Category Archives: Distinctive

Review: Maison Teraskita Hotel Bandung

Ada yang spesial soal properti yang satu ini. Awalnya, saya nggak tahu kalau ini adalah sebuah boutique hotel. Seperti biasa, Instagram menampilkan banyak iklan dan tiba-tiba, iklan properti ini muncul. Namun, karena yang ditampilkan adalah foto makanan dan piano (oh! You guys know how much I love playing piano!), walhasil saya pun kepikiran datang untuk sekadar ngopi dan main piano. Kebetulan, waktu itu saya memang habis menginap di hotel lain. Waktu tiba, saya baru sadar kalau ternyata apa yang saya kira kafe ternyata merupakan bagian dari hotel. 

Saya pun langsung cek Instagram dan googling soal properti ini. Berhubung rate-nya sedang murah dan saya juga nggak begitu sibuk dengan kerjaan, saya putuskan untuk mendadak nginep di hotel ini. Ya, improptu aja. Bahkan, ada staf hotel yang sampai kaget karena saya tiba-tiba check-in, padahal awalnya hanya makan siang dan main piano. Turned out keputusan saya buat stay di hotel ini nggak salah because the hotel really lived up to its name.

review maison teraskita hotel bandung
Fasad Maison Teraskita Hotel Bandung

Maison Teraskita Hotel Bandung adalah salah satu hotel baru di Bandung. Properti bintang empat ini setahu saya beroperasi sejak tahun 2020 (di tahun 2019, kalau nggak salah bangunannya masih direnovasi). Bangunan hotel ini sendiri sebetulnya sudah unik. Saya coba cari tahu lebih lanjut soal bangunan peninggalan era kolonial Belanda yang sekarang menjadi hotel. Dilansir dari Property and The City, Maison Teraskita Bandung menempati bangunan kantor Waskita Karya yang juga merupakan salah satu bangunan cagar budaya grade B di Bandung. Bangunan tersebut konon sudah ada sejak tahun 1910an. 

Saya masih penasaran dengan sejarah gedung Maison Teraskita Bandung di era kolonial dulu. Pencarian di Google membawa saya ke sebuah artikel dari Cianjurpedia yang membahas riwayat gedung tersebut. Bagian bangunan yang menjadi wajah hotel ternyata dibangun di tahun 1913 dan digunakan sebagai kantor cabang Siemens. Anak milenial pasti nggak asing deh dengan nama Siemens. Pasalnya, Siemens adalah salah satu brand HP yang terkenal pada zamannya (ingat ringtone yang juga dipake sebagai ringtone HP Sanchai di serial  Meteor Garden?). Gedung ini sendiri sebetulnya bernama NV. Volker Aanemings Maatschappij, tetapi memang kemudian lebih dikenal sebagai Gedung Siemens. Di tahun 1961, gedung mengalami renovasi yang menyebabkan perubahan pada bentuknya. Setelah itu, gedung pun digunakan sebagai kantor Waskita Karya. 

review maison teraskita hotel bandung
Gedung kantor Waskita Karya sebelum menjadi Maison Teraskita | Credit: Sepanjang Jalan Kehidupan

Maison Teraskita Hotel Bandung adalah addition baru bagi portfolio The Gala Hotels Group. Berdasarkan informasi yang saya lihat dari situs resmi The Gala Hotels Group, hotel ini adalah properti pertama mereka di Bandung. Dua properti lainnya berada di Jakarta (and are definitely on my to-go list). Terdapat 84 kamar dan suite yang tersedia di hotel bintang 4 di Bandung ini. Soal fasilitas, ada rooftop swimming poolgym, restoran, dan kafe. Di koridor lift, ada beberapa ruangan kosong yang katanya sih akan jadi barbershop, tapi terakhir kali saya ke sana (saya sudah menginap dua kali, dan yang terakhir adalah bulan Agustus 2021), ruangan tersebut masih kosong. 

Ada 8 tipe kamar di hotel ini. Saat menginap di hotel ini, saya menempati kamar tipe Deluxe Maison Double. Oh, ya! Saya juga berkesempatan bertemu Bapak Alexander selaku director of sales marketing hotel (sayangnya beliau sudah tidak di Maison Teraskita lagi menurut salah satu staf hotel), dan juga chef hotel. Ulasan lengkap hotel dan cerita lainnya, as usual, saya bagikan di segmen berikutnya, ya!

Desain Kamar

Dari namanya, saya bisa menebak konsep yang dihadirkan oleh Maison Teraskita Hotel Bandung. Informasi ini juga diperkuat oleh pernyataan Bapak Alexander mengenai konsep hotel. Saat tiba di lobi, saya sudah bisa melihat manifestasi dari tema utama yang diusung hotel. Begitu tiba di kamar, saya bisa membayangkan diri berada di salah satu apartemen bergaya contemporary Parisian di pusat Paris. Hanya saja, dari jendela kamar, saya bisa melihat minaret Masjid Raya Bandung, dan bukan Menara Eiffel. Ya, setidaknya masih di Paris van Java lah ya.

Tipe Deluxe Maison Double memiliki luas 24 meter persegi. Bentuk kamar sebetulnya unik karena bukan persegi, melainkan trapesium. Dengan bentuk ruangan seperti ini, jendela kamar bisa diposisikan agar menghadap ke Masjid Raya Bandung, dan bukan langsung menghadap ke bangunan Jiwasraya. Hanya saja, dimensi jendela yang tinggi, dan bukan melebar, membuat pencahayaan alami di kamar terbilang kurang. 

Atmosfer khas apartemen bergaya Parisian langsung terasa begitu saya masuk ke kamar. Dinding kamar tampil mewah dalam balutan panel kayu berwarna putih. Untuk lantai, digunakan parket berwarna medium yang membangun kesan hangat. Sebagai focal point, dinding di belakang tempat tidur menggunakan panel kayu berwarna turquoise (tapi menurut saya, lebih biru sih). Langit-langit di area utama kamar cukup tinggi dan dilengkapi built-in lighting yang membuat ruangan terang, tanpa terasa terlalu silau.

Satu hal yang saya suka dari kamar ini adalah adanya potted plant. Ditempatkan di samping sofa, adanya tanaman membuat kamar terasa lebih segar dan lived-in, as if the room is really an apartment. Sayangnya, penempatan sofa dan meja kopi justru membelakangi televisi, dan bukan menghadap ke televisi. Walhasil, saya harus duduk di tempat tidur kalau ingin nonton televisi. Untuk tempat tidur sendiri, seperti yang bisa dilihat di foto, ternyata merupakan dua twin bed yang digabungkan. Saya sedikit kecewa sebetulnya. Headboard tempat tidur tampil sederhana dengan bentuk rectangular, tetapi unik karena dibuat dari anyaman rotan. Tidak ada end table di kedua sisi tempat tidur. Sebagai gantinya, lampu meja digantikan oleh wall lamp bergaya modern minimalist. Telepon pun dipasang di dinding dan, sayangnya, gagangnya sering jatuh. Buat yang biasa simpan HP atau jam tangan di end table, di sini HP harus disimpan either di meja kopi, meja kerja, or kasur.

Di ujung ruangan, terdapat nook dengan dinding bertekstur kasar yang dipisahkan oleh vitrage dan gorden berwarna hijau zamrud tua. Dengan meja kecil dan kursi rotan, area ini saya duga merupakan area kerja, meskipun sejujurnya kursinya kurang nyaman untuk dipake ngetik-ngetik kerjaan. Namun, dari area ini, saya bisa melihat bangunan Masjid Raya Bandung sambil kerja. Pemandangannya kurang “lega” memang, tapi setidaknya there was something I could see while working.

Di vestibule, terdapat satu kabinet untuk menyimpan kulkas mini dan coffee/tea maker. Untuk teh, Maison Teraskita Hotel Bandung menggunakan produk-produk teh Walini. Di sampingnya terdapat gantungan pakaian sebagai pengganti lemari atau closet. Sebetulnya, saya kurang begitu suka gantungan pakaian yang terbuka karena kesannya jadi rame atau riweuh, terutama ketika saya ngegantung banyak pakaian. Di setiap kamar, tersedia bathrobe dan slippers yang nyaman. Oh, ya. AC di kamar masih menggunakan unit terpisah, bukan AC sentral. Not a big problem for me sebetulnya.

Sayangnya, saya mengamati maintenance kamar tampaknya kurang optimal. Area di sekitar sakelar dan stopkontak tampak retak dan kurang rapi. Selain itu, cat pada dinding di sekitar bagian bawah jendela kamar mandi juga sudah mengelupas. Saya menyayangkan hal ini, mengingat properti ini masih terbilang baru dibuka. Semoga ke depannya maintenance kamar bisa ditingkatkan, ya.

Kamar Mandi

This is one of my favourite part waktu menginap di Maison Teraskita Bandung. Kamar mandi di tipe Deluxe Maison Double punya ukuran yang decent. Tidak besar, tapi nggak claustrophobic juga. Dari aspek desain, interiornya mengusung perpaduan Industrial dengan Art Deco. Interior kamar mandi ini mengingatkan saya dengan interior kamar mandi di de Braga by ARTOTEL. Pencahayaan kamar mandi juga bagus dan seperti yang mungkin kalian tahu, saya nggak suka kamar mandi yang redup.

Area shower dipisahkan dari area lain kamar mandi dengan dinding dan split level. Sayangnya, dinding pemisah ini kurang panjang dan split level-nya pun kurang signifikan untuk mencegah luapan air. Walhasil, saat saya mandi, air pun jadi luber ke sana sini. Adanya rainshower (meskipun piringannya nggak besar) membuat momen mandi saya jadi lebih menyenangkan. Bathroom fixture di kamar mandi pun memiliki desain modern classic (bisa dilihat dari desain shower tangan). What’s better, Maison Teraskita Hotel Bandung menghadirkan body wash dan shampoo dari koleksi Calming milik Sensatia Botanicals.

Kloset ditempatkan di sisi timur kamar. Di dinding di belakangnya terpasang foto salah satu sisi kota Bandung dengan filter hitam putih yang menambah kesan artsy pada interior kamar mandi. Sebetulnya, di kamar pun tersedia hair dryer, tetapi tidak disimpan di kamar mandi. Hair dryer disimpan di dalam tas kecil yang digantung pada gantungan, di dekat bathrobe. Jadi, kalau bicara soal fasilitas kamar mandi sih, saya rasa sudah lengkap. Actually, it was better than expected.

Fasilitas Umum

Teras Cafe

Salah satu fasilitas umum di Maison Teraskita yang menurut saya sangat prominent adalah kafenya. Teras Cafe berada di lantai dasar hotel dan menempati area lobid dan teras depan. Oh, ya! Untuk yang baru datang kali pertama atau mungkin sekadar lewat, mungkin nggak sadar kalau ini adalah hotel. Pasalnya, yang terlihat dari trotoar memang kafenya, meskipun outdoor area-nya cenderung tersembunyi di balik pagar bertanaman rambat. Namun, dengan konsep seperti ini, vibe Parisian cafe-nya justru dapet banget. Bisa dibilang, kafe ini jadi semacam oasis tersembunyi di tengah ingar bingar kawasan Alun-Alun Bandung. 

Focal point teras ini adalah air mancur bergaya klasik yang tampak cantik, baik di siang maupun malam hari (terutama malam hari karena ditambah pencahayaan yang pas). Meja-meja persegi dipadukan dengan kursi-kursi rotan dan beberapa parasol sebagai peneduhnya. Dikeliling bunga dan semak-semak, area teras kafe ini selain cantik juga cozy, terutama di sore hari. Di malam hari, area teras terasa romantis, terutama saat diterangi lampu-lampu. Sebagai penutup tanah, digunakan batu-batu kerikil yang, menurut saya sih, agak bikin was-was ketika jalan. Beberapa kali saya hampir jatuh karena kerikil-kerikil tersebut. Selain itu, kerikil-kerikil di tanah bikin kursi dan meja jadi kurang stabil. 

Pintu besar dengan frame berwarna teal gelap menyambut saya saat akan masuk ke lobi Maison Teraskita yang merangkap indoor area kafe. Tepat di sisi kanan pintu, ada tangga menuju lantai dua. Tangga berbentuk “L” ini masih menggunakan desain aslinya, tetapi dipercantik dengan runner bermotif foliage. Kurang “wah” untuk disebut grand staircase, tetapi sangat “wah” untuk sekadar disebut tangga biasa. Di dekat tangga, ditempatkan potted plant besar yang tidak hanya mempercantik ruangan, tetapi juga memberikan sentuhan segar “ijo royo-royo” pada interior kafe.

Lobi dan area indoor kafe diterangi jendela-jendela besar yang berada di sisi depan bangunan. Panel kayu berwarna putih melapisi dindingnya, sementara flooring menggunakan lantai kayu bermotif herringbone. Mungkin ada yang sudah tahu apa yang saya suka dari kafe ini. Ya, pianonya! Di bawah tangga, terdapat sebuah baby grand piano Yamaha (sepertinya tipe G1 karena ukurannya memang nggak begitu besar). Saat menginap (dan setiap ke kafe ini), saya selalu main piano itu dan para staf hotel ternyata senang (hore!). Kondisi piano baik, tetapi sering kali keyboard-nya berdebu. Maklum, dengan jendela dan pintu yang dibuka dan posisi hotel tepat menghadap ke Jalan Asia Afrika yang ramai, polusi dan debu dari luar bisa masuk dengan mudah. Hanya saja, terakhir kali saya main (sekitar satu dua minggu sebelum post ini diterbitkan), ada beberapa not yang agak fals.

Area indoor memiliki meja dan kursi yang lebih sedikit. Selain itu, para pengunjung kafe pun harus berbagi tempat dengan para tamu hotel. Kursi-kursi rotan digunakan pula di dalam kafe. Namun, dengan meja kopi, area indoor kafe sepertinya lebih cocok buat ngemil dan ngopi dibandingkan untuk makan with good posture. Lampu lantai dan gantung bergaya orb menjadi sumber penerangan sintetis. Desainnya pun memberikan sentuhan Art Deco pada interior kafe, terutama saat dipadukan dengan foto-foto berbingkai hitam di dinding. Dengan pencahayaan berwarna hangat, kafe ini terasa hangat, cozy, dan mewah, terutama saat hujan sore-sore atau di malam hari. 

Waktu kali pertama datang, saya pesan spaghetti aglio e olio untuk makan siang. Untuk minuman, saya lupa namanya apa. Untuk makanannya, jujur saya suka karena pesanannya sesuai custom order saya: tanpa keju sama sekali dan tingkat kepedasannya pas. Tingkat keasinannya ke arah rendah, tapi justru saya bisa merasakan gurih dari bahan-bahan lain. Rotinya renyah dan gurih, dan nggak sampai asin yang bikin pusing. Untuk minumannya, base-nya green apple syrup yang kentara. Sisanya sepertinya ada blue curacao-nya atau apa, tapi yang paling kentara sih green apple. Untuk rasanya, fine lah.

Dengan dwifungsinya sebagai lobi hotel dan indoor dining area, saya menduga area ini akan sangat ramai ketika hotel lagi banyak tamu, dan kafe lagi banyak pengunjung. Mungkin beberapa pengunjung kafe bisa diarahkan ke lantai dua atau teras. Nah, di lantai dua sendiri ada bar, dan di dekatnya ada pintu menuju restoran hotel yang digunakan sebagai tempat sarapan para tamu. Area lantai dua seingat saya hampir selalu kosong. Mungkin karena area ini tampaknya lebih difokuskan sebagai restoran, dan bukan kafe.

Singkatnya, Teras Cafe di Maison Teraskita Bandung bisa jadi tempat nongkrong cantik yang nyaman di pusat kota Bandung. Desain interiornya menjadi salah satu keunggulan kafe ini. Gaya modern Parisian, dipadukan dengan beberapa elemen vintage dan Art Deco membuat kafe ini makin cantik dan Insta-worthy. Namun, saya ingin ngasih tahu soal harga menu. Karena merupakan bagian dari hotel, perlu diingat bahwa pajak dan service charge-nya adalah 21%, dan bukan 10-15%. PPN + service charge sebesar itu bisa bikin harga nett jadi lebih tinggi secara signifikan.

Restoran

Restoran hotel berada satu lantai di atas lobi dan bisa diakses lewat lift maupun tangga. Area restoran cukup luas dan mencakup balkon sebagai smoking area. Dari segi interior, gaya modern Parisian tetap diusung. Restoran hotel berada satu lantai di atas lobi dan bisa diakses lewat lift maupun tangga. Area restoran cukup luas dan mencakup balkon sebagai smoking area. Dari segi interior, gaya modern Parisian tetap diusung. Hanya saja, terlepas dari luasnya, meja dan kursi yang tersedia cukup terbatas sih kalau saya amati. Di bagian tengah restoran, ada semacam island untuk bufet dan dari island tersebut, kita bisa “ngintip” ke arah dapur. Cukup seru sih, terutama ketika kita pada akhirnya bisa accidentally lihat live cooking show. Kursi-kursi rotan dipadukan dengan sectional sofa berlapis kain berwarna biru “horang kaya”, membangun atmosfer casual chic, tapi juga elegan. 

Soal menu breakfast, pihak hotel akan tanya kita mau makan apa saat check-in. Mereka akan kasih semacam form untuk kita isi, dan di form itu disebutkan makanan-makanan yang akan disajikan untuk sarapan keesokan paginya. Kita bisa centang makanan yang kita mau nikmati, dan kosongkan makanan yang kita nggak mau. Menurut saya, ini jadi sistem yang bagus karena pihak hotel hanya perlu menyajikan apa yang kita minta, dan nggak perlu menyajikan makanan atau minuman yang nggak kita akan ambil (dan mungkin pada akhirnya jadinya mubazir karena nggak dimakan). Less food waste, better life. Menu sarapan saya simpel, tapi cukup mengenyangkan. Dan entah, pom pom itu kenapa ya rasanya asin banget? Apakah setiap restoran atau gerai yang jual kentang pom pom itu nambahin garamnya kebanyakan, atau memang dari pabriknya garamnya udah banyak banget?

Kolam Renang

Fasilitas lain yang tersedia di Maison Teraskita Bandung (dan yang jadi favorit saya) adalah kolam renangnya. Berada di lantai rooftop, area kolam renang hotel menawarkan pemandangan pusat kota Bandung yang kece banget! Dari segi ukuran, kolam renang ini punya dimensi memanjang. Simpel, sebetulnya dan terbilang ramping. Namun, karena dimensinya memanjang, kolam renang ini cocok buat latihan bolak-balik beberapa lap.

Area duduk dibagi menjadi dua sisi. Karena bentuk kolam memanjang, kursi-kursi dan meja-meja ditempatkan di kedua ujung kolam renang. Sayangnya, nggak ada parasol untuk meneduhi tempat-tempat duduk di sini. Walhasil, kalau cuaca lagi panas banget, mau nggak mau harus siap-siap benar-benar berenang dan beraktivitas di bawah paparan cahaya matahari. Ini yang saya sayangkan sebetulnya. Selain itu, jumlah meja dan kursi yang ada juga sangat terbatas, mengingat area duduknya pun nggak begitu besar. Bisa dibayangkan kalau tingkat okupansi hotel lagi tinggi dan tamu-tamu pada berenang di jam yang sama. Siap-siap rebutan meja dan kursi ini sih. 

Buat yang bawa anak-anak, saya rasa faktor keselamatan di area kolam jadi salah satu yang harus diperhatikan. Pasalnya, karena konsep kolam renang bisa dibilang infinity pool, nggak ada dinding pembatas di sisi panjang kolam. Apalagi, dari area duduk, meskipun terhalang oleh planter, somehow orang tetap bisa pergi dan berdiri di atas dinding sisi panjang kolam (ya, nyelip-nyelip ke pinggir planter). Jadi, buat yang bawa anak-anak, harus dijaga ketat deh. To some extent, saya bahkan merasa kalau kolam ini nggak kids-friendly, terutama soal kedalamannya. 

Namun, yang paling keren lagi adalah view dari area kolam, dan rooftop secara keseluruhan. Seandainya ada rooftop bar di sini, udah deh lengkap banget Maison Teraskita Bandung tuh menurut saya. Pasalnya, view dari area kolam dan rooftop ini keren banget. Kawasan Alun-Alun Bandung, Masjid Raya Bandung, dan area komersial di sekitarnya (terutama gedung-gedung tinggi di daerah Kepatihan dan Dalem Kaum) terlihat jelas dan keren banget, apalagi di malam hari. Di arah barat, kita juga bisa lihat pemandangan Jalan Sudirman. Pemandangan gedung-gedung tinggi juga bisa terlihat di arah utara. Pokoknya, view dari area ini udah paling bagus deh menurut saya. Bahkan, saya bisa bilang bahwa Maison Teraskita Bandung adalah salah satu hotel dengan rooftop infinity pool terbagus di Bandung. 

Gym

Fasilitas berikutnya yang ada di Maison Teraskita Bandung adalah gym. Berada di lantai rooftop, gym hotel ini memang nggak besar. Kecil banget, kalau saya boleh bilang. Jumlah alatnya pun sangat terbatas. Lokasi gym ini berada di dekat kamar mandi dan ruang ganti pakaian.

Karena ruangannya yang terbilang kecil dan memanjang, bisa dipahami kenapa alat-alat yang ada di sini sangat terbatas jumlahnya. Namun, jendela-jendela full-height dipasang di salah satu sisi ruangan. Meskipun pemandangannya kurang bagus (view BRI Tower di sebelah hotel), jendela-jendela ini bikin cahaya alami bisa masuk dengan mudah dan melimpah ke ruangan sehingga kesan sempit jadi bisa diminimalisir. Selain itu, karena ukuran gym yang kecil, saya malah merasa seperti berada di home gym. Ada sedikit atmosfer homy yang saya rasakan di ruangan ini. 

Lokasi

Maison Teraskita Hotel Bandung berlokasi tepat di pusat kota Bandung, berseberangan dengan kawasan Alun-Alun Bandung dan Masjid Raya Bandung. Kalau soal lokasi sih, bisa dibilang kurang apa lagi coba? Stay di pusat kota Bandung dan dekat dari kawasan-kawasan turistik seperti Braga dan Asia Afrika, dan distrik belanja seperti kawasan Kepatihan, Dalem Kaum, dan Pasar Baru? Definitely a big yes! Ke mana-mana dekat. Mau main ke Alun-Alun atau belanja di daerah Kepatihan? Tinggal nyeberang jalan doang udah sampai. Kawasan Braga cuman sekitar 5 menit dari hotel dengan berjalan kaki. Soal transportasi, di depan Alun-Alun juga sebetulnya ada halte bis buat yang ingin naik kendaraan umum. Oh, ya! Yang saya suka lagi adalah meskipun berada di pusat kota dan dikeliling tempat yang ingar bingar, noise level di kamar terbilang kecil. 

Dari Stasiun Bandung, Maison Teraskita Hotel berjarak sekitar 10 menit menggunakan kendaraan roda empat, tergantung kondisi lalu lintas sebetulnya. Kalau dari Bandara Internasional Husein Sastranegara, jarak tempuh ke hotel dengan kendaraan roda empat bisa memakan waktu sekitar 15-20 menit atau bahkan lebih cepat, again tergantung kondisi lalu lintas. 

Pelayanan

Segmen ini memuat pendapat saya mengenai pelayanan yang diberikan pihak hotel. Apa yang saya tulis bersifat subjektif dan bukan merupakan informasi umum, dan lebih merupakan pendapat pribadi. Experience yang saya alami bisa jadi berbeda dari apa yang orang lain alami. Tulisan dalam segmen ini tidak ditujukan untuk menjelek-jelekkan atau menurunkan reputasi hotel. Jika informasi yang saya tulis bersifat positif, semoga manajemen hotel bisa tetap menjaga kualitas layanannya. Jika bernada negatif, semoga bisa menjadi bahan perbaikan bagi pihak hotel. 

Saya memang baru dua kali stay di Maison Teraskita Bandung (and to be honest, I’d love to come back again!), tetapi kualitas pelayanan di kedua kunjungan tersebut bisa saya bilang bagus. Saat tiba, saya dikasih welcome drink. Proses check-in juga cepat dan nggak ribet, dan pihak hotel sebisa mungkin kasih saya kamar sesuai request. Staf yang bertugas ramah-ramah, dan waktu saya main piano, mereka juga kasih saya tepuk tangan (dan bahkan ada yang request lagu). Wah, senangnya! 

Interaksi saya dengan para staf hotel nggak berhenti sampai di situ. Saya berkesempatan ketemu dengan sales marketing director Maison Teraskita Hotel, Pak Alexander. Jadi kehormatan bagi saya untuk ketemu Pak Alexander dan ngobrol soal properti keren ini. Bahkan, karena saya sampai dua kali pesan pasta aglio e olio, saya pun jadi ketemu dengan chef hotel dan beliau berterima kasih secara langsung. Senang banget rasanya. 

Kesimpulan

Paris van Java. Saya apresiasi usaha Maison Teraskita Hotel Bandung untuk menghadirkan suasana Paris di tatar Parahyangan. Interior bergaya modern Parisian yang chic berhasil dihadirkan oleh hotel ini, tanpa terkesan maksa atau gaudy. Desain yang sama juga diterapkan di area-area hotel yang lain. Salah satu yang cukup menarik adalah Teras Cafe-nya yang mengusung konsep cafe trottoir, meskipun ya nggak di trotoar juga. Namun, outdoor dining area kafe jadi semacam oasis sejuk di tengah ingar bingar kawasan pusat kota Bandung. 

Pada awalnya, saya sempat bingung karena hotel ini menyandang predikat hotel bintang empat. Namun, setelah saya main ke area rooftop, saya akhirnya give a nod. Kolam renang dengan pemandangan kota jadi fasilitas favorit saya, meskipun saya nggak sempat berenang (tapi saya udah puas kok santai dan lihat-lihat pemandangan Bandung dari ketinggian). Gym juga hadir sebagai fasilitas kebugaran untuk melengkapi kolam renang. Area rooftop akan lebih lengkap dengan kehadiran rooftop bar menurut saya. Karena lokasi hotel sudah bagus dan pemandangannya juga sudah keren banget, adanya rooftop bar akan jadi nilai tambah yang signifikan buat Maison Teraskita Hotel Bandung

Rate yang ditawarkan mulai dari kisaran 500 ribuan (waktu saya book dulu, saya dapat harga sekitar 650 ribu untuk tipe Deluxe). Dengan lokasi yang strategis, desain interior yang stylish, dan fasilitas yang cukup lengkap, rate segitu saya rasa masih sangat masuk akal (meskipun sering kali meledak, terutama di momen-momen liburan atau weekend). Overall, Maison Teraskita Hotel Bandung berhasil menawarkan suasana ala Paris ke jantung kota Bandung tanpa terkesan “maksa”. Properti ini layak dijadikan pilihan, terutama buat wisatawan yang memang ingin menginap di pusat kota Bandung dan banyak berakvitias di kawasan Sudirman, Braga, atau Otista Pasar Baru.

Pros & Cons

👍🏻 Pros

  • Desain interior modern Parisian yang diusung nggak “maksa” dan gaudy.
  • Fasilitas yang dihadirkan cukup komprehensif.
  • Lokasi sangat strategis dan bikin gampang ke mana-mana dengan berjalan kaki.
  • Pemandangan dari area rooftop dan kolam renang keren banget! Properti ini jadi salah satu hotel dengan rooftop infinity pool terbagus di Bandung.
  • Kamar mandi dilengkapi produk mandi dari Sensatia. Love it!

👎🏻 Cons

  • Area parkir sangat terbatas
  • Rate sebetulnya masih reasonable, tapi kalau sedang meledak, bisa sangat mahal.
  • Maintenance kamar masih perlu ditingkatkan.

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌😶
Desain: 😆😆😆😆😶
Lokasi: 🤩🤩🤩🤩🤩
Harga: 💰💰💰

Review: ARTOTEL Thamrin

Di Bandung, kluster baru virus yang menyebalkan itu muncul dan gara-gara itu, orang tua saya menetapkan “travel ban”. Saya nggak tahu bakalan sampai kapan si travel ban ini dan jujur aja, saya ada di situasi dilematis. Di satu sisi, saya jadi takut buat bepergian karena kluster baru ini wilayahnya cukup luas. Di sisi lain, saya dan kakak udah ada rencana ingin nginap-nginap karena bulan depan, dia mau nikah (yay!). Ya, sebetulnya nggak masalah sih ketika nggak bisa nginap di hotel. Cuman, ‘kan, saya sebetulnya lagi ngumpulin poin dan night supaya akun Bonvoy dan IHG bisa naik status. He he he.

Anyway, tulisan kali ini akan membahas satu hotel di Jakarta yang sudah saya kunjungi dua kali. Di kunjungan pertama, saya nggak sempat ambil foto dan semacamnya karena stay di sana itu sebetulnya untuk transit. Nah, di kunjungan kedua, saya ambil dokumentasi supaya bisa tulis review untuk hotel tersebut. Hotel Instagrammable ini berada di Jakarta Pusat, tepatnya bersebelahan dengan Sarinah.

546859_16102321180048046014
Fasad ARTOTEL Thamrin. Foto milik pihak manajemen hotel.

ARTOTEL Thamrin adalah hotel bintang tiga yang berlokasi di Jalan Sunda No. 3, Jakarta Pusat. Hotel unik di Jakarta ini adalah salah satu properti yang saya suka. Selain karena desain interiornya yang youthful, location-wise hotel ini juga memberikan kemudahan buat pergi ke mana-mana. Pertama kali menginap, saat itu bulan puasa di tahun 2018 (bulan Mei karena berdekatan dengan ulang tahun saya). Nah, kunjungan kedua saya itu di bulan Desember 2019, setahun setelah kunjungan pertama. Nggak banyak yang berubah sejak kunjungan pertama, kecuali dari segi service yang menurut saya lebih baik (untuk lengkapnya, nanti dibahas di segmen khusus).

Dari luar, bangunan hotel ini tampil mencolok dengan fasad bermural dan bentuk bangunan yang tinggi memanjang ke belakang. Ya, sesuai dengan judulnya, hotel unik ini menampilkan banyak karya seni. ARTOTEL sendiri punya beberapa branch, seperti ARTOTEL Wahid Hasyim, Goodrich Suites, dan Kemang Icon di Jakarta, dan de Braga by ARTOTEL di Bandung. Sebetulnya, ada lebih banyak lagi cabang di kota-kota lain, cuman yang saya ingat baru itu. Dilansir dari situs resminya, ARTOTEL Thamrin berkolaborasi dengan 8 seniman kontemporer Indonesia dan hasil dari kolaborasi tersebut bisa kita lihat dalam bentuk mural dan karya seni yang tersebar di setiap lantai. Oh, ya! Setiap lantai juga punya konsep karya seni yang berbeda. Menurut saya ini seru sih karena setiap pengalaman menginap bisa berbeda dan nggak membosankan.

Berdasarkan halaman Tripadvisor-nya, ada 107 kamar di hotel ini dan semuanya dikategorikan ke dalam 3 tipe: Studio 20, Studio 25, dan Studio 40. Soal fasilitas, dari segi jumlah sih memang tidak banyak. Namun, hotel ini punya rooftop bar, restoran, artspace, ruang rapat, dan penyewaan sepeda. Karena berkiblat pada seni, salah satu fasilitas yang menurut saya paling menonjol dan keren adalah artspace-nya. Saya beruntung karena pada waktu itu, sedang ada art exhibition yang berkaitan dengan laut dan perikanan. Saat menginap, saya memesan kamar tipe Studio 20. Waktu itu, saya hanya menginap satu malam, tapi kayaknya ke depannya saya ingin coba nginap lebih lama, terutama karena lokasinya yang benar-benar memanjakan saya. Ulasan lengkap saya bahas di segmen berikutnya, ya!

Desain Kamar

ARTOTEL Thamrin hanya menawarkan tiga tipe kamar. Namun, semuanya didesain dengan cantik dan teperinci untuk memberikan pengalaman menginap yang berkesan. Kamar yang saya tempati merupakan tipe Studio 20. Berdasarkan situs resmi hotel, tipe ini memiliki luas 20 meter persegi, sesuai namanya. Nah, di Bandung saya udah dua kali menginap di de Braga by ARTOTEL dan mencoba dua tipe kamar, Studio 25 dan Studio 28. Menurut saya, Studio 20-nya Thamrin dan Studio 25-nya de Braga ini nggak jauh beda dari segi luas. Waktu saya cross-check ke situs resmi de Braga, ternyata tipe Studio 25 itu luasnya 22 meter persegi. Oalah! Pantes aja rasanya nggak jauh beda.

IMG_20191222_145120
IMG_20191222_145008_1

Focal point dari kamar ini, tiada lain dan tiada bukan, adalah mural di dinding. Ada dua mural di kamar, satu di dinding belakang headboard dan satu lagi di dinding di samping tempat tidur. Untuk menyeimbangkan tampilan mural yang rumit, ramai, dan penuh warna, dinding kamar menggunakan warna abu-abu muda. Sebetulnya, interior kamar sendiri menggunakan palet monokromatik (tanpa menyertakan mural). Langit-langit yang tinggi juga memberikan kesan kamar yang luas. Namun, penerangan yang digunakan memiliki warna hangat. Jadi, di malam hari kamar tetap terasa nyaman dan hangat, tanpa terkesan gelap dan somber akibat palet warna monokrom.

Perlengkapan kamar di tipe Studio 20 bisa dibilang sudah pas. Mesin pembuat kopi Nestle Dolce Gusto juga tersedia di kamar. Oh, ya! Kalau diperhatikan lagi, table lamp dan kursi kerja di kamar punya desain yang unik. Waktu masuk pertama kali ke kamar, saya sempat kaget karena saya kira kursinya rusak. Ternyata, desainnya memang sengaja dibuat crooked begitu.  Waktu duduk pun, saya agak parno, tapi keseimbangan dan kekokohan kursi terjaga kok. Untuk tempat tidur, nggak ada masalah dengan kasurnya. Cukup besar dan nyaman. Bantal firm dan soft pun disediakan. No objection sih buat aspek ini.

IMG_20191222_145205
IMG_20191222_145053
IMG_20191222_145103

In-room amenities lainnya mencakup kulkas mini, TV 32 inci, dan safety box. Saya nggak sempat foto area lemari pakaian dan gantungan, tetapi dari segi desain sih sama seperti yang di de Braga. Oh, ya! Saya menempati kamar di lantai enam. Meskipun memang jendelanya menghadap ke gedung sebelah, tetapi saya masih tetap bisa melihat area Sarinah dengan jelas, terlebih lagi karena kamar berada di lantai yang cukup tinggi. Nah, saat menginap, televisi di kamar sempat bermasalah. Jadi, tiba-tiba semua channel hilang. Salah satu staf hotel sempat bilang bahwa sedang ada perbaikan layanan TV kabel. Seingat saya, bahkan ada stiker atau kertas pemberitahuan soal gangguan tersebut. Sedikit mengganggu sih, tapi karena saya pun nggak sering nonton TV, jadi nggak begitu masalah sih.

Kamar Mandi

Seperti di kunjungan pertama, hal yang saya suka dari kamar mandi di ARTOTEL Thamrin itu masih sama: shower. Memang nggak ada rainshower di kamar mandi, tetapi kekuatan semburan airnya yang kencang dan kepala shower yang bisa diatur bikin saya betah mandi air panas lama-lama. Jatohnya nggak hemat air sih. Jangan ditiru, ya! Seandainya ada rainshower, saya rasa bakalan lebih bagus lagi (dan saya mandi bisa tambah lama lagi mungkin).

Kamar mandi punya luas yang cukup terbatas. Penggunaan warna-warna cerah membuat kamar mandi terasa lebih lapang, meskipun memang warna hitam digunakan sebagai “variasi” supaya kamar mandi nggak terkesan garing. Pencahayaan pun menggunakan warna hangat. Ya, pantes aja saya betah mandi lama-lama. Produk mandi pun sudah tersedia di samping wastafel. Secara keseluruhan, nggak ada masalah dengan kamar mandi. Mungkin yang perlu saya perhatikan adalah kebiasaan ber-shower air panas lama-lama. Enak sih sebetulnya bisa pijat-pijat punggung, paha, dan betis pakai air panas, tapi itu buang-buang air juga jatuhnya. Aduh…

Fasilitas Umum

BART – Rooftop Bar

ARTOTEL Thamrin punya rooftop bar yang cukup terkenal bernama BART atau Bar at the Rooftop. Di kunjungan pertama dan kedua, saya ke sana untuk sekadar hangout bareng teman sambil menikmati suasana malam dan “lihat lampu”. Namun, saya harus kasih thumbs up buat pihak hotel karena dari segi service, kualitas dan keramahan staf sudah jauh lebih meningkat (nanti saya bahas detailnya di segmen khusus).

IMG_20191222_212154
IMG_20191222_213248

Nah, karena kondisi bar yang sangat remang dan pencahayaan yang kurang memadai, saya jadi nggak ngambil foto si bar itu sendiri. Lagi pula, saya udah telanjur asyik ngobrol sambil menikmati minuman dan jajanan bareng teman. Salah satu hal yang saya suka saat berkunjung ke Jakarta adalah main ke rooftop bar sebetulnya (atau tempat lain yang memungkinkan saya buat ngobrol santai sambil lihat pemandangan kota di malam hari). Maklum, di Bandung ‘kan gedung-gedung tingginya nggak sebanyak di Jakarta.

Oh, ya! Kalau mau ke sini, pastikan nggak pakai sandal hotel, ya. Di sini, tamu diimbau mengenakan sepatu. Ini buat alasan keselamatan juga sebetulnya karena area bar ini sangat remang dan beberapa area memiliki lantai kayu. Jadi, ya intinya sih buat menghindari tersandung atau semacamnya yang bisa melukai jari kaki.

Artspace

Sesuai namanya, ARTOTEL Thamrin punya artspace yang berada di lantai dua hotel. Untuk mengakses area ini, kita bisa pakai lift atau tangga. Kalau saya sih, waktu itu pakai tangga karena desain tangga yang melingkar itu sendiri menurut saya keren banget, dan tangga ini berlanjut sampai ke lantai 3 atau 5… Saya lupa.

IMG_20191222_225623
IMG_20191222_225615

Waktu saya menginap, saat itu karya-karya yang dipamerkan bertema kelautan. Nah, hal ini berkaitan juga dengan kondisi laut saat ini yang penuh sampah dan polusi sehingga membahayakan biota laut. Saya ingatkan ya, jangan buang sampah sembarangan. Buat yang masih suka buang sampah sembarangan, tobat deh cepet-cepet. Ya, kalau masih punya kebiasaan jelek kayak gitu, jangan harap pantai dan laut bisa bersih deh. Soalnya ‘kan salah satu “kontributor”-nya ya kamu. Jadi, demi dunia yang lebih baik (dan buat kebaikanmu sendiri), jangan suka buang sampah atau limbah sembarangan, ya, mau di jalanan, hutan, atau laut sekali pun.

IMG_20191222_225733
IMG_20191222_225635
IMG_20191222_225810

Area artspace yang tersedia memang nggak besar dan bentuknya mengikuti koridor dengan void ke lantai satu. Di salah satu sudut area ini, terdapat boks telepon umum yang berfungsi sebagai business center. Kalau saya perhatikan, hanya ada satu komputer di sana, tapi memang komputer itu sendiri pun nggak ada yang pakai sih. Oh, ya! Di lantai dua ini ada toilet yang menurut saya desainnya nendang dan agak bikin seram karena gelap. Saya lupa nggak foto toiletnya, cuman kurang lebih interiornya didominasi warna hitam, dengan drop-light di beberapa titik dan, kalau nggak salah, ada sketsa wanita hitam putih juga (atau ini jangan-jangan di toilet rooftop bar, ya?).  Intinya sih desainnya bikin saya agak kaget waktu kali pertama masuk.

Double Chin

ARTOTEL Thamrin juga punya restoran bernama Double Chin. Restoran ini berada di lantai lobi dan bisa diakses dengan mudah saat kita masuk ke hotel. Posisinya ada di sisi kanan bangunan setelah kita melewati pintu utama. Di bagian tengah ruangan, ada juga bar yang menyajikan bir, cocktail, dan minuman lainnya.

IMG_20191222_225720
IMG_20191222_223843
IMG_20191222_225601

Di pagi hari, sarapan disajikan di Double Chin. Area restorannya cukup luas dan bentuknya memanjang ke arah dalam. Interior Double Chin bergaya kontemporer dengan sentuhan youthful, chic, or whatever you call it. Mural-mural dipajang di dinding dan langit-langit. Beberapa tanaman rambat juga ditempatkan di sini sebagai elemen hijau untuk ruangan. Nggak banyak memang, tapi seenggaknya memberikan kesan yang lebih sejuk.

IMG_20191223_093033
IMG_20191223_095813
IMG_20191223_095743

Untuk menu sarapan, saya merasa nggak ada keluhan. Dibilang variatif, ya cukup variatif. Hanya saja dari segi keunikan sih, nggak ada sesuatu yang superspesial. Menu khas sarapan seperti bubur dan nasi tersedia. Namun, menurut saya sajian yang jadi tambahan cukup menarik sih waffle. Lengkap dengan maple syrup, waffle bisa jadi menu sarapan baru buat yang ingin variasi. Saya sendiri nggak ambil waffle karena lidah dan perutnya udah Indonesia banget. Jadi, perlu makan nasi supaya ngerasa kenyang dan dapat feel “udah sarapan”.

IMG_20191223_085622
IMG_20191223_084825
IMG_20191223_084544
IMG_20191223_084520
IMG_20191223_084512

Di samping restoran, ada koridor sempit sebagai extension restoran. Area ini dipakai juga sebagai smoking area. Lorong ini punya dinding batu di salah satu sisinya. Area ini punya atap kanopi (atau kaca, ya?) yang memungkinkan cahaya untuk masuk secara optimal. Sebagai dekorasi, ada tanaman rambat yang dipasang di trellis kayu di langit-langit, serta lampu berbentuk bola putih polos. Dengan atap kaca, bisa dipastikan area ini terasa gerah, terutama di siang hari. Waktu saya ambil foto pun, lorong ini kerasa panas. Namun, ada satu unit air conditioner di sini buat menyejukkan udara.

IMG_20191223_093323
IMG_20191223_093300

Lokasi

Untuk aspek yang satu ini, saya bisa bilang ARTOTEL Thamrin adalah properti yang unggul. Secara pribadi, kalau di Jakarta saya suka hotel yang dekat dengan transportasi umum, terutama MRT karena saya kalau jalan-jalan sendiri, pasti nyari tujuan yang dekat dengan stasiun MRT (atau seenggaknya dekat dengan halte Transjakarta). Ada sih taksi online, tapi ‘kan kondisi jalanan nggak bisa diduga dan sering kali macet.

Ada dua moda transportasi umum terdekat dari ARTOTEL Thamrin, Transjakarta dan MRT. Kalau mau pakai Transjakarta, tinggal jalan ke halte Sarinah (jalan kaki paling makan waktu 5 menit). Stasiun MRT Bundaran HI pun jaraknya hanya 5-7 menit dari hotel dengan jalan kaki. Hotel ini lokasinya memang di pusat kota banget. Jadi, ke mana-mana gampang. Soal belanja atau makan, ada banyak banget opsi yang bisa ditemukan di sekitar properti. Di seberang hotel ada Sarinah. Kalau mau wisata kuliner, bisa jalan kaki sedikit ke Jalan Sabang. Di Jalan Wahid Hasyim sendiri ada banyak kafe dan restoran menarik. Soal belanja, hotel ini dekat dari Plaza Indonesia dan Grand Indonesia. Kalau jalan kaki, mungkin perjalanan memakan waktu 7-10 menitan. Nggak lama kok.

Dari Stasiun Gambir, ARTOTEL Thamrin bisa ditempuh dalam jarak 15 menitan menggunakan kendaraan bermotor (kalau kondisi jalan nggak macet parah). Kalau dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta, perjalanan ke hotel memakan waktu sekitar 40-50 menit menggunakan kendaraan bermotor (lagi-lagi tergantung kondisi jalanan).

Pelayanan

Segmen ini memuat pendapat saya mengenai pelayanan yang diberikan pihak hotel. Apa yang saya tulis bersifat subjektif dan bukan merupakan informasi umum, dan lebih merupakan pendapat pribadi. Experience yang saya alami bisa jadi berbeda dari apa yang orang lain alami. Tulisan dalam segmen ini tidak ditujukan untuk menjelek-jelekkan atau menurunkan reputasi hotel. Jika informasi yang saya tulis bersifat positif, semoga manajemen hotel bisa tetap menjaga kualitas layanannya. Jika bernada negatif, semoga bisa menjadi bahan perbaikan bagi pihak hotel. 

Bicara soal pelayanan di ARTOTEL Thamrin, di kunjungan kedua ini saya merasa kualitas pelayanannya jauh lebih baik. Para staf yang bertugas ramah dan helpful. Kebersihan dan perawatan kamar juga baik. Meskipun memang ada masalah dengan channel TV pada waktu itu, pihak hotel sudah memberi tahu sejak awal lewat semacam stiker atau surat. Hal seperti ini saya rasa patut diapresiasi. Ya, ‘kan, daripada kanal TV bermasalah dan pihak hotel nggak bilang apa-apa, dan kita harus komplain? Kalau pun memang komplain, dengan adanya pemberitahuan tersebut komplain kita mungkin lebih ke arah “Perbaikannya sampai kapan, ya?” dan bukan macam “Ini kok TV-nya nggak ada channel-nya?”.

Di awal, saya bilang bahwa saya pernah sebelumnya menginap di ARTOTEL Thamrin dan mengalami kejadian nggak enak di bART. Jadi, pada waktu itu saya nginap dengan teman dan nongkrong di rooftop bar sambil ngobrol. Waktu itu, kita ngobrol lama sampai mendekati jam tutup bar. Memasuki jam tutup order, tiba-tiba ada salah satu pegawai yang datang sambil bawa bill. Yang bikin saya dan teman saya kesal adalah pegawai ini nggak ngomong apa-apa, langsung simpan bill di atas meja, dan pergi begitu aja. Menurut kami, itu nggak sopan karena harusnya dia bilang sesuatu. Untungnya, di kunjungan kedua, kejadian seperti itu nggak ada dan nongkrong di bART pun berjalan mulus. Staf yang bertugas di resepsionis dan Double Chin juga ramah-ramah. So far, dari segi kualitas layanan, saya nggak ada objection. Dari segi masalah saat menginap pun, sepertinya urusan channel TV yang bermasalah bukan jadi hal besar karena saya sendiri memang jarang nonton TV, tapi inisiatif pihak hotel untuk memberi tahu tamu sejak awal lewat surat atau stiker jadi sesuatu yang layak diapresiasi.

Kesimpulan

Artsy and affordable. Di era seperti sekarang—saat liburan macam jadi kebutuhan, terutama di kalangan para remaja dan young adult, kehadiran akomodasi terjangkau jadi penolong. Berdasarkan pandangan saya pribadi, saat sedang on budget dan ingin jalan-jalan, pastinya akomodasi-akomodasi di kelas budget ke midscale jadi prioritas saat merencanakan liburan. Salah satu alasannya adalah karena saya nggak banyak menghabiskan waktu di hotel dan lebih banyak “keluyuran” di kota tujuan. Intinya sih hotel betul-betul jadi tempat numpang tidur. Namun, hadirnya akomodasi budget dengan desain interior yang unik jadi game changer yang memungkinkan tamu beraktivitas lebih lama di hotel (bisa buat foto-foto, santai, atau semacamnya).

ARTOTEL Thamrin adalah pilihan hotel yang dari segi harga terjangkau, tetapi menawarkan pengalaman menginap yang nggak kalah unik dengan hotel-hotel seniornya (in terms of hotel class, ya). Keunggulan utamanya ya faktor seninya. Sesuai namanya, ada banyak karya seni yang dipamerkan di hotel ini, termasuk di kamar. Setiap lantai mengusung tema yang berbeda dan ini saya rasa jadi semacam strategi menarik supaya tamu datang lagi buat menginap di kamar dengan tema yang lain (and I would love to come back again to be honest). Di hotel ini juga banyak spot Instagrammable yang sayang buat dilewatkan.

Soal fasilitas, ARTOTEL Thamrin punya rooftop bar sebagai salah satu amenities unggulan. Dengan view kawasan Thamrin dan sekitarnya, rooftop bar di sini bisa jadi tempat nongkrong yang seru bareng teman. Ada juga artspace di hotel ini dengan exhibition yang berbeda-beda (untuk jadwal pastinya, bisa cek langsung situs resmi hotel). Faktor lainnya yang bikin hotel ini unggul adalah lokasinya. Ke mana-mana gampang karena dekat stasiun MRT dan halte Transjakarta.

Di halaman Tripadvisor-nya, rate hotel ini mulai dari 324 ribu rupiah. Kalau dengan pajak dan biaya layanan, mungkin jatuhnya sekitar 400 ribuan. Namun, dengan rate segitu, saya rasa ARTOTEL Thamrin menawarkan lebih dari sekadar “tempat buat numpang tidur”. Dengan lokasi prima, desain interior kamar yang artsy, dan rooftop bar yang keren, dan rate yang relatif terjangkau, properti di pusat Jakarta ini layak banget untuk dipertimbangkan.

Pros & Cons

👍🏻 Pros

  • Desain interior kamar keren banget, apalagi dengan mural yang unik. Setiap lantai mengusung tema yang berbeda. Jadi, tiap kamar muralnya pun beda-beda dan ini bisa memberikan pengalaman menginap yang beda juga, meskipun di properti yang sama.
  • Lokasinya superstrategis. Ke stasiun MRT dekat, ke halte TJ dekat, ke mal dekat, restoran dan kafe ada banyak di sekitar properti.
  • Rate-nya relatif terjangkau. Ditambah fasilitas yang decent dan desain interior yang unik, rate segitu sih reasonable.
  • Rooftop bar di hotel ini bisa jadi tempat nongkrong yang asyik bareng teman-teman. Harga makanan dan minumannya pun masih tergolong wajar untuk level bar di hotel.
  • Ada artspace dengan exhibition yang selalu digilir. Jadwal exhibition bisa dicek di situs resmi hotel.
  • Ada Nestle Dolce Gusto.

👎🏻 Cons

  • Kalau ada gym, kayaknya makin lengkap hotel ini.
  • Saya lupa bilang soal parkiran. Area parkir hotel ini terbatas. Jadi, kalau berkunjung menggunakan kendaraan, jangan kaget kalau parkirannya penuh. Namun, ada petugas parkir yang berjaga kok. Jadi, nanti tetap bisa diarahkan sama dia (atau dikasih valet).

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌⚪️
Desain: 😆😆😆😆😶
Lokasi: 🤩🤩🤩🤩🤩
Harga: 💰💰

Review: Tama Boutique Hotel Bandung

Masa pandemi ini tampaknya akan berkepanjangan. Saya sendiri diam di rumah sudah sekitar tiga bulanan, dan baru kemarin ini sempat staycation selama sekitar seminggu, tapi masih di Bandung. Pada awalnya, saya pun sempat ragu dan takut. Namun, saya tetap ikuti protokol keselamatan di hotel, nggak banyak keluyuran, dan menjaga jarak dengan orang lain. Selama ketiga hal itu tetap diperhatikan, saya rasa staycation bisa tetap dinikmati dengan aman. I really needed a change of scenery sih.

Kembali ke tujuan utama post ini. Ulasan terakhir yang saya tulis diunggah pada bulan April 2020 dan sekarang, saya ingin menyempatkan menyelesaikan ulasan untuk hotel yang satu ini, dan lagi-lagi hotel di Bandung. Sebetulnya, saya menginap di sana pada tahun 2019, tapi baru sempat tulis ulasannya sekarang. Sudah cukup lama, ya. Ah, daripada saya terus memberikan excuse yang sama, lebih baik saya langsung ulas hotel unik di Bandung yang satu ini.

review tama boutique hotel
Kamar tidur di Tama Boutique Hotel. Foto milik pribadi

Tama Boutique Hotel Bandung berlokasi di Jalan Dr. Rajiman No. 5-7, Bandung. Hotel unik di Bandung ini adalah salah satu properti yang sebetulnya sudah lama saya ingin kunjungi, tetapi baru sempat di tahun kemarin. Untuk orang Bandung, kalian mungkin tahu Collector Parfum, tempat jual parfum refill murah berkualitas di dekat persimpangan Jalan Pasir Kaliki dan Jalan Dr. Rajiman. Nah, hotel ini hanya berjarak sekitar 5 menit dengan berjalan kaki dari Collector Parfum. Meskipun terbilang berada di pusat kota dan berlokasi di jalan yang sering dilewati banyak kendaraan, hotel ini menawarkan suasana yang cukup tenang. Hotel bintang tiga ini hadir dengan 24 kamar yang tergolong ke dalam 4 tipe: Superior, Deluxe, Deluxe Balcony, dan Suite. Saat menginap di Tama Boutique Hotel Bandung, saya memilih kamar Deluxe. Namun, setelah check-in dan masuk ke kamar, saya sadar bahwa sepertinya saya dapat upgrade satu tingkat ke tipe Deluxe Balcony. Terima kasih banyak untuk pihak hotel atas upgrade gratisnya.

Hotel ini sendiri mengusung konsep yang unik. Semua kamarnya didesain dalam gaya kontemporer dengan sentuhan tradisional Korea. Ini bukan hal yang mengejutkan sebetulnya karena hotel ini menempati bangunan yang sama dengan restoran Korea Bornga. Restoran menempati lantai dasar, sementara hotel menempati lantai 2 hingga 5. Area parkir hotel pun berbagi dengan restoran, dan tidak besar. Saya awalnya sempat bingung harus parkir di mana karena area parkir cukup ramai. Namun, saya dapat satu spot kosong yang tidak jauh dari pintu masuk ke hotel. Petugas keamanan hotel sendiri bilang bahwa ada layanan valet gratis dari hotel. Jadi, kita nggak perlu repot-repot cari sendiri tempat parkir.

Dari segi fasilitas, hotel ini tidak menawarkan banyak pilihan. Hanya ada restoran dan lounge di properti ini. Namun, bagi saya, hotel ini menonjol dari segi desain, lokasi, dan menu breakfast. Ulasan lengkapnya saya ceritakan di segmen berikutnya, ya!

Desain Kamar

Saat menginap di Tama Boutique Hotel Bandung, saya menempati kamar Deluxe Balcony. Assignment ini saya perhatikan sepertinya merupakan upgrade dari pihak hotel karena saat reservasi, saya memesan kamar Deluxe. Terima kasih banyak, Tama Boutique! Berdasarkan informasi dari situs web resmi hotel, kamar Deluxe Balcony memiliki luas 25 meter persegi. Nah, tipe terkecil (Superior) memiliki luas 15 meter persegi. Kamar berukuran 25 meter persegi sebetulnya bukan hal aneh di hotel-hotel bintang tiga, terutama untuk kamar-kamar dengan tipe yang lebih besar. Namun, pada kenyataannya, saya merasa kamar terasa sangat lapang. Saat masuk, ada hallway yang luas dan justru terkesan kosong. Di hallway ini, terdapat lemari pakaian yang cukup tinggi.

IMG_20191203_152256
IMG_20191203_152035

Hallway ini sendiri terasa kosong karena memang tidak ada furnitur selain lemari pakaian. Selain itu, pencahayaan di hallway ini cenderung redup. Jadi, area ini kesannya seperti area nanggung. Transisi dari hallway ke area utama kamar ditandai oleh perubahan dari lantai ubin berwarna abu-abu menjadi lantai kayu. Area utama kamar tidur terasa hangat dan cukup elegan melalui penggunaan warna-warna earthy yang hangat. Seperti yang sebelumnya saya bilang, interior kamar memiliki sentuhan tradisional Korea, dan elemen ini ditandai oleh bilah-bilah kayu yang menyerupai jendela atau sekat yang biasanya ada di rumah-rumah tradisional Korea. Di belakang bilah-bilah ini terdapat mural monokrom istana kerajaan Korea berukuran besar. Mural ini sendiri menjadi focal point kamar dan background yang cukup cantik buat foto-foto.

IMG_20191203_152202
IMG_20191203_152146
IMG_20191203_152240
IMG_20191203_152325
IMG_20191203_152329

Meja belajar dan kabinet minibar didesain menyatu dengan headboard tempat tidur. Ini bisa jadi trik yang bagus, terutama untuk kamar-kamar berukuran kecil. Kalau diamati, meja belajar memiliki bentuk kaki yang “nyentrik” (miring ke arah dalam) dan kaki saya beberapa kali kesandung kaki ini. Ngilu banget lumayan. Stopkontak yang tersedia cukup banyak dan ada beberapa yang dipasang pada headboard (di belakang bantal-bantal). Kulkas mini ditempatkan di dalam kabinet, di bawah coffee maker dan cangkir.

Di salah satu sudut ruangan, terdapat kursi tangan berwarna cobalt blue yang menjadi colour pop di tengah-tengah warna-warna bumi yang hangat. Televisi dipasang pada dinding dan berada di samping pintu kaca menuju balkon. Nah, balkon kamar sendiri sebetulnya tidak luas dan tidak punya furnitur apa pun. View dari balkon pun biasa-biasa aja. Namun, setidaknya balkon menjadi area tambahan bagi saya untuk menikmati suasana outdoor. Selain itu, ada banyak pohon di sekitar hotel yang membuat pemandangan dari balkon tampak lebih hijau. Also, more oxygen for your lungs! Oh, ya. Pintu menuju balkon ini buat saya kurang rapat atau kurang insulasi. Suara-suara dari luar masih bisa terdengar ke kamar cukup jelas. Sebetulnya, ini salah satu risiko kamar dengan balkon, sih, terutama pada hotel-hotel yang berlokasi di kawasan yang ramai.

Kamar Mandi

Atmosfer natural terasa di kamar mandi melalui penggunaan batu-batu alam berwarna hitam pada dinding. Interior yang sama diterapkan ke semua kamar mandi di Tama Boutique Hotel Bandung. Kamar mandi memiliki bentuk memanjang dan dipisahkan oleh dinding dan pintu geser berbahan kaca berwarna teal. Namun, penggunaan pintu kaca geser ini saya rasa agak riskan karena celah di antara pintu dan dinding tidak begitu rapat. Selain itu, jujur aja saya masih ada rasa takut kalau dinding atau pintu kaca akan pecah ketika (knock on the wood) kita terpeleset dan menubruk dinding atau pintu. Agak morbid sih pikirannya, tapi saya sering terbayang seperti itu.

IMG_20191203_152106
IMG_20191203_152124
IMG_20191203_152138

Meskipun didominasi oleh warna hitam, kamar mandi tidak terasa gelap dan mencekam karena diseimbangkan oleh penggunaan drop lights terang berwarna hangat. Malah, rasanya saya cukup nyaman saat mandi di area shower yang ternyata cukup luas. Shower box juga dilengkapi rain shower, salah satu fitur kesukaan saya. Oh, ya. Di bawah tiang shower pun ada semacam tempat duduk berbahan batu. Meskipun memang area ini tidak langsung terkena semburan air dari rain shower, duduk di sini sambil mandi menggunakan shower tangan rasanya cukup relaxing. Elemen kayu ditampilkan oleh frame cermin besar dan dispenser sabun tangan. Split level yang memisahkan shower area dengan area lain kamar mandi dirasa kurang kentara. Walhasil, air pun tetap bisa meleber ke area-area lain di kamar mandi dengan mudah. Selain itu, rak handuk justru dipasang di dekat kloset, dan bukan di dekat shower area. Saya harus ambil dulu handuk dan simpan di atas counter wastafel.

Fasilitas Umum

Lounge

Tama Boutique Hotel Bandung memang nggak punya banyak pilihan fasilitas untuk tamu. Hotel ini hanya memiliki restoran dan lounge. Sarapan pagi sendiri disajikan di lounge. Untuk restoran, ya, ada Bornga sih di lantai 1. Namun, desain lounge di hotel ini cukup Instagrammable kalau buat saya. Oh, ya. Lounge ini juga berfungsi sebagai lobi hotel. Jadi, saat check-in kita naik dulu ke lantai 5. Kamar-kamar berada di lantai 2 dan 3.

IMG_20191204_091559
IMG_20191204_091819
IMG_20191204_091800

Area lounge tampak segar dan rimbun dengan tanaman-tanaman hias dan pohon artifisial yang ditempatkan di dekat bar. Di sisi utara ruangan, terdapat jendela dengan pemandangan dinding yang dipasangi tanaman-tanaman rambat. Ini keren banget menurut saya karena suasana lounge jadi terasa lebih segar. Oh, ya. Karena lounge berada di lantai teratas hotel, udara di sini terbilang cukup panas. Kedua sisi lounge punya jendela floor-to-ceiling yang memungkinkan cahaya matahari masuk ke dalam ruangan secara optimal. Downside-nya adalah suhu ruangan jadi lebih panas. Namun, dinding dengan tanaman rambat di utara ruangan cukup menyegarkan mata.

Soal furnitur, sebagian besar meja dan kursi di sini memiliki sentuhan mid-century. Set meja kursi yang ditempatkan di sisi utara (di dekat jendela) punya desain yang lebih simpel dan ke arah utilitarian dengan warna hitam pekat. Oh, ya! Set meja kursi di area ini dipisahkan oleh semacam lemari display yang mengingatkan saya dengan lemari display yang ada di expansion pack terbaru The Sims 4, Eco-Lifestyle. Di sisi selatan lounge, ada pintu menuju area balkon. Saya nggak berlama-lama di sana karena cuaca cukup panas saat itu dan matahari sedang terik-teriknya. View dari balkon cukup keren, terutama di malam hari.

IMG_20191204_091540
IMG_20191204_091526
IMG_20191204_091846

Nah, untuk sarapan, ini yang menurut saya aspek unik dari Tama Boutique Hotel Bandung. Saat check-in, saya diberikan pilihan menu sarapan. Di hotel ini, kita bisa menikmati sajian internasional atau masakan Korea untuk sarapan. Mumpung lagi di sini, ya, saya pilih makanan Korea. Menu yang disajikan adalah ayam goreng  gochujang, salad, nasi dengan bubuk nori, dan banchan. Ada juga jus semangka, hot chocolate, dan puding cokelat berbentuk hati. Untuk saya yang nggak biasa sarapan dengan masakan Korea, ini jadi semacam culture shock karena sarapan rasanya nggak seperti sarapan. Secara keseluruhan, menu sarapan yang disajikan lezat dan pas di lidah. Biasanya, saya agak picky dengan makanan pedas. Namun, ayam goreng yang disajikan ternyata rasanya pas buat lidah saya. Manis dan pedasnya seimbang.

IMG_20191204_092835
IMG_20191204_092447
IMG_20191204_100252

Lokasi

Tama Boutique Hotel Bandung berada di kawasan yang cukup strategis. Jalan Dr. Rajiman sendiri sering dilewati sebagai jalan pintas ke beberapa kawasan. Selain itu, hotel pun berjarak cukup dekat dari mal Istana Plaza. Kalau dengan berjalan kaki dari hotel, mal bisa ditempuh dalam waktu sekitar 10 menit. Mal lain yang menurut saya cukup dekat dari hotel adalah Paris van Java. Dengan kendaraan bermotor, mal bisa dicapai dalam waktu sekitar 15 menit, tergantung kondisi lalu lintas.

Untuk siapa pun yang berlibur ke Bandung menggunakan kereta api, Stasiun Bandung berjarak sekitar 15-20 menit dari hotel. Bandara Internasional Husein Sastranegara berjarak sekitar 20-30 menit dari hotel. Semua estimasi ini bergantung pada kondisi lalu lintas, ya. Bandung soalnya macetnya bisa parah banget. Jarak dekat pun kadang sampai ditempuh dalam waktu yang unnecessarily lebih lama.

Soal bersantap, di sekitar hotel sebetulnya ada banyak opsi makanan. Di lantai dasar bangunan, ada Bornga, restoran Korea. Di samping hotel, ada Sushi SBA. Jalan Dr. Rajiman sendiri jadi semacam pusat makanan, terutama di malam hari. Salah satu makanan yang terkenal adalah Nasi Uduk Cinta 97. Ya, bisa jadi pilihan alternatif deh kalau menginap di Tama Boutique Hotel.

Pelayanan

Segmen ini memuat pendapat saya mengenai pelayanan yang diberikan pihak hotel. Apa yang saya tulis bersifat subjektif dan bukan merupakan informasi umum, dan lebih merupakan pendapat pribadi. Experience yang saya alami bisa jadi berbeda dari apa yang orang lain alami. Tulisan dalam segmen ini tidak ditujukan untuk menjelek-jelekkan atau menurunkan reputasi hotel. Jika informasi yang saya tulis bersifat positif, semoga manajemen hotel bisa tetap menjaga kualitas layanannya. Jika bernada negatif, semoga bisa menjadi bahan perbaikan bagi pihak hotel. 

Bicara soal service di Tama Boutique Hotel Bandung, buat saya pelayanan yang diberikan sudah baik. The fact that I got an upgrade sebetulnya sudah menjadi sesuatu yang saya apresiasi, terutama karena itu kali pertama saya menginap di sana. Kecepatan staf dalam menangani pesanan saya pun patut diacungi jempol. Para staf yang bertugas juga cukup ramah.

Saat menginap, sebetulnya interaksi saya dengan para staf tidak intense. Saya lebih banyak diam di kamar karena memang harus kerja. Namun, ketika bertemu dengan para staf lain, interaksi yang berlangsung terbilang positif. Saat check-in, saya diminta oleh salah satu staf (sepertinya general manager hotel karena dari pakaian saja kelihatan beda) untuk memilih menu sarapan dan menentukan jam sarapan dari sekarang supaya besok, makanan bisa disiapkan sejak awal dan saya juga bisa menikmati makanan dalam kondisi masih hangat. Menurut saya, ini sesuatu yang perlu diapresiasi karena pihak hotel ingin menjamin tamu bisa menikmati makanan dalam kondisi yang masih segar dan panas. Staf di dapur juga bisa bekerja secara lebih terjadwal.

Kesimpulan

Meskipun bukan properti yang besar, Tama Boutique Hotel Bandung menawarkan pengalaman menginap yang menyenangkan. Dengan 24 kamar saja, staf hotel bisa memberikan perhatian yang lebih besar untuk para tamu. Selain itu, untuk orang seperti saya yang sering “kikuk” saat ada di tempat yang ramai banget, jumlah tamu yang lebih sedikit bikin saya bisa menikmati suasana dengan lebih nyaman.

IMG_20191203_152423
IMG_20191204_100409
IMG_20191204_013259

Kalau dipikir-pikir lagi, tipe kamar yang ditawarkan pun memiliki luas yang cukup besar. Tipe terkecil (Superior) punya luas 15 meter persegi dan tipe yang saya tempati (Deluxe Balcony) punya luas 25 meter persegi. Namun, saya rasa efek ruang yang luas ini terbantu oleh tingginya langit-langit kamar (ini saya lupa bahas). Interior kamar bergaya kontemporer dengan sentuhan tradisional Korea jadi salah satu kelebihan hotel ini. Sejauh ini, hotel yang mengusung konsep tersebut baru Tama Boutique Hotel. Konsep ini makin terasa dengan disajikannya hidangan Korea sebagai menu sarapan. Porsi dan menu yang disajikan pun decent. Saya nggak ada keluhan soal itu.

Berdasarkan informasi dari Tripadvisor, rate hotel ini mulai dari 430 ribu rupiah per malam. Jika dibandingkan dengan fasilitas yang ada, saya rasa rate yang ditawarkan tidak bisa dibilang murah juga. Hanya memiliki lounge dan restoran, bisa dibilang pilihan aktivitas yang bisa dilakukan di hotel sangat terbatas. Namun, kalau ingin menikmati pengalaman menginap yang unik dalam atmosfer tradisional Korea, saya rasa Tama Boutique Hotel Bandung bisa jadi pilihan yang layak dipertimbangkan.

Pros & Cons

👍🏻 Pros

  • Desain interior kamar unik, menggabungkan gaya kontemporer dengan sentuhan tradisional Korea. Cukup Insta-worthy.
  • Sajian Korea hadir sebagai salah satu opsi menu sarapan. Sejauh pengalaman saya, di Bandung sih baru Tama Boutique Hotel yang menawarkan menu tersebut sebagai menu sarapan.
  • Ukuran kamar terasa besar dan lapang, terutama dengan langit-langit yang tinggi.
  • Lokasi hotel strategis. Mal berjarak beberapa menit saja dari hotel. Di sekitar hotel pun ada banyak restoran dan kedai makanan.
  • Lounge punya interior yang keren. Elemen-elemen alam bikin lounge terasa teduh dan nyaman.

👎🏻 Cons

  • Kamar mandi dipisahkan oleh dinding dan pintu geser kaca. Sebetulnya, ini nggak benar-benar menjadi masalah. Hanya saja, masih ada celah yang cukup riskan di antara pintu geser dan dinding kaca.
  • Fasilitas yang ditawarkan hotel sangat sedikit.
  • Area parkir tidak banyak dan harus berbagi dengan tamu restoran Bornga (tapi ada layanan valet).

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌😶
Desain: 😆😆😆😆😶
Lokasi: 🤩🤩🤩🤩😶
Harga: 💰💰

Review: de Java Hotel Bandung

Duh! Outbreak COVID-19 bikin kita semua kena imbas yang cukup serius. Pekerjaan dan kehidupan sehari-hari jadi terganggu. Saya sendiri udah 2 minggu lebih di rumah dan sejak weekend minggu kemarin, sudah mulai bosan. Stok camilan pun sempat habis, meskipun akhirnya saya belanja online buat beli beberapa barang. Namun, kebutuhan-kebutuhan lain masih belum saya beli karena toko-toko yang menjual produk-produk itu masih tutup. Ya, toko dan mal ‘kan pada tutup. Saya juga bete karena sudah lama nggak main Pump It Up! dan gatal banget kaki ini rasanya.

Anyway, daripada gabut, saya mau review satu properti di Bandung yang lokasinya tepat berseberangan dengan mal langganan saya, Paris van Java. Sebetulnya, saya nginep di sini tahun kemarin. Jadi, kebayang, ya, berapa lama saya nunggak nulis review untuk hotel ini. Mohon maaf, ya. Maklum kerjaan lagi padat banget. Setiap ke PVJ, saya pasti lewat hotel ini, tetapi memang saya baru nginap satu kali di sana dan itu pun tahun kemarin. Dengar cerita dari beberapa teman, hotel ini menonjolkan desain interiornya sebagai keunggulannya dan, tentunya, lokasinya yang super strategis. Setelah menginap, saya bisa mengonfirmasi cerita teman-teman.

206812929
Lobi De Java Hotel. Foto milik pihak manajemen hotel.

de Java Hotel adalah hotel bintang 4 di Bandung yang berlokasi di Jalan Sukajadi No. 148-150. Seperti yang saya bilang di atas, hotel Instagrammable ini berseberangan dengan PVJ, salah satu mal upscale di Bandung. Bisa dibilang hotel ini juga cukup terkenal di kalangan wisatawan karena lokasinya. Gimana nggak? Mau ke mal, tinggal nyeberang jalan. Sebelum sistem satu arah di Jalan Sukajadi diterapkan di akhir tahun 2019, lokasi hotel ini makin strategis karena bisa dicapai dari dua arah. Sekarang, sejak Jalan Sukajadi diubah jadi jalan satu arah, hotel ini hanya bisa diakses dari arah bawah ke atas (Lembang).

Saya coba browsing informasi tentang hotel ini dan nggak dapat banyak informasi. Namun, dari saya kuliah pun hotel ini sudah berdiri. Jadi, bisa dibilang usianya mungkin udah sekitar 5-6 tahun lebih. Bangunan hotel yang ada sekarang merupakan hasil perluasan karena dulu, bangunannya nggak sebesar itu. Meskipun dari luar kelihatan kecil, ternyata hotel ini lumayan besar. Lorong-lorong kamarnya cukup bikin bingung karena ada bagian hotel yang baru dan lorong yang ditutup. Saya agak susah menjelaskannya, tapi yang jelas, saya sempat agak kesulitan cari kamar. Saya juga nggak dapat informasi tentang jumlah kamar di hotel ini dan nggak sempat ngobrol dengan GM atau staf di sana. Yang jelas, sesuai namanya, de Java Hotel mengusung interior bergaya tradisional Jawa yang berhasil di-fusion dengan sentuhan modern. Di lobi, misalnya, sentuhan tradisional Jawa terlihat dari gunungan wayang di dinding belakang meja resepsionis. Elemen-elemen kayu dan warna-warna earthy juga mendominasi interior ruang-ruang publik di hotel. Karena ini, saya bisa bilang kalau hotel ini adalah salah satu hotel unik di Bandung.

Waktu berkunjung ke de Java Hotel, saya menginap di kamar tipe Superior. Dilihat dari kondisinya, kamar saya sepertinya merupakan hasil perluasan hotel. Jadi, masih terbilang baru. Ulasan lengkapnya saya sajikan di segmen berikutnya, ya!

Desain Kamar

Satu hal yang saya suka dari de Java Hotel adalah konsepnya. Sesuai namanya, interior bergaya tradisional Jawa diusung di hotel ini. Namun, yang bikin saya lebih senang adalah fusion-nya yang apik dengan sentuhan modern. Saya menempati kamar tipe Superior. Berdasarkan informasi dari situs resmi hotel, kamar ini punya luas 21 meter persegi. Bicara soal ukuran, saya nggak bisa bilang kalau kamar ini kecil, tetapi nggak luas juga. Sebenarnya, mungkin akan terkesan luas kalau jendela kamar punya view ke luar bangunan. Sayangnya, ketika jendela dibuka, view yang didapat adalah dinding kosong. Walhasil, selama menginap saya selalu tutup gorden dan kamar jadi terasa agak claustrophobic. Mungkin next time bisa coba minta assign kamar dengan view ke arah luar.

IMG_20190428_143911
IMG_20190428_143952
IMG_20190428_143940

Interior kamar tampak elegan dan unik dengan penggunaan panel kayu berwarna cokelat tua di belakang tempat tidur. Panel rotan dekoratif berfungsi sebagai headboard. Di panel ini juga tergantung satu cermin dan beberapa hiasan dinding dari batik. Sentuhan mewah makin ditonjolkan melalui penggunaan wall light. Sebenarnya, saya minta kamar dengan double bed, tetapi double bed ini ternyata twin bed yang digabungkan. Namun, nilai plus lain yang saya lihat adalah adanya guling mini dengan sarung batik. Oh! I love Dutch wives! Waktu saya kecil, kayaknya kalau tidur nggak pakai guling tuh, rasanya nggak pulas.

Fasilitas yang disediakan oleh de Java Hotel di tipe Superior mencakup TV, AC, coffee/tea maker, dan meja kerja. Untuk WiFi, saya sempat kesulitan akses jaringan ini lewat laptop, tapi berhasil kalau pakai handphone. Oh, ya! Di dekat jendela juga ada set kursi dan meja kopi. Kursi ini punya sandaran berbahan rotan yang cantik. Buat saya sih, meja dan kursinya terlalu pendek, tapi tetap jadi sweet addition to the bedroom.

IMG_20190428_144036
IMG_20190428_144003
IMG_20190428_143919

Suasana tradisional Jawa semakin diperkuat dengan lantai ubin berpola. Ini rasanya kayak main ke rumah Mbah di Yogyakarta. Pintu kamar mandi pun merupakan double door dengan pegangan bergaya tradisional dan kaca buram kekuningan dengan pola yang khas. Cantik banget dan saya suka! Di rumah nenek saya, ada satu jendela yang dipasangi kaca seperti itu, tetapi warnanya bukan kuning. Saya nggak tahu istilahnya. Kalau ada yang tahu, please let me know. Media penyimpanan di sini cukup banyak. Untuk closet, memang bukan lemari tertutup. Namun, saya rasa kalau pakai lemari yang tertutup, ruangan akan terasa lebih sempit. Saya rasa mungkin karena kamar didominasi warna-warna earthy yang cukup gelap sehingga kesannya kecil. Meskipun demikian, atmosfer kamar tetap terasa hangat dan cozy.

Namun, ada satu hal yang agak mengganggu ketika saya menginap di de Java Hotel. Kamar kurang kedap suara. Di pagi hari, saya dengar suara anak kecil nangis dari kamar sebelah, diikuti suara-suara lain seperti ringtone ponsel tamu dan suara ibu-ibu yang ngomel. Suara-suara seperti itu mengganggu istirahat. Namun, saya jadi sadar bahwa suara dari kamar saya pun mungkin bisa aja kedengaran oleh tamu di kamar sebelah. Privasi bisa agak terganggu nih.

Kamar Mandi

Untuk kamar mandi tipe Superior di de Java Hotel, desainnya masih in line dengan interior kamar. Namun, kalau dinding utama kamar bercat putih, dinding kamar mandi dipasangi ubin berwarna abu-abu. Sentuhan tradisional Jawa tercermin dari lukisan batik di atas kloset. Ukuran kamar mandi sendiri sebetulnya cukup kecil, dan ditambah pemilihan ubin berwarna gelap, kamar mandi terkesan “mengekang”. Untungnya, pencahayaan di kamar mandi cukup cerah. Selain itu, penggunaan ubin dengan warna dan pola kayu di area wastafel dan belakang kloset memberikan sentuhan elegan, terutama ketika dipadukan dengan cermin berbentuk lingkaran. Di area shower, tersedia shower tangan, tanpa rainshower. Area ini dipisahkan oleh dinding kaca dan split level. Namun, tetap sih ketika mandi, air bisa luber ke area kamar mandi yang lain, meskipun area kloset sih masih tetap kering.

IMG_20190428_144400
IMG_20190428_144405

Di kamar mandi, tersedia hair dryer. Fasilitas ini sendiri saya pikir jadi staple bathroom amenity untuk hotel bintang empat. Sampo, pasta gigi, sabun, dan sampo juga tersedia. Untuk toilet paper, penempatannya nggak tepat di samping kloset, dan ada di dekat wastafel. Untuk kita yang cebok pakai air sih, nggak masalah karena ada water gun. Nah, untuk tamu yang cebok pakai toilet paper, mungkin harus maju sedikit untuk ambil toilet paper. Oh, ya! Di atas area shower, saya perhatikan ada satu lubang yang terbuka dan jujur, ini bikin agak parno. Mungkin di lubang itu, nantinya akan dipasangi kipas angin, tapi jujur aja saya parno ketika pakai kamar mandi. Ya, semoga aja sih sekarang lubang itu sudah ditutup dan dipasangi exhaust.

IMG_20190428_144349
20190429_111134_900

Fasilitas Umum

Restoran

Sarapan di de Java Hotel disajikan di restoran yang ada di lantai lobi. Ukuran restorannya cukup luas menurut saya dan masih mengusung kombinasi desain kontemporer dengan sentuhan tradisional Jawa. Sebetulnya, area restoran ini punya extension di dekat lobi untuk mengakomodasi para tamu kalau main dining hall sudah penuh.

IMG_20190428_204048
IMG_20190428_204116
IMG_20190428_204042

Saya lupa foto menu sarapannya dan foto-foto restoran diambil di malam hari. Namun, buat gambaran aja, menu yang disajikan cukup variatif. Ya, standar hotel bintang empat kalau menurut saya sih. Untuk minuman, seperti biasa ada kopi, teh, air putih. Dari segi rasa, saya juga nggak punya complaint. Saat menginap, saya sarapan lebih awal, sekitar jam setengah 7 pagi dan kondisi restoran masih relatif sepi.

Oh, ya. de Java Hotel juga katanya punya bar, tapi saya nggak tahu di sebelah mana, dan saya juga nggak sempat cari. Setiap lewat depan hotel kalau mau ke PVJ, saya sering lihat promo yang diadakan bar. Biasanya sih, promo untuk bir (dan yang terakhir saya lihat sih, it was a pretty good deal!). Mungkin next time saya nginap lagi di sana, saya coba ke barnya. Ya, sekalian untuk update informasi di review ini.

Kolam Renang

Fasilitas lain di de Java Hotel yang sayang dilewatkan adalah kolam renangnya. Kalau dulu, kolam renangnya terbuka dan lihat di foto-foto sih, ada poolside bar. Namun, waktu saya ke sana, kolam renangnya sudah tidak lagi terbuka. Semi-outdoor lah bisa dibilang. Namun, view dari jendela-jendela besar di area kolam bagus banget, terutama view ke arah selatan.

IMG_20190429_080944
IMG_20190429_080930

Waktu saya datang ke kolam renang, ada banyak meja dan kursi yang sudah ditata. Sepertinya sih, akan ada acara di gelar di sini. Namun, ada satu dua orang tamu yang masih berenang. Ukuran kolam renang di de Java Hotel nggak begitu besar memang. Kalau untuk renang satu lap sih ini masih jarak pendek. Kolam anak dan kolam dewasa itu sama, tapi ada pemisahnya. Sayangnya, pemisahnya ini menurut saya sih kurang aman. Jadi, kalau bawa anak-anak berenang ke sini, pastikan harus diawasi.

Fasilitas Lain

Selain restoran, bar, dan kolam renang, de Java Hotel juga punya beberapa function room yang saya lihat waktu mau ke kolam renang. Hotel ini juga katanya punya gym, tapi saya nggak tahu di sebelah mana. Yang jelas, di sini juga ada spa, toko suvenir (lagi tutup waktu saya menginap), dan ATM (di depan hotel).

IMG_20190428_204018
IMG_20190428_204008

Lokasi

Faktor lokasi jadi salah satu keunggulan de Java Hotel. Bisa dibilang properti ini adalah salah satu hotel paling strategis di Bandung. Meskipun Jalan Sukajadi sekarang sudah menjadi jalan satu arah, secara lokasi hotel ini masih dibilang strategis. Buat hiburan, misalnya, di depan hotel ada Paris van Java, salah satu mal upscale di Bandung. Tinggal nyeberang jalan, sampai deh di PVJ. Mal ini sendiri punya beragam pilihan restoran. Di sekitar hotel juga ada minimarket dan warung-warung. Aman deh kalau urusan makan.

Dari Stasiun Bandung, de Java Hotel bisa dicapai dengan kendaraan roda empat selama sekitar 15-20 menit, tergantung kondisi lalu lintas. Biasanya, titik kemacetan ada di Jalan Pasirkaliki dan Sukajadi bawah. Kalau dari Bandara Internasional Husein Sastranegara, hotel ini berjarak sekitar 30 menit.

Pelayanan

Segmen ini memuat pendapat saya mengenai pelayanan yang diberikan pihak hotel. Apa yang saya tulis bersifat subjektif dan bukan merupakan informasi umum, dan lebih merupakan pendapat pribadi. Experience yang saya alami bisa jadi berbeda dari apa yang orang lain alami. Tulisan dalam segmen ini tidak ditujukan untuk menjelek-jelekkan atau menurunkan reputasi hotel. Jika informasi yang saya tulis bersifat positif, semoga manajemen hotel bisa tetap menjaga kualitas layanannya. Jika bernada negatif, semoga bisa menjadi bahan perbaikan bagi pihak hotel. Ke depannya, saya akan sertakan segmen ini di ulasan-ulasan berikutnya. 

Faktor pelayanan jadi salah satu hal yang saya rasa cukup baik. Staf yang bertugas ramah-ramah. Selama menginap, interaksi saya dengan staf memang nggak banyak. Namun, kalau papasan sih, staf biasanya senyum atau menyapa. Waktu breakfast, staf yang bertugas juga cukup gesit menyiapkan berbagai hal. Proses check-in dan check-out juga lancar. Overall, bisa dibilang kualitas pelayanannya baik. Semoga kualitasnya tetap dipertahankan dan kalau bisa, lebih baik lagi.

Kesimpulan

An elegant fusion. Mungkin itu yang bisa saya bilang untuk menggambarkan de Java Hotel. Interior kamar jadi salah satu hal yang saya sukai dari hotel ini. Dari segi ukuran, memang tipe Superior bukan tipe yang luas. Namun, kalau yang dicari adalah desain interior, hotel ini layak dipertimbangkan. Yang jadi concern adalah tidak adanya view dari jendela kamar. Mungkin next time, kalau mau pesan kamar di hotel ini, coba minta kamar dengan view ke luar. Saya juga ngerasa terganggu dengan suara berisik dari kamar sebelah (terutama karena anaknya nangis terus). Kurang kedap suaranya kamar jadi sesuatu yang harus dipertimbangkan juga. Selain itu, adanya lubang di atas area shower jadi privacy concern. Karena udah satu tahun sejak saya ke sana, semoga aja sekarang lubang itu sudah ditutup.

Untuk aspek pelayanan dan fasilitas umum, saya nggak ada objection. My stay was fine. Staf cukup ramah dan helpful. Menu sarapan yang disajikan juga cukup variatif. Ya, standar hotel bintang empat lah, gimana. Adanya kolam renang dengan view kota Bandung bikin hotel ini jadi opsi yang tepat untuk liburan bareng keluarga. Ditambah lagi, lokasinya yang strategis memudahkan saya pergi ke mana-mana. Karena saya sering ke Paris van Java, main ke mal rasanya gampang banget.  Tinggal nyeberang jalan dan voila! Saya udah di PVJ.

Dengan rate mulai dari 500 ribu rupiah per malam (berdasarkan info dari Tripadvisor), de Java Hotel bisa jadi pilihan yang cocok untuk liburan di Bandung. Untuk staycation pun, hotel ini rasanya pas, terutama karena dekat dengan mal. Dengan desain interior yang cantik dan fasilitas yang terbilang mumpuni, de Java Hotel perlu dipertimbangkan untuk rencana liburan keluarga di Bandung.

Pros & Cons

👍🏻 Pros

  • Desain interiornya cantik, memadukan gaya tradisional Jawa dengan sentuhan kontemporer, tanpa terkesan “trying too hard“. Dominasi elemen kayu dan warna-warna earthy di kamar membangun atmosfer yang cozy.
  • Lokasi hotel cukup strategis. Dekat ke mal, di kelilingi minimarket dan beragam kedai atau warung. Buat makan sih, gampang banget lah.
  • Untuk hotel di tengah kota dan berseberangan dengan mal, rate yang ditawarkan masih affordable, ditambah lagi desain interiornya yang cantik.
  • Fasilitas yang ditawarkan, terutama kolam renangnya cocok untuk liburan bareng keluarga.

👎🏻 Cons

  • Kamarnya dirasa kurang kedap suara. Saya pagi-pagi terganggu dengan suara anak kecil nangis di kamar sebelah, plus ibunya yang marah-marah. Di sisi lain, suara dari kamar kita bisa jadi terdengar ke kamar sebelah. Privacy concern number 1.
  • Nggak semua kamar menawarkan view ke luar bangunan. Kamar yang saya tempati nggak punya view. Walhasil, jendela harus selalu ditutup dan kamar terasa claustrophobic, terlebih dengan ukurannya (21 meter persegi).
  • Waktu saya menginap, di langit-langit area shower ada lubang terbuka. Mungkin lubang itu akan dipasangi exhaust, tapi yang jelas saya jadi parno. Privacy concern number 2.

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😶⚪️
Desain: 😆😆😆😆⚪️
Lokasi: 🤩🤩🤩🤩😶
Harga: 💰💰

Review: Moxy Bandung

Wah! Saya hiatus berapa lama nih dari blog ini? Karena tanggung jawab pekerjaan, saya “terpaksa” menelantarkan blog review ini. Padahal, masih ada belasan hotel yang menunggu untuk saya ulas. Ke depannya, saya akan coba deh nyolong-nyolong waktu buat nulis ulasan lagi supaya blog ini juga bisa tetap jalan. This is one of my passion. Jadi, ya sayang banget kalau ditelantarkan. Sudah seperti anak sendiri, kalau kata salah satu iklan kecap sih.

Di bulan Agustus kemarin, saya sempat menginap di salah satu hotel yang berlokasi di kawasan Dago. Bos Permata (udah bukan di Panin lagi soalnya si Suneo) main ke Bandung untuk merayakan HUT RI dan dia pesan kamar di hotel ini atas referensi dari temannya yang juga reviewer hotel. Kalau saya kebetulan lagi main ke daerah Dago, saya sering lewati hotel ini, tapi ya hanya lewat. Saya pernah sih lihat foto-foto interiornya dan menurut saya cukup unik, tapi seunik apa itu, saya nggak yakin. Saya harus datang ke hotelnya langsung supaya bisa menilai lebih baik. Karena kebetulan si Pak Suneo nginap di sini, akhirnya ya sudahlah sekalian saya main dan review properti.

Moxy Bandung
Fasad Moxy Bandung. Foto milik manajemen hotel.

Moxy Bandung adalah hotel bintang tiga yang berlokasi di Jl. Ir. H. Djuanda No. 69, Bandung. Location-wise, hotel ini posisinya strategis karena ada di persimpangan. Oh, ya! Dari Balubur Town Square (Baltos) pun hotel ini cukup dekat jaraknya. Bisa lah jalan kaki. Dulu saya pernah paruh waktu kerja bantuin teman di kafe punyanya Baltos. Kalau dilihat dari luar, bangunan hotel cukup terhalangi oleh pohon-pohon besar. Sebenarnya, bangunannya sendiri unik karena berbentuk huruf L, dengan rooftop bar di atasnya.

Hotel ini merupakan salah satu hotel butik di Bandung yang mengedepankan desain yang unik. Kalau lihat di foto-fotonya (nanti juga bisa lihat di segmen berikutnya), interior hotel mengusung gaya Industrial yang kental. Desain ini dipadukan dengan sentuhan vintage dari penggunaan neon warna-warni dan beberapa pernak-pernik khas tahun 80/90-an. Bisa dibilang Moxy Bandung ini hotel Instagrammable banget. Saya sendiri selama nginap, banyak pakai HP buat foto-foto karena tempatnya emang Insta-worthy. Cocok deh buat avid Instagram users.

Ada 109 kamar di hotel ini yang terbagi ke dalam tiga tipe, yaitu Moxie, Dago Deluxe, dan Braga. Nah, tipe kamar terakhir itu merupakan suite room. Untuk fasilitas, Moxy Bandung punya restoran, lounge, meeting room, gym, ironing room, dan rooftop bar. Waktu menginap di sana, saya dapat kamar Dago Deluxe. Kebetulan, kamar saya merupakan corner room dengan view ke arah Dago dan Jembatan Pasopati. Ulasan lengkapnya ada di segmen berikutnya, ya!

Desain Kamar

Bicara soal desain kamar, saya sih percaya sama Moxy Bandung. Sebagai hotel butik, tentunya desain interior yang cantik menjadi aspek yang penting. Di kawasan Dago, sebenarnya Marriott punya 4 properti, tapi yang secara jelas menargetkan muda-mudi sebagai segmentasi pasarnya ya hotel ini. Seperti yang saya bilang sebelumnya, hotel ini mengusung gaya Industrial sebagai desain utama. Nah, di hotel ini, akses kamar ada dua pilihan: lewat card atau aplikasi Marriott. Kalau kamar dipesan melalui aplikasi atau situs Marriott, akun yang terdaftar akan terhubung dengan pemesanan dan kita bisa masuk ke kamar dengan mendekatkan ponsel (yang ada aplikasi Marriott-nya) ke pintu. Praktis, deh!

Dengan luas 24 meter persegi, kamar Dago Deluxe terasa cukup lapang. Ada dua jendela yang menghadap ke utara dan barat di kamar. Ini artinya, ada banyak cahaya matahari yang masuk ke kamar sehingga bisa mengurangi penggunaan lampu. Sayangnya, di sore hari intensitas cahaya matahari yang masuk ke kamar cukup kuat. Walhasil, suhu di kamar pun jadi terasa lebih panas. Palet warna monokromatik yang cerah juga bikin kamar terasa lebih luas. Dinding semen ekspos di belakang tempat tidur menjadi semacam focal point di kamar. Headboard tempat tidur menggunakan warna gelap untuk membangun kontras dengan dinding.

Oh, ya! Karena si Pak Suneo ini member Marriott Bonvoy, begitu masuk kamar ternyata sudah ada kejutan dari para staf hotel. Ada dua flamingo dan beberapa dekorasi stik di atas headboard. String lights juga dipasang di atas headboard. Di atas tempat tidur, sudah ada papan catur dan balok-balok UNO Stacko yang disusun menjadi tulisan “AT THE MOXY”. Gemas banget!

IMG_20190818_132812
IMG_20190818_132902
IMG_20190818_132957

En-suite amenities yang tersedia memang terbatas. Di kamar tidak ada kulkas kecil dan lemari pakaian tertutup. Namun, fasilitas hiburan seperti TV dan koneksi WiFi sih tetap ada. Di sore hari, saya dan Suneo sempat ketemu dengan Pak Raksa, “kapten”-nya Moxy Bandung untuk ngobrol tentang properti ini, properti-properti Marriott yang lain, dan dunia perhotelan. Menurut beliau, hotel ini mengusung konsep yang lebih “simpel”. Beberapa fasilitas memang “disunat” dari kamar. Setelah diperhatikan, di kamar nggak ada kulkas dan coffee/tea maker. Memang disediakan dua botol air mineral, tapi kalau mau ngopi atau ngeteh, tamu harus ke lobby lounge buat bikin sendiri minuman (gratis kok, kecuali minuman lain kayak bir atau soju). Secara pribadi, menurut saya konsep ini agak merepotkan, tapi waktu menginap, saya memang nggak ada keinginan buat bikin teh atau kopi sih so it didn’t matter.

IMG_20190818_133022
IMG_20190818_133047
IMG_20190818_133109
IMG_20190818_133219_1

Kalau biasanya hotel menyediakan kursi lengan, di sini ada bean bag yang ditempatkan di salah satu sudut kamar. Ada wall lamp di belakangnya sebagai sumber cahaya kalau mau baca buku. Saya sih suka dengan penggunaan bean bag di kamar. Oh, ya! Staf hotel juga menyediakan ukulele (yang sayangnya fals) dan teddy bear raksasa berwarna pink. Unch maksimal deh buat foto-foto! Ada juga rubiks yang nggak bisa saya mainkan. Intinya sih, di kamar ada banyak mainan dan hiburan yang bikin betah. The inner child of me was so alive!

Kamar Mandi

Untuk kamar mandi, saya suka dengan skema warnanya yang cerah. Walaupun masih dalam balutan warna-warna monokrom, penggunaan tiles warna putih dengan pola running bond dan pencahayaan yang terang membuat kamar mandi terasa lebih lapang. Gaya Industrial terlihat dari penggunaan tiles dan furnitur berdesain Utilitarian.

IMG_20190818_133359
IMG_20190818_133354

Shower area-nya cukup luas dan dibatasi oleh dinding kaca. Ada rainshower di sini jadi lumayan lah untuk “galau time”. Dispenser sabun dan sampo sudah tersedia di shower area. Rak handuk bergaya Utilitarian dipasang di atas kloset. Desainnya simpel, tapi cantik. Bisa jadi inspirasi buat rumah idaman di masa mendatang. Sayangnya, nggak ada split level antara shower area dengan area kamar mandi yang lain. Ini artinya air masih bisa meleber dan meluas ke mana-mana.

IMG_20190818_133422
IMG_20190818_133435
IMG_20190818_133343_1

Amenities kamar mandi lainnya yang tersedia mencakup hair dryer, sikat & pasta gigi, hand soap, dan hand towel. Wastafel kamar mandi cukup besar dan bukan tipikal basin yang dangkal sampai airnya gampang tumpah ke mana-mana. Di samping cermin, ada lampu dinding Industrial khas kapal laut. Kalau pernah nonton Titanic, pasti nggak asing sama lampu kayak gini. Oh, ya! Saya lupa. Tepat di depan kamar mandi, ada satu dinding dekoratif yang juga fungsional. Di dinding ini terpasang beberapa foto dan typographical art berbingkai yang bersanding dengan beberapa gantungan pakaian. Walhasil, dinding ini jadi spot yang Instagrammable. Secara pribadi, ini bagian kamar yang saya suka, selain pojok bean bag.

Fasilitas Umum

Lobby Lounge

Moxy Bandung mengusung konsep lobi dan resepsionis yang menyatu dengan lounge. Check-in pun dilakukan di kasir lounge. Mekanismenya jadi terasa santai. Pas sih karena memang hotel ini menargetkan kawula muda sebagai pangsa pasarnya. Area bar berada di tengah-tengah ruangan dengan langit-langit setinggi dua lantai. Di belakang bar, ada beberapa counter dan lemari yang memuat makanan dan minuman, baik yang gratis maupun yang berbayar. Di lounge ini, saya dan Suneo ketemu sama Pak Raksa. Sementara mereka berdua ngobrol, saya ngabisin dua chocolate Martini yang dipesen karena si Suneo baru neguk sekali udah bilang kenyang. By the way, waktu itu lagi ada promo buy one get one. Lumayan lah kalau segelas nggak cukup.

IMG_20190818_143133
IMG_20190818_143817

Di sisi timur bar, ada area restoran hotel. Sarapan pagi dihidangkan di sini. Oh, ya! Di sini juga ada noodle bar. Ada satu rak bergaya Industrial yang punya banyak mi instan dengan berbagai rasa. Ada juga roulette wheel buat milih rasa mi yang bisa dicoba. Area restoran ini sendiri keliatannya kecil, tapi ketika pagi saya cek, ternyata nggak sesempit yang dikira. Sebetulnya, area ini cukup Instagrammable dengan mural di dinding, meskipun kalau untuk public space sih, game room-nya yang jauh lebih Instagrammable.

Mini Library

Naik satu lantai dari lobi melalui tangga, ada lounge area tambahan yang berfungsi sebagai reception area buat meeting room dan juga perpustakaan kecil. Di sini juga ada printer dan komputer yang ditempatkan di atas meja pendek. Kalau mau duduk, pakai bean bag. Ih, ini sih rasanya kayak warnet atau main komputer di rumah sendiri (which I like!). Untuk perpustakaan sendiri, meskipun koleksi bukunya nggak banyak, area ini tetep cozy buat dipake santai sambil baca. Ada meja bundar dengan beberapa kursi, atau sofa panjang yang nyaman. Mainan seperti UNO Stacko juga bisa ditemukan di sini. Waktu saya menginap, kebetulan lagi ada acara yang digelar di sana. Karena itu, saya jadi nggak bisa foto ruang rapatnya.

IMG_20190818_143218
IMG_20190818_143237
IMG_20190818_143531
IMG_20190818_143553

Gym

Di Moxy Bandung, kita bisa tetep liburan sambil olahraga. Ada gym yang buka 24 jam buat menjaga kebugaran tubuh. Nah, ada sesuatu yang bikin saya kesal, nih! Jadi, ceritanya saya udah foto-foto gym-nya tuh. Ketika saya pindahkan foto dari HP ke komputer, saya kaget karena foto-foto gym yang udah diambil ternyata nggak ada. Waktu saya cek di HP pun, saya nggak lihat foto-foto itu. Ada kemungkinan sih fotonya terhapus atau semacamnya. Kesal banget rasanya. Saya jadi nggak punya dokumentasi buat diunggah ke ulasan.

68904227_2483783665041360_1057789649742725120_n
69007451_2483783875041339_1024851803247738880_n

Meskipun demikian, foto saya lagi nyobain tinju ternyata masih bisa digunakan. Foto ini agak memalukan soalnya ada saya-nya, tapi nggak apa-apa lah sesekali muka reviewer-nya nongol di ulasannya sendiri. Untuk gym-nya sendiri, ukurannya nggak begitu besar, tapi nggak sempit juga. Ada treadmill, weight lifter, dan stationary bike. Uniknya, stationary bike yang digunakan adalah sepeda betulan. Ya, memang sih nggak ada layar indikator kecepatan dan segala macam (fitur-fitur yang sifatnya technologic pun nggak ada), tapi sepeda ini bisa jadi media unik buat berolahraga. Di sini juga ada punching bag dan dua pasang sarung tangan tinju.

Di dalem gym juga ada kamar mandi. Nah, kamar mandinya ini memang hanya satu, tapi lengkap karena sudah ada shower. Buat saya, kehadiran full bathroom ini convenient karena habis selesai olahraga, kita bisa langsung mandi, tanpa harus naik ke kamar dengan kondisi badan keringetan dan segala macem.

Game Room

Bisa dibilang fasiltias yang satu ini merupakan fasilitas andalan Moxy Bandung. Berada di lantai lobi, game room merupakan tempat yang Instagrammable dan cozy banget buat ketemu sama temen-temen sambil main. Interior area ini didominasi warna-warna monokrom yang keliatannya lebih berwarna karena neon-neon warna-warni yang membangun vibe musim panas, vintage, dan American diner.

IMG_20190818_142623
IMG_20190818_142649
IMG_20190818_142702
IMG_20190818_143003

Ukuran game room sendiri memang nggak besar, tapi terasa lapang karena nggak tertutup. Warna pink yang hadir di tengah-tengah palet monokromatis menjadi colour pop yang bikin ruangan ini tampak menarik. Ada meja bilyar dengan kain pelapis warna pink yang berada di tengah ruangan. Di sudut ruangan, ada dua dart machine. Ada juga pojok Instagram di salah satu sudut ruangan yang ditempati boks telepon umum, sepeda, dan beragam pernak-pernik bertema HUT RI. Kebetulan pas saya nginep ‘kan pas lagi 17 Agustusan. Di game room ini, pink jadi semacam primadona. Meskipun saya bukan penggemar warna pink, tapi sentuhan pink di ruangan ini menurut saya terlihat cantik dan keren, dan bikin game room ini makin stylish.

Ironing room

Di segmen desain kamar, saya udah bilang bahwa ada beberapa fitur kamar yang disunat. Nah, salah satunya adalah ketersediaan setrika dan ironing board. Meskipun demikian, tamu bisa tetap menyetrika pakaian di Moxy Bandung. Ada ironing room yang bisa dikunjungi ketika perlu menyetrika baju atau celana.

IMG_20190818_141956
IMG_20190818_142007

Ukuran ruangan sendiri nggak begitu besar dan bentuknya memanjang. Ada papan peraturan yang dipajang di dinding untuk tamu yang mau pakai ruangan ini. Nah, anak-anak berusia 16 taun ke bawah nggak boleh ke sini tanpa ditemani orang dewasa. Selain itu, ada poin yang bilang “Be careful. It can be hot and steamy inside“, dengan frasa “hot and steamy” yang digaris bawahi. Hmm… Bisa ae lu.

Moxy Sky

Kalau menginap di Moxy Bandung, tempat yang satu ini jangan sampai dilewatkan. Moxy Sky berada di lantai rooftop bangunan hotel dan merupakan rooftop bar yang kece. Waktu saya menginap, kebetulan barnya lagi tutup. Walhasil, saya cukup menikmati cocktail dan camilan di lobby lounge saja. Namun, tamu diizinkan naik ke sini untuk melihat pemandangan kota Bandung atau sekadar foto-foto.

IMG_20190818_145409
IMG_20190818_150239
IMG_20190818_150216
IMG_20190818_145809

Area rooftop bar sendiri luas dan terasa lapang. Di sini juga ada satu ruang rapat. Untuk desain sendiri sih, masih mengusung gaya Industrial. Elemen kayu dengan sentuhan rustic mendominasi rooftop bar ini. Lampu-lampu bergaya Industrial juga dipasang di beberapa titik untuk menerangi area bar di malam hari. Namun, atmosfer di sini terasa lebih ceria karena implementasi warna-warna cerah pada (terutama) kursi. Tanaman-tanaman hias tropis bisa ditemukan di area rooftop. Di siang hari sendiri, area ini kerasa banget panas karena memang terbuka (pohon yang ada juga kurang rimbun). Ya, memang sih Moxy Bar ini lebih hidup di sore/malam hari. Untuk view sendiri, saya rasa hampir seluruh Bandung kelihatan, tergantung kita lagi ada di sebelah mana.

Oh, ya! Salah satu daya tarik Moxy Bar di Moxy Bandung ini adalah glass platform-nya yang ada di sisi timur area rooftop. Sesuai namanya, platform ini punya dinding kaca yang menjorok ke luar gedung. Buat yang takut ketinggian, saya rasa jangan naik ke sini deh daripada fobianya ke-trigger. Platform ini sendiri bisa diakses lewat tangga dan dipercantik dengan arch putih berlogo Moxy. Dari platform, kita bisa lihat pemandangan ke arah Gedung Sate dan pusat kota Bandung. Instagrammable lah buat yang hobi foto-foto dan ingin melengkapi feed Instagram-nya.

IMG_20190818_145746
IMG_20190818_145615
IMG_20190818_150419

Lokasi

Bicara soal lokasi, Moxy Bandung sih bisa diandalkan untuk yang pengen liburan di pusat kota. Berada di persimpangan Jalan Ir. H. Djuanda dan Jalan Sulanjana, hotel ini dilewati rute angkot buat yang pengen coba ngangkot di Bandung. Ojek dan taksi online? Wah, jelas gampang lah. Dari Stasiun Bandung, hotel ini bisa ditempuh dalam jarak sekitar 20 menit menggunakan kendaraan roda empat. Kalau dari Bandara Internasional Husein Sastranegara, waktu tempuhnya sekitar 35 menitan, tergantung kondisi lalu lintas. Ya, kalau disuruh memperkirakan waktu tempuh di Bandung sih, agak susah ya. Tahu sendiri lalu lintas Bandung tuh sekarang jauh lebih parah.

Untuk makan, ada banyak pilihan kafe dan restoran di deket Moxy Bandung. Dengan jalan kaki pun, kita bisa nemu banyak tempat asyik buat makan. Kalau perlu belanja, ada Superindo di deket hotel (sebelahan sama Four Points Bandung). Ingin liat-liat baju murah meriah? Jalan kaki aja ke Balubur Town Square. Pusat perbelanjaan yang terkenal dengan sebutan Baltos ini juga langganan para mahasiswa karena ada buku dan perlengkapan kuliah yang dijual dengan harga lebih terjangkau. Sekitar 10 menit dari hotel, ada kawasan Merdeka yang terkenal dengan BIP dan Gramedia. Kalau udah di area situ sih, enak lah ke mana-mana.

Kesimpulan

Stylish. Itu satu kata yang bisa saya ucapkan untuk menggambarkan Moxy Bandung. Desain interior jadi keunggulan hotel bintang tiga ini, terutama karena menargetkan kawula muda sebagai pangsa pasarnya. Ada banyak banget tempat Instagrammable di hotel ini. Jadi, buat foto-foto sih, dijamin nggak akan kehabisan spot cantik. Untuk kamar sendiri, tipe Dago Deluxe cukup luas, terutama melalui penggunaan warna-warna monokromatik yang cerah dan dua jendela dengan view yang berbeda. Furnitur bergaya Utilitarian yang simpel juga bikin kamar terasa lebih lapang. Untuk kamar mandi, pemilihan ubin warna putih dan pencahayaan yang mumpuni bikin mandi terasa nyaman (terutama buat saya yang nggak suka kamar mandi yang gelap). Ada juga rainshower yang menjadi nilai tambah tersendiri.

Konsep yang diusung Moxy Bandung memang unik, tapi punya downside tersendiri. Di kamar nggak ada kulkas. Ini artinya kita nggak bisa dinginkan makanan atau minuman. Coffee/tea maker juga tidak tersedia. Kalau mau ngopi atau ngeteh, kita harus turun dulu ke lobi buat bikin di coffee/tea station. Repot sih buat orang yang males keluar masuk kamar. Meskipun demikian, akses kamar melalui card dan aplikasi Marriott jadi poin plus tambahan. Untuk fasilitas sendiri, saya rasa udah pas. Nggak ada kolam renang, tapi ada gym. Ada juga lobby lounge dan rooftop bar. Mau baca? Ada perpustakaan kecil dengan business centre. Untuk nyetrika baju, ada ironing room. Apa lagi ya? Saya secara pribadi sih ngerasa sudah cukup dengan fasilitas-fasilitas itu.

Dengan rate mulai dari 500 ribuan (berdasarkan Tripadvisor), Moxy Bandung layak dijadikan pilihan hotel Instagrammable di Bandung untuk kalian anak gaul. Desain yang striking, konsep yang unik, dan rooftop bar kece bisa melengkapi liburan kamu di Kota Kembang. Lokasinya yang strategis juga menjadikan hotel ini pilihan tepat untuk beristirahat di pusat kota. Ketersediaan beragam mainan dan pernak-pernik gemas akan menghidupkan kembali the inner child dalam diri saat menginap.

Pros & Cons

Pros 👍🏻

  • Desainnya Instagrammable banget! Buat yang hobi foto-foto, Moxy Bandung cocok banget buat dipilih. Ada banyak spot foto yang cantik dan keren. Saran saya sih, coba bawa outfit bergaya vintage-retro buat foto-foto di Game Room.
  • Fasilitasnya cukup mumpuni: game room, perpustakaan/business centre, meeting room, ironing room, gym, lobby lounge, dan rooftop bar.
  • Gym-nya memang kecil, tapi ada punching bag dan beberapa pasang sarung tinju. Kayaknya jarang saya lihat punching bag di gym hotel. Stationary bike-nya gemesin, warna pink pula.
  • Rooftop bar hotel mantap banget buat kongkow sama temen di sore/malam hari. Ada juga glass platform yang Insta-worthy.
  • Lokasinya strategis. Dilewatin sama rute angkot pula. Mau makan dan belanja, ada banyak tempat yang bisa dijangkau dengan berjalan kaki. Praktis (ya selama nggak males jalan).
  • Rate-nya masih bersahabat. Memang nggak masuk kelas budget, tapi untuk level midscale, hotel butik ini relatif terjangkau (apalagi kalau bayarnya patungan).
  • Bisa minta mainan dan teddy bear raksasa buat disediakan di kamar.

Cons 👎🏻

  • Nggak ada kulkas dan coffee/tea maker di kamar. Kalau mau ngopi, harus turun ke lobi buat bikin sendiri di coffee/tea station. Repot sih ini kalau harus naik turun ke kamar. Makanan atau minuman juga nggak bisa didinginkan. I can’t keep my beer cold.
  • Nggak ada lemari pakaian tertutup. Adanya gantungan baju.

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌⚪️
Desain: 😆😆😆😆😆
Lokasi: 🤩🤩🤩🤩🤩
Harga: 💰💰💰