemudian, puji Tuhan saya bisa menginap di kedua hotel tersebut. Review untuk Savoy Homann sudah bisa dibaca di blog. Nah, untuk Grand Preanger, saya baru bisa tulis sekarang. Padahal, nginepnya itu bulan Agustus 2019. Telat banget, ya. But better late than never, ‘kan?

Bangunan tower Grand Hotel Preanger

Grand Hotel Preanger adalah akomodasi bersejarah yang berlokasi di Jalan Asia Afrika No. 81, Bandung. Hotel ini juga dikenal dengan nama Prama Grand Preanger, tapi kalau saya sebagai urang Bandung sih (dan para urang Bandung lainnya) biasanya menyebut hotel ini sebagai Hotel Preanger atau Grand Preanger. Seperti halnya Savoy Homann, Grand Preanger adalah hotel historis yang sudah berdiri sejak era kolonial. Informasi dari Wikipedia dan situs resmi Grand Hotel Preanger menyebutkan bahwa hotel ini sudah berdiri sejak tahun 1897.

Nah, sebelum beroperasi sebagai hotel, bangunan Grand Preanger Bandung ternyata merupakan sebuah toko swalayan. Namun, informasi dari Travel Kompas menyebutkan bahwa bangunan sempat digunakan sebagai toko roti. Hmm… Jadi sebetulnya, toko swalayan apa toko roti? Atau toko swalayan mencakup toko roti? Toko tersebut sudah ada sejak tahun 1884 dan melayani para pemilik perkebunan yang sering turun ke kota. Ketika toko bangkrut, bangunannya dibeli oleh orang Belanda bernama W.H.C. van Deeterkom dan dijadikan hotel bernama Hotel Preanger di tahun 1897, seperti yang saya sebut di paragraf sebelumnya.

Informasi baru yang saya baru tahu lagi (duh, ribet banget ngomongnya) adalah ternyata, seperti Savoy Homann, bangunan Hotel Preanger sebelumnya tidak mengusung gaya Art Deco seperti sekarang. Bangunan mengusung gaya Indische Empire khas rumah-rumah gedongan milik orang Belanda pada era kolonial. Desain ini mengingatkan saya dengan sebuah rumah jadul di Kuningan, kampung halaman ayah saya. Saya nggak tahu kabar rumah itu seperti apa sekarang, tapi dulu sih konon berhantu. Bangunan hotel kemudian direnovasi dan mengusung gaya Art Deco di tahun 1929 oleh C. P. Wolff Schoemaker, dibantu oleh presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno. Oh, ya! Schoemaker juga meninggalkan banyak jejak di Kota Kembang. Salah satunya adalah Villa Isola, bangunan historis di kompleks Universitas Pendidikan Indonesia (kampus aku lho itu!). Tiap hari saya lihat bangunan itu dan nggak pernah bosan lihatnya (kalau bergidik karena ngeri sih, pernah). Duh! Ngomongin sejarah tuh nggak ada habisnya dan selalu seru!

Hotel Preanger era 1910-1930an. Foto milik Tropenmuseum.

Jujur, saya agak bingung dengan informasi yang cukup simpang siur mengenai kelas hotel. Kalau melihat di Agoda, Grand Hotel Preanger menyandang gelar hotel bintang 5. Ada beberapa informasi yang menyebutkan bahwa Preanger merupakan akomodasi bintang 4. Namun, waktu saya dan Pak Suneo ngobrol langsung dengan Teh Yayu, guest relation officer, kami dikasih tahu bahwa hotel menyandang predikat akomodasi bintang 5. Nah, kalau sudah dengar dari orang hotelnya sih, lebih yakin ya.

