Tag Archives: art deco

Review: Grand Hotel Preanger

Waktu SMA, saya cukup sering main ke daerah Braga untuk sebatas foto-foto, jajan kue di Canary Bakery atau es krim di Toko Sumber Hidangan, atau gabut di Braga City Walk. Kadang-kadang, saya jalan sedikit ke Jalan Asia Afrika dan setiap kali di sana, saya selalu mengagumi dua hotel yang sebetulnya sejak SMP sudah saya sukai, Savoy Homann dan Grand Hotel Preanger. Sebetulnya, saya pernah ke kedua hotel itu dulu, tapi hanya sebatas datang dan pulang lagi karena nyamper ayah saya yang memang lagi ada urusan kerjaan atau rapat. Nah, bertahun-tahun kemudian, puji Tuhan saya bisa menginap di kedua hotel tersebut. Review untuk Savoy Homann sudah bisa dibaca di blog. Nah, untuk Grand Preanger, saya baru bisa tulis sekarang. Padahal, nginepnya itu bulan Agustus 2019. Telat banget, ya. But better late than never, ‘kan?

Bangunan tower Grand Hotel Preanger

Grand Hotel Preanger adalah akomodasi bersejarah yang berlokasi di Jalan Asia Afrika No. 81, Bandung. Hotel ini juga dikenal dengan nama Prama Grand Preanger, tapi kalau saya sebagai urang Bandung sih (dan para urang Bandung lainnya) biasanya menyebut hotel ini sebagai Hotel Preanger atau Grand Preanger. Seperti halnya Savoy Homann, Grand Preanger adalah hotel historis yang sudah berdiri sejak era kolonial. Informasi dari Wikipedia dan situs resmi Grand Hotel Preanger menyebutkan bahwa hotel ini sudah berdiri sejak tahun 1897.

Nah, sebelum beroperasi sebagai hotel, bangunan Grand Preanger Bandung ternyata merupakan sebuah toko swalayan. Namun, informasi dari Travel Kompas menyebutkan bahwa bangunan sempat digunakan sebagai toko roti. Hmm… Jadi sebetulnya, toko swalayan apa toko roti? Atau toko swalayan mencakup toko roti? Toko tersebut sudah ada sejak tahun 1884 dan melayani para pemilik perkebunan yang sering turun ke kota. Ketika toko bangkrut, bangunannya dibeli oleh orang Belanda bernama W.H.C. van Deeterkom dan dijadikan hotel bernama Hotel Preanger di tahun 1897, seperti yang saya sebut di paragraf sebelumnya.

Informasi baru yang saya baru tahu lagi (duh, ribet banget ngomongnya) adalah ternyata, seperti Savoy Homann, bangunan Hotel Preanger sebelumnya tidak mengusung gaya Art Deco seperti sekarang. Bangunan mengusung gaya Indische Empire khas rumah-rumah gedongan milik orang Belanda pada era kolonial. Desain ini mengingatkan saya dengan sebuah rumah jadul di Kuningan, kampung halaman ayah saya. Saya nggak tahu kabar rumah itu seperti apa sekarang, tapi dulu sih konon berhantu. Bangunan hotel kemudian direnovasi dan mengusung gaya Art Deco di tahun 1929 oleh C. P. Wolff Schoemaker, dibantu oleh presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno. Oh, ya! Schoemaker juga meninggalkan banyak jejak di Kota Kembang. Salah satunya adalah Villa Isola, bangunan historis di kompleks Universitas Pendidikan Indonesia (kampus aku lho itu!). Tiap hari saya lihat bangunan itu dan nggak pernah bosan lihatnya (kalau bergidik karena ngeri sih, pernah). Duh! Ngomongin sejarah tuh nggak ada habisnya dan selalu seru!

Hotel Preanger era 1910-1930an. Foto milik Tropenmuseum.

Jujur, saya agak bingung dengan informasi yang cukup simpang siur mengenai kelas hotel. Kalau melihat di Agoda, Grand Hotel Preanger menyandang gelar hotel bintang 5. Ada beberapa informasi yang menyebutkan bahwa Preanger merupakan akomodasi bintang 4. Namun, waktu saya dan Pak Suneo ngobrol langsung dengan Teh Yayu, guest relation officer, kami dikasih tahu bahwa hotel menyandang predikat akomodasi bintang 5. Nah, kalau sudah dengar dari orang hotelnya sih, lebih yakin ya.

Tripadvisor menyebutkan ada 188 kamar di hotel bersejarah di Bandung ini. Kalau saya lihat di situs resminya, ada 8 tipe kamar yang tersedia: Deluxe, Executive, Naripan Wing 1 Bed, Malabar Suite, Priangan Suite, Naripan Wing 2 Bed, Pandawa Suite, dan Presidential Suite. Dulu, saya sempat mengira kalau hotel ini nggak begitu besar karena waktu saya kecil, yang saya anggap hotel itu hanya sayap depan yang berada di Jalan Asia Afrika (bangunan Art Deco), tapi ternyata, dang! It’s humongous! Untuk fasilitas, Grand Preanger Bandung punya kolam renang, gym, restoran, bar, ballroom, meeting room, spa, business center, dan museum. Ya! Museum! Waktu saya tahu bahwa di hotel ini ada museum, saya excited banget. Meskipun ukurannya nggak besar, tapi saya senang bisa menyelami waktu dan melihat berbagai koleksi yang ada di sana.

Waktu menginap, saya menempati kamar tipe Deluxe. Kamar tipe ini lokasinya ada di tower hotel. Untuk kunjungan berikutnya, saya ingin coba kamar-kamar yang ada di wing lama. Nah, karena segmen awal ini sudah terlanjur panjang banget, langsung saja baca ulasan lengkapnya di segmen berikutnya, ya!

Desain Kamar

Tipe Deluxe merupakan tipe kamar terkecil di Grand Hotel Preanger. Dilansir dari situs resminya, tipe ini memiliki luas 32 meter persegi. Luasnya kurang lebih sama dengan luas tipe Business di Aryaduta Bandung dan tipe Deluxe di Sheraton Bandung. Kamar-kamar tipe Deluxe menempati tower hotel dan yang suka adalah lift yang digunakan merupakan lift panoramik dengan pemandangan ke arah utara. I have a soft spot for panoramic lifts!

Interior kamar mengusung desain kontemporer yang menurut saya cukup khas di era tahun 90an akhir dan 2000an awal. Dated, memang, tapi khas dan punya charm-nya tersendiri. Saya pernah ke beberapa hotel yang mengusung desain seperti itu (saya menyebutnya desain paling modern “pada zamannya”), termasuk Hotel Harbour Bay Amir dan Nagoya Plaza di Batam. Desainnya tipikal hotel-hotel mewah di era tahun segitu lah bisa dibilang. Menurut informasi dari setiapgedung.web.id, Grand Hotel Preanger direnovasi besar-besaran di 1987 dan beroperasi penuh di tahun 1990. Renovasi ini mencakup adanya tower sebagai ekspansi bangunan. Kalau melihat dari tahunnya, nggak heran sih interiornya seperti apa yang ada di kamar.

Ruang seluas 32 meter persegi memang terasa luas. Ukuran furnitur yang relatif besar berhasil menyeimbangkan kekosongan di ruangan. Hasilnya, ruangan terasa lived in, tanpa terkesan kosong banget atau penuh banget. Warna-warna earthy mendominasi interior dan sebagai colour pop, digunakan warna merah “lipen emak-emak” pada coverlet dan throw pillow. Sementara itu, karpet berwarna biru kehijauan (turquoise tua) memberikan kesan sejuk yang diseimbangkan oleh pencahayaan berwarna hangat. Tempat tidur terasa mendominasi ruangan dengan penggunaan headboard besar dengan desain polos. Oh! Ini saya wajib kasih tahu PAKE banget. Di kamar ada guling! Sejauh ini, saya jaraaaaaang banget nemu hotel yang menyediakan bantal guling, dan tidur pake guling itu nyaman sekaligus nostalgic banget! Waktu kecil, saya kalau tidur harus ada guling. Tidur tanpa guling itu rasanya seperti lebaran tanpa ketupat. Kata Bunda Inul sih, “Kurang enak kurang sedap.”

Yang unik lagi adalah alih-alih menggunakan tirai atau gorden, jendela dipasangi semacam double sliding panel dengan motif batik. Saat dibuka, kamar serasa punya balkon tertutup yang menawarkan pemandangan Jalan Asia Afrika atau Bandung sisi utara. Kebetulan, saya dapat kamar dengan view Jalan Asia Afrika. Nggak begitu jelas sih karena kamar berada di lantai 6, tetapi ya mending lah daripada nggak ada view sama sekali. Kelengkapan kamar mencakup televisi, AC, WiFi, coffee/tea maker, dan electronic safe. Oh, ya! Di end table samping tempat tidur, terpasang panel kendali untuk televisi, musik, dan pencahayaan. Ini fitur lawas banget yang biasanya ditemukan di hotel-hotel era tahun 80-90an.

Kelengkapan ruangan berfungsi dengan baik. Televisi menawarkan channel yang cukup beragam. Jaringan WiFi juga lancar dengan kecepatan yang decent. Overall, tidak ada keluhan untuk kedua hal tersebut.

Kamar Mandi

Kamar mandi untuk tipe Deluxe di Grand Preanger Bandung menurut saya tidak semewah interior area utama kamar. Ukurannya memang cukup luas dan well-lit. Seperti yang kalian tahu kalau sudah baca-baca tulisan saya sebelumnya, saya paling nggak suka kamar mandi yang suasananya redup dan gelap. Mandinya kayak nggak nyaman dan ngeri aja jatuhnya. Namun, dari aspek desain, kamar mandinya biasa saja.

Interior kamar mandi didominasi ubin berwarna abu-abu muda dengan pencahayaan berwarna putih yang membuat kamar mandi terasa luas dan terang. Hanya saja, ya itu tadi, dari segi desain sih biasa saja. Bahkan, penggunaan pintu geser berbahan aluminium ke shower area membuat kamar mandi terasa… apa ya. Jatuhnya menurut saya sih mirip kamar mandi dan toilet kolam renang umum. Jujur saja hal ini cukup disayangkan, mengingat interior area utama kamar sudah cukup elegan.

Ada split level sebelum masuk ke area shower. Area ini berada lebih rendah dari area kamar mandi yang lain sehingga air nggak akan meleber ke seluruh kamar mandi (adanya pintu geser juga membantu menahan air). Sayangnya, dibutuhkan waktu agak lama hingga air terbuang ke saluran drainase. Walhasil, air jadi menggenang dan membuat semacam kolam. Di area shower juga hanya tersedia satu shower, dan itu pun fixed shower yang dipasang di dinding. Nggak ada shower tangan maupun rainshower. Namun, keluaran airnya kencang. Jadi, cukup nyaman buat dipakai pijat bahu atau leher.

Kelengkapan kamar mandi mencakup hair dryer, sampo, sabun, kondisioner, dan beberapa produk kebersihan pribadi lainnya. Sayangnya, saya nggak menemukan body lotion dan korek kuping (mungkin ini harus minta ke housekeeping). Ah! Untuk kondisioner, saya merasa aromanya aneh. Baunya mirip rumput kalau menurut saya.

Fasilitas Umum

Brasserie Restaurant

Berada di lantai lobi, Brasserie Restaurant merupakan restoran utama Grand Hotel Preanger. Areanya cukup luas, mencakup semi-outdoor seating area dengan pemandangan taman dan kolam renang. Untuk indoor seating area sendiri, sentuhan Art Deco mendominasi restoran. Area teras juga sering kali digunakan untuk event.

Ada satu hal yang menarik perhatian saya. Di salah satu sisi restoran, terdapat area dengan dinding berpanel kayu berwarna mahogany dengan corak kemerahan. Panel ini dipercantik dengan lis-lis logam berwarna perak, serta dekorasi berbentuk lingkaran yang menyerupai kaca jendela kapal laut. Seketika, saya langsung ingat Observation Bar di Queen Mary Hotel, hotel yang menempati RMS Queen Mary, kapal pesiar buatan tahun 1930 yang dimiliki oleh Cunard-White Star Line. Something rings the bell? Ya, White Star Line adalah firma perkapalan yang memiliki Titanic, kapal mewah terkenal era Victorian yang tenggelam di tahun 1912. Observation Bar di Queen Mary Hotel pun mengusung desain Art Deco untuk interiornya dan tampil cantik dalam balutan panel kayu berwarna cokelat gelap yang memikat. Ya, mirip dengan salah satu sudut yang ada di Brasserie Resturant Grand Preanger. Saya juga jadi ingat interior restoran kapal yang menjadi salah satu setting film komedi keluarga tahun 1998 yang dibintangi Lindsay Lohan, The Parent Trap.

Di dekat pintu masuk menuju restoran (dari arah lift), ada area dengan skylight pada bagian atasnya. Skylight pendek ini dipercantik oleh kaca patri yang membentuk motif bunga dengan warna hijau dan merah muda. Saya langsung ingat dome yang menghiasi area lobi Mercure Jakarta Kota. Hanya saja, skylight di Brasserie Restaurant tidak berbentuk kubah.

Banyaknya kursi dan meja yang tersedia, termasuk area tambahan di teras membuat restoran ini bisa menampung cukup banyak tamu. Saat sarapan pun, saya nggak kesulitan mencari meja kosong. Hanya saja, staf restoran kurang cepat mengisi ulang station yang kosong. Untuk beberapa station, saya harus menunggu agak lama sebelum masakan kembali dihidangkan. Namun, pilihan menu yang tersedia sudah variatif. Untuk menemani sarapan, ada grup musik yang memainkan musik tradisional Sunda secara live. Alih-alih terasa seperti di kondangan, atmosfer restoran pada jam sarapan terasa seperti restoran Sunda mewah.

Kolam Renang & Gym

Kolam renang dan gym menjadi fasilitas hiburan dan kesehatan di Grand Hotel Preanger. Untuk mengakses kolam renang, kita tinggal keluar melalui pintu yang ada di dekat lobi. Di dekat kolam renang, ada taman dan area berumput yang cukup luas. Saya suka area tersebut. Di sore hari area ini cocok dimanfaatkan untuk bersantai dan main, terlebih karena sinar matahari terhalangi oleh tower hotel.

Kolam renang di Grand Preanger berbentuk persegi panjang yang memanjang dari barat ke timur. Di sisi barat, terdapat kolam anak berbentuk lingkaran. Area shower juga berada di sisi ini. Kursi malas dan meja dinaungi oleh parasol sehingga para tamu nggak perlu takut terkena paparan cahaya matahari secara langsung. Dari segi ukuran, saya rasa kolam renang di hotel ini sudah cukup besar, terutama dengan dimensinya yang memanjang (meskipun tidak sampai seukuran olimpik). Di dekat kolam anak, ada papan peringatan yang menampilkan aturan dan regulasi penggunaan kolam renang. Uniknya, teks judul dan informasi jam operasional dicetak dalam font Art Deco (kalau di komputer saya, fonnya semacam Caviar Dreams). Di area kolam, saya nggak menemukan jacuzzi. Bahkan waktu masuk ke gym pun, saya nggak melihat ada jacuzzi. Seandainya ada, akan jadi fasilitas tambahan yang seru.

Di sisi barat, terdapat bangunan yang menjadi area gym dan spa hotel. Waktu saya baca informasi di situs resmi hotel, fitness centre menempati lantai 3. Nah, waktu saya menginap, gym masih berada satu lantai dengan kolam renang dengan luas yang terbatas. Sepertinya, gym sudah pindah ke lokasi barunya dan kalau lihat di foto yang ada di situs resmi hotel, kelihatannya area gym jadi lebih luas. Kalau memang gym betul sudah pindah ke lokasi baru, informasi dari saya ini berarti obsolete karena membahas gym di lokasi lamanya. Namun, saya akan tetap cantumkan untuk memberikan gambaran (setidaknya kondisi pada masa sebelum gym dipindahkan). Untuk mengakses gym, kita harus melewati lorong di area spa.

Dari segi ruang, gym hotel memiliki luas yang terbatas. Cermin-cermin berukuran full-height dipasang di dinding ruangan untuk memberikan kesan luas. Sayangnya, penggunaan warna biru tua pada dinding memberikan kesan gelap yang justru membuat ruangan tetap terasa sempit. Untuk peralatan, kelengkapannya sih sudah cukup baik. Saya sendiri saat menginap tidak sempat menggunakan fasilitas ini karena keterbatasan waktu (udah ada janji makan malam bareng si Alifa). Alat-alat gym yang ada pun tidak terlihat obsolete dari segi desain (saya kurang yakin kalau dari aspek sistem atau komputernya). Gym juga mencakup area loker, toilet, dan kamar mandi. Lokernya mirip dengan loker di SMA saya dulu. He he he.

Lounge

Lounge di Grand Hotel Preanger berada di sisi timur dan menampilkan pemandangan persimpanan Jalan Tamblong dan Jalan Asia Afrika. Dari segi ukuran, area lounge memang nggak begitu besar, tapi tidak sempit juga. Di sini juga ada stage untuk penampilan musik. Oh, ya! Saat check-in, saya dikasih tahu bahwa ada welcome drink yang bisa dinikmati di lounge. Ternyata, welcome drink itu berupa minuman secang. Enak banget dan menyegarkan! Rasanya mirip apa ya? Hmm… Saya pikir rasanya mirip minuman jahe merah.

Interior lounge mengingatkan saya dengan bar atau lounge hotel mewah di era tahun 80-90an. Di malam hari, saya mendapatkan vibe acara-acara musik nostalgia di lounge ini. Sofa dan kursi berbahan kulit dengan warna hitam dan beige tersebar di beberapa titik. Di sisi selatan lounge, ada meja dengan bar stool yang ditempatkan di dekat jendela dan menawarkan pemandangan persimpangan Jalan Tamblong dan Jalan Asia Afrika. Saya sama Pak Suneo nongkrong di sini sambil menghabiskan minuman secang dan ngebahas nanti malam mau makan apa sama si Alifa.

Lounge di Grand Preanger juga memiliki toko wine yang menjual beragam pilihan anggur. Beberapa pilihan juga dipajang di dalam lounge (di luar ruangan toko) untuk menarik perhatian pengunjung. Untuk stage, setelah dipikir-pikir lagi, area penampil nggak begitu luas. Ditambah lagi, stage tidak berbentuk platform yang lebih tinggi dari lantai. Grand piano Yamaha ditempatkan di area ini. Seperti biasa, kalau ada grand piano, saya suka ikut main. Kondisi piano baik dan well-tuned. Untuk sore itu, saya putuskan untuk mainkan lagu A Whole New World, lagu tema film animasi Disney, Aladdin.

Museum

Fasilitas terakhir yang saya kunjungi di Grand Hotel Preanger adalah museumnya. Museum ini bisa dikunjungi secara gratis dan bisa diakses dari tangga ke lantai dasar kalau dari lobi. Museum ini sendiri berlokasi di sayap depan hotel, gedung dengan eksterior bergaya Art Deco. Seingat saya, dulu juga di sini tuh ada kafe, tapi sepertinya tutup atau justru dipindahkan jadi lounge.

Lorong-lorong di luar area museum menonjolkan desain Art Deco yang lebih kental. Eksplorasi ke area ini rasanya seperti main ke Museum Konferensi Asia Afrika karena beberapa area di sana pun mengusung desain serupa, terutama di hall utama. Ada juga lift antik dengan pintu geser yang mengingatkan saya dengan gerbang-gerbang besi di kelas tiga RMS Titanic (maksudnya, bagian dalam liftnya sih cantik dan antik, tapi pintunya ya pintu geser besi). Soal jumlah, memang tidak banyak koleksi yang ada di museum ini. Namun, untuk ukuran museum hotel sih, segini sudah cukup. After all, adanya museum saja sudah jadi nilai tambah yang signifikan lho buat Grand Hotel Preanger.

Di museum, terdapat barang-barang seperti kamera video (atau pemutar video, ya?), furnitur antik yang diduduki figur bersejarah, foto-foto lama, mesin tik, dan barang-barang dari era lawas. Di salah satu sudut museum, terdapat poster Charlie Chaplin, aktor komedi asal Inggris yang terkenal dengan silent film-nya. Buat yang inget, di akhir tahun 90an dan awal tahun 2000an, ada acara komedi Spontan yang ditayangkan di SCTV. Nah, di acara tersebut, ada satu sketsa atau segmen yang menampilkan karakter Den Bagus, versi Indonesia dari Charlie Chaplin. Entah kenapa, saya sampai sekarang masih takut lihat dua-duanya.

Lokasi

Berada di pusat kota Bandung membuat Grand Hotel Preanger jadi salah satu properti yang strategis. Soal kebutuhan, ada banyak tempat yang bisa dikunjungi dengan berjalan kaki, terutama tempat-tempat bersejarah dan wisata. Titik 0 KM Bandung jaraknya paling cuman 1-2 menit dari hotel. Museum Konferensi Asia Afrika bisa ditempuh dengan jalan kaki selama 3 menit. Alun-Alun Bandung, Masjid Raya Bandung, dan Jalan Braga jaraknya sekitar 7-10 menit dari hotel. Untuk urusan makan, sebetulnya ada banyak restoran dan kafe yang bisa ditemui di kawasan Jalan Braga dan Alun-Alun Bandung. Kadang-kadang, di area Cikapundung juga suka diadakan pasar malam, festival, atau semacamnya. Starbucks juga dekat kok dari hotelβ€”sekitar 3 menit dan letaknya pun berseberangan dengan Museum Konferensi Asia Afrika.

Pada jam-jam tertentu, kawasan Jalan Asia Afrika sering macet, terutama ke arah barat (titik kemacetan mulai terasa di depan De Vries dan Alun-Alun). Namun, kalau di depan Grand Preanger sendiri, lalu lintas biasanya masih lancar. Dari Stasiun Bandung, hotel ini berjarak kurang lebih 15 menit dengan kendaraan bermotor (paling titik padat ada di Jalan Kebonjati, dekat Stasiun Hall dan belokan ke Pasar Baru). Kalau dari Bandara Internasional Husein Sastranegara, hotel ini bisa ditempuh dalam waktu sekitar 20-25 menit, tergantung kondisi lalu lintas.

Pelayanan

Segmen ini memuat pendapat saya mengenai pelayanan yang diberikan pihak hotel. Apa yang saya tulis bersifat subjektif dan bukan merupakan informasi umum, dan lebih merupakan pendapat pribadi. Experience yang saya alami bisa jadi berbeda dari apa yang orang lain alami. Tulisan dalam segmen ini tidak ditujukan untuk menjelek-jelekkan atau menurunkan reputasi hotel. Jika informasi yang saya tulis bersifat positif, semoga manajemen hotel bisa tetap menjaga kualitas layanannya. Jika bernada negatif, semoga bisa menjadi bahan perbaikan bagi pihak hotel. 

Selama menginap, hampir tidak ada masalah yang saya alami. Hanya saja, proses check-in terasa lama. Sebetulnya, bukan lama pada saat check-in, tapi lama nunggu antreannya. Si Suneo sempat marah karena yang harusnya kita giliran check-in, tapi justru orang lain yang dikasih giliran duluan. Padahal, kita sudah datang dan ngantri lebih awal. Untungnya, proses check-in nggak bertele-tele dan relatif cepat. Kebayang kalau prosesnya lama. Sudah giliran kita disela orang lain, harus melewati proses check-in yang tedious. Saya juga bakalan marah banget sih.

Di Grand Hotel Preanger, saya juga sempat ngobrol dengan Teh Yayu, guest relation officer. Kami ngobrol soal properti dan segala macam. Saya juga baru tahu kalau di hotel ada museum pas ngobrol itu. Kalau ngobrol sama orang hotelnya langsung, rasanya lebih puas sih cari tahu tentang properti.

Untuk pelayanan di restoran, yang saya sayangkan adalah lamanya makanan di-refill dari kitchen. Ketika sudah pada kosong, tray nggak cepat diisi lagi, padahal waktu itu masih cukup pagi (sekitar jam setengah 9). Waktu saya udah duduk dan makan, baru deh tray diisi lagi makanan. Kalau udah mager ‘kan, malah jadi malas buat ke buffet lagi. Namun, soal kebersihan meja sih, saya rasa staf cukup gesit membersihkan meja-meja yang berantakan. Ditambah lagi, meja yang tersedia cukup banyak. Jadi, tamu punya banyak pilihan tempat untuk duduk.

Kesimpulan

Bucat bisul. Itu istilah untuk sesuatu yang dinanti-nanti dan akhirnya terjadi (biasanya sesuatu yang positif). Waktu masih kecil, saya pengen banget nyoba nginep di Grand Hotel Preanger dan akhirnya harapan saya bisa terlaksana. Meskipun Preanger yang dulu bukanlah yang sekarang (terutama dengan banyaknya perubahan di sana sini), vibe tempo doeloe masih tetap terasa dan desain sebagian besar area hotel masih dipertahankan.

Area lobi hotel

Untuk ukuran properti bintang lima dan bersejarah, hotel ini menawarkan fasilitas yang mumpuni. Kolam renang, gym, spa, ballroom, restoran, lounge, dan museumβ€”ini sudah lumayan. Yang paling saya suka dari properti ini adalah kehadiran museum sebagai fasilitas edukatif untuk para tamu. Correct me if I’m wrong, tapi sejauh ini di Bandung, baru Grand Hotel Preanger yang menghadirkan museum di dalam hotel.

Interior kamar tipe Deluxe mengusung desain yang lebih baru dibandingkan tipe-tipe di wing lama (meskipun beberapa tipe sudah direnovasi dan menghadirkan desain yang lebih baru juga). Penggunaan sliding panel sebagai pengganti tirai jadi salah satu keunikan tipe tersebut, terlebih dengan adanya railing yang membuat kamar bisa disulap menjadi enclosed balcony saat panel dibuka. Teknologi “lawas” berupa panel kendali di end table samping tempat tidur pun masih dipertahankan di kamar. Buat sebagian orang, panel seperti ini mungkin agak gimana, tapi buat saya, justru itu unik karena hotel-hotel lawas (terutama yang heyday-nya di era tahun 80-90an) itu punya charm-nya tersendiri. Sayangnya, desain kamar mandi terasa “B aja” dan bahkan, memberikan vibe area kamar mandi/bilas kolam renang umum, I would say.

Dilansir dari situs resmi hotel, rate yang ditawarkan mulai dari 478 ribuan per malam (belum nett ini kemungkinan). Namun, rate segitu untuk hotel bintang lima dan bersejarah sih saya rasa masih terjangkau. Ditambah lagi, lokasinya dekat ke mana-mana dan fasilitasnya cukup lengkap. Kalau cari akomodasi bintang lima di pusat Bandung, secara spesifik di kawasan Asia Afrika, Grand Hotel Preanger layak dipertimbangkan. Nilai historis hotel dan berbagai fasilitas yang ada, termasuk museum, menjadi keunggulan hotel yang menjadi saksi beberapa momen penting bagi bangsa Indonesia.

Pros & Cons

πŸ‘πŸ» Pros

  • Nilai historis hotel ini jadi keunggulan tersendiri. Well, nggak semua hotel menyimpan nilai sejarah.
  • Adanya museum menjadi nilai tambah buat properti ini.
  • Untuk hotel bintang lima, rate yang ditawarkan masih terjangkau.
  • Lokasinya prima. Ke mana-mana deket dan bisa dengan jalan kaki (terutama kawasan wisata Alun-Alun Bandung dan Jalan Braga).
  • Ada guling di kamar!
  • Hotel ini jadi salah satu ikon Bandung, terutama dari aspek arsitektur karena menonjolkan pesona Art Deco dari era 1920an.
  • Fasilitas yang tersedia cukup lengkap.

πŸ‘ŽπŸ» Cons

  • Desain interior kamar mungkin terlalu dated buat sebagian orang.
  • Interior kamar mandi tipe Deluxe “B” aja. Nothing special.
  • Saya kurang puas dengan proses check-in yang bikin giliran saya dilewat orang lain terus. Padahal, saya udah datang dan antre lebih awal (ini semoga nggak terjadi ke kalian).
  • Makanan di buffet sarapan lama di-refill-nya (semoga nggak terjadi lagi).
  • Kondisionernya kok aneh sih baunya?

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌βšͺ️
Desain: πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†βšͺ️
Lokasi: 🀩🀩🀩🀩🀩
Harga: πŸ’°πŸ’°πŸ’°

Review: Art Deco Luxury Hotel & Residence Bandung

Lagi-lagi hiatus. Jujur kadang saya sedih ketika sadar bahwa blog ini mulai terbengkalai. Sebenarnya, mau gimana lagi. Tanggung jawab pekerjaan memang nggak bisa dilepas begitu aja. No pain no gain. Nggak kerja, nggak dapet duit. Padahal, utang review masih banyak sebetulnya. Ada beberapa hotel yang sudah dikunjungi dan tinggal diulas. Hanya waktunya saja sih yang belum ada.

But anyway, saya lagi ada waktu luang setelah beresin kerjaan. Nah, momen ini akan saya manfaatin untuk mengulas hotel yang satu ini. Sebetulnya, saya kunjungi hotel ini udah cukup lama, tapi baru sempat sekarang nih nulis review-nya. Ada cerita unik sebetulnya tentang hotel ini. Jadi, waktu itu saya lagi iseng-iseng cek Agoda. As usual, saya sering iseng cek Agoda, Traveloka, Marriott Bonvoy, IHG, dan situs-situs booking lainnya dengan harapan dapet diskon atau deal asyik. Nah, waktu lagi cek, tiba-tiba hotel ini muncul di list. Yang bikin saya excited adalah diskonnya cukup menarik. Di Agoda sendiri, rate hotel ini cukup tinggi. Karena diskonnya cukup besar dan reservasinya sudah mencakup breakfast, akhirnya saya putuskan buat book hotel ini sekalian review.

Screen Shot 2019-12-04 at 10.57.04 PM
Fasad Art Deco Luxury & Residence Bandung. Foto milik pihak manajemen hotel.

Art Deco Luxury & Residence Bandung berlokasi di Jl. Rancabentang No. 2, Bandung. Dari segi lokasi, hotel ini dekat banget dengan Universitas Katolik Parahyangan. Namun, yang jadi fokus saya sebetulnya bukan jaraknya dari kawasan UNPAR, tapi lingkungannya yang asri dan rimbun. Menurut saya secara pribadi sih Art Deco Luxury ini salah satu hotel di Bandung yang menawarkan view alam terbaik, tapi juga akses yang lebih dekat ke pusat kota. Karena dikelilingi banyak pepohonan, gedungnya yang bergaya modern klasik ini tampak mencolok, apalagi dengan tinggi 9 lantai dan dominasi warna putih.

Ada 65 kamar di hotel ini. Mengusung nama “art deco”, ekspektasi saya sebetulnya cukup besar karena saya ingin tahu seberapa art deco sih hotel ini. Saya sampai ngontak kakak saya yang arsitek buat minta konfirmasi. Sebelum datang, saya hanya lihat kamarnya dari foto-foto di internet dan jujur, saya suka dengan desainnya. Sepintas saya ingat dengan kamar saya di Four Seasons Jakarta dulu. Oh, ya! Semua kamar yang ada terbagi ke dalam empat tipe, yaitu Deluxe, Premier, Corner Suite, dan Jacuzzi Suite. Untuk tipe yang terakhir, ada jacuzzi di balkonnya. Next time mungkin saya coba deh book tipe kamar itu (masalahnya, rate-nya lumayan mahal sih). Untuk fasilitas sendiri, ada gym, restoran, rooftop pool, whirlpool, spa, dan meeting room. Untuk hotel bintang empat, fasilitas segitu sudah terbilang lengkap lah.

Waktu berkunjung, saya pesan kamar tipe Deluxe. Saya dapat kamar dengan twin bed. Sebetulnya, kalau bisa dapat yang king bed sih sepertinya enak buat guling-guling di atas kasur, walaupun saya sebetulnya kalau tidur nggak motah. Untuk ulasan lengkapnya, bisa baca segmen berikutnya, ya!

Desain Kamar

Kalau melihat dari namanya, ekspektasi saya dari Art Deco Luxury & Residence Bandung ini adalah kamar-kamar bergaya art deco. Sebetulnya, ada beberapa elemen interior, tidak hanya kamar tapi juga area publik lainnya yang mencerminkan gaya ini (dan sudah dikonfirmasi sama kakak saya. Xiexie, Bang Michan). Untuk kamar sendiri, dengan luas 28 meter persegi, saya merasa kamar sudah terasa cukup luas. Interior kamar sendiri buat saya lebih ke arah gaya modern classic. Penggunaan panel kayu saja sebetulnya tidak lantas membuat interior kamar bergaya art deco. Namun, headboard tempat tidur punya bentuk yang hampir menyerupai clamshell, dan buat saya sih  headboard berbentuk clamshell cukup art deco. Seandainya motifnya adalah garis-garis vertikal, dan bukan quilted, saya rasa kesan art deco-nya akan makin kentara.

IMG_20190719_153600_BURST1
IMG_20190719_153648
IMG_20190719_153707

Terlepas dari seberapa art deco-nya interior kamar, satu hal yang berani saya bilang adalah suasana kamar terasa elegan. Pemilihan warna gading yang dipadukan beberapa shades cokelat bikin kamar terlihat mewah. Pencahayaan ruangan memang cenderung redup, tapi saya rasa cocok sih kalau niatnya datang untuk istirahat. Saat menginap, saya hampir nggak pergi ke mana-mana lagi (kecuali sekitar jam 9an untuk makan malam, dan balik lagi jam 10). Jujur saya betah sebetulnya di kamar. Apalagi waktu sore-sore saat hari masih cerah. Saya senang nongkrong di balkon buat sebatas ngeteh sambil lihat kebun.

Sayangnya, personal request saya nggak terpenuhi. Saya rasa mungkin karena tingkat okupansi Art Deco Luxury & Residence Bandung pada saat itu lagi tinggi. Saya minta kamar di lantai yang lebih tinggi, tapi malah dapat kamar di lantai 2. Walhasil, pemandangan yang didapat pun kurang tinggi.

IMG_20190719_153748
IMG_20190719_153758

Untuk en suite amenities sendiri, jelas ada TV, WiFi, dan AC. Sebelumnya saya sempat bilang kalau interior kamar lebih ke arah modern classic. Saya punya alasannya. Bisa dilihat sendiri, working desk dan kursinya lebih bergaya kontemporer. Kalau gini, jatuhnya sih seperti modern meets classic, dan saya sendiri fine dengan hal itu. Hanya saja, kalau memang ingin menonjolkan “art deco”, mungkin penggunaan furnitur dengan nuansa art deco yang lebih kental akan jauh lebih bagus.

Di kamar juga ada coffee/tea maker dan electronic safe. Lemari pakaiannya sendiri cukup besar. Di dekat counter teh dan kopi, ada pintu menuju connecting room di sebelah. Nah, yang saya kurang suka adalah pemotongan panel dinding yang “maksa”. Bisa dilihat di foto sebelumnya, alih-alih memasang pintu dengan desain yang memang pintu banget (mis. pintu utama kamar), pintu menuju kamar sebelah terkesan seperti dipaksa dibuat dengan membongkar dinding yang sudah ada. Saat lihat itu, saya langsung ingat salah satu episode serial Mr. Bean. Di episode itu, si Bean mencoba menutup bukaan di dinding dengan menggambar persegi panjang pada salah satu dinding gipsum, menjebol dinding tersebut sesuai gambar, dan memasangkan si potongan persegi panjang itu ke bukaan dinding pertama.

IMG_20190719_154140
IMG_20190719_154204

Sebelumnya, saya sempat bilang bahwa interior kamar ini mengingatkan saya dengan interior kamar saya waktu menginap di Four Seasons Jakarta. Salah satu aspek pengingat yang paling menonjol adalah mural di dinding belakang tempat tidur. Di Art Deco Luxury & Residence Bandung, mural yang ada tampil dengan warna yang lebih kontras dari latar belakang. Meskipun demikian, muralnya masih berdesain floral dengan burung dan kupu-kupu. Saya juga suka dengan adanya sconce kristal di kedua sisi tempat tidur. Kehadiran sconce ini menambah kemewahan interior kamar.

Oh, ya! Saya lupa cerita lebih banyak tentang balkonnya. Saya udah bilang kalau saya menempati kamar di lantai 2. Ya, dari segi ketinggian sih masih belum cukup tinggi buat melihat pemandangan yang lebih luas. Apalagi, tepat di bawah kamar saya ada unit-unit punya residents. Nah, kalau saya perhatikan, unit-unit itu dilengkapi kolam renang kecil. Sayangnya, sebagian besar kolam renang di unit-unit itu pada nggak keurus dan dibiarin kotor. Saya sengaja nggak foto karena memang kelihatannya kurang rapi. Untuk view sendiri, saya langsung dapat view kebun. Cukup menyegarkan mata, terutama di pagi hari. Waktu bangun, hal yang pertama saya lakukan adalah buka tirai dan pintu, lalu ke balkon buat bersantai. Udara kawasan Ciumbuleuit ini masih segar banget. Dingin, tapi menyegarkan.

IMG_20190719_154059
IMG_20190719_154042
IMG_20190719_154051

Kamar Mandi

Desain kamar mandi sendiri senada dengan desain kamar. Lagi-lagi, ada satu sudut kamar mandi yang mengingatkan saya dengan kamar mandi di Four Seasons Jakarta. Di dinding belakang kloset, terpasang lukisan kecil. Kalau penasaran, bisa coba lihat di review saya sebelumnya. Nggak 100% identik, tapi mirip.

IMG_20190719_153921
IMG_20190719_153836
IMG_20190719_153853

Bentuk kamar mandinya memanjang, dengan sisi lebar yang menurut saya sih kecil. Posisi “default” tempat sampah terlalu dekat dengan kloset. Jadi, kalau mau buang air, saya harus geser dulu tempat sampahnya supaya nggak sempit. Meskipun demikian, saya suka dengan penggunaan marble wall berwarna beige yang bikin interior kamar mandi terasa mewah dan elegan. Bathroom sink-nya pun besar dengan bentuk oval.

IMG_20190719_153908
IMG_20190719_153938

Bathroom amenities-nya mencakup produk mandi, hairdryer (ada di dalam laci), dan handuk. Nggak ada vanity mirror di sini. Nah, karena ukuran kamar mandinya juga yang serba terbatas, shower area-nya bisa agak kecil. Ada fixed shower dan shower tangan di sini, dan saya lebih suka pakai shower tangannya karena bisa diatur ke semburan jet. Lumayan buat pijat bahu dan leher yang pegal. Untuk bath product sendiri, Art Deco Luxury & Residence Bandung menghadirkan produk-produk lini White River Falls dari Waterl’Eau, perusahaan asal Belgia yang sudah berkecimpung di dunia produk mandi sejak tahun 1992.

Nah, saya sempat research singkat tentang lini ini. Dilansir dari situs resminya, produk-produk dari lini White River Falls ini mengandung witch hazel sebagai bahan utamanya. Witch hazel sendiri bermanfaat menghaluskan kulit dan mencegah peradangan. Tanaman ini juga bisa membasmi jerawat, dan saya sendiri pakai toner wajah yang bahan utamanya witch hazel karena kulit saya cenderung berminyak dan gampang jerawatan. Dari segi aroma, saya suka karena nggak menyengat (kecuali body lotion-nya karena aromanya lebih intens). Sepintas aromanya mengingatkan saya sama sampo bayi Johnsons. Kalau mau mencoba mandi mewah, produk-produk ini bisa jadi andalan.

Fasilitas Umum

Restoran

Art Deco Luxury & Residence Bandung punya satu restoran di lantai rooftop. Sebenarnya, ini satu-satunya dining venue di hotel ini. Begitu keluar dari lift, saya disambut dengan satu dinding dengan mural bertema oriental dan dua buah kursi tangan bergaya Chinoiserie sebagai focal point. Untuk restorannya sendiri sebetulnya cukup besar. Ada area indoor dan outdoor. Area indoor-nya masih mengusung desain interior yang sejalan dengan interior kamar. Dan lagi-lagi, buat saya sih masih kurang art deco (kalau mengambil definisi art deco era Roaring Twenties).

IMG_20190719_170752
IMG_20190719_154903

Interior restoran tampil elegan dalam dominasi warna putih dan furnitur bergaya modern klasik dalam balutan warna krem dan emas. Ada sofa beludru berwarna royal blue sebagai colour pop di area indoor restoran. Pencahayaan didukung oleh beberapa chandelier dan sconce yang mirip dengan sconce di kamar atau koridor hotel. Penggunaan cermin di dinding membangun kesan lapang di dalam ruangan. Restoran juga terasa lapang karena banyak jendela besar yang menghadap ke arah luar. Di siang hari, jendela-jendela ini membantu banyak cahaya untuk masuk ke ruangan. Jadi, bisa mengurangi penggunaan lampu dan menghemat listrik. Di salah satu sudut restoran, ada lemari penyimpanan wine. Sabi lah kalau mau selebrasi.

IMG_20190719_155102
IMG_20190719_155009

Waktu sarapan, saya sengaja pilih tempat di area outdoor. Area ini sendiri punya kelebihdan dan kekurangan. Kelebihannya ya view yang didapatkan dan paparan udara segar yang lebih besar. Kekurangannya adalah saat angin lagi kenceng, siap-siap deh kedinginan dan tisu berterbangan. Karena bangun agak telat, saya sarapan sekitar jam setengah sepuluh. Dengan kondisi cuaca yang mendung dan angin yang kencang, lagi sarapan tuh rasanya kedinginan. Tadinya, saya mau makan di area indoor, tapi berhubung okupansi lagi ramai dan terlalu banyak orang, yang sepi dan lebih nyaman buat makan ya area outdoor ini. Tapi serius deh, view dari area ini tuh cantik banget!

IMG_20190719_155230
IMG_20190719_154955
IMG_20190719_154938
IMG_20190719_154848

Untuk menu sarapan sendiri sih, dibilang basic banget nggak. Bisa dibilang standar hotel bintang empat kali ya. Ada cake, sajian penutup mulut, salad, dan semacamnya. Waktu itu saya hampir kehabisan makanan karena bangunnya telat. Saya sarapan dengan hashbrown potato, sosis, dan tipikal makanan sarapan. Ada kopi dan teh juga tentunya. Overall sih saya nggak kecewa dengan menu sarapannya. Everything was okay.

IMG_20190720_103501
IMG_20190720_103448

Kolam Renang

Fasilitas yang satu ini sebetulnya jadi fasilitas yang pengen saya coba waktu menginap di Art Deco Luxury & Residence Bandung. Namun, karena kolam renangnya selalu ramai sama tamu, terutama anak-anak, niat berenang pun urung. Malas aja rasanya kalau berenang keganggu banyak tamu. Kan nggak enak ketika lagi mau renang satu lap, eh kehalangin anak kecil. Ditambah lagi cuaca sedang mendung. Intinya sih mager.

Terlepas dari kondisinya, kolam renang di hotel ini bisa jadi salah satu yang terbaik di Bandung, terutama dari segi view. Posisinya di rooftop berarti kolam ini punya view yang cantik. Ukurannya memanjang dan bisa dibilang cukup luas. Untuk kedalaman, seingat saya sih 1,4 meter. Cukup lah buat menyelam.

IMG_20190720_103532
IMG_20190719_154545
IMG_20190720_103842

Di sisi utara kolam renang, ada whirlpool yang ternyata laku di kalangan anak-anak. Bahkan, ban renang bentuk flamingo pun sampai dibawa ke whirlpool yang sebetulnya kedalamannya cetek. Ya, mungkin karena airnya yang hangat, anak-anak lebih betah berendem di sana daripada nyebur ke kolam renang. Duh, padahal saya tuh ingin banget berendam di sana. Ada juga beberapa gazebo dan recliners buat bersantai. Dari segi desain, area ini sebetulnya cantik sih, terutama kalau lagi sepi. Mungkin lain kali saya coba deh berendam di whirlpool itu dan semoga aja nggak ramai sama anak-anak.

Gym

Di sisi utara kolam renang, ada gym yang cukup luas. Dengan posisi di ujung bangunan, gym ini menawarkan pengalaman olahraga yang menyegarkan. View dari jendelanya keren banget dan bikin mata adem! Bisa dibilang, salah satu keunggulan Art Deco Luxury & Residence Bandung ini view yang ditawarkan, baik dari kamar maupun fasilitas hotel.

IMG_20190719_154654
IMG_20190719_154647
IMG_20190719_154704

Meskipun ruangannya luas, peralatan di gym ini bisa terbilang terbatas. Dari segi jenis peralatan sih memang variatif, tapi jumlahnya sedikit. Satu jenis alat hanya ada satu unit. Misalnya, di sini hanya ada satu treadmill dan satu stationary bike. Kalau ada beberapa tamu yang mau pakai treadmill, mau nggak mau harus gantian. Unit-unitnya sendiri cukup modern, bukan tipikal mesin obsolete. No objection sih buat gym di sini. Asyik banget rasanya lari di atas treadmill sambil ngeliat view kota Bandung.

Lokasi

Ngomongin faktor lokasi, ada nilai plus dan minus buat Art Deco Luxury & Residence Bandung. Sebetulnya sih, bukan soal plus minus, tapi lebih ke arah tujuan kunjungannya. Berdiri megah di kawasan Ciumbuleuit, hotel ini menawarkan view hutan dan perbukitan yang cantik banget. Udara di sini masih segar dan suhu udaranya masih sejuk. Pagi-pagi buka pintu balkon tuh rasanya asyik banget. Malahan, bisa meditasi kayaknya di balkon.

Selain itu, lokasinya yang tersembunyi membuat properti ini pas banget buat kalian yang ingin cari ketenangan saat berlibur. Hotel ini masih dikelilingi hutan dan pohon-pohon pinus. Ingar bingar dari Jalan Ciumbuleuit pun nggak kedengaran. Di kamar saya, misalnya, saat buka pintu ke balkon, yang saya dengar itu justru suara alam. Ada sih kedengaran suara orang ngobrol, tapi ternyata itu para staf yang lagi kerja di kebun. Sayup-sayup suara kendaraan masih terdengar, tapi nggak begitu mengganggu. Intinya sih cocok buat yang jengah sama hiruk pikuk pusat kota. Mungkin karena saya dapat kamar yang menghadap ke timur, dan bukan ke barat. Kamar-kamar di sisi barat sendiri punya jendela yang menghadap ke jalan kecil di samping hotel dan, bisa ditebak, jalan itu jadi jalur lalu lintas daerah situ.

Di sisi lain, posisinya yang remote bikin saya agak susah ke mana-mana. Sebetulnya, ada sih kayak tempat makan mahasiswa di sekitar UNPAR, tapi untuk ke sana pun kalau jalan kaki sih kurang convenient. At least, harus pakai motor biar cepat sampai. Untuk yang nggak biasa main ke daerah Ciumbuleuit, hotel ini mungkin agak susah dicari. Aksesnya bisa lewat belokan yang nggak jauh dari UNPAR sebetulnya, tapi saya justru akses hotel ini lewat atas. Kalau ingin cari properti yang punya akses lebih cepat ke pusat kota atau daerah rame-rame, sepertinya pikir-pikir lagi sebelum pilih hotel ini.

Art Deco Luxury & Residence Bandung berjarak kurang lebih 30-45 menit dari Stasiun Bandung. Jarak tempuhnya juga kurang lebih sama untuk Bandara Internasional Husein Sastranegara. Sebetulnya, tergantung kondisi lalu lintas sih. Ditambah lagi, Pertigaan Gandok itu terkenal dengan macetnya. Siap-siap aja pokoknya, tapi perjuangan mencapai hotel ini terbayar dengan sejuknya udara perbukitan dan view yang memanjakan mata.

Kesimpulan

Jewel of the forest. Coba bayangin di tengah-tengah kawasan berbukit dan banyak pepohonannya, ada bangunan hotel bergaya modern klasik yang menjulang tinggi. Art Deco Luxury & Residence Bandung menawarkan kemewahan dalam liburan di tengah suasana yang masih alami. Hotel bintang empat di Bandung ini berhasil bikin saya merasa nyaman dengan suasananya. Memang saya agak sedikit kecewa kalau bicara soal desain yang menurut saya masih kurang “art deco” but overall, saya apresiasi apa yang ditawarkan oleh hotel ini. Interior kamar terasa mewah dan elegan, terutama dengan penggunaan panel berwarna putih dan mural di dinding, termasuk sconce kristal yang cantik. Adanya balkon di unit juga jadi nilai tambah tersendiri. Waking up to the sound of nature and soft hill breeze is such a bliss.

IMG_20190719_170946
IMG_20190719_171105

Beberapa aspek di kamar memang terlihat aneh, tapi nggak sampai mengurangi kenyamanan beristirahat (pemasangan connecting door-nya itu loh). Produk mandi yang ditawarkan juga memuaskan karena bukan sebatas produk mandi standar. Hotel ini mengingatkan saya dengan Four Seasons Jakarta, tetapi dengan rate yang jauh lebih terjangkau dan jarak yang lebih dekat ke rumah saya. Fasilitas yang tersedia juga cukup lengkap. Restoran, gym, kolam renang, hot tub… Buat saya sih segitu sudah cukup.

Dengan rate mulai dari 662 ribu rupiah (berdasarkan TripAdvisor, tapi saya sendiri perhatikan di Agoda dan Traveloka, rata-rata rate jatuh di kisaran 800-900 ribuan). hotel ini terbilang reasonable untuk kemewahan dan fasilitas yang ditawarkan, meskipun memang lebih mahal kalau dibandingkan properti-properti lain di kelasnya. Ditambah lagi lingkungan sekitar hotel yang masih alami dan udara yang masih sejuk. Saya rasa properti ini cocok buat kalian yang ingin menjauh sejenak dari ingar bingar perkotaan.

Pros & Cons

Pros πŸ‘πŸ»

  • Desain interior kamar terasa elegan dan mewah. Semua kamar punya balkon, dan ini jadi daya tarik tersendiri, terutama untuk kamar-kamar di sisi timur dengan view perbukitan dan kota yang lebih cantik.
  • Rooftop pool-nya mantap abis! Ada juga whirlpool buat ngangetin badan kalau kedinginan habis berenang.
  • Gym-nya punya view yang bagus. Lari di atas treadmill sambil liat view perbukitan ‘kan menyegarkan, ya.
  • Lingkungan sekitar hotel masih cukup asri dan dikelilingi banyak pohon pinus. Cocok buat yang ingin nyari ketenangan.
  • Bath product-nya punya aroma yang unik, dan bukan tipikal bath product standar.
  • Ada beberapa unit yang punya private jacuzzi.

Cons πŸ‘ŽπŸ»

  • Mengusung nama art deco, interior kamar buat saya secara pribadi masih kurang art deco. Mungkin karena saya mengacu ke art deco dari era Roaring Twenties. Jatuhnya, interior lebih terlihat bergaya modern klasik.
  • Kamar mandi untuk tipe Deluxe bisa dibilang kecil dan sempit.
  • Lokasinya tersembunyi, cocok buat yang ingin cari ketenangan, tapi agak repot buat yang ingin akses cepat ke tempat-tempat makan atau daerah perkotaan.
  • Di kelasnya, properti ini punya rate yang relatif lebih tinggi.

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌βšͺ️
Desain: πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜Ά
Lokasi: 🀩🀩🀩😢βšͺ️
Harga: πŸ’°πŸ’°πŸ’°πŸ’°

Review: Savoy Homann Bandung

Sebelum masuk ke review, saya mau ucapkan selamat menjalankan ibadah puasa buat yang menjalani. Semoga puasanya lancar sampai beres ya! Kayaknya baru kemarin ini bulan puasa, dan sekarang udah Ramadan lagi. Time flies so fast.

Berhubung urusan terjemahan saya di lapak sebelah udah beres, saya ada waktu luang buat nulis review ini. Sebetulnya, saya harusnya mulai dari hotel-hotel yang dikunjungi jauh lebih awal karena mereka udah di waiting list selama berminggu-minggu. Maafin ya. Jadi, bulan April kemarin ini saya berkesempatan menginap di salah satu hotel bersejarah di Bandung. Selain ditempati oleh para delegasi Konferensi Asia Afrika, hotel ini juga pernah dikunjungi beberapaΒ public figure terkenal. Lokasinya di pusat kota Bandung banget dan fasadnya yang cantik bikin hotel ikonik ini dikenal oleh, umh, mungkin sekitar 90% warga Bandung.

hotel-bidakara-grand
Fasad Hotel Savoy Homann. Foto milik pihak manjemen hotel.

Hotel Savoy Homann (dikenal juga dengan nama Savoy Homann Bidakara Bandung dan Grand Savoy Homann) adalah hotel bintang empat yang berlokasi di Jalan Asia Afrika nomor 112 Bandung. Hotel ikonik ini pertama kali dibangun pada tahun 1870an dan merupakan penginapan yang dikelola oleh keluarga Homann dari Jerman. Pada awalnya, bangunan Hotel Homann tidak sebesar sekarang (menurut Wikipedia, bangunan yang dulu mengusung gaya Gothic-Romantic).

Di tahun 1939, hotel ini mengalami renovasi besar-besaran dengan gaya streamlined moderne pada eksterior dan kolonial klasikΒ pada interiornya, tentunya masih dengan sentuhan art deco. Tulisan “SAVOY” terpampang jelas di satu menara langsing. Bangunan baru ini didesain oleh Albert Aalbers, yang mendesain gedung Bank Jabar di Jalan Braga pendek. Makanya desain kedua gedung itu mirip-mirip.

Ada 185 kamar di Hotel Savoy Homann yang terbagi ke dalam 7 tipe: Deluxe Room Tower Wing, Deluxe Room Millenium Wing, Executive Room Asia Afrika Wing, Executive Room Garden Wing, Junior Suite, Suite, dan Homann Suite. Secara keseluruhan, bangunan hotel ini bisa dibilang sangat kompleks, dengan lorong-lorong yang menurut saya sih walaupun membingungkan, setelah dipelajari baik-baik, I feel like playing hide and seek with my friends here. Kamar-kamar di Tower dan Millenium Wing tergolong cukup baru, sementara kamar-kamar di Asia Afrika Wing merupakan kamar “ori” dari jamannya, dengan pembaruan di sana-sini yang tidak merusak kecantikan asli si kamar itu. Di tambah lagi, kamar-kamar di Asia Afrika Wing punya balkon dengan pemandangan Jalan Asia Afrika.

Sebagai fasilitas penunjang, hotel ini punya tiga dining spots, kolam renang, gym, ruang bermain anak, spa, business center, dan ballroom. Dari semua fasilitas itu, saya paling suka Garden Restaurant dan Sidewalk CafΓ©-nya (kalau ini karena ada grand piano di sana). Oh ya, saat berkunjung, saya menginap di kamar Executive Room Asia Afrika Wing. Saya juga berkesempatan berkunjung ke kamar Bung Karno. Kamar ini sebetulnya Homann Suite di lantai dua yang dulu ditempati oleh Bung Karno dan ajudannya. Bodohnya adalah, saya LUPA ambil foto-foto kamarnya karena terlalu asyik ikut tur singkat bersama staf dari hotel.

tenor4
Hmm… Pikunan

Anyway, ulasan lengkap kamar saya dibahas di segmen berikutnya, ya!

Desain Kamar

Bicara soal desain, interior kamar saya nggak tampak fully art deco kalau diperhatikan lagi. Beberapa elemen art deco masih terlihat, seperti panel dinding, meja bar, dan lampu meja. Hanya saja, selebihnya saya justru lebih dapat ambiance hotel mewah tahun 80-90an, dengan furnitur yang terbilang modern untuk jamannya. Sebagian besar furnitur kamar masih asli. Sisa-sisa teknologi pada era post-renovationΒ masih bisa ditemukan di hotel, seperti main control panel untuk AC, musik, TV, dan bahkan lampu peringatan di depan pintu kamar (macam “don’t disturb” atau “make up room for me“). Sayangnya, panel itu jalan nggak jalan. Maksudnya, beberapa tombol masih berfungsi dan sisanya macam “We’re here only to support our working friends!“.

IMG_20190413_151828

IMG_20190413_151845

IMG_20190413_151910

IMG_20190413_152005

IMG_20190413_151929

IMG_20190414_124220

Untuk teknologi sendiri, TV sudah diperbarui. Kamar ini punya banyak stopkontak. Jadi, nggak ada lagi namanya rebutan colokan buat charge HP. Dengan luas 46,98 meter persegi, unit Executive Room Asia Afrika di Hotel Savoy Homann punya banyak ruang dan terasa lapang. Meskipun nggak dipisahkan dengan tembok, seating area dipisahkan oleh split level dari area tidur. Area kerja berada di pojok barat ruangan, dengan kursi dan meja menghadap ke pintu kamar. Kenapa mesti menghadap ke pintu ya? Padahal masih ada view lain yang lebih bagus menurut saya. Untuk meja bar, ini hanya dilengkapi satu kursi bar, tapi setidaknya jadi pemanis buat ruangan.

Area tidur tampil mewah dan hangat dalam balutan warna-warna earthy. Tempat tidurnya sendiri sih cukup luas. Headboard-nya tampil cantik dengan motif anak panah dan lighting yang elegan. Ada sentuhan “tribal“-nya gitu jadinya. Oh ya, kamar ini juga punya vanity table sendiri. Biasanya kan work desk sama meja rias itu menyatu, kalau ini terpisah. Posisi vanity table ada di dekat lemari pakaian yang menurut saya cukup besar, lengkap dengan bathrobe. Di dinding pemisah kamar mandi, ada lukisan abstrak dengan goresan warna merah yang tebal dan mencolok. Entah kenapa, saya merasa kurang sreg dengan lukisan itu. Tampaknya terlalu “nyolot” buat interior kamar yang elegan dan, setelah dipikir baik-baik, ke arah austere.

Mengenai balkon, pihak hotel memang mengunci pintu menuju balkon demi alasan keamanan, tapi kita bisa minta mereka buat buka pintunya. Mereka akan kasih kita kunci pintunya. Hanya saja, kita akan diminta untuk menandatangani persetujuan bahwa masalah keamanan yang bisa terjadi akibat kelalaian kita (in this case, lupa nutup pintu balkon) bukan jadi tanggung jawab pihak hotel. Jujur, saya senang main ke balkon kamar dan lihat pemandangan Jalan Asia Afrika. Saya juga banyak foto-foto di balkon sebetulnya, dan salah satu foto saya masuk ke akun Instagram resmi Hotel Savoy Homann loh!

Ini bisa jadi claim to fame saya kayaknya.

giphy
BLEH… Wow.

Setelah bicara tentang desain interior yang jadi kelebihan kamar, saya mau bicara tentang kekurangannya. Beberapa amenities perlu diganti atau diperbaiki. Misalnya, tombol “status” kamar yang terpasang di dinding dekat meja kerja rusak. Jadi, sampai check-out pun lampu “Do not disturb” masih terus nyala. Padahal, sebetulnya saya nggak lagi kerja atau tidur. AC, meskipun produk lawas, untungnya masih berfungsi dengan baik.

Tapi, bukan itu hal yang menurut saya mengganggu. Kamar ini nggak begitu sound-proofed. Memang dinding pemisah antarkamar tebal dan suara-suara dari kamar sebelah nggak terdengar. Hanya saja, dengan pintu menuju balkon suara-suara dari jalan raya bisa terdengar cukup jelas. Apalagi, di persimpangan Jalan Asia Afrika dan Jalan Braga Pendek ada lampu lalu lintas dengan alert yang cukup berisik ketika ada orang tekan tombol penyeberangan. Di siang hari, suaranya mungkin nggak begitu mengganggu dan kadang-kadang ketutupin suara lagu yang saya dengar atau TV, tapi malam-malam pada jam istirahat, suara itu bisa ganggu tidur.

Kamar Mandi

Untuk kamar mandi, unit Executive Room Asia Afrika Wing di Hotel Savoy HomannΒ dilengkapi dengan bathtub dan shower area terpisah. Di bathtub pun ada shower sih, hanya saja aliran airnya nggak sekencang di shower area. Ukuran bathtub-nya panjang, mungkin karena hotel ini dulu dibangun untuk mengakomodasi orang-orang luar yang biasanya badannya lebih jangkung. Perlengkapan lainnya adalah hair dryer yang sudah terpasang di dinding dekat wastafel.

IMG_20190413_152031

IMG_20190413_152039

IMG_20190413_152051

IMG_20190413_152103

Di atas kloset, ada jendela yang menghadap ke kamar. Untuk menjaga privasi, tetap tersedia roller shades yang bisa diturunkan supaya kamu bisa do your business tanpa diintip. Shower area-nya agak sempit dan sayangnya, pintu pembatasnya sepertinya rusak. Pintu pembatas ini mungkin awalnya terdiri atas tiga panel geser. Sayangnya, satu panel hilang. Mungkin rusak atau gimana. Walhasil, ketika mandi pun air tetap bisa keluar. Selain itu, panel pintu pembatas ini terbuat dari metal ringan yang ringkih. Kesannya cheapo, I have to say.

Untuk desain kamar mandi sendiri, secara keseluruhan sih tampak elegan dalam balutan warna beige dan putih. Pencahayannya sedikit redup, tapi nggak sampai gloomy. Overall sih nggak ada masalah signifikan dengan kamar mandi. Everything was okay.

Dining Venues
Garden Restaurant

Reservasi saya di Hotel Savoy Homann mencakup sarapan pagi. Hotel ini menggelar sarapannya di Garden Restaurant yang berada di tengah-tengah bangunan hotel. Didesain ala palm court, restoran ini tampil cantik dengan pohon-pohon palm ornamental, set meja kursi bistro,Β dan atap kanopi yang memungkinkan cahaya matahari masuk secara maksimal. Restoran terbagi menjadi dua area: palm court (ini istilah saya aja sih) dan indoor area. Untuk indoor area, furnitur yang digunakan berbeda. Gaya art deco tampil lebih dominan di sini, meskipun di palm court sendiri ada beberapa elemen yang mewakili art deco, seperti detail pada dinding dan motif di kaca jendela.

IMG_20190413_155920

IMG_20190413_155950

IMG_20190413_155845

IMG_20190413_155553

IMG_20190413_155539

Secara keseluruhan, restoran ini cukup luas. Buffet area berada di sisi selatan restoran. Adanya tiang-tiang lampu hias di sekitar palm court dan air mancur kecil bergaya birdbath membuat saya merasa seperti sedang makan di luar ruangan. Secara teknis, ya bisa dibilang begitu karena ini seperti semi-outdoor area.Β Berada di tengah-tengah hotel, restoran ini bisa dilihat jelas dari balkon-balkon di Garden Wing.

IMG_20190414_084921

IMG_20190414_084114

Bicara soal menu makanan, saya nggak ada objection. Menu sarapannya cukup beragam. Ada sushi juga, walaupun secara pribadi saya ngerasa agak aneh saat makan sushi untuk sarapan karena biasanya saya makan sushi buat makan siang atau malam. Para staf di restoran juga ramah dan helpful.

Sidewalk CafΓ©

Berlokasi di sisi timur bangunan hotel, Sidewalk CafΓ© merupakan tempat favorit saya di Hotel Savoy Homann. Kafe ini bisa diakses dari pintu kaca di sebelah area resepsionis. Menempati sisi bangunan yang melengkung, kafe ini justru mendapatkan pesonanya dari posisinya itu. Bentuk ruangannya seperti huruf L terbalik dan memanjang.

IMG_20190413_223916
Enter a caption

IMG_20190413_223927

IMG_20190413_224309

IMG_20190414_093633

Mengenai desain, interior kafe tampil cantik dengan panel dinding berwarna putih, kursi dan sofa berwarna ruby dan amethyst, dan wall lamp bergaya modern classic. Di salah satu sudut kafe juga terdapat baby grand piano yang saya mainkan. Seperti biasa, di mana ada piano, di situ saya senang. Di atas piano, ada beberapa buku lagu. Di kafe juga ada semacam stand untuk mikrofon. Jadi sepertinya, di kafe ini suka digelar live music. Sayangnya waktu saya berkunjung, kafe sedang sepi banget. Hanya ada satu staf yang bertugas di meja kasir, dan itu pun dia masuk ke dapur nggak lama setelah saya duduk di depan piano. Sepertinya dia tau kalau saya hanya datang buat main piano, dan bukan buat pesan minuman.

Batavia Bar & Lounge

Berseberangan dengan Sidewalk CafΓ©, terdapat Batavia Bar & Lounge. Dari segi desain, bar ini tampil lebih kasual. Di sini juga ada stageΒ untuk penampilan musik. Waktu saya menginap, di malam hari memang kafe ini penuh oleh para orang tua yang ngobrol sambil nyanyi diiringi keyboard.

Saya nggak masuk ke dalam bar lebih jauh, tetapi ketika mengintip, memang terlihat bahwa bar ini lebih “bright” daripada Sidewalk CafΓ©. Kursi-kursi untuk tamu ditempatkan memanjang mengikuti jendela. Dengan lantai berpola checkerboard diagonal dan pilar bergaya art deco, bar ini rasanya cocok buat dikunjungi ketika ingin merasa galau di tengah keramaian.

IMG_20190414_093404

IMG_20190414_093413

Fasilitas Lain

Selain restoran dan kafe, Hotel Savoy Homann juga dipersenjatai beberapa fasilitas lain. Untuk hiburan, kita bisa coba kolam renang yang ada di bagian belakang hotel. Area kolam renang semi-outdoor dan ukuran kolam sendiri cukup luas. Kolam anak dibatasi oleh semacam pembatas apung. Di area kolam renang juga ada gym.

IMG_20190413_160217_BURST2

IMG_20190413_160221

IMG_20190413_160412

IMG_20190413_160439

Mengenai gym hotel, areanya tidak begitu luas dan hanya dipisahkan oleh pot-pot tanaman. Saya rasa akan lebih kondusif kalau gym dibangun di ruang khusus yang lebih besar untuk berbagai alasan, termasuk kenyamanan sih. Selain itu, dari segi jenis peralatan yang ditawarkan memang variatif, tapi jumlah setiap alatnya nggak banyak. Beberapa alat juga tampak jelas obsolete. Some upgrades, maybe?

Di Hotel Savoy Homann juga ada beberapa ruang rapat dan ballroom. Saya nggak masuk untuk lihat-lihat ballroom, tapi sempat lihat koridor besar menuju ballroom. Koridor besar ini bisa diakses melalui koridor marmer menuju Garden Restaurant. Untuk anak-anak, ada ruangan khusus untuk bermain anak di lantai 1. Ruang ini bisa diakses dengan naik tangga yang ada di area lobi, lalu belok ke koridor menuju Tower atau Millenium Wing. Ruangannya sendiri cukup luas ya kalau buat ukuran badan anak-anak. Bahkan, ada papan congklak di ruangan bermain ini.

IMG_20190413_223607

IMG_20190413_155907

IMG_20190413_223756

IMG_20190413_225245

IMG_20190413_162153

Oh ya, saya sempat cerita kalau saya ikut “tur” singkat dengan staf hotel ke kamar Bung Karno. Kamar ini sebetulnya merupakan unit Homann Suite yang berada di lantai 2. Homann Suite ini tipe terbesar dan terluas di Hotel Savoy Homann. Presidential Suite-nya lah istilahnya, which makes a good pun also. Sayangnya, saya lupa buat foto-foto interiornya karena terlalu asyik dengan turnya dan justru rekam video-video untuk Instagram Story. Lain kali, saya lebih waspada deh dengan kesempatan berharga seperti itu. Jangan sampai terlewatkan lagi.

Sebagai gambaran, Homann Suite terdiri atas dua kamar tidur, dengan living dan dining area terpisah. Master bath-nya dilengkapi jacuzzi, his-and-hers bathroom sinks, dan bidet terpisah (bukan bidet yang dipasang di kloset langsung, tapi bidet yang bentuknya kloset. Coba cari sendiri di internet gambarnya). Untuk kamar mandi di kamar kedua, memang tidak selengkap master bath, tapi ya sama mewahnya. Sebelum masuk ke living area, ada reception area untuk menerima tamu. Foto Presiden Soekarno saya ambil di reception area itu.

Lokasi

Berdiri megah di Jalan Asia Afrika, Hotel Savoy Homann merupakan akomodasi yang strategis. Hotel ini berada di pusat kota Bandung dan kawasan historisnya. Di dekat hotel ada banyak tujuan wisata yang bisa dikunjungi. Kalau suka wisata museum, pastinya Museum Konferensi Asia Afrika nggak boleh sampai dilewatkan ketika nginap di hotel ini. Dari hotel, kita hanya perlu jalan kaki selama sekitar 3 menit menuju museum.

Di seberang hotel juga ada Starbucks. Jadi, kalau mau ngopi-ngopi sih gampang. Tinggal nyeberang jalan. Kawasan Alun-Alun Bandung kira-kira sekitar 10 menit jalan kaki dari hotel. Dan di kawasan ini, kita juga bisa ke Mesjid Raya Bandung, Jalan Dalem Kaum yang terkenal dengan deretan tokonya, atau Jalan Kepatihan. Kalau mau makan atau nongkrong, bisa ke Jalan Braga. Jaraknya sekitar 10-15 menit dengan jalan kaki, tergantung juga sih sama restoran yang mau ditujunya apa.

Hotel ini dari Stasiun Bandung berjarak sekitar 10-15 menit kalau pakai kendaraan, tergantung kondisi lalu lintas. Kalau dari Bandara Internasional Husein Sastranegara, jaraknya sekitar 20-30 menit pakai kendaraan roda empat.

Kesimpulan

Pengalaman menginap di Hotel Savoy HomannΒ buat saya secara pribadi sangat berkesan dan jujur, saya ingin menginap lagi di sana (mungkin nanti coba tipe kamar yang lain). Masuk ke hotel rasanya seperti mencoba membayangkan suasananya pada jaman dulu, meskipun tentunya ambiance hotel saat ini dan jaman dulu pasti beda, terutama dengan berbagai fasilitas baru dan modern yang dihadirkan.

Kamar Executive Room Asia Afrika Wing yang saya tempati menawarkan living space yang luas, bahkan lebih luas dari dugaan saya. Area tempat tidur dan seating area dipisahkan oleh split level. Interior kamar masih tampak cantik dan elegan, meskipun memang beberapa in-room amenities perlu dibenahi atau diperbaiki. Posisi kamar di sayap depan gedung dan kehadiran balkon menjadi semacam blessing and cursing. Di satu sisi, ada kesenangan sendiri bisa bersantai di balkon sambil lihat pemandangan Jalan Asia Afrika. Di sisi lain, bising dari jalanan juga bisa terdengar, terutama karena kamar nggak sound-proofed sepenuhnya.

Untuk fasilitas lain, saya rasa udah mumpuni. Garden Restaurant dengan konsep palm court-nya, Sidewalk CafΓ© dengan grand piano, atau kolam renang yang cukup luas. Hanya saja memang untuk gym, alat-alatnya perlu di-upgrade dan kalau memungkinkan sih, lokasinya dipindahkan ke tempat khusus yang lebih tertutup.

Dengan rate mulai dari 500 ribu rupiah (berdasarkan Tripadvisor), Hotel Savoy Homann layak untuk dilirik, terutama kalau kamu suka sejarah dan menginap di hotel ikonik. Kamar Bung Karno sendiri sebetulnya bisa dikunjungi kalau kita bilang ke pihak hotel. Staf hotel bisa menemani kita masuk ke sana sambil menjelaskan ini itu. Secara keseluruhan, pengalaman menginap saya positif dan ada kesenangan sendiri karena bisa menginap di salah satu hotel yang menjadi saksi sejarah Bangsa Indonesia.

Pros & Cons

πŸ‘πŸ»Β Pros

  • Hotel ini bersejarah dan ikonik! Menginap di sini bisa jadi semacam kebanggaan tersendiri. Di koridor-koridor kamar juga banyak foto-foto lama yang mengajak kita buat menyelami kembali sejarah Bangsa Indonesia.
  • Desain streamlined moderne, art deco, dan modern classic yang dihadirkan hotel ini cocok buat orang-orang yang suka desain “lawas”, in terms of time ya.
  • Untuk kamar Executive Room Asia Afrika Wing, ukurannya cukup luas, dengan seating area dan meja bar. Ada juga balkon yang menghadap ke Jalan Asia Afrika. Cocok buat nyantai sambil ngopi.
  • Lokasinya strategis buat yang suka wisata sejarah. Di sekitar hotel, ada banyak tempat bersejarah yang bisa dicapai dengan berjalan kaki, seperti Toko de Vries, Museum Konferensi Asia Afrika, Majestic, kawasan Jalan Braga, Landmark, sampai Gereja Santo Petrus (if you don’t mind walking for 15 minutes).
  • Kolam renangnya besar.
  • Hadirnya balkon di unit Executive Room Asia Afrika Wing memberikan bonus tambahan ketika lagi ada acara di kawasan Jalan Asia Afrika (mis. light festival). Tanpa harus berdesak-desakan sama orang-orang, kita bisa nonton parade dari balkon. Mantul kaka!
  • Fasilitas hotel sudah cukup lengkap. Ada gym, kolam renang, kafe, restoran, ruang bermain anak, ruang rapat, ballroom, dan lounge.
  • Untuk level hotel bersejarah, rate rata-rata yang ditawarkan sih bisa dibilang terjangkau (paling murah untuk kamar deluxe).

πŸ‘ŽπŸ»Β Cons

  • Saya rasa semua unit di Asia Afrika Wing harus mengalami apa yang saya alami: outdoor noise! Sound proofing-nya kurang menyeluruh jadi suara-suara dari luar terdengar cukup jelas, apalagi suara lampu lalu lintas di pertigaan Asia Afrika dan Braga Pendek. Menyebalkan kalau malam-malam.
  • Beberapa in-room amenities perlu diperbaiki atau diganti.
  • Pintu shower area di kamar mandi tampaknya hilang satu panel.
  • Kolam renang anak dan kolam dewasa dipisahkan oleh pemisah terapung. Ada kemungkinan anak-anak bisa “nyelam” ke area kolam dewasa.
  • Perlengkapan di gym sudah obsolete. Posisinya juga kurang “nyaman” dilihat.
Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌βšͺ️
Desain: πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†
Lokasi: 🀩🀩🀩🀩🀩
Harga: πŸ’°πŸ’°πŸ’°