Category Archives: Distinctive

Review: RedDoorz Plus near Exit Toll Pasteur 2

Di Bandung, saya sering banget nemu properti-properti RedDoorz. Di setiap kawasan, setidaknya ada satu properti RedDoorz. Bahkan, di deket kompleks rumah saya pun ada satu properti mereka. Secara pribadi, saya memang jarang menginap di properti mereka, tapi kali ini saya berkesempatan buat melewati satu malam di salah satu properti RedDoorz yang lokasinya dekat banget sama Universitas Kristen Maranatha di Bandung. Kalau mau ke kampus, beneran bisa lewat pintu belakang! Lha wong saya aja makan siang di kampus sebelum check-in. He he he.

IMG_20190816_142003

RedDoorz Plus near Exit Toll Pasteur 2 berlokasi di Jalan Sukamekar III No. 20, Bandung. Lokasinya persis bersebelahan dengan pintu belakang Universitas Kristen Maranatha. Gate ini dipakai buat akses motor atau pejalan kaki. Karena bangunannya homy banget, dulu saya mengira kalau properti ini semacam kost ekslusif. Fasadnya tampil cantik dengan dinding bata ekspos dan halaman depan yang cukup luas. Sebenarnya, properti bintang tiga ini punya namanya sendiri, yaitu Sekar Arum Butik Guesthouse, tapi karena listing yang lebih populer di Google adalah RedDoorz Plus near Exit Toll Pasteur 2, jadilah entri itu yang lebih sering muncul.

Ada 11 kamar yang ditawarkan di guest house mungil ini, tapi jangan salah! Walaupun kelihatannya kecil, kamar-kamarnya ternyata cukup luas. Desain interior menjadi daya tarik guest house ini, terutama dengan sentuhan tradisional Jawa dan permainan warna-warna earthy yang bikin nyaman saat menginap. Tipe kamarnya hanya satu dan dibedakan oleh penggunaan tempat tidur saja (double/twin). Untuk fasilitas sendiri, harus saya bilang nggak ada banyak pilihan selain public spaces dan ruang makan.

Nah, ulasan ini spesial karena saya kerja sama dengan pihak RedDoorz. Di akhir ulasan juga ada kode promo yang bisa kalian pakai saat ingin melakukan pemesanan melalui aplikasi atau situs web RedDoorz. Ulasan lengkap dan kode promonya ada di segmen berikutnya, ya!

Desain Kamar

Saat check-in di RedDoorz Plus near Exit Toll Pasteur 2, resepsionis yang bertugas menawarkan saya kamar yang mau dipilih. Karena kamar-kamar double bed tinggal di lantai bawah, akhirnya pilihan saya jatuh ke kamar nomor 1 yang posisinya tepat di samping area resepsionis (sebetulnya kamar ini disarankan karena sinyal WiFi-nya lebih kencang). Meskipun hanya punya satu tipe, ukuran kamar yang tersedia ternyata beda-beda, meskipun perbedaannya nggak begitu signifikan. Ketika saya cross-check ke Agoda, ukuran kamarnya berkisar antara 18-20 meter persegi. Saya rasa kamar saya luasnya 20 meter persegi karena cukup luas.

Interior kamar tampak hangat dengan dinding bata ekspos di salah satu sisi ruangan. Ada satu jendela kecil yang menghadap ke arah taman depan. Furnitur-furnitur kayu bergaya tradisional Jawa mendominasi ruangan. Salah satu furnitur yang menarik perhatian saya adalah cermin antik yang punya pengait pakaian. Dulu, cermin seperti ini ada di rumah nenek saya. Kesan homy langsung terasa di kamar, terutama dengan pencahayaan warna hangat dan penggunaan warna-warna earthy. Atsmofer tradisional Jawa juga tercermin dari lukisan wayang dan penggunaan kain batik.

IMG_20190816_135149

IMG_20190816_135448

IMG_20190816_135522

Fasilitas kamar mencakup televisi, AC, koneksi WiFi. Air minum dan gelas juga tersedia di kamar. Yang saya sayangkan adalah di kamar nggak ada lemari pakaian. Kalau sebatas gantungan pakaian sih ada, tapi lemari sayangnya tidak ada. Selain itu, televisi yang dipakai juga televisi tabung. Memang membangun kesan nostalgic sih, tapi layarnya kecil dan suka berisik di bagian belakang tabungnya.

Oh ya, di kamar juga ada meja belajar yang merangkap sebagai vanity table. Sayangnya di dekat meja belajar nggak ada stopkontak. Ada sebetulnya, tapi terpakai untuk televisi. Akhirnya, saya terpaksa pakai counter table di dekat kamar mandi karena ada stopkontak kosong di sana. Mungkin kalau di kamar lain, posisi stopkontaknya lebih dekat dengan meja kerja.

IMG_20190816_135549

IMG_20190816_135326

IMG_20190816_141744

Satu lagi, karena konsepnya guest house dengan pintu kamar yang masih pakai kunci biasa, kamar nggak kedap suara. Ketika ada orang lain ngobrol di luar, suaranya pasti kedengaran ke kamar. Kebetulan posisi kamar saya juga ada di bawah kamar di lantai 2, perpindahan furnitur di kamar lantai atas kedengaran. Mungkin buat yang finicky dengan hal seperti ini akan merasa terganggu. Oh ya, tepat di depan kamar saya ada tea/coffee station. Kalau mau bikin teh, saya hanya perlu keluar kamar dan bisa langsung seduh teh atau kopi buat dinikmati di kamar. Teh, kopi, dan coffee maker tidak tersedia di kamar. Jadi, kita harus bikin kopi ya di luar kamar. Kayak tidur di rumah sendiri.

Kamar Mandi

Untuk kamar mandi, desainnya terasa natural melalui penggunaan batu-batu alam di dinding dan lantai. Area shower dipisahkan dari kloset. Untuk air panas, RedDoorz Plus near Exit Toll Pasteur 2 menggunakan alat pemanas air rumahan (yang biasa dipasang di kamar mandi) sehingga volume air panas yang tersedia akan bergantung kepada air yang tersisa di tabung pemanas (dan buat manasin airnya pun cukup lama). Di sisi lain, ini ngingetin buat nggak buang-buang air sih.

Alat mandi sudah disediakan oleh RedDoorz. Ada sikat dan pasta gigi, sabun, sampo, sisir, dan handuk. Sebagai gantungan handuk, ada semacam tongkat kayu panjang yang diletakkan di dekat wastafel. Nuansa alaminya kerasa cukup kental di sini. Saya juga suka dengan penggunaan glass block sebagai akses masuk cahaya matahari dari luar. Oh ya, saya harus ingatkan ini. Kalau menginap di kamar nomor 1, siap-siap dengan split level di kamar mandi. Saya berapa kali kaget ketika masuk kamar mandi karena ada tiga split level di sini. Intinya sih watch your step.

IMG_20190816_135613

IMG_20190816_135628

IMG_20190816_141635

Fasilitas Umum

Bicara soal fasilitas, memang nggak banyak yang ditawarkan oleh RedDoorz Plus near Exit Toll Pasteur 2 atau Sekar Arum Boutique Guesthouse. Ada banyak ruang publik yang bisa dimanfaatkan untuk ngobrol atau bersantai. Di dekat resepsionis pun ada ruang keluarga dengan televisi. Di dekatnya ada meja makan untuk enam orang. Layout furnitur dan interiornya homy banget. Beneran, rasanya kayak tinggal di rumah sendiri. Ada juga dapur, tapi saya nggak ke sana karena ketika saya intip, staf guest house pada diamnya di sana. Breakfast disajikan di ruang makan, tetapi ketika tamu sedang banyak, saya rasa tamu bisa makan di ruang keluarga sambil nonton televisi, atau mungkin di teras depan. Ya, beneran deh rasanya kayak tinggal di rumah sendiri! Nyaman dan hangat!

IMG_20190816_142146

IMG_20190816_142049

IMG_20190816_142033

IMG_20190816_142317

IMG_20190816_142211

Di sisi timur ruang keluarga, ada koridor menuju kamar-kamar lainnya di lantai satu. Di depan koridor ini juga ada satu set meja dan kursi kopi bergaya antik, serta kolam ikan yang menjadi elemen air di ruang publik ini. Tangga menuju lantai dua berada tepat di depan kamar saya.

Melangkah keluar bangunan utama guesthouse, ada halaman depan yang cukup luas dan digunakan sebagai area parkir tamu. Ada ayunan di ujung teras, dan di dekatnya, ada kandang ayam hias. Staf guest house bilang bahwa pemilik memang pelihara ayam hias yang sengaja dibiarkan berkeliaran dan, uniknya, nggak kabur ke luar pagar! Oh ya, ayam-ayam ini juga kelihatannya jinak. Waktu saya dekati, dia nggak mencoba ngejar atau patuk. Such gentle chickens.

IMG_20190816_141833

IMG_20190816_141925

IMG_20190816_142003

IMG_20190816_142250

Beralih ke lantai dua, dari segi suasana nggak jauh beda dengan atmosfer di lantai satu. Furnitur-furnitur kayu antik mewarnai sudut-sudut ruangan. Ada juga tanaman hias yang bikin ruang publik terasa ijo royo-royo, dan tentunya masih dengan dinding bata ekspos yang membangun suasana hangat dan homy.

IMG_20190816_142449

IMG_20190816_142435

IMG_20190816_142518

IMG_20190816_142559

Untuk properti bintang tiga, minimnya fasilitas umum memang jadi sesuatu yang disayangkan. Informasi kelas hotel ini saya dapatkan dari halaman Tripadvisor-nya Sekar Arum Guesthouse dan halaman Agoda-nya RedDoorz Plus near Exit Toll Pasteur 2. Namun, kembali lagi sih. Dengan konsep guesthouse, saya rasa keterbatasan fasilitas mungkin terbayar oleh kenyamanan menginap dan desain interior yang Insta-worthynostalgic dan nyaman.