Tripadvisor menyebutkan ada 188 kamar di hotel bersejarah di Bandung ini. Kalau saya lihat di situs resminya, ada 8 tipe kamar yang tersedia: Deluxe, Executive, Naripan Wing 1 Bed, Malabar Suite, Priangan Suite, Naripan Wing 2 Bed, Pandawa Suite, dan Presidential Suite. Dulu, saya sempat mengira kalau hotel ini nggak begitu besar karena waktu saya kecil, yang saya anggap hotel itu hanya sayap depan yang berada di Jalan Asia Afrika (bangunan Art Deco), tapi ternyata, dang! It’s humongous! Untuk fasilitas, Grand Preanger Bandung punya kolam renang, gym, restoran, bar, ballroom, meeting room, spa, business center, dan museum. Ya! Museum! Waktu saya tahu bahwa di hotel ini ada museum, saya excited banget. Meskipun ukurannya nggak besar, tapi saya senang bisa menyelami waktu dan melihat berbagai koleksi yang ada di sana.

Waktu menginap, saya menempati kamar tipe Deluxe. Kamar tipe ini lokasinya ada di tower hotel. Untuk kunjungan berikutnya, saya ingin coba kamar-kamar yang ada di wing lama. Nah, karena segmen awal ini sudah terlanjur panjang banget, langsung saja baca ulasan lengkapnya di segmen berikutnya, ya!

Desain Kamar

Tipe Deluxe merupakan tipe kamar terkecil di Grand Hotel Preanger. Dilansir dari situs resminya, tipe ini memiliki luas 32 meter persegi. Luasnya kurang lebih sama dengan luas tipe Business di Aryaduta Bandung dan tipe Deluxe di Sheraton Bandung. Kamar-kamar tipe Deluxe menempati tower hotel dan yang suka adalah lift yang digunakan merupakan lift panoramik dengan pemandangan ke arah utara. I have a soft spot for panoramic lifts!

Interior kamar mengusung desain kontemporer yang menurut saya cukup khas di era tahun 90an akhir dan 2000an awal. Dated, memang, tapi khas dan punya charm-nya tersendiri. Saya pernah ke beberapa hotel yang mengusung desain seperti itu (saya menyebutnya desain paling modern “pada zamannya”), termasuk Hotel Harbour Bay Amir dan Nagoya Plaza di Batam. Desainnya tipikal hotel-hotel mewah di era tahun segitu lah bisa dibilang. Menurut informasi dari setiapgedung.web.id, Grand Hotel Preanger direnovasi besar-besaran di 1987 dan beroperasi penuh di tahun 1990. Renovasi ini mencakup adanya tower sebagai ekspansi bangunan. Kalau melihat dari tahunnya, nggak heran sih interiornya seperti apa yang ada di kamar.

Ruang seluas 32 meter persegi memang terasa luas. Ukuran furnitur yang relatif besar berhasil menyeimbangkan kekosongan di ruangan. Hasilnya, ruangan terasa lived in, tanpa terkesan kosong banget atau penuh banget. Warna-warna earthy mendominasi interior dan sebagai colour pop, digunakan warna merah “lipen emak-emak” pada coverlet dan throw pillow. Sementara itu, karpet berwarna biru kehijauan (turquoise tua) memberikan kesan sejuk yang diseimbangkan oleh pencahayaan berwarna hangat. Tempat tidur terasa mendominasi ruangan dengan penggunaan headboard besar dengan desain polos. Oh! Ini saya wajib kasih tahu PAKE banget. Di kamar ada guling! Sejauh ini, saya jaraaaaaang banget nemu hotel yang menyediakan bantal guling, dan tidur pake guling itu nyaman sekaligus nostalgic banget! Waktu kecil, saya kalau tidur harus ada guling. Tidur tanpa guling itu rasanya seperti lebaran tanpa ketupat. Kata Bunda Inul sih, “Kurang enak kurang sedap.”

Yang unik lagi adalah alih-alih menggunakan tirai atau gorden, jendela dipasangi semacam double sliding panel dengan motif batik. Saat dibuka, kamar serasa punya balkon tertutup yang menawarkan pemandangan Jalan Asia Afrika atau Bandung sisi utara. Kebetulan, saya dapat kamar dengan view Jalan Asia Afrika. Nggak begitu jelas sih karena kamar berada di lantai 6, tetapi ya mending lah daripada nggak ada view sama sekali. Kelengkapan kamar mencakup televisi, AC, WiFi, coffee/tea maker, dan electronic safe. Oh, ya! Di end table samping tempat tidur, terpasang panel kendali untuk televisi, musik, dan pencahayaan. Ini fitur lawas banget yang biasanya ditemukan di hotel-hotel era tahun 80-90an.

Kelengkapan ruangan berfungsi dengan baik. Televisi menawarkan channel yang cukup beragam. Jaringan WiFi juga lancar dengan kecepatan yang decent. Overall, tidak ada keluhan untuk kedua hal tersebut.

Kamar Mandi

Kamar mandi untuk tipe Deluxe di Grand Preanger Bandung menurut saya tidak semewah interior area utama kamar. Ukurannya memang cukup luas dan well-lit. Seperti yang kalian tahu kalau sudah baca-baca tulisan saya sebelumnya, saya paling nggak suka kamar mandi yang suasananya redup dan gelap. Mandinya kayak nggak nyaman dan ngeri aja jatuhnya. Namun, dari aspek desain, kamar mandinya biasa saja.

Interior kamar mandi didominasi ubin berwarna abu-abu muda dengan pencahayaan berwarna putih yang membuat kamar mandi terasa luas dan terang. Hanya saja, ya itu tadi, dari segi desain sih biasa saja. Bahkan, penggunaan pintu geser berbahan aluminium ke shower area membuat kamar mandi terasa… apa ya. Jatuhnya menurut saya sih mirip kamar mandi dan toilet kolam renang umum. Jujur saja hal ini cukup disayangkan, mengingat interior area utama kamar sudah cukup elegan.

Ada split level sebelum masuk ke area shower. Area ini berada lebih rendah dari area kamar mandi yang lain sehingga air nggak akan meleber ke seluruh kamar mandi (adanya pintu geser juga membantu menahan air). Sayangnya, dibutuhkan waktu agak lama hingga air terbuang ke saluran drainase. Walhasil, air jadi menggenang dan membuat semacam kolam. Di area shower juga hanya tersedia satu shower, dan itu pun fixed shower yang dipasang di dinding. Nggak ada shower tangan maupun rainshower. Namun, keluaran airnya kencang. Jadi, cukup nyaman buat dipakai pijat bahu atau leher.

Kelengkapan kamar mandi mencakup hair dryer, sampo, sabun, kondisioner, dan beberapa produk kebersihan pribadi lainnya. Sayangnya, saya nggak menemukan body lotion dan korek kuping (mungkin ini harus minta ke housekeeping). Ah! Untuk kondisioner, saya merasa aromanya aneh. Baunya mirip rumput kalau menurut saya.

Fasilitas Umum

Brasserie Restaurant

Berada di lantai lobi, Brasserie Restaurant merupakan restoran utama Grand Hotel Preanger. Areanya cukup luas, mencakup semi-outdoor seating area dengan pemandangan taman dan kolam renang. Untuk indoor seating area sendiri, sentuhan Art Deco mendominasi restoran. Area teras juga sering kali digunakan untuk event.

Ada satu hal yang menarik perhatian saya. Di salah satu sisi restoran, terdapat area dengan dinding berpanel kayu berwarna mahogany dengan corak kemerahan. Panel ini dipercantik dengan lis-lis logam berwarna perak, serta dekorasi berbentuk lingkaran yang menyerupai kaca jendela kapal laut. Seketika, saya langsung ingat Observation Bar di Queen Mary Hotel, hotel yang menempati RMS Queen Mary, kapal pesiar buatan tahun 1930 yang dimiliki oleh Cunard-White Star Line. Something rings the bell? Ya, White Star Line adalah firma perkapalan yang memiliki Titanic, kapal mewah terkenal era Victorian yang tenggelam di tahun 1912. Observation Bar di Queen Mary Hotel pun mengusung desain Art Deco untuk interiornya dan tampil cantik dalam balutan panel kayu berwarna cokelat gelap yang memikat. Ya, mirip dengan salah satu sudut yang ada di Brasserie Resturant Grand Preanger. Saya juga jadi ingat interior restoran kapal yang menjadi salah satu setting film komedi keluarga tahun 1998 yang dibintangi Lindsay Lohan, The Parent Trap.

Di dekat pintu masuk menuju restoran (dari arah lift), ada area dengan skylight pada bagian atasnya. Skylight pendek ini dipercantik oleh kaca patri yang membentuk motif bunga dengan warna hijau dan merah muda. Saya langsung ingat dome yang menghiasi area lobi Mercure Jakarta Kota. Hanya saja, skylight di Brasserie Restaurant tidak berbentuk kubah.

Banyaknya kursi dan meja yang tersedia, termasuk area tambahan di teras membuat restoran ini bisa menampung cukup banyak tamu. Saat sarapan pun, saya nggak kesulitan mencari meja kosong. Hanya saja, staf restoran kurang cepat mengisi ulang station yang kosong. Untuk beberapa station, saya harus menunggu agak lama sebelum masakan kembali dihidangkan. Namun, pilihan menu yang tersedia sudah variatif. Untuk menemani sarapan, ada grup musik yang memainkan musik tradisional Sunda secara live. Alih-alih terasa seperti di kondangan, atmosfer restoran pada jam sarapan terasa seperti restoran Sunda mewah.

Kolam Renang & Gym

Kolam renang dan gym menjadi fasilitas hiburan dan kesehatan di Grand Hotel Preanger. Untuk mengakses kolam renang, kita tinggal keluar melalui pintu yang ada di dekat lobi. Di dekat kolam renang, ada taman dan area berumput yang cukup luas. Saya suka area tersebut. Di sore hari area ini cocok dimanfaatkan untuk bersantai dan main, terlebih karena sinar matahari terhalangi oleh tower hotel.

Kolam renang di Grand Preanger berbentuk persegi panjang yang memanjang dari barat ke timur. Di sisi barat, terdapat kolam anak berbentuk lingkaran. Area shower juga berada di sisi ini. Kursi malas dan meja dinaungi oleh parasol sehingga para tamu nggak perlu takut terkena paparan cahaya matahari secara langsung. Dari segi ukuran, saya rasa kolam renang di hotel ini sudah cukup besar, terutama dengan dimensinya yang memanjang (meskipun tidak sampai seukuran olimpik). Di dekat kolam anak, ada papan peringatan yang menampilkan aturan dan regulasi penggunaan kolam renang. Uniknya, teks judul dan informasi jam operasional dicetak dalam font Art Deco (kalau di komputer saya, fonnya semacam Caviar Dreams). Di area kolam, saya nggak menemukan jacuzzi. Bahkan waktu masuk ke gym pun, saya nggak melihat ada jacuzzi. Seandainya ada, akan jadi fasilitas tambahan yang seru.

Di sisi barat, terdapat bangunan yang menjadi area gym dan spa hotel. Waktu saya baca informasi di situs resmi hotel, fitness centre menempati lantai 3. Nah, waktu saya menginap, gym masih berada satu lantai dengan kolam renang dengan luas yang terbatas. Sepertinya, gym sudah pindah ke lokasi barunya dan kalau lihat di foto yang ada di situs resmi hotel, kelihatannya area gym jadi lebih luas. Kalau memang gym betul sudah pindah ke lokasi baru, informasi dari saya ini berarti obsolete karena membahas gym di lokasi lamanya. Namun, saya akan tetap cantumkan untuk memberikan gambaran (setidaknya kondisi pada masa sebelum gym dipindahkan). Untuk mengakses gym, kita harus melewati lorong di area spa.

Dari segi ruang, gym hotel memiliki luas yang terbatas. Cermin-cermin berukuran full-height dipasang di dinding ruangan untuk memberikan kesan luas. Sayangnya, penggunaan warna biru tua pada dinding memberikan kesan gelap yang justru membuat ruangan tetap terasa sempit. Untuk peralatan, kelengkapannya sih sudah cukup baik. Saya sendiri saat menginap tidak sempat menggunakan fasilitas ini karena keterbatasan waktu (udah ada janji makan malam bareng si Alifa). Alat-alat gym yang ada pun tidak terlihat obsolete dari segi desain (saya kurang yakin kalau dari aspek sistem atau komputernya). Gym juga mencakup area loker, toilet, dan kamar mandi. Lokernya mirip dengan loker di SMA saya dulu. He he he.

Lounge

Lounge di Grand Hotel Preanger berada di sisi timur dan menampilkan pemandangan persimpanan Jalan Tamblong dan Jalan Asia Afrika. Dari segi ukuran, area lounge memang nggak begitu besar, tapi tidak sempit juga. Di sini juga ada stage untuk penampilan musik. Oh, ya! Saat check-in, saya dikasih tahu bahwa ada welcome drink yang bisa dinikmati di lounge. Ternyata, welcome drink itu berupa minuman secang. Enak banget dan menyegarkan! Rasanya mirip apa ya? Hmm… Saya pikir rasanya mirip minuman jahe merah.

Interior lounge mengingatkan saya dengan bar atau lounge hotel mewah di era tahun 80-90an. Di malam hari, saya mendapatkan vibe acara-acara musik nostalgia di lounge ini. Sofa dan kursi berbahan kulit dengan warna hitam dan beige tersebar di beberapa titik. Di sisi selatan lounge, ada meja dengan bar stool yang ditempatkan di dekat jendela dan menawarkan pemandangan persimpangan Jalan Tamblong dan Jalan Asia Afrika. Saya sama Pak Suneo nongkrong di sini sambil menghabiskan minuman secang dan ngebahas nanti malam mau makan apa sama si Alifa.

Lounge di Grand Preanger juga memiliki toko wine yang menjual beragam pilihan anggur. Beberapa pilihan juga dipajang di dalam lounge (di luar ruangan toko) untuk menarik perhatian pengunjung. Untuk stage, setelah dipikir-pikir lagi, area penampil nggak begitu luas. Ditambah lagi, stage tidak berbentuk platform yang lebih tinggi dari lantai. Grand piano Yamaha ditempatkan di area ini. Seperti biasa, kalau ada grand piano, saya suka ikut main. Kondisi piano baik dan well-tuned. Untuk sore itu, saya putuskan untuk mainkan lagu A Whole New World, lagu tema film animasi Disney, Aladdin.

Museum

Fasilitas terakhir yang saya kunjungi di Grand Hotel Preanger adalah museumnya. Museum ini bisa dikunjungi secara gratis dan bisa diakses dari tangga ke lantai dasar kalau dari lobi. Museum ini sendiri berlokasi di sayap depan hotel, gedung dengan eksterior bergaya Art Deco. Seingat saya, dulu juga di sini tuh ada kafe, tapi sepertinya tutup atau justru dipindahkan jadi lounge.

Lorong-lorong di luar area museum menonjolkan desain Art Deco yang lebih kental. Eksplorasi ke area ini rasanya seperti main ke Museum Konferensi Asia Afrika karena beberapa area di sana pun mengusung desain serupa, terutama di hall utama. Ada juga lift antik dengan pintu geser yang mengingatkan saya dengan gerbang-gerbang besi di kelas tiga RMS Titanic (maksudnya, bagian dalam liftnya sih cantik dan antik, tapi pintunya ya pintu geser besi). Soal jumlah, memang tidak banyak koleksi yang ada di museum ini. Namun, untuk ukuran museum hotel sih, segini sudah cukup. After all, adanya museum saja sudah jadi nilai tambah yang signifikan lho buat Grand Hotel Preanger.

Di museum, terdapat barang-barang seperti kamera video (atau pemutar video, ya?), furnitur antik yang diduduki figur bersejarah, foto-foto lama, mesin tik, dan barang-barang dari era lawas. Di salah satu sudut museum, terdapat poster Charlie Chaplin, aktor komedi asal Inggris yang terkenal dengan silent film-nya. Buat yang inget, di akhir tahun 90an dan awal tahun 2000an, ada acara komedi Spontan yang ditayangkan di SCTV. Nah, di acara tersebut, ada satu sketsa atau segmen yang menampilkan karakter Den Bagus, versi Indonesia dari Charlie Chaplin. Entah kenapa, saya sampai sekarang masih takut lihat dua-duanya.

Lokasi

Berada di pusat kota Bandung membuat Grand Hotel Preanger jadi salah satu properti yang strategis. Soal kebutuhan, ada banyak tempat yang bisa dikunjungi dengan berjalan kaki, terutama tempat-tempat bersejarah dan wisata. Titik 0 KM Bandung jaraknya paling cuman 1-2 menit dari hotel. Museum Konferensi Asia Afrika bisa ditempuh dengan jalan kaki selama 3 menit. Alun-Alun Bandung, Masjid Raya Bandung, dan Jalan Braga jaraknya sekitar 7-10 menit dari hotel. Untuk urusan makan, sebetulnya ada banyak restoran dan kafe yang bisa ditemui di kawasan Jalan Braga dan Alun-Alun Bandung. Kadang-kadang, di area Cikapundung juga suka diadakan pasar malam, festival, atau semacamnya. Starbucks juga dekat kok dari hotelβ€”sekitar 3 menit dan letaknya pun berseberangan dengan Museum Konferensi Asia Afrika.

Pada jam-jam tertentu, kawasan Jalan Asia Afrika sering macet, terutama ke arah barat (titik kemacetan mulai terasa di depan De Vries dan Alun-Alun). Namun, kalau di depan Grand Preanger sendiri, lalu lintas biasanya masih lancar. Dari Stasiun Bandung, hotel ini berjarak kurang lebih 15 menit dengan kendaraan bermotor (paling titik padat ada di Jalan Kebonjati, dekat Stasiun Hall dan belokan ke Pasar Baru). Kalau dari Bandara Internasional Husein Sastranegara, hotel ini bisa ditempuh dalam waktu sekitar 20-25 menit, tergantung kondisi lalu lintas.

Pelayanan

Segmen ini memuat pendapat saya mengenai pelayanan yang diberikan pihak hotel. Apa yang saya tulis bersifat subjektif dan bukan merupakan informasi umum, dan lebih merupakan pendapat pribadi. Experience yang saya alami bisa jadi berbeda dari apa yang orang lain alami. Tulisan dalam segmen ini tidak ditujukan untuk menjelek-jelekkan atau menurunkan reputasi hotel. Jika informasi yang saya tulis bersifat positif, semoga manajemen hotel bisa tetap menjaga kualitas layanannya. Jika bernada negatif, semoga bisa menjadi bahan perbaikan bagi pihak hotel. 

Selama menginap, hampir tidak ada masalah yang saya alami. Hanya saja, proses check-in terasa lama. Sebetulnya, bukan lama pada saat check-in, tapi lama nunggu antreannya. Si Suneo sempat marah karena yang harusnya kita giliran check-in, tapi justru orang lain yang dikasih giliran duluan. Padahal, kita sudah datang dan ngantri lebih awal. Untungnya, proses check-in nggak bertele-tele dan relatif cepat. Kebayang kalau prosesnya lama. Sudah giliran kita disela orang lain, harus melewati proses check-in yang tedious. Saya juga bakalan marah banget sih.

Di Grand Hotel Preanger, saya juga sempat ngobrol dengan Teh Yayu, guest relation officer. Kami ngobrol soal properti dan segala macam. Saya juga baru tahu kalau di hotel ada museum pas ngobrol itu. Kalau ngobrol sama orang hotelnya langsung, rasanya lebih puas sih cari tahu tentang properti.

Untuk pelayanan di restoran, yang saya sayangkan adalah lamanya makanan di-refill dari kitchen. Ketika sudah pada kosong, tray nggak cepat diisi lagi, padahal waktu itu masih cukup pagi (sekitar jam setengah 9). Waktu saya udah duduk dan makan, baru deh tray diisi lagi makanan. Kalau udah mager ‘kan, malah jadi malas buat ke buffet lagi. Namun, soal kebersihan meja sih, saya rasa staf cukup gesit membersihkan meja-meja yang berantakan. Ditambah lagi, meja yang tersedia cukup banyak. Jadi, tamu punya banyak pilihan tempat untuk duduk.

Kesimpulan

Bucat bisul. Itu istilah untuk sesuatu yang dinanti-nanti dan akhirnya terjadi (biasanya sesuatu yang positif). Waktu masih kecil, saya pengen banget nyoba nginep di Grand Hotel Preanger dan akhirnya harapan saya bisa terlaksana. Meskipun Preanger yang dulu bukanlah yang sekarang (terutama dengan banyaknya perubahan di sana sini), vibe tempo doeloe masih tetap terasa dan desain sebagian besar area hotel masih dipertahankan.

Area lobi hotel

Untuk ukuran properti bintang lima dan bersejarah, hotel ini menawarkan fasilitas yang mumpuni. Kolam renang, gym, spa, ballroom, restoran, lounge, dan museumβ€”ini sudah lumayan. Yang paling saya suka dari properti ini adalah kehadiran museum sebagai fasilitas edukatif untuk para tamu. Correct me if I’m wrong, tapi sejauh ini di Bandung, baru Grand Hotel Preanger yang menghadirkan museum di dalam hotel.

Interior kamar tipe Deluxe mengusung desain yang lebih baru dibandingkan tipe-tipe di wing lama (meskipun beberapa tipe sudah direnovasi dan menghadirkan desain yang lebih baru juga). Penggunaan sliding panel sebagai pengganti tirai jadi salah satu keunikan tipe tersebut, terlebih dengan adanya railing yang membuat kamar bisa disulap menjadi enclosed balcony saat panel dibuka. Teknologi “lawas” berupa panel kendali di end table samping tempat tidur pun masih dipertahankan di kamar. Buat sebagian orang, panel seperti ini mungkin agak gimana, tapi buat saya, justru itu unik karena hotel-hotel lawas (terutama yang heyday-nya di era tahun 80-90an) itu punya charm-nya tersendiri. Sayangnya, desain kamar mandi terasa “B aja” dan bahkan, memberikan vibe area kamar mandi/bilas kolam renang umum, I would say.

Dilansir dari situs resmi hotel, rate yang ditawarkan mulai dari 478 ribuan per malam (belum nett ini kemungkinan). Namun, rate segitu untuk hotel bintang lima dan bersejarah sih saya rasa masih terjangkau. Ditambah lagi, lokasinya dekat ke mana-mana dan fasilitasnya cukup lengkap. Kalau cari akomodasi bintang lima di pusat Bandung, secara spesifik di kawasan Asia Afrika, Grand Hotel Preanger layak dipertimbangkan. Nilai historis hotel dan berbagai fasilitas yang ada, termasuk museum, menjadi keunggulan hotel yang menjadi saksi beberapa momen penting bagi bangsa Indonesia.

Pros & Cons

πŸ‘πŸ» Pros

  • Nilai historis hotel ini jadi keunggulan tersendiri. Well, nggak semua hotel menyimpan nilai sejarah.
  • Adanya museum menjadi nilai tambah buat properti ini.
  • Untuk hotel bintang lima, rate yang ditawarkan masih terjangkau.
  • Lokasinya prima. Ke mana-mana deket dan bisa dengan jalan kaki (terutama kawasan wisata Alun-Alun Bandung dan Jalan Braga).
  • Ada guling di kamar!
  • Hotel ini jadi salah satu ikon Bandung, terutama dari aspek arsitektur karena menonjolkan pesona Art Deco dari era 1920an.
  • Fasilitas yang tersedia cukup lengkap.

πŸ‘ŽπŸ» Cons

  • Desain interior kamar mungkin terlalu dated buat sebagian orang.
  • Interior kamar mandi tipe Deluxe “B” aja. Nothing special.
  • Saya kurang puas dengan proses check-in yang bikin giliran saya dilewat orang lain terus. Padahal, saya udah datang dan antre lebih awal (ini semoga nggak terjadi ke kalian).
  • Makanan di buffet sarapan lama di-refill-nya (semoga nggak terjadi lagi).
  • Kondisionernya kok aneh sih baunya?

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌βšͺ️
Desain: πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†βšͺ️
Lokasi: 🀩🀩🀩🀩🀩
Harga: πŸ’°πŸ’°πŸ’°