Category Archives: 5 Stars

Review: JW Marriott Jakarta

Kawasan Mega Kuningan Jakarta, selain terkenal sebagai distrik bisnis juga ternyata gudangnya properti-properti mewah. Sejujurnya, salah satu goal saya untuk urusan review hotel adalah meninggalkan “jejak” di properti-properti yang ada di kawasan Mega Kuningan dan Jalan Dr. Satrio. Sebelumnya, saya sudah merasakan serunya menginap dan berenang di Ritz-Carlton Mega Kuningan dan asyiknya liburan Natal dengan teman dan kakak di Ascott Sudirman. Nah, di Desember 2020 kemarin (haduh lama banget ya ini jedanya, setahun lebih), saya menginap di salah satu properti milik Marriott Hotels, yang juga tetanggaan deket sama Ritz-Carlton. Pokoknya sih, dari jendela kamar saya di Ritz-Carlton dulu, bangunan hotel ini keliatan jelas banget. Maklum bangunannya badag!

review jw marriott jakarta

JW Marriott Jakarta adalah hotel bintang lima yang berlokasi di Jalan DR. Ide Anak Agung Gde Agung Kav. E.1.2 No 1&2, Kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Hotel ini bisa dibilang salah satu properti mewah Marriott yang pertama di Jakarta. Menurut CVENT, properti ini dibangun dan dibuka sejak tahun 2001. Ini artinya umurnya sudah 21 tahun di tahun 2022. Yang jelas sih, dari waktu saya SD hotel ini sudah ada. Bangunannya yang besar dan terbilang “melebar” (saya ngeliatnya seperti blazer cewek kalau dipasangi shoulder pad) jadi ciri khas properti ini. 

Bicara soal JW Marriott Jakarta, rasanya ingatan saya nggak lepas dari insiden di tahun 2003 dan 2009 akibat teroris. Pasalnya, hotel ini dua kali menjadi sasaran terorisme yang memakan banyak korban. Di tahun 2009, tetangganya, Ritz-Carlton pun malah ikut jadi sasaran pembomban dan walhasil, Manchester United pun gagal main di Jakarta. Sumpah gedeg banget saya dengarnya. Namun, saya sangat senang dan bangga karena JW Marriott Jakarta bisa kembali bangkit dan beroperasi hingga sekarang, dan jadi salah satu properti bintang lima yang populer di ibukota.

Menurut situs resminya, ada 317 kamar yang tersedia di hotel ini. Dari 317 kamar tersebut, 285 unit merupakan tipe kamar biasa, sementara 32 unit lainnya merupakan suite room. Pada dasarnya, ada enam tipe kamar di JW Marriott Jakarta: Deluxe Room (King atau Double), Executive Room, Governor Suite, Diplomat Suite, JW Marriott Suite, dan Presidential Suite. Luas kamar di hotel ini sendiri mulai dari 42 meter persegi untuk tipe terkecil. Tipe paling besar, Presidential Suite, hadir dengan luas 210 meter persegi. Untuk fasilitas, ada restoran, bar, gym, kolam renang, spa, ballroom, meeting room, hingga coffee shop. Oh! Ada juga outdoor kids’ corner yang, kalau saya nggak salah ingat, hanya digelar pas weekend. Ya, digelar karena waktu saya menginap selama tiga hari dua malam, di hari kedua itu si kids’ corner ini belum ada. And oh! Di JW Marriott Jakarta juga ada taman di dekat area kolam renang, serta musala. Ini sih dugaan saya ya. Karena hotel ini lokasinya di kawasan bisnis dan memang waktu saya menginap pun, banyak diadakan acara seperti rapat dan seminar, adanya musala sebagai fasilitas standalone (bukan satu boardroom yang dipakai sebagai musala) jadi hal yang perlu diapresiasi. Dan ukuran musalanya pun cukup luas, dengan segregasi area untuk pria dan wanita.

Waktu menginap, saya memesan kamar tipe Executive. Tipe ini pada dasarnya adalah tipe Deluxe, tapi dilengkapi akses ke executive lounge di lantai 29. Secara keseluruhan, pengalaman menginap saya bisa dibilang positif. Ada kendala yang saya temukan saat menginap, tetapi langkah yang diambil oleh pihak hotel sangat saya apresiasi. Dan juga, pihak hotel kasih saya pralines, cokelat, makaron, dan kue dua hari berturut-turut! Senangnya saya! Lengkapnya, review JW Marriott Jakarta dari saya ada di segmen berikutnya, ya!

Desain Kamar

Berdiri sejak tahun 2001, kalau saya lihat dari luar nih, eksterior hotel tampaknya nggak “kolot”. Dari segi desain, JW Marriott Jakarta masih bisa “mejeng kece” bersama gedung-gedung pencakar langit di kawasan Mega Kuningan. Namun, begitu masuk ke dalam hotel, dari area lobi saja saya bisa merasakan aura “lawas” pada interiornya. Well, nggak lawas as in lagu tahun 70-80an, tapi dari interiornya saya tahu pasti bahwa hotel ini bukanlah hotel baru. Interiornya mewah, tapi mewah khas tahun 90an akhir atau 2000an awal. 

Tipe Executive sendiri punya luas 42 meter persegi, seperti tipe Deluxe. Furniturnya tampak dated, tapi bukan sesuatu yang problematik. Sekali lagi, hotel ini dibangun di tahun 2001 dan tampaknya kalau pun ada renovasi, perubahan yang diterapkan tidak begitu drastis. Menempatkan diri di suasana tahun 2000an awal, saya bisa melihat bahwa desain interior yang diusung cukup mencerminkan kemewahan pada era tersebut. Desain kontemporer dengan sedikit bumbu Art-Deco dan minimalism tercermin dari interior kamar. Yang saya suka lagi adalah palet warna yang digunakan. Rona cokelat yang terang dan ke arah pasir seperti rose beige dan bisque (beberapa warna punya sentuhan oranye) diterapkan pada furnitur-furnitur. Dipadukan dengan pencahayaan yang cukup, suasana kamar jadi terasa hangat dan cozy di malam hari. Secara pribadi, inilah suasana yang saya suka. 

Penggunaan warna yang terang dan hangat memberikan kesan yang lebih luas juga pada kamar. Pasalnya, furnitur-furnitur yang ada saya rasa ukurannya cukup bulky (terutama si oversized armchair). Ditambah lagi jendela besar yang menghadap ke jalan, kamar jadi terasa lapang. Saya awalnya minta kamar yang jendelanya menghadap ke arah utara karena ingin lihat lebih banyak gedung-gedung, tapi view kawasan Mega Kuningan pun ternyata nggak begitu membosankan. Beberapa lukisan berbingkai emas dipasang di dinding untuk mempercantik ruangan. 

Kalau biasanya kita bisa menemukan lemari pakaian di vestibule atau hallway, di kamar lemari justru ada di area utama kamar, tepatnya di sisi kiri tempat tidur. Mungkin alasan penempatannya seperti adalah untuk mengisi kekosongan pada dinding supaya dinding nggak terkesan bare. Namun, entah kenapa karena saya terbiasa dengan closet atau lemari pakaian yang adanya di vestibule, ada perasaan belum terbiasa. Di dalam lemari pakaian, ada mini-fridge, setrika, ironing board, dan brankas. Soal gantungan sih, jangan ditanya. Ruang yang ada cukup besar. Oh, ya! Ada satu hal yang saya baru sadari waktu lihat-lihat dokumentasi. Lampu meja yang ada di sisi kiri dan kanan tempat tidur nggak sama! Justru, lampu yang saya rasa seharusnya berpasangan dengan lampu di sisi kiri tempat tidur malah ditempatkan di atas meja kerja. Ini kenapa bisa begini (hahaha). Selain itu, di atas nightstand juga masih ada panel kendali untuk menyalakan atau mematikan lampu dan mengaktifkan indikator “don’t disturb” atau “clean the room”—teknologi peninggalan modernitas di tahun 90an akhir dan 2000an awal. 

review jw marriott jakarta
Control panel-nya masih berfungsi lho!

Yang saya suka lagi adalah di bagian bawah jendela, ada semacam apa ya, platform? Intinya sih kalau mau duduk-duduk di samping jendela, dek atau platformnya itu cukup besar sehingga nyaman. Dibilang window seat juga sebetulnya bukan sih, tapi pas hari kedua, saya sempat malas-malasan di kamar sambil ngemil dan lihat pemandangan di luar, dan itu sambil duduk di samping jendela. Buat menggalau sih cocok lah, terutama ketika hujan. 