Lokasi

Berada di lingkungan kampus, RedDoorz Plus near Exit Toll Pasteur 2 dikelilingi banyak banget tempat makan mahasiswa. Di depan properti sendiri ada beberapa warung makan yang bisa dikunjungi sebagai opsi makan murah. Jalan kaki sekitar 5 menit, kita sudah sampai di Jalan Surya Sumantri yang menawarkan lebih banyak tempat makan dan kafe.

Kalau dari Gerbang Tol Pasteur sendiri, properti ini berjarak sekitar 5 menit dengan kendaraan roda empat (ambil aja jalur keluar di sisi kiri jalan utama sebelum perempatan). Berada di jalan pemukiman warga, guest house ini kadang dikira kost eksklusif atau rumah biasa. Saran saya sih kalau ingin bepergian pakai GO-Jek atau Grab, patokannya adalah pintu belakang Maranatha. Posisi guest house berada di samping pintu belakang Maranatha. Saya aja makan siang di food court kampus jadinya. Oh ya, meskipun ada di lingkungan mahasiswa, ketika saya menginap saya nggak terganggu dengan suara bising. Pas siang sih ada lah sekelebat suara para mahasiswa pulang kampus, tapi di malam hari sih tenang-tenang aja lingkungannya.

Kesimpulan

Hidden gem. Jujur saya pun kaget karena ternyata ada properti unik di dekat kampus. Betul-betul dekat karena saya keluar lewat pintu belakang kampus, jalan sedikit ke barat, eh udah sampai di guest house. Dengan interior bergaya Jawa tradisional dan sentuhan natural, serta penggunaan warna-warna earthy, RedDoorz Plus near Exit Toll Pasteur 2 menawarkan pengalaman menginap yang nostalgic, seperti ketika menginap di rumah nenek.

Ukuran kamar terbilang luas, terutama ketika menginap sendiri. Hanya saja, beberapa fasilitas kamar perlu di-upgrade atau ditambahkan (mis. TV tabung jadi LED TV). Terminal listrik juga bisa disediakan di kamar karena nggak ada stopkontak di dekat meja kerja. Kalau split level di kamar mandi, ya mau gimana lagi karena sudah bagian dari struktur bangunan sih. Selain itu, properti ini juga memang nggak punya banyak fasilitas umum, dan ini saya rasa cukup disayangkan berhubung guest house ini menyandang bintang tiga.

Selebihnya sih, RedDoorz Plus near Exit Toll Pasteur 2 menawarkan akomodasi yang terjangkau, cantik, dan strategis. Dengan rate mulai dari 270 ribuan per malam (berdasarkan rate menginap kemarin), kita sudah bisa menginap dengan nyaman dan menikmati suasana yang homy. Bagi penyuka interior bergaya Jawa tradisional, properti ini layak untuk dipertimbangkan.

 

ADA HADIAH DARI A BOY IN A HOTEL ROOM!

Seperti yang saya bilang di paragraf pembuka, saya ada hadiah nih buat kalian yang mau nginap di properti-properti RedDoorz! Jangan takut bokek lagi! Kalau kalian melakukan reservasi melalui situs web dan aplikasi resmi RedDoorz, kalian bisa masukkan kode promo buat dapatkan diskon menarik! Nah, RedDoorz kerja sama nih dengan A Boy in a Hotel Room buat ngasih kode promo ini:

HEYBOY

Dengan promo ini, kalian bisa dapatkan diskon 25% untuk semua properti RedDoorz di Indonesia. YA! DISKON 25% LOH! Mau nginap di properti RedDoorz di Yogyakarta? Pake aja kode promo ini! Di Jakarta? Pake juga lah! ‘Kan berlaku untuk semua properti RedDoorz di Indonesia. Ketentuannya saya jelaskan di poin-poin berikut:

  • Promo berlaku untuk semua properti RedDoorz di Indonesia (termasuk properti Plus dan Premium). Buat properti RedDoorz di luar negeri kayak Vietnam dan Singapura, maaf nih belum bisa 😞 (doakan semoga ada lagi ya kerja sama buat kode promo yang bisa dipakai di luar negeri)
  • Promo ini berlaku untuk pemakaian satu kali per satu akun. Jadi, kalau kamu udah pakai kode ini untuk akun kamu, kode ini nggak bisa dipakai untuk yang kedua kalinya, tapi temanmu bisa pakai kok selama dia belum pernah pakai kode ini.
  • Kode promo ini nggak case sensitive. Mau huruf kapital semua atau huruf kecil, bisa dipakai. Asal jangan ngetiknya alay macam “h3YboY” atau “H3YbOy”, apalagi “H3YTaYo”
  • Kode ini setara dengan diskon 25%.
  • Kode ini berlaku hingga Agustus 2020. Nah ‘kan masih banyak waktu nih buat liburan! Santuy lah.
  • Kode hanya bisa dipakai untuk reservasi melalui situs web dan aplikasi resmi RedDoorz. Pemesanan via OTA nggak bisa pakai kode ini.

 

Pros & Cons

👍🏻 Pros

  • Lokasinya strategis. Dari Gerbang Tol Pasteur sih sekitar 5 menit dengan kendaraan roda empat. Di sekitar properti juga banyak warung makan, restoran, dan semacamnya.
  • Desain interiornya memikat banget, terutama buat yang suka interior bergaya Jawa tradisional. Atmosfernya pun hangat, rasanya kayak nginap di rumah nenek.
  • Rate-nya terjangkau, sekitar 270 ribu per malam.
  • Karena konsepnya guest house dan public space-nya pun homy, RedDoorz Plus near Exit Toll Pasteur 2 cocok banget buat yang ingin pesan banyak kamar untuk liburan keluarga. Waktu saya check-out, ada orang yang datang dan nanya-nanya untuk pesan beberapa kamar untuk keperluan acara keluarga.
  • Ada ayam hias 🐓🐣

👎🏻 Cons

  • Untuk akomodasi bintang tiga, fasilitas umum yang tersedia dirasa sangat terbatas.
  • Beberapa fasilitas kamar perlu di-upgrade.
  • Dengan konsep guest house, mungkin ekspektasinya perlu diturunkan kalau mencari kamar yang kedap suara. Saya juga lupa bilang bahwa meskipun aksesnya 24 jam, pulang malam nggak sebebas yang dibayangkan. Memang sih ada satpam yang bertugas, tetapi ya… Bayangkan aja deh nginep di rumah nenek dan pulang malem, lalu harus pencet bel dan terpaksa ngebangunin orang yang lagi istirahat.

 

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😶⚪️
Desain: 😆😆😆😆😶
Lokasi: 🤩🤩🤩🤩⚪️
Harga: 💰

 

Review: U Janevalla Bandung

Di tengah-tengah kesibukan, akhirnya saya bisa kembali lagi ke sini untuk nulis review baru. Things have been quite crazy lately. Ada kerjaan ini itu, ada proyekan ini itu, ya segala macem. Semoga aja tetap dikasih kesehatan supaya bisa melewati semua ini dengan lancar. Amiin. Oh, ya! Selamat Jumat Agung juga buat yang merayakan! Semoga kasih dan damai Tuhan selalu beserta kita semua.

giphy
Selamat Paskah dari saya yang liburan begini masih harus kerja~

Nah, untuk review kali ini, saya mau bahas satu hotel yang bisa dibilang masih baru di Bandung. Berlokasi di pusat kota, bangunan hotel ini tampak unik dan nyentrik, dan itu yang bikin saya penasaran. Ditambah lagi, hotel ini punya rooftop swimming pool dengan view yang keren banget. Kayaknya basa-basinya sampai sini aja, ya. Kita langsung bahas identitas hotel ini.

IMG_20190224_175331
Fasad U Janevalla Bandung

U Janevalla Bandung adalah sebuah hotel bintang empat yang berlokasi di Jalan Aceh no. 65, Bandung. Posisi hotel ini bersebelahan tepat dengan Aryaduta Bandung. Kalau dilihat dari luar, fasad dan eksterior bangunan yang asimetris ini tampak menarik dan nyentrik. Brutalist, I would say, dengan jendela-jendela berbentuk trapesium terdistorsi dan beberapa bagian yang menonjol keluar. Edgy lah pokoknya.

Desain Industrial tampak kental di hotel ini, dan bisa terlihat dari beton yang dibiarkan terekspos dan tidak bercat, lantai beton sederhana, aksen-aksen bersudut tajam (bukan rounded), dan pemilihan furnitur bernuansa Utilitarian. Kalau lihat sepintas, U Janevalla Bandung ini tampak seperti bangunan yang masih dalam pembangunan. Sebenarnya, memang konsepnya seperti itu, dan saya suka.

Ada 119 kamar dan suite room di hotel yang dibuka pada bulan April 2018 ini. Tipe-tipe kamar yang tersedia adalah Superior, Deluxe, Grand Deluxe, dan Suite. Tipe Superior sendiri memilki luas 24-28 meter persegi, sementara tipe Suite merupakan kamar duplex dengan luas 82 meter persegi. Fasilitas-fasilitas hotel sendiri mencakup restoran, rooftop bar, kolam renang, meeting room, gym, dan perpustakaan. Kayaknya, nggak banyak hotel di Bandung yang punya perpustakaan. Jadi, perpustakaan di hotel ini memberikan daya tarik tersendiri. Oh, ya! Hotel ini juga menawarkan konsep 24-hour stay. Jadi, kalau misalnya kita check-in pada jam 4 sore, kita bisa dapat late check-out pada jam 4 sore juga. Intinya sih kita bisa stay di hotel selama 24 jam.

Ketika menginap, saya pesan kamar Superior yang letaknya di lantai 8. Nah, untuk kamarnya sendiri saya rasa lumayan luas dan desain interiornya mantap betul, tetapi ada satu hal yang menurut saya agak mengganggu dari kamar itu. Ulasan lengkapnya dibahas di segmen berikutnya, ya!

Desain Kamar

Saya harus akui bahwa sejauh ini, hotel di Bandung yang menawarkan kamar dengan interior bergaya Industrial yang paling kental adalah U Janevalla Bandung. Dibandingkan hotel-hotel lain, si U ini menampilkan desain industrial yang menurut saya jauh lebih autentik.

IMG_20190224_142152
IMG_20190224_142303
IMG_20190224_142310
IMG_20190224_142333

Interior kamar tampil simpel dan sleek dalam balutan warna-warna monokrom. Putih, hitam, dan abu-abu; ketiga warna itu mendominasi interior kamar yang luasnya saya rasa 28 meter persegi (saya coba bandingkan kamar saya dengan foto kamar Superior yang posisinya beda, dan kamar ini tampaknya lebih luas). Dinding bata ekspos putih, langit-langit yang tinggi, lantai dan langit-langit beton, serta jendela full-height benar-benar menciptakan tampilan Industrial yang legit.

Untuk furnitur sendiri, desainnya lebih ke arah Utilitarian menurut saya. Kesederhanaan dari tampilan rak dan TV stand dari tiang besi bercat hitam dan papan kayu cokelat yang dipasang “apa adanya” justru jadi sesuatu yang menarik perhatian. Selain itu, saya juga suka tampilan tempat tidurnya, dengan headboard besi pendek bermotif chicken wire (silang-silang) dan nightstand bernuansa Scandinavian. Buat saya, desainnya ini maskulin banget. Saya menamainya kasur “anak bengkel”.

IMG_20190224_171739
IMG_20190224_173036

Pencahayaan ruangan memang kurang. Saya rasa karena memang sudah seperti itulah seharusnya supaya kesan Industrial-nya makin kental. Jujur saya suka dengan desain lampu gantung yang ada di atas nightstand. Selain itu, ada juga lampu baca untuk dinyalakan kalau mau baca novel sebelum tidur. Pipa pelindung kabel juga dibiarkan terekspos begitu saja dan ini yang bikin kamar ini makin Instagrammable.

Secara keseluruhan, kamar ini “saya” banget. Terlebih lagi, dengan outfit saya yang rocker pada saat berkunjung, saya ambil banyak foto di kamar ini. Di imajinasi saya, setelah manggung saya langsung pulang ke hotel, tidur di kamar ini, dan dengan kondisi agak mabuk langsung jatuhkan badan ke tempat tidur. Leather jacket dan sepatu bot masih dipakai, dan tangan mencoba ngambil kaleng bir yang ada di nightstand, tapi nggak bisa karena terlalu pusing. Actually, one of my dreams is to become a pianist for a rock band. Also, Jung Dong Ha is my idol.

Nah, setelah membahas kelebihannya, saya mau bahas satu kekurangan yang menurut saya sedikit mengganggu. Posisi kamar saya diapit oleh dua koridor yang panjangnya melebihi panjang kamar. Oh ya, koridor ini juga semiterbuka. Ini artinya, ketika saya buka jendela, saya bisa lihat koridor di luar, begitu juga orang-orang yang ada di koridor, bisa lihat ke dalam kamar.

IMG_20190224_144145
IMG_20190224_144141
IMG_20190224_173819
IMG_20190224_174136

Sebetulnya, posisi kamar saya ini ada keuntungan dan kelebihannya. Keuntungannya adalah kamar saya punya view yang lebih luas dan bagus ke arah pusat kota, terutama dibandingkan kamar-kamar yang posisinya di samping (ada yang jendela kamarnya hadap-hadapan sama jendela kamar di Aryaduta). Di sisi lain, kamar saya berada di antara dua koridor semiterbuka dan kaca jendela kamar saya pun bukan cermin dua arah. Saya udah buktikan sendiri dengan pergi ke ujung koridor dan lihat ke arah kamar. I can see everything inside clearly. Di siang hari pun, saya harus tutup gorden untuk jaga privasi.

Namun, kalau diperhatikan si koridornya, kita bisa lihat ada semacam planter yang dipasang di bawah railing kaca. Saya suka dengan pemasangannya karena mencerminkan bahwa hotel ini masih peduli terhadap lingkungan dan tetap ingin menyediakan ruang hijau terlepas dari keterbatasan ruang.

Kamar Mandi

Untuk kamar mandinya sendiri saya rasa cukup luas. Interiornya masih sama, mengusung desain Industrial yang cukup kental, dengan beberapa ubin berpola yang dipasang secara acak. Area shower dipisahkan oleh dinding beton. Area kloset dan wastafel terasa cukup lapang. Ada satu jendela dengan kaca buram yang kalau dipikir-pikir lagi nggak begitu berpengaruh ke suasana kamar mandi.

IMG_20190224_142510
IMG_20190224_142516
IMG_20190224_142533

Dua cermin trapesium bergaya futuristik dengan backlight terpasang di dinding bata ekspos berwarna putih. Bicara tentang produk mandi, U Janevalla Bandung menawarkan U Choose Programme yang memungkinkan kita untuk memilih aroma produk mandi yang diinginkan. Waktu berkunjung, saya pilih body lotion dan sampo aroma jasmine, serta shower gel aroma wild orchid. Kalau perlu mengeringkan rambut, hair dryer ada, tapi disimpan di dalam tote bag yang ada di bawah gantungan pakaian di samping televisi.

Area shower sendiri terpisah oleh dinding dan cukup luas. Hanya saja, di sini nggak ada rak untuk menyimpan alat-alat mandi. Walhasil, saya harus simpan botol sabun dan sampo di lantai. Agak merepotkan sih. Untungnya, ada shower tangan dan rainshower di sini. Pencahayaannya pun baik dan saya suka.

Fasilitas Umum

Sae’ Restaurant

Menempati dua lantai, Sae’ Restaurant merupakan restoran utama di U Janevalla Bandung. Sarapan pagi untuk tamu disajikan di sini, tapi di jam-jam lainnya, restoran ini juga tetap bisa dikunjungi, bahkan untuk umum. Untuk weekday, restoran ini buka hari Senin sampai Kamis, dari jam 6 pagi sampai 12 malam. Kalau weekend, restoran buka hari Jumat sampai Sabtu, dari jam 6 pagi sampai 12 malam.

IMG_20190225_074959
IMG_20190224_175257
IMG_20190224_215446
IMG_20190224_215501
IMG_20190224_215526
IMG_20190225_084709

Di lantai lobi, restoran terbagi jadi dua area, indoor dan terrace. Waktu sarapan, saya kebagian meja kosong di luar. Untungnya nggak hujan, meskipun cuaca mendung memang. Nah, menu sarapannya menurut saya enak. Saya pilih nasi kebuli dan kakap goreng, serta earl grey tea untuk minumnya.

Di lantai atas, ada bar yang cukup panjang buat pesan kopi atau minuman lainnya. Furnitur restoran sendiri masih bergaya Industrial/Utilitarian dan sepintas mengingatkan saya sama meja dan kursi di TK dulu. Di lantai atas juga ada teras, tapi waktu saya ke sana, terasnya dipakai sama orang-orang yang merokok. Selain itu, entah kenapa penempatan meja dan kursi di luar tampaknya terlalu rapat. Jadi, kesannya kayak sempit.

65 Rooftop Pool Bar

Bertempat di lantai teratas, 65 Rooftop Pool Bar di U Janevalla Bandung bisa jadi tempat nongkrong yang pas sambil lihat pemandangan kota Bandung dari ketinggian 9 lantai. Bar ini bersebelahan dengan kolam renang hotel. Sayangnya, seating area yang terlindungi kanopi menurut saya kurang besar. Sebagian besar kursi-kursi ditempatkan di area yang lebih terbuka, tanpa atap. Ini artinya kalau cuaca lagi jelek, tempat duduk yang tersedia jadi lebih terbatas, terutama kalau pengunjung lagi banyak.

IMG_20190224_174821

Untuk desainnya sendiri masih sama–industrial, tapi dengan sentuhan vintage melalui penggunaan ubin-ubin printed design di tembok bar. Sisi timur bar dibatasi oleh dinding kaca yang dipasang dalam rangka besi berbentuk trapesium, senada dengan fasad bangunan yang banyka menampilkan bentuk-bentuk freeform. Pot-pot tanaman ditempatkan di dekat railing dan menjadi elemen hijau yang menyejukkan. Oh ya, rooftop bar ini buka dari jam 10 pagi sampai 10.30 malam. 

IMG_20190224_174832

Kolam Renang dan Gym

Nah, menurut saya inilah fasilitas yang paling kece di U Janevalla Bandung. Berada di samping rooftop bar, kolam renang di hotel ini punya bentuk yang memanjang, dengan sisi panjang menghadap ke arah Jalan Merdeka, dan sisi lebarnya menghadap ke Jalan Aceh. Railing kaca pembatas ditempatkan lebih rendah dari dinding kolam sehingga memberikan kesan infinity. Untungnya, tidak ada bangunan yang lebih tinggi di samping barat hotel sehingga dari kolam renang, kita bisa lihat pemandangan kota dengan lebih jelas tanpa halangan.

IMG_20190224_174449
IMG_20190224_174444
IMG_20190224_222448

Untuk menambah kesan tropis, di area kolam renang ada dua pohon kamboja. Di siang hari, biasanya pihak hotel menyediakan beberapa bean bag di atas dek buat duduk-duduk. Ada juga recliner di sisi utara kolam renang. Biasanya, orang-orang pada foto-foto di dinding ujung kolam renang. Hati-hati aja kalau mau jalan ke dinding sana supaya nggak kepeleset.

Nggak jauh dari kolam renang, ada gym. Untuk mengakses gym, kita hanya perlu masuk ke semacam gang kecil yang ada di samping lift. Ruangan gym-nya sendiri berada di sisi utara kolam renang. Dari segi peralatan sih memang nggak banyak. Di sini ada treadmill, exercise bike, dan elliptical trainer. Ada juga televisi di salah satu dinding ruangan.

IMG_20190225_093718
IMG_20190225_093703

Meskipun ada jendela-jendela besar yang menghadap ke arah Jalan Merdeka, ukuran gym ini tetap terasa kecil. Jatuhnya ini kayak gym pribadi yang ada di rumah. Nevertheless, gym di hotel ini tetap bisa jadi fasilitas yang mumpuni buat berolahraga.

Perpustakaan

Selain kolam renang, perpustakaan jadi fasilitas hotel yang saya suka. Berada di lantai mezzanine, perpustakaan kecil ini memang koleksi bukunya nggak banyak, tapi bagus-bagus. Nggak hanya buku buat orang dewasa, tetapi buat anak-anak pun ada.

IMG_20190225_084518
IMG_20190225_084537
IMG_20190225_084550

Koleksi bukunya memang hanya satu rak dan kebanyakan berbahasa Inggris. Furnitur yang dipakai punya sentuhan midcentury, terutama kursi lengan dan loveseat-nya. Di sini juga ada satu komputer yang bisa dipakai. Ya, hanya satu. Tapi, ada meja panjang yang bisa dipakai buat kerja pakai laptop. Kursi-kursinya ditempatkan menghadap ke arah Jalan Aceh. Jadi, lumayan lah untuk menyegarkan mata kalau udah jenuh.

Lokasi

Bicara soal lokasi, U Janevalla Bandung ini jadi salah satu pilihan akomodasi yang paling strategis. Berada di Jalan Aceh, hotel ini menawarkan akses mudah ke berbagai tempat di kawasan Jalan Merdeka dan Balai Kota Bandung. Kalau mau belanja nih, kita bisa jalan kaki ke BIP selama sekitar 5 menit, atau ke BEC selama 10 menit. Di dekat hotel juga ada Taman Ade Irma Suryani (dikenal juga dengan nama Taman Lalu Lintas), Taman Sejarah, dan Taman Balai Kota sebagai opsi tujuan wisata keluarga.

Dari Stasiun Bandung, jarak ke hotel kira-kira 10-15 menit kalau pakai mobil, tergantung kondisi lalu lintas. Berhubung Bandung tambah ke sini macetnya tambah nggak manusiawi, harap bersiap menghadapi kemacetan yang bikin pengen tobat rasanya.

Oh, ya! Hotel ini juga bersebelahan dengan Aryaduta Bandung yang menurut saya, memberikan semacam kelemahan tersendiri. Jadi, kamar-kamar yang posisinya berada di sisi timur ini punya jendela yang saling berhadapan dengan jendela kamar-kamar di Aryaduta yang posisinya di sisi barat gedung. Ini artinya bisa jadi jendela kamar kamu menghadap ke jendela kamar Aryaduta. Buat saya secara pribadi, ini nggak nyaman banget. Selain privasi bisa terganggu, akan awkward ketika kita liat-liatan dengan orang di kamar Aryaduta.

Kesimpulan

Interior bergaya industrial dengan sentuhan utilitarian jadi keunggulan U Janevalla Bandung. Buat orang-orang yang suka foto-foto, interior kamar dan beberapa ruang publik di hotel ini pas banget jadi latar foto. Jujur saya sendiri jatuh cinta sama interior kamar yang saya tempati. Hanya saja, memang posisi kamarnya membuat privasi agak terganggu.

U Choose Programme yang ditawarkan pihak hotel jadi salah satu keunggulan lain. Dengan program ini, pengunjung bisa pilih sendiri mini bar gratis yang bisa dinikmati, jenis aroma produk mandi, jenis bantal yang mau dipakai, dan semacamnya. Adanya program ini bikin kunjungan terasa lebih personal.

Untuk fasilitas sendiri, hotel ini menyediakan rooftop swimming pool, rooftop bar, restoran, MICE amenities, perpustakaan, dan gym (walaupun kecil). Saya rasa fasilitasi segitu sih udah mumpuni, apalagi dengan kehadiran perpustakaan. Koleksi bukunya memang nggak banyak, tapi cukup asyik sih buat dinikmati. Ada buku Spongebob Squarepants di sana. Ayo coba cari bukunya!

Berdasarkan situs resmi hotel, kamar ditawarkan dengan harga mulai dari 36 dolar Amerika Serikat atau sekitar 520 ribu rupiah. Secara keseluruhan, U Janevalla Bandung memberikan saya pengalaman menginap yang unik dan “gue banget”. Interior bergaya industrial “totok” dan furnitur dengan sentuhan utilitarian pas banget sama penampilan saya yang ke arah rockabilly ini. Memang ada satu atau dua kekurangan, tapi hal tersebut nggak lantas merusak kunjungan saya. Berbagai fasilitas yang dihadirkan juga melengkapi liburan singkat saya di kota Bandung.

Pros & Cons

👍🏻 Pros

  • Desain kamarnya mantap betul! Interior bergaya industrial dengan sentuhan utilitarian itu udah perkawinan the best lah. Saya juga suka dengan langit-langit beton yang dibiarkan apa adanya dan dinding bata ekspos putih di kamar.
  • Fasilitasnya lengkap, termasuk rooftop swimming pool dengan pemandangan kota Bandung yang keren.
  • Dekat ke mana-mana. Mau ke mal tinggal jalan kaki 5-10 menit. Beberapa tujuan wisata keluarga murah meriah juga bisa dikunjungi dengan berjalan kaki.
  • Ada perpustakaan kecil di hotel. Koleksi bukunya nggak banyak, tapi bacaannya lumayan menarik. Inget! Ada buku Spongebob Squarepants!
  • Planters yang dipasang di dekat railing koridor menjadi elemen hijau yang membuat hotel ini semakin unik dan eco-friendly. Senang aja sih liatnya. Ijo royo-royo bikin adem mata.
  • U Choose Programme memungkinkan tamu buat personalize sendiri kunjungannya ke hotel. Tamu bisa pilih jenis aroma produk mandi, jenis bantal, produk mini bar gratis, dan lain-lain.

👎🏻 Cons

  • Privasi saya di kamar agak terganggu karena posisi kamar yang diapit oleh dua koridor semi-outdoor. Pengunjung yang jalan sampai ke ujung koridor bisa ngeliat isi kamar saya melalui jendela. Buat jaga privasi, curtain harus sering ditutup.
  • Beberapa kamar punya jendela yang berhadapan langsung dengan jendela hotel sebelahnya. Ini juga jadi privacy problem sih.
  • Gym-nya kecil.
  • Di area shower, nggak ada rak untuk simpan alat atau produk mandi. Walhasil, sabun dan sampo harus saya simpan di lantai.

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌⚪️
Desain: 😆😆😆😆😆
Lokasi: 🤩🤩🤩🤩🤩
Harga: 💰💰💰

Review: Summerbird Bed and Brasserie

Jujur, ya. Berkunjung ke hotel ini itu semacam keinginan yang dari lama dipendam akhirnya terkabul. Beberapa temen pernah nanya dan ngobrol soal akomodasi yang satu ini, tapi saya memang belum sempat datang. Akhirnya kemarin ini, saya book satu kamar di hotel yang lokasinya berseberangan sama SMP 1 Bandung. Meskipun lokasinya sebetulnya agak masuk-masuk ke jalan yang lebih kecil, ternyata hotel ini terkenal karena desain kamarnya yang Instagrammable.

a739ee04706dec993352e2d8eeb8900c
Fasad Summerbird Bed and Brasserie. Foto milik pihak manajemen hotel. 

Summerbird Bed and Brasserie adalah sebuah hotel yang berlokasi di Jalan Kesatriaan No. 11, Bandung. Akomodasi ini sebetulnya salah satu opsi hotel murah di Bandung berdesain kece yang saya masukkan ke thread khusus di Twitter (bisa dibaca di sini). Meskipun lokasinya bukan di jalan besar, hotel ini berada di pusat kota dan everything is within a walking distance!

Akomodasi bintang dua ini punya 28 kamar yang terbagi ke dalam tiga tipe: Standard, Superior, dan Deluxe. Nah, 28 kamar itu juga dibagi lagi ke dalam empat desain: French Tea, Vintage Chocolate Flavor, Rustic Coffee, dan Scandinavian. Dua desain pertama lebih feminin menurut saya, sementara the latter two lebih ke arah maskulin. Desain interior yang memikat bikin hotel ini jadi salah satu pilihan hotel unik di Bandung yang layak buat dikunjungi.

Dari segi fasilitas penunjang, hotel ini memang nggak menawarkan banyak pilihan. Ada kafe di lantai dasar yang disulap jadi restoran buat pengunjung hotel di pagi hari. Meskipun demikian, public spaces di hotel ini keren-keren, pas buat foto-foto. Bahkan hotel ini juga jadi lokasi pre-wedding photoshoot. Waktu saya ke sana, ada yang lagi foto-foto pre-wedding malahan.

Saat menginap kemarin, saya pesan kamar Superior dengan desain Rustic Coffee. Sebenarnya kemarin ini agak galau sih pas pilih antara Scandinavian dan Rustic Coffee, tapi akhirnya pilihan jatuh kepada si kopi karena akhir-akhir ini lagi agak bosan sama interior bergaya Scandinavian atau anything Ikea-ish. Ulasan lebih lanjut saya bahas di segmen berikutnya ya!

Desain Kamar

Inilah waktunya untuk membuktikan dan merasakan secara langsung apa sih yang orang-orang omongin tentang Summerbird Bed and Brasserie ini. Sebagai orang yang suka sama desain interior, kamar-kamar di hotel butik tentunya menarik perhatian karena biasanya desainnya beda dan unik.

This slideshow requires JavaScript.

Dengan luas 16 meter persegi, kamar memang nggak terasa lapang. Jarak dari sisi tempat tidur dengan dinding pun nggak besar. Namun, kekurangan ruang ini disiasati dengan furnitur-furnitur yang simpel supaya nggak makan banyak tempat. Sayangnya, saya merasa nggak adanya lemari pakaian tertutup merupakan hal yang disayangkan. Sebagai gantinya, saya gantung jaket di pipa besi yang disulap jadi rangka gantungan baju.

Oke, sekarang kita bicara tentang desain. Meskipun namanya Rustic Coffee, saya justru merasa desain Industrial dan Utilitarian lebih menonjol, terutama lewat pemilihan dinding bata ekspos berwarna cokelat (pas sama embel-embel “coffee“), dan penggunaan balok beton dan pipa besi sebagai furnitur di kamar. Unsur Rustic sendiri bisa dilihat dari penggunaan headboard dan lemari kayu kecil di balok beton dengan tampilan distressed. Jadi, nggak bohong lah ketika kamar ini bertajuk Rustic Coffee.

Nuansa maskulin terasa kental di kamar ini, terutama dengan palet earthy colors dan material-material yang “garang”. Dinding belakang headboard dihias dengan mural Obsessive Coffee Disorder yang jadi background keren untuk foto Instagram pribadi saya. Pencahayaannya memang diatur untuk agak redup, tapi untungnya tidak sampai bikin suasana kamar jadi murky. Jendela di kamar saya ini bentuknya kecil memanjang dan berada di seperempat bagian teratas dinding. Nggak besar memang, tapi memberikan cukup ruang untuk masuk cahaya dari luar. Hanya saja, saya secara pribadi kurang suka kamar yang nggak punya jendela dengan view. Kesannya claustrophobic.

Kamar saya dilengkapi basic amenities seperti televisi, AC, coffee/tea maker, dan WiFi. Duh, itu sih hal-hal wajib lah ya. Sebagai bonus, saya ada foto si centil Grizz yang ingin tampil gaya di kamar ini.

This slideshow requires JavaScript.

Gemes, kan?

tenor
I love We Bare Bears

Kamar Mandi

Untuk kamar mandi, saya rasa penggunaan dinding kaca ini merupakan solusi yang cerdas untuk menyiasati kecilnya ruang di kamar. Adanya dinding kaca membuat kamar mandi dan ruang utama kamar terasa lebih luas, sambil tetap memisahkan kedua ruang dengan fungsi berbeda. Untuk menjaga privasi, ada blind di dalam kamar mandi.

img_20190122_144656

img_20190122_144700

Desain kamar mandi masih kohesif dengan desain utama kamar. Tampil simpel tapi elegan dalam balutan dinding keramik berdesain ala beton dan tegel bertekstur kayu, kamar mandi unit saya dilengkapi dengan wastafel, kloset, dan shower area yang cukup luas. Perlengkapan mandi yang disiapkan adalah handuk, dental kit, sampo, dan sabun.

Lemari kayu usang yang menyangga wastafel jadi focal point kamar mandi dan ternyata, di dalamnya nggak ada apa-apa. Saya kira di dalamnya ada hair dryer atau semacamnya. Selain itu, nggak ada objection untuk kamar mandi. Hanya saja, seandainya flow air dari shower lebih kencang, saya rasa kayaknya lebih enak. Lumayan kan kalau bisa pijat punggung. Oh ya, pencahayaan kamar mandi juga bagus dan terang, jadi nyaman lah pas mandi. Saya udah sebut beberapa kali di artikel-artikel sebelumnya kalau saya kurang suka kamar mandi yang redup.

Fasilitas Umum

Seperti yang saya bilang di paragraf pembuka, Summerbird Bed and Brasserie memang nggak punya banyak fasilitas penunjang untuk para tamu, tapi hotel ini punya Summerbird Brasserie dengan sajian kopi Arabika Sumedang sebagai primadonanya. Saya sendiri nggak suka kopi sebetulnya, tapi tampaknya si kopi ini memang layak dicoba. Kapan-kapan deh kalau ke sana lagi saya coba pesan.

Seating area di Summerbird Brasserie ini tersebar di tiga lantai yang bisa diakses melalui tangga atau lift. Setiap lantai menampilkan desain yang berbeda. Kafe di lantai satu dapat mengakomodasi 30 orang dengan desain shabby chic yang manis nan romantis. Banyaknya tanaman-tanaman dalam ruangan bikin suasana di kafe tambah sejuk.

This slideshow requires JavaScript.

Untuk kafe di lantai dua, interiornya mengadopsi perpaduan desain shabby chic dan “kearifan lokal” yang sepintas mengingatkan saya sama kopitiam Peranakan. Window shutters dipasang di dinding dan menjadi background yang cantik buat foto-foto. Seating area ini bisa mengakomodasi sekitar 25 orang.

This slideshow requires JavaScript.

 

Kalau seating area di lantai tiga, interiornya tampak lebih elegan dan classy. Mengusung desain vintage, kafe lantai tiga tampil cantik dengan furnitur khas French bistro, trellis kayu berwarna putih, dan tanaman rambat.

This slideshow requires JavaScript.

Koridor-koridor kamar dan bordes tangga juga menjadi spot foto yang Instagrammable. Salah satu spot yang menurut saya bisa jadi lokasi foto yang cantik adalah  bordes di tangga lantai satu menuju lantai dua. Di sana, ada kursi dan meja kecil dengan table lamp yang keliatan romantis di malam hari.

img_20190122_144402

img_20190122_144326

Oh, ya, lupa bilang. Reservasi kemarin ini sudah termasuk sarapan. Nah, di sini nggak ada prasmanan, tapi kita bisa pesan menu a la carte untuk sarapan. Pilihan saya jatuh ke nasi goreng dan jus jeruk. Porsinya menurut saya sih kecil, tapi rasanya decent lah. Jus jeruknya sendiri sih jatuhnya seperti jus kemasan kotak. Sejak awal ekspektasi saya memang nggak besar sih so there wasn’t anything surprising.

img_20190123_092403

 

Lokasi

Berlokasi di Jalan Kesatriaan, Summerbird Bed and Brasserie ini memberikan kemudahan buat pergi ke mana-mana. Minimarket dan mal bisa dicapai dengan jalan kaki. Dari hotel, ke Paskal 23 itu kira-kira memakan waktu sekitar 10 menit dengan berjalan kaki. Kalau perlu ke minimarket, tinggal jalan kaki kurang dari lima menit ke daerah di sekitar SMAN 6 Bandung. Di sana juga banyak tukang nasi goreng, lumpia basah, martabak, dan lain-lain.

Dari Stasiun Bandung ke hotel ini, mungkin hanya perlu sekitar 5 menit kalau pakai motor atau mobil. Kalau ke Bandara Internasional Husein Sastranegara, kira-kira waktu tempuhnya 10-15 menitan, tergantung kondisi lalu lintas.

Kesimpulan

Dengan rate mulai dari 400 ribuan (berdasarkan Tripadvisor), akomodasi ini mungkin terbilang sedikit pricey kalau dibandingkan sama fasilitas yang ditawarkan. Namun, desain kamar dan hotel secara keseluruhan yang unik saya rasa sebanding dengan harganya, apalagi lokasinya juga strategis dan tetap memberikan ketenangan beristirahat, meskipun ada di pusat kota.

Soal desain, saya suka dengan interior kamarnya. Rustic, Industrial, dan Utilitarian; semuanya berpadu secara harmonis di kamar. Ukurannya memang agak kecil, tapi untungnya nggak sampai claustrophobic. Yang disayangkan sih lebih ke tidak adanya lemari pakaian yang tertutup, dan posisi dan bentuk jendela yang secara personal kurang saya sukai. So far, nggak ada objection untuk kamar.

Secara keseluruhan, Summerbird Bed and Brasserie memberikan pengalaman menginap yang nggak mengecewakan, terutama buat saya yang sejak dulu pengen nginep di sana. Nggak ada salahnya buat coba menginap di hotel ini, terlebih lagi kalau ingin istirahat di kamar yang kece dan Instagrammable.

Pros & Cons

👍🏻 Pros

  • Interior kamarnya keren-keren. Ada empat desain kamar yang ditawarkan. Untuk desain yang lebih feminin, pilih French Tea atau Vintage Chocolate Flavor. Untuk desain yang lebih maskulin, pilih Rustic Coffee atau Scandinavian.
  • Lokasinya strategis. Ke mana-mana deket. Ke mal tinggal jalan kaki 10 menitan. Mau jajan, ada banyak kaki lima di sekitar SMAN 6 Bandung (jalan kaki kurang dari lima menit).
  • Summerbird Brasserie memiliki tiga seating area di tiga lantai berbeda, dengan interior yang beda pula. Cocok buat ngumpul sama teman atau bahkan meeting sama klien.
  • Suasananya relatif tenang. Kalau ingin lebih tenang, bisa book kamar yang ada di lantai tiga.
  • Banyak spot fotonya. Pas lah buat yang suka foto-foto buat di-upload ke Instagram.

👎🏻 Cons

  • Rate-nya sedikit pricey, terutama kalau dibandingkan sama fasilitas umum untuk tamu. Untuk skala yang lebih besar, beberapa bed and breakfast di Bandung menawarkan desain kamar yang unik, tapi dengan harga yang lebih terjangkau.
  • Kamarnya terbilang agak sempit.
  • Posisi jendela di kamar saya kurang “pas” (kamar saya adalah kamar Rustic Coffee Superior dengan nomor kamar 207, eh atau 205 ya?). Mungkin bisa coba minta pihak hotel untuk siapkan kamar dengan posisi jendela yang lain saat reservasi.
  • Porsi sarapan paginya nggak besar. Ini masih bisa diakalin sama bubur gratis yang disediakan pihak hotel.
Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌😶
Desain: 😆😆😆😆😶
Lokasi: 🤩🤩🤩🤩😶
Harga: 💰💰💰

Review: Kollektiv Hotel

Sering kerja dari Starbucks PVJ, jalan Sutami merupakan rute yang biasa saya lewati. Sekitar kuartal terakhir 2017, ada satu restoran baru di jalan Sutami yang namanya Hara. Saya sama teman-teman pernah Christmas dinner di sana, dan ternyata bangunan besar itu nggak hanya mencakup restoran, tetapi juga hotel bernama Kollektiv.

Karena Hara ini sering ramai banget pengunjung, saya jarang banget ke sana (parkir pun susah sebelum akhirnya ada tanah kosong nggak jauh dari kawasan bangunan hotel yang dijadikan sebagai tempat parkir). Walaupun penuh, jujur saya suka dengan desain interior si restoran. Setelah melihat foto-foto kamarnya dari Agoda dan Traveloka, saya jadi penasaran juga seperti apa, meskipun pada awalnya saya agak gimana karena tampaknya ukuran kamarnya terlalu kecil. Akhirnya setelah cukup penasaran berbulan-bulan, saya datang ke Kollektiv untuk nginap satu malam.

IMG_20181221_092333
Fasad Kollektiv. Foto milik pribadi

Kollektiv Hotel merupakan akomodasi bintang dua yang berlokasi di jalan Prof. Dr. Ir. Sutami nomo 62, Bandung.  Kalau dari arah Universitas Kristen Maranatha, kita tinggal pergi ke arah Setrasari menuju Karangsetra. Dari segi fasad, bisa kita lihat kalau hotel ini memanfaatkan kontainer-kontainer truk dan kapal besar dan mengubah fungsinya jadi ruang tinggal. Kontainer-kontainer ini dipadukan dengan jendela dan railing berdesain modern minimalis yang menghasilkan perpaduan yang mantul alias mantap betul bro.

Hotel ini berada di sebuah bangunan besar yang menyatu dengan restoran bernama Hara. Kamar-kamar hotel menempati lantai dua sampai empat bangunan, sementara restoran ada di lantai satu. Ada 39 kamar di hotel ini yang dibagi ke dalam dua tipe: Superior dan Deluxe. Kalau ingin lihat foto-foto kamar yang lain, bisa berkunjung ke Instagram page atau official website mereka.

Ketika menginap di Kollektiv, saya dapat kamar Superior yang berada di lantai empat. Kalau melihat dari segi kepercayaan, sebetulnya angka empat itu kan angka ketidakberuntungan, tapi ya sudah lah dinikmati aja karena memang saya juga ada personal request kamar di lantai yang tinggi. Meskipun pada awalnya saya sempat curiga bahwa ruangannya akan sempit ketika lihat foto-foto kamar, tetapi pas ke TKP pendapat saya berubah. In fact, I think I am in love with the hotel! Ulasan lengkapnya ada di segmen berikutnya ya.

Desain Kamar

Berdasarkan informasi di situs web resminya, Kollektiv Hotel memadukan unsur kayu dan besi untuk menciptakan desain industrial murni. Interior bergaya industrial ini kerasa kental di public spaces seperti koridor kamar dan restoran. Namun untuk kamar sendiri (terutama kamar yang saya tempati), desain Scandiavian dengan sedikit sentuhan mid-century justru lebih kentara kalau menurut saya secara pribadi.

IMG_20181220_170152
Twin-bed yang tampil sederhana tapi manis dalam dominasi warna putih
IMG_20181220_170108
Cermin dan counter di depan kamar mandi yang memanjang
IMG_20181220_170207_HHT
Area kerja, lengkap dengan reed diffuser beraroma lemongrass

Kamar Superior yang saya tempati berukuran mungkin sekitar 13-15 meter persegi dan memanjang. Kasur ditempatkan di atas semacam platform kayu yang tampak “melayang” karena fondasinya dibangun lebih menjorok ke dalam. Di belakang tempat tidur ada jendela dengan roller blind pinstripes yang unik. Posisi jendela kamar yang menghadap ke barat dan roller blind unik itu memberikan efek pencahayaan alami yang kuat ke kamar, terutama di sore hari. Nggak ada end table di tengah atau samping kasur dan menurut saya ini ide yang tepat mengingat space kamar cukup terbatas. Sebagai ganti lampu meja, ada dua downlight untuk menerangi area tempat tidur.

Dengan space terbatas, wastafel ditempatkan di luar kamar mandi. Counter table-nya sendiri adalah papan kayu memanjang berdesain minimalis. Di atasnya ada cermin yang juga memanjang mengikuti counter table dan dinding kaca kamar mandi yang berhadapan dengan wastafel. Kamar Superior nggak dilengkapi dengan lemari baju. Sebagai gantinya, ada tiang gantungan dengan beberapa hanger untuk menggantung jaket, baju, atau celana yang nggak dipakai.

Untuk study area, papan kayu tebal yang dipasang ke tembok berfungsi sebagai meja. Ada kursi berbahan rotan di depan meja kerja. Di atas meja kerja sendiri ada telepon, lampu meja minimalis, vas tembikar yang memuat remote controller TV dan AC, dan reed aromatherapy diffuser dengan keharuman lemongrass yang segar, tapi nggak sampai bikin enek.  Televisi sendiri digantung, membelakangi dinding kamar mandi.

IMG_20181220_170137
Study area dan televisi
IMG_20181220_170057
Kamar Superior

Kelengkapan kamar lainnya ada tea/coffee maker, sandal hotel, dan hair dryer. Bicara tentang space, yang sebetulnya agak saya sayangkan adalah tinggi dinding. Karena dinding kamar nggak begitu tinggi, rasanya dekat banget kepala dengan mulut AC. Walhasil, lumayan lah dingin kerasa. This is not good for someone who is perpetually cold.

Secara keseluruhan, perawatan furnitur dan in-room amenities bisa dibilang baik. Kursi masih empuk. Kasur masih bersih. Pokonya sih semuanya dalam keadaan decent.

Kamar Mandi

Untuk kamar mandi, areanya memang nggak besar, tapi nggak sampai bikin klaustrofobik. Kamar mandi hanya dipisahkan oleh dinding kaca, tapi setengah bagiannya sand-blasted jadi privasi masih terjaga. You can still do your business safely and privately lah somehow.

IMG_20181220_170220
Kloset kamar mandi
IMG_20181220_170233_HHT
Area shower
IMG_20181220_170244_HHT
Sabun dan sampo

“Bilik merenung”-nya dilengkapi dengan bidet dan tisu. Untuk shower area, yang saya sayangkan adalah nggak ada rainshower (tapi bisa dimaklumi mengingat space-nya pun nggak luas). Sebagai gantinya, keluaran air dari shower tangan bisa diubah ke pengaturan sprinkle yang halus, tapi tetap dengan semburan yang kencang.

Yang saya suka dari sabun dan sampo Kollektiv Hotel adalah aromanya. Setelah dimanjakan aroma lemongrass yang menyegarkan, sabun dan sampo di kamar ini ada aroma bergammot-nya kalau menurut saya. Mungkin lebih tepatnya mirip-mirip aroma earl grey tea sih. Wanginya lembut dan nggak intens memang jadi ya jangan berharap wanginya akan awet sampai kita ke luar kamar mandi. Handuk wajah, sikat gigi, dan pasta gigi ada di luar kamar mandi, di samping wastafel.

Fasilitas Umum

Seperti yang saya bilang sebelumnya, desain Scandinavian terasa lebih kental di kamar. Namun ketika melangkah ke luar kamar, kita baru bisa merasakan sentuhan industrial yang kentara. Koridor kamar dihias oleh railing dan tanaman rambat. Void besar di tengah-tengah bangunan menawarkan view ke sitting area atau lobi di lantai dasar yang juga berfungsi sebagai area makan restoran Hara.

Banyaknya tanaman rambat dan pohon tinggi yang ditanam di lantai satu membuat area hotel terasa sejuk dan rimbun. Elemen alam ini cocok dipadukan dengan dinding-dinding kontainer yang dicat dengan warna cokelat krem.

Hara

Salah satu fasilitas utama Kollektiv Hotel adalah restorannya. Dibuka untuk umum, Hara menghadirkan beragam sajian dan suasana yang nyaman dalam balutan interior bergaya rustic industrial. Restoran ini cukup luas dan mencakup juga outdoor sitting area dan rumah kaca.

Salah satu spot yang saya suka adalah sitting area dengan langit-langit setinggi empat lantai. Di area ini ada set sofa, kursi, dan meja bergaya mid-century. Karena menyambut libur Natal, ada juga pohon Natal di area ini yang tampil cantik dengan dekorasi-dekorasi Natal yang dominannya berwarna putih dan emas. Di depan sitting area ini adalah ruangan terpisah yang bisa digunakan sebagai bagian dari restoran atau semacam tempat rapat. Di ujung restoran juga ada area makan lain yang menawarkan view jalan Sutami.

IMG_20181221_092238
Greenhouse
IMG_20181221_092328
Fasad hotel

Ketika indoor seating area penuh, tamu bisa makan di outdoor seating area atau di dalam rumah kaca. Rumah kaca ini bisa digunakan untuk acara-acara semiformal kayak pesta ulang tahun atau semacamnya. Kalau cuaca lagi bagus, outdoor seating area ini pas dipilih untuk makan malam karena cantik dengan lampu-lampu dekoratif.

Dengan desain yang menawan seperti ini, nggak heran kalau Hara banyak pengunjungnya. Sayangnya, tempat parkir di depan bangunan utama sendiri nggak luas jadi ketika lagi ramai, mungkin akan susah buat dapat tempat parkir. Untungnya, ada tempat parkir tambahan di dekat kawasan Kollektiv Hotel.

Lokasi

Berdiri di jalan Prof. Dr. Ir. Sutami, hotel ini punya lokasi yang cukup dekat dari mal Paris van Java (kira-kira 10 menit lah kalau pakai mobil, tergantung kondisi lalu lintas). Kalau dari Maranatha, pakai mobil ya sekitar 5-10 menit.

Di dekat hotel sendiri ada banyak kafe dan tempat makan lain yang bisa dikunjungi, seperti Level atau Hankook Kwan. Di Setrasari Mall sendiri ada lebih banyak pilihan tempat makan dan kafe. Sayangnya, area jalan Sutami ini sering kali macet di wkatu-waktu  tertentu, terutama jam pulang kerja atau weekend. Meskipun demikian, kawasan ini cukup tenang jadi buat beristirahat sih nyaman lah.

Untuk kebisingan sendiri, ketika saya menginap suara-suara musik justru berasal dari Hara. Kebetulan saat itu lagi ada acara (sepertinya Christmas dinner) dan suaranya terdengar sampai kamar, walaupun memang diadakannya bukan pas jam tidur jadi ya nggak begitu mengganggu lah. Kamarnya pun cukup kedap suara kok.

Kesimpulan

Mengedepankan desain industrial dan memanfaatkan kontainer-kontainer sebagai ruang tinggal, Kollektiv Hotel menawarkan pengalaman menginap yang berkesan dan mengasyikkan. Proses check-in mudah dan cepat. Kondisi kamar juga baik dengan desain yang simpel, tapi menawan. Selain itu, hotel ini juga punya banyak spot Instagrammable yang layak buat jadi background foto.

Interior kamar lebih cenderung bergaya Scandinavian atau mid-century, dan menurut saya ini lebih nyaman. Meskipun ukurannya nggak begitu luas, kamar saya punya in-room amenities yang cukup lengkap, dari mulai tea/coffee maker sampai hair dryer. Untuk hotel bintang dua, hair dryer sepertinya jarang ada di kamar tipe Superior (sejauh ini sih saya jarang nemu hair dryer, bahkan di kamar tipe Superior hotel bintang tiga). Selain itu, aroma lemongrass yang menenangkan, serta sabun dan sampo beraroma earl grey tea bikin saya nyaman di kamar.

Meskipun nggak berada tepat di pusat keramaian, kawasan jalan Sutami sering kali macet di jam pulang kerja atau weekend. Untungnya, suasana hotel yang teduh dan rimbun jadi semacam oasis di tengah ingar bingar kota Bandung. Dengan rate mulai dari sekitar 450 ribu rupiah per malam (berdasarkan info dari Tripadvisor), Kollektiv Hotel bisa jadi pilihan Instagrammable yang menawarkan pengalaman menginap yang menenangkan, tanpa harus jauh-jauh pergi dari pusat kota. Buat kabur sejenak atau nginep sambil bawa kerjaan sih cocok deh.

Pros & Cons

👍🏻 Pros

  • Konsep containers turn hotel menjadi kelebihan Kollektiv. Public space didesain dalam gaya industrial, sementara kamar-kamarnya lebih mencerminkan gaya Scandinavian dengan sedikit sentuhan mid-century.
  • Banyak tanaman di dalam hotel yang bikin suasana jadi sejuk dan teduh.
  • Lokasinya berada di antara kawasan Sukajadi dan Surya Sumantri. Mau ke Paris van Java lumayan dekat. Mau makan di daerah Maranatha juga lumayan dekat.
  • Sampo dan sabun di kamar mandi punya aroma earl grey yang menenangkan. Di kamar juga ada reed aromatherapy diffuser dengan minyak lemongrass yang bisa ngilangin stres.
  • Banyak tempat Instagrammable di hotel, termasuk greenhouse di luar restoran.
  • Untuk ukuran makanan hotel, harga menu untuk in-room dining masih masuk akal dan agreeable.
  • Ada hair dryer di kamar.

👎🏻 Cons

  • Meskipun nggak sampai claustrophobic, kamar tipe Superior nggak begitu luas.
  • Kawasan jalan Sutami bisa macet parah pada jam pulang kerja atau weekend.
  • Area parkir hotel nggak besar, tapi ada tempat parkir tambahan nggak jauh dari hotel (agak inconvenient kalau harus bolak-balik dari hotel ke area parkir ini).
  • Suara atau musik dari restoran (ketika ada acara) bisa kedengaran sampai kamar, bahkan di kamar saya yang posisinya di ujung lantai empat.

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌😶
Desain: 😆😆😆😆😶
Lokasi: 🤩🤩🤩⚪️⚪️
Harga: 💰💰💰

Review: de Braga by ARTOTEL

Beberapa minggu yang lalu, saya berkesempatan untuk menginap di hotel ini. Kebetulan di hari kunjungan, ada Light Fest yang diadakan di sepanjang jalan Asia Afrika jadi bisa dibilang kunjungan saya lengkap deh dengan festival tersebut. Selain itu, karena dekat dari jalan Asia Afrika, bolak-balik dari hotel ke depan Museum Konferensi Asia Afrika juga nggak perlu jalan jauh.

de-braga-by-artotel
Fasad dan bangunan utama de Braga by ARTOTEL. Foto milik pihak manajemen.

de Braga by ARTOTEL berlokasi di jalan Braga no. 10, Bandung. Berada di kawasan jalan Braga pendek, lokasinya dekat banget dengan Museum Konferensi Asia Afrika (dan yang paling bikin saya senang, dekat banget dengan Starbucks Asia Afrika. Yay!). Sebelum menjelma jadi de Braga by ARTOTEL, di atas lahan yang ditempati hotel ini dibangun Sarinah, dan Sarinah ini masih sama dengan Sarinah yang di Jakarta. Di lantai lobi, Sarinah ini masih dipertahankan dalam bentuk satu toko kecil yang menjual barang-barang khas Indonesia, kayak kemeja batik, pernak-pernik etnik, dan semacamnya.

Dari segi eksterior, fasad asli bangunan Sarinah masih dipertahankan, hanya saja bangunannya dialih fungsikan jadi terrace café yang memanjang. Di belakangnya, ada bangunan utama hotel dengan desain yang mengingatkan saya sama salah satu gedung bergaya modernist tahun 60-an di New York. Ada semacam vibe Villa Savoye desain Le Corbusier kalo menurut saya sih.

Akomodasi bintang empat ini memiliki 112 kamar yang terbagi ke dalam 3 tipe: Studio 25, Studio 35, dan Suite. Untuk fasilitas, hotel ini punya kolam renang, restoran, terrace café, MEETSPACE, dan art space. Nah, kalau tentang fasilitas, saya sempat coba berenang di kolam renangnya. Untuk kamar, saya pilih Studio 25 yang, meskipun merupakan opsi kamar paling kecil, tapi masih bisa give something big for me. Ulasan lengkapnya di bahas di segmen berikutnya ya!

Desain Kamar

Berada di lantai 9, kamar saya berada di sisi selatan dengan jendela menghadap ke kawasan jalan Asia Afrika. Jendelanya besar, meskipun bukan berjenis floor-to-ceiling. Meskipun sedikit terhalangi hotel tetangganya, saya masih bisa mendapatkan view yang cantik dari kamar. Bahkan waktu ada Light Fest, karena cukup pusing dengan banyaknya orang yang nonton di sekitar jalan Asia Afrika, saya memutuskan untuk kembali ke hotel dan nonton festival dari kamar. Sambil duduk di samping jendela, saya bisa nonton festival dan ngemil biskuit. Nonton di bawah secara langsung pun agak rugi karena badan saya kecil, jadi kehalangin orang-orang yang lebih tinggi.

tenor
Aku ‘kan jadinya murka dalam hati

Nah, sekarang waktunya bahas desain kamar. Satu hal yang saya suka dari hotel ini adalah mereka bisa mengawinkan interior sleek modern dengan sentuhan contemporary industrial dan art-deco. Ini semacam beberapa layer bertumpuk-tumpuk, tapi sleek modern merupakan desain dasar kamarnya. Dua gaya lainnya jadi semacam pelengkap. Yang bikin kamar saya lebih artistik adalah adanya dua mural di dinding kamar, satu di belakang headboard, dan satu lagi di dinding sebelah tempat tidur. Pokoknya muralnya Instagram-material banget! Untuk pencahayaan, wall lights-nya berdesain simpel, berupa sphere berwarna putih dengan lampu berwarna kekuningan untuk memberikan kesan mewah di malam hari. Di atas meja belajar juga ada satu ceiling light dengan desain yang senada dengan wall lights.

IMG_20181021_121533
Interior kamar. Space-nya luas dan terasa sejuk.

IMG_20181021_121601
Dua mural di kamar. Unyu maksimal!

IMG_20181021_121540
Mural besar di atas headboard. Unyu maksimal!

IMG_20181021_121549
Televisi 42 inci dan meja kerja.

Palet warna kamar menggunakan warna putih sebagai warna utama yang memberikan kesan bersih dan sejuk. Pemilihan warna-warna monokrom seperti hitam, abu-abu, dan blue black memberikan kesan bold dan modern. Lantai kayu berwarna cokelat membangun nuansa yang lebih homyFor a colorful splash, ada mural warna-warni… karena hidup kalau monoton ‘kan nggak asik. You need some colors to make your life colorful, lah!

tenor31
Itu petuah dari Sehun ya. Harap diingat!

Bicara fasilitas kamar, ada televisi 42 inci lengkap dengan kanal-kanal lokal dan internasional, jaringan WiFi, dan AC. In-room amenities dasar sih sudah jelas ada jadi nggak perlu khawatir lah. Slippers juga tersedia dan desainnya lucu. Nah, di kamar juga ada mesin Nescafe Dolce Gusto Piccolo buat bikin kopi. Yang saya dapat adalah varian Espresso Intenso dan karena saya bukan penggemar berat kopi, saya tambahin krimer supaya rasanya lebih soft.

IMG_20181021_121834
Mesin Dolce Gusto Piccolo dan kopinya. Ngopi napa ngopi?!

Kamar Mandi

Kalau interior utama kamar mengusung sleek modern sebagai desain utama, kamar mandinya justru lebih kental dengan desain rustic industrial, dipadukan dengan sentuhan art-deco. Agak nabrak ya? Nggak kok!

Interior kamar mandi tampak cantik dalam balutan tiles berdesain “bata ekspos” warna putih. Supaya kontras, lantainya berwarna abu-abu tua. Kesan mewah ditampilkan melalui wastafel dan cermin kamar mandi. Wastafelnya punya marble countertop, dan di atasnya ada cermin berbentuk segi empat dengan kerangka besi yang desainnya mengingatkan saya dengan The Great Gatsby. Ya, bisa dibilang desainnya Gatsby-esque lah kalau nggak sepenuhnya art-deco ala Gatsby.

IMG_20181021_121713
Area shower

IMG_20181021_121731
Marble sink dengan cermin Gatsby-esque

IMG_20181021_121740
Bathroom amenities wajib

Handuk, tisu, dan alat-alat mandi lainnya sudah tersedia di kamar mandi. Untuk shower-nya, ada rainshower dan shower tangan. Aliran dan suhu airnya stabil jadi lumayan lah untuk ber-shower ketika galau. Kalau perlu mengeringkan rambut, ada hair dryer yang disimpan di dalam lemari pakaian, tepat di luar kamar mandi. Pencahayaannya juga decent karena, seperti yang saya sering bahas di artikel-artikel sebelumnya, saya nggak suka mandi di kamar mandi yang remang-remang karena rasanya muram.

tenor1
Aku nggak mau bermuram durja di bawah shower 😦

Fasilitas Umum

Buat melengkapi kebutuhan pengunjung, de Braga by ARTOTEL sudah dipersenjatai dengan beberapa fasilitas umum. Kalau mau ngopi, bisa ke terrace café yang ada di lantai lobi. Menurut saya, kafe ini cantik banget dari segi desain dan posisi. Berada di samping trotoar, sambil ngopi ‘kan bisa sambil menikmati suasana jalan Braga pendek yang relatif lebih tenang dibandingkan jalan Braga panjang.

IMG_20181021_153342
Kafe ini juga bisa dikunjungi oleh umum kok.

Kalau mau sarapan, ada restoran yang posisinya berada di samping rooftop garden yang pas buat main atau nongkrong. Karena palet dasar interiornya adalah hitam putih, furnitur-furnitur bergaya kontemporer dengan warna cerah dan mural-mural cantik memberikan colorful splash yang ceria buat menemani momen bersantap. Di luar restoran, ada area terbuka dengan rumput sintetis yang bisa jadi tempat yang pas untuk ngobrol bareng teman-teman di sore hari ketika matahari nggak begitu terik, atau main monopoli atau UNO.

This slideshow requires JavaScript.

Sebagai fasilitas hiburan slash olahraga, hotel ini punya kolam renang yang bisa diakses melalui pintu yang berada nggak jauh dari area restoran, tepatnya di dekat lift. Ukuran kolam renangnya cukup besar, hanya saja sayangnya dibatasi oleh dinding yang cukup tinggi sehingga saya nggak bisa melihat pemandangan daerah sekitar dengan mudah. Kalau mau lihat ke area jalan Braga pendek, saya harus jadi kayak anak-anak yang suka jinjit atau manjat tembok gitu. Padahal, view dari kolam renang sebetulnya bagus.

IMG_20181021_151606
Area kolam renang. Kursi dan recliner-nya nggak banyak.

Kedalaman kolam renang utama nggak melebihi 1,5 meter jadi buat yang mau belajar renang, masih aman lah (saya lihat banyak anak-anak kecil yang malah nyeburnya ke kolam renang utama). Kolam anaknya dipisahkan oleh semacam dinding pembatas yang di atasnya ada beberapa stepping stones warna krem. Ketika saya berenang, lagi ada beberapa pengunjung lain pula yang berenang. Sayangnya, karena kursi dan recliner buat pengunjung nggak banyak, pengunjung yang nggak kebagian harus simpan barang bawaannya di dekat planters. Selain itu, area kolam renang juga kekurangan spot teduh. Walhasil, produk elektronik kayak HP atau iPod akan terpapar cahaya matahari langsung kalau nggak dimasukkan ke tas (even dimasukkan pun tetap panas, berdasarkan pengalaman pribadi). Kamar mandi dan shower box untuk bilas bisa diakses melalui gang kecil yang ada di sisi timur kolam renang.

Selain fasilitas umum, beberapa public space di hotel ini juga artistik. Sesuai lah dengan embel-embel art-nya. Salah satu spot yang paling sering muncul di Instagram adalah tangga yang menghubungkan lantai restoran dengan lobi. Di lobi sendiri, ada beberapa instalasi seni, seperti wall art besar berwarna pink di samping lift.

This slideshow requires JavaScript.

 Lokasi

Nah, bicara soal lokasi, de Braga by ARTOTEL ini menurut saya pilihan terdepan, terutama kalau ingin nginep di kawasan Asia Afrika atau Braga. Kalau ingin dapat view kawasan Asia Afrika, minta kamar yang ada di sisi selatan. Kalau di sisi utara, bisa dapat view kawasan jalan Braga dan sekitarnya. Kembali lagi ke preferensi pribadi sih.

Hotel ini cuman berjarak sekitar 5 menit dari Museum Konferensi Asia Afrika. Mau makan atau nongkrong di Braga? Jalan kaki sepuluh menit juga jadi. Oh ya, dengan jarak yang sama juga kita bisa main ke kawasan Alun-Alun dan Masjid Raya Bandung. Dari sana, kita bisa lanjut jalan ke shopping district Dalem Kaum dan Kepatihan.

Nggak jauh dari hotel, ada Pasar Barang Antik Cikapundung. Kalau kamu penggemar barang-barang antik, di sini ada berbagai macam barang nostalgic, dari mulai furnitur, mainan, sampai old records yang masih bisa diputar pakai gramofon! 

Kesimpulan

Kalau dari segi kamar, saya bisa bilang Studio 25 yang saya tempati ini semacam little engine that could do big things. Meskipun kelasnya paling kecil, tapi ukuran kamarnya ternyata luas dan in-room amenities-nya lengkap, terutama dengan kehadiran si Nescafe Dolce Gusto Piccolo. Desainnya pun cantik dan Instagrammable, apalagi kalau foto di atas tempat tidur dengan latar belakang mural yang unyu maksimal.

Bathroom amenities juga lengkap. Rainshower ada, shower tangan ada, jadi urusan mandi sih saya bisa bilang nyaman dan syahdu (karena ber-shower itu syahdu loh, terutama di malam hari dan pakai air hangat). View dari kamar juga keren. Saya suka banget.

Fasilitas penunjang di de Braga by ARTOTEL ini memuaskan, terutama kolam renang dan rooftop garden-nya. Meskipun terasa agak sempit karena dinding pembatasnya yang cukup tinggi, saya tetap bisa lihat view di sekitar kolam renang yang keren. Kekurangan tambahannya ya nggak banyak kursi dan recliner buat pengunjung jadi please expect some “hunger games” ya. Untuk rooftop garden-nya sendiri, saya suka karena tempat itu jadi semacam spot yang pas buat main dan ngobrol bareng teman-teman. Dari aspek lokasi, hotel ini memungkinkan saya buat beraktivitas di pusat kota Bandung, tanpa harus berkendara jauh.

Ada satu hal lagi yang saya suka dari hotel ini. Ketika pesan, saya biasanya kirimkan personal requests. Saat tiba, semua personal requests saya terealisasi: kamar di lantai tinggi, no-smoking room, big bed, jendela dengan pemandangan kota, dan early check-in dan late check-out. Saya tiba di hotel ini sekitar jam 12 dan awalnya hanya ingin titip barang, setelah itu makan siang sambil nunggu waktu check-in. Ternyata, kamarnya sudah siap dan udah boleh masuk ke kamar. Oh, betapa senangnya Sehun~

tenor
AYAFLUUUU~

Dengan harga mulai dari sekitar 550 ribu per malam (perhitungan rata-rata dari Tripadvisor dan Agoda), hotel bintang empat ini menawarkan pengalaman menginap yang menyenangkan. Interior kamar kontemporer yang keren, mural-mural ceria, dan lokasi premium membuat de Braga by ARTOTEL layak jadi pilihan kalau kamu ingin menginap di kawasan Braga atau Asia Afrika.

Pros & Cons

👍🏻 Pros

  • Interior kamar tampil unik dan keren dengan perpaduan desain modern, contemporary industrial, dan sedikit sentuhan art deco.
  • Setiap kamar dipercantik dengan mural yang Instagrammable.
  • Ada mesin Nestle Dolce Gusto Piccolo buat bikin kopi.
  • Lokasi ada di jantung kota Bandung. de Braga by ARTOTEL hanya sekitar 2 menit aja jalan kaki dari Museum Konferensi Asia Afrika dan kawasan jalan Braga. Kalau Alun-Alun dan Mesjid Raya sih jalan kaki palingan sekitar 5-10 menit.
  • Di samping restoran, ada area terbuka dengan rumput sintetis yang cocok buat ngobrol atau main sama teman dan keluarga.
  • Rate-nya terbilang terjangkau dan agreeable untuk hotel di kelasnya.
  • Personal request saya berhasil dipenuhi semua (hopefully the same thing goes for you as well ya).

👎🏻 Cons

  • Area kolam renang kurang tempat duduk dan spot teduh.
Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌😶
Desain: 😆😆😆😆😶
Lokasi: 🤩🤩🤩🤩😶
Harga: 💰💰💰