Kamar Mandi

Interior kamar mandi unit Executive di JW Marriott Jakarta sebetulnya masih mengusung desain yang selaras dengan interior utama kamar. Namun, warna-warna earthy yang lebih cerah dan hangat dipadukan dengan penggunaan marmer berwarna hitam pada wastafel, bingkai cermin, dan border lantai sehingga memberikan kesan elegan khas hotel mewah di tahun 90an akhir dan 2000an awal. Lagi-lagi saya harus menggunakan referensi tersebut karena, well, ya memang begitu. Dari segi desain, kamar mandi ini mengingatkan saya dengan desain kamar mandi di Aryaduta Bandung.

Ukuran kamar mandi cukup luas. Ditambah pencahayaan yang mumpuni dan cermin-cermin besar di salah satu sisi panjang dan lebar bathtub, kesan lapang mun makin tercipta. Shower dan bathtub dipasang terpisah, meskipun bersebelahan dan dibatasi oleh dinding kaca. Area shower sendiri cukup luas, meskipun tanpa rainfall head dan shower tangan. Katup air panas dan air dingin pun terpisah dari keran yang mengatur debit keluaran air. Kloset ada di samping wastafel dan dipisahkan dengan half wall yang membangun semacam privasi, meskipun buat saya jatuhnya “sudut merenung” ini jadi sedikit klaustrofobik. Sedikit, ya. Produk-produk mandi dan perawatan kulit yang tersedia datang dari lini Mandarin Tea, seperti produk yang saya temukan di Intercontinental Dago Pakar Bandung. Oh! Saya juga baru tahu informasi soal lini Mandarin Tea ini. Iseng-iseng saya googling dan menurut informasi dari PinterPoin, produk-produk Mandarin Tea ini diproduksi di Sidoarjo. Ini didukung oleh informasi dari Cek BPOM yang menunjukkan bahwa amenities dari lini Mandarin Tea diproduksi oleh Budi Jaya Amenities yang bermarkas di Sidoarjo. Oalah baru tahu saya! Wanginya enak 🥰

Bathroom amenities dan perlengkapan seperti hairdryer, razor, sisir, sikat gigi, dan lain-lain tersedia di kamar mandi. Selain itu, saya juga suka bathtub di kamar mandi ini karena dimensinya yang panjang, dan bahkan bisa dibilang lebih panjang dari ekspektasi. Soal maintenance, saya rasa ini perlu ditingkatkan oleh pihak hotel. Lantai di area shower sudah mulai menunjukkan tanda-tanda “penuaan” dan bekas kesiram air panas. Terlihat dari tampilan lantai yang mulai pudar dan menguning. Keran shower juga sempat rusak dan saya rasa cukup parah. Pasalnya, katup air panas dan air dinginnya rusak sehingga air yang keluar, meskipun saya udah putar katup full ke air dingin, tetap air panas, and it was freaking hot I could burn myself if I kept using the shower. Untuk menikmati air dengan suhu yang pas (hangat atau dingin), mau nggak mau saya harus mandi di bathtub. Agak merepotkan. Saya laporkan kendala tersebut ke pihak hotel dan meskipun awalnya saya kira saya harus nunggu cukup lama, ternyata reparasinya memakan waktu yang cukup singkat. Patut diapresiasi.

Fasilitas Hotel

Sailendra Restaurant

Reservasi saya di JW Marriott Jakarta sudah mencakup breakfast dan akses ke executive lounge di lantai 29. Namun untuk sarapan, saya beserta Kak Ami dan Pak Suneo lebih memilih makan di Sailendra Restaurant karena pilihan menunya lebih variatif. Pas Natal tahun 2019 sendiri, saya dan Pak Suneo sempat makan di sini dan buffet-nya memang ajib sih. Restoran ini berada di lantai lobi. Kalau begitu masuk ke hotel, restoran ini ada di sayap kiri bangunan.

Area restoran ini sangat luas dan punya beberapa section. Waktu sarapan, saya pilih tempat duduk yang lebih dekat ke station, biar gampang ngambil ini itu. Sailendra Restaurant hadir dengan desain interior kontemporer yang saya rasa lebih modern kalau dibandingkan dengan desain kamar dan lobi utama. Langit-langitnya yang tinggi bikin restoran ini makin terkesan megah dan lapang, dan ada area semi-basement (nggak bisa dibilang basemen juga sih) yang menurut saya jauh lebih luas, dengan langit-langit yang lebih tinggi (ya karena dia ketinggiannya lebih rendah dibandingkan area penerimaan restoran) dan jendela-jendela besar yang menghadap ke luar hotel. Rasanya seperti berkunjung ke restoran di kapal pesiar. 

Banyaknya station bisa dibilang berbanding lurus dengan pilihan menu yang disediakan. Saya sempat sarapan dengan udon karena bisa dibilang saya nggak pernah makan udon untuk sarapan. Menu-menu sarapan lain khas hotel seperti baked beans dan kawan-kawannya sudah jelas tersedia. Pilihan bakery yang disajikan pun variatif. Untuk teh, kopi, atau bahkan air tawar, nanti akan dibawakan oleh staf yang bertugas (termasuk ketika kita mau nambah, bisa minta tolong ke staf yang ada). 

Besarnya area restoran sangat bisa dipahami. Pasalnya, untung mengakomodasi tamu-tamu yang stay di seluruh 317 kamar di JW Marriott Jakarta, tentunya dibutuhkan ruang yang lebih besar. Ada beberapa area yang lebih privat dan dibatasi oleh panel-panel kaca. Di ruangan atau area privat ini juga dipajang botol-botol wine, mungkin untuk wine tasting ya. Oh! Berhubung saya menginap menjelang Natal, dekorasi-dekorasi khas Natal terlihat di area restoran. Ada juga semacam pohon Natal yang terbuat dari roti-roti jahe. Pas ngeliatnya, bawaannya gatel ingin nyomot satu. 

Executive Lounge

Seperti yang saya bilang sebelumnya, tipe Executive di JW Marriott Jakarta sebetulnya sama dengan tipe Deluxe, tapi sudah dilengkapi akses ke executive lounge yang ada di lantai 29. Dengan akses ke lounge ini, saya juga bisa menikmati sajian sarapan, high tea, dan evening cocktails. Saya awalnya nggak baca apa saja culinary offering dari lounge ini, dan sekitar jam satu siang, pergi ke lounge sama Kak Ami dengan ekspektasi makan siang di sana. Ternyata, nggak ada lunch di lounge dan karena kadung ke sana (dan malu juga kalau ngilang begitu aja), kami pun “terpaksa” pesan teh sambil ngobrol barang 15 menitan sebelum akhirnya makan siang di Lotte Shopping Avenue.

Executive lounge di properti ini bisa dibilang nggak begitu besar. Ukurannya mungkin hampir sebelas dua belas dengan executive lounge di Grand Hyatt Jakarta, meskipun dari segi bentuk atau dimensi sih, lounge di JW Marriott Jakarta terasa lebih luas dan lapang. Suasana elegan dan Christmas-y terasa dari interior lounge. Palet warna yang diterapkan ke interior kamar ikut diaplikasikan ke interior lounge. Namun, beberapa furnitur dan carpeting di lounge menggunakan warna yang lebih gelap. Bahkan, karpetnya sendiri berwarna merah Santa. Accidentally Christmas, I guess?

Sebuah koridor menuju toilet dan ruangan-ruangan employee-only membagi dua lounge menjadi dua area. Sisi selatan menawarkan view kawasan Mega Kuningan, sementara sisi utara menawarkan view Jalan Dr. Satrio dan gedung-gedung tinggi di kawasan Sudirman, dan menurut saya area ini jauh lebih seru sih kalau untuk lihat pemandangan sambil makan malam. Namun, station-station berada di sisi selatan lounge. Keputusan saya, Kak Ami, dan Pak Suneo untuk breakfast di Sailendra Restaurant tampaknya sudah sangat tepat. Pasalnya, station yang ada hanya dua, satu untuk makanan dan satu untuk minuman. Jadi, variasi menu yang dihadirkan pun jauh lebih terbatas.

Soal menu, buat saya sih decent. Culinary offering dari lounge memang dari segi variasi ya terbatas, tapi dari segi rasa sih enak-enak aja. Pilihan kue dan pastry-nya pun ya fine-fine aja. Minuman beralkohol bisa dinikmati pada jam evening cocktail, dan itu free flow. Sparkling wine cukup lah buat saya. Dan, oh! Saya suka banget sama kue cokelat dan chocolate mousse mereka! Saya nggak tahu dan nggak nanya nama kuenya apa, tapi itu kue cokelat dan enak banget. Chocolate mousee-nya jauh lebih enak! Di malam terakhir, saya nongkrong agak lama di lounge setelah makan malam buat baca buku. Ditemani beberapa gelas chocolate mousse, kue cokelat, dan sparkling wine, betah tuh saya sampai nggak kerasa beberapa bab terlewati. Saya sampai minta ke staf tolong dibawakan lagi mousse beberapa kali saking enaknya.

Ada satu hal lagi yang jadi catatan saya. Menurut saya, para staf di executive lounge memberikan pelayanan yang kurang personalized. Padahal, ekspektasi saya adalah saya bisa mendapatkan personalized service sesuai kebutuhan atau kondisi saya. Namun, jatuhnya saya amati semua tamu yang datang ke lounge mendapatkan pelayanan yang disamaratakan. Mungkin karena waktu itu lounge juga sedang ramai, tapi tetap saja ini jadi hal yang saya sayangkan sih. 

Blu Martini Bar & Lounge dan Asuka

Saat nulis review JW Marriott Jakarta ini, sejujurnya saya ngerasa ada yang kurang. Pasalnya, seperti halnya di beberapa review sebelumnya, saya nggak selalu menikmati fasilitas hotel secara maksimal. Untuk dining venue, misalnya, saya kadang hanya datang, foto-foto, dan beres, tanpa mencoba makanan atau minuman yang ditawarkan. But anyway, saya bertiga (dengan Kak Ami dan Pak Suneo) sempat lihat-lihat ke Blu Martini dan Asuka. Keduanya juga berada di lantai lobi. Namun untuk ke Blu Martini, harus turun dulu tangga. Bisa dibilang lokasinya Blu Martini ini di semi-basement

Lounge ini menurut saya cukup besar dan luas. Saya nggak masuk lebih dalam karena ternyata di area ujung, sedang ada acara. Jadi, batas saya hanyalah long bar dan area bilyar. Area mixology dipercantik oleh empat pilar yang dipasangi panel motif dan lampu neon yang berubah warna di dalamnya. Sebagai background, dipasang display raksasa berisi botol-botol liquor. Area mixology dan meja bar utamajuga jadi focal point di lounge ini. Saat lampu mulai masuk ke siklus warna ungu, pink, dan biru muda, saya langsung teringat sesuatu: Hotel del Luna! Bar di Hotel del Luna punya desain yang, meskipun nggak mirip, menggunakan palet warna yang sama untuk pencahayaannya. Jadi, ya, otomatis pikiran ini langsung teringat ke adegan Jang Man-wol dan Kim Shi-ik yang berantem di bar gegara urusan cocktail yang nggak enak. Blu Martini Bar & Lounge di JW Marriott Jakarta juga punya pool table buat yang suka main bilyar. 

Selepas dari Blu Martini, kami mampir ke Asuka karena ternyata si Pak Suneo sudah ke sana duluan buat ngobrol sama staf di sana dan beli Purin. Di Asuka, kami berkesempatan bertemu dengan Bu Yuli yang memberikan saya tur singkat (terima kasih banyak, Bu Yuli karena sudah mengizinkan saya ambil foto-foto Asuka). Sesuai namanya, sajian yang ditawarkan Asuka adalah hidangan Jepang. Di Asuka, kita juga bisa menikmati pengalaman omakase dining. Untuk yang belum tahu, omakase merupakan semacam konsep restoran atau sistem pemesanan makanan di mana kita mempersilakan chef untuk menentukan sendiri mau buat apa. Kasarnya sih, terserah lo deh. Dilansir dari situs resmi hotel, bahan-bahan bogabahari yang digunakan diimpor dari pasar ikan Toyoshu di Jepang. 

Soal interior, shades cokelat ala Sutei (istilah saya aja itu) digunakan untuk membangun suasana yang hangat dalam desain Jepang kontemporer. Area restoran cukup besar, meskipun saya nggak masuk-masuk sampai ke ujung karena terlalu asyik ngobrol dengan Bu Yuli dan Chef Nishiura Osamu. Yap betul! Kami berkesempatan bertemu dengan executive chef di Asuka, Chef Nishiura, and it was an honour for us (meskipun bahasa Jepang saya sangat sangat terbatas). Di area utama restoran, ada bar yang jadi spot seru untuk menikmati live cooking

Asuka juga punya beberapa ruang tatami yang lebih privat. Ruangan-ruangan ini cocok untuk ngumpul bareng keluarga atau mengadakan acara kecil seperti pesta ulang tahun atau semacamnya. Ada juga sudut-suduAsuka juga punya beberapa ruang tatami yang lebih privat. Ruangan-ruangan ini cocok untuk ngumpul bareng keluarga atau mengadakan acara kecil seperti pesta ulang tahun atau semacamnya. Ada juga sudut-sudut non-tatami (meja kursi biasa) yang terasa lebih privat karena tertutup atau tersegregasi dari area-area lain oleh panel-panel bergaya kontemporer. Di situs web hotel, ada beberapa offer yang ditawarkan, dan salah satunya adalah paket weekend okawari brunch yang diadakan setiap Sabtu dan Minggu dari jam 11.30 siang hingga jam 2.30 sore. Kalau saya ada kesempatan ke Jakarta, saya ingin coba ini.

Saya hampir lupa! Asuka juga menawarkan Purin, custard pudding khas Jepang. Saya lupa harganya berapa karena yang beli si Pak Suneo. Namun, dia beli dua varian. Teksturnya lembut dan manisnya nggak sampai bikin pusing! Kalau ingin pesan atau cari tahu lebih lanjut, bisa main ke Instagram-nya Asuka di sini.

Gym, Kolam Renang, dan Taman

JW Marriott Jakarta punya gym dan kolam renang sebagai fasilitas kebugaran utama. Ada juga spa dan area spa mencakup ruang ganti, kamar mandi/bilas, whirlpool, dan sauna. Sayangnya, sauna dan whirlpool belum bisa beroperasi karena pandemi. Namun, saya masih bisa menggunakan gym dan kolam renang untuk olahraga. Untuk gym sendiri, areanya cukup luas dan besar menurut saya. Peralatan yang tersedia pun variatif dan banyak. Oh, ya! Waktu saya menginap, saya harus reservasi slot dulu sebelum bisa pakai gym dan kolam renang. Seingat saya, slot waktu yang dikasih adalah satu jam. Kalau memang gym atau kolam renang sedang kosong dan kita masih mau olahraga, kita boleh lanjut. Cuman kalau sedang ramai, kita harus gantian dulu dengan orang lain yang ingin pakai slot waktu berikutnya. Banyaknya alat untuk setiap jenis peralatan membuat saya nggak perlu nunggu karena harus gantian dengan tamu lain. I had a good 20-minute exercise at the gym. Sebentar sih sebetulnya, tapi saya setelah lari di treadmill ingin berenang dan rencananya, besok paginya mau joging keliling Mega Kuningan (tapi nggak terlaksana because I’m not a morning person to be honest). Di gym juga ada staf yang bertugas jika sewaktu-waktu kita perlu bantuan atau ingin titip barang.

Kolam renang di hotel ini merupakan kolam outdoor dan punya bentuk yang menurut saya sih aneh. Posisinya yang mojok dan benar-benar mengikuti bentuk atau perimeter bangunan bikin bentuk kolam ini jadi, ya, itu, aneh kalau menurut saya. Di salah satu sisi kolam, terdapat barisan patung-patung itik (atau merpati ya?) yang dari mulutnya keluar air. Kolam dewasa memiliki kedalaman 1,2 meter. Kolam anak sendiri kedalamannya saya nggak ingat, tapi yang jelas nggak ada pemisah permanen antara kolam anak dan kolam dewasa. Jadi, buat yang bawa anak-anaknya berenang, tolong diawasi baik-baik, ya. Air kolam juga nggak dihangatkan. Saat cuaca panas, saya rasa menyegarkan sih untuk berenang di sini. Namun, karena saya berenang pas hari benar-benar gelap dan mau hujan, cuaca Jakarta jadi lebih dingin dan saya nggak kuat berenang lama-lama. Apalagi, waktu itu tamu yang berenang juga cukup banyak. I just didn’t like being around too many people

Di sekitar kolam, ada beberapa recliner dan kursi untuk para tamu. Namun, nggak ada parasol untuk meneduhi area duduk tersebut. Nggak jauh dari kolam renang, ada taman dan gazebo yang kelihatannya jadi rebutan para tamu yang ingin tempat teduh buat duduk atau bersantai. Taman tersebut nggak begitu besar, tapi well-maintained dan punya semacam jogging track, meskipun pendek. Saya bertiga sempat main ke taman tersebut sambil lihat-lihat, dan dari ujung taman, saya bisa lihat view area Mega Kuningan. Dari area kolam sendiri, kalau saya lihat ke arah atas, pemandangan yang terlihat bagus. Saya dikelilingi oleh bangunan-bangunan tinggi. By the way, pardon my finger di foto gazebo.

Fasilitas Lain

Sebetulnya, masih ada beberapa fasilitas lain seperti ballroom, meeting room, dan bahkan Chinese restaurant (Pearl) di hotel ini. Namun, karena nggak semua fasilitas saya kunjungi atau gunakan, saya nggak cantumkan di review JW Marriott Jakarta ini. Oh, ya! Untuk Pearl, restoran ini berada satu lantai di atas lantai lobi dan bisa diakses lewat lift atau grand staircase yang ada di dekat Sailendra Restaurant. 

Hanya saja, dua fasilitas lain yang saya sempat lihat langsung adalah musala dan kids’ corner. Musala di hotel ini berada satu lantai dengan area kolam renang dan gym. Ukurannya cukup luas. Area pria dan wanita juga dipisah. Mengingat hotel ini berada di kawasan bisnis dan sering menjadi tempat diadakan seminar atau pertemuan besar, adanya musala jadi fasilitas penunjang yang sangat berguna, terutama untuk para Muslim karena ini artinya penyelenggara acara nggak perlu mempersiapkan ruangan untuk disulap jadi musala dadakan. 

Di akhir pekan, di area kolam suka digelar kids’ corner. Saya berkesempatan lihat-lihat dan “nyebur” ke ball pit-nya. Mainan yang disediakan cukup beragam, dari kuda-kudaan, ball pit, sampai rumah-rumahan. Buat yang menginap bersama anak-anak, fasilitas yang satu ini bisa dicoba. Apalagi, kids’ corner ini juga dibuka di dekat kolam renang. Jadi, sebelum atau sesudah berenang, bisa main dulu di sini. 

Lokasi

Bicara soal lokasi, JW Marriott Jakarta berada di kawasan yang menurut saya strategis dari beberapa perspektif. Kalau dilihat dari sudut pandang pebisnis, misalnya, hotel ini berlokasi di kawasan bisnis dan perkantoran. Ke area perkantoran di Jalan Rasuna Said, deket. Ke kawasan SCBD, lumayan lah. Ke perkantoran di Jalan Sudirman, ya, lumayan juga sih. Intinya sih kalau menurut saya, nggak begitu repot untuk bepergian dari sini. Jalan Rasuna Said juga jadi salah satu “gudang”-nya embassy beberapa negara. Jadi, nggak heran ketika banyak tamu-tamu asing yang menginap di hotel ini.

Untuk jarak ke mal, sebetulnya mal terdekat dari hotel adalah Lotte Shopping Avenue dan Bellagio Boutique Mall. Jaraknya cukup dekat, cuman buat sebagian orang mungkin jaraknya terbilang jarak nanggung. Kalau jalan kaki, mungkin agak jauh. Kalau pakai taksi, mungkin terlalu dekat. Saya sendiri waktu menginap di sana dan makan siang ke Lotte, memang pakai Grab sih. Ya, kalau mau sekalian olahraga sih bisa jalan kaki aja. Nggak hanya Lotte Shopping Avenue, beberapa mal di Jalan Dr. Satrio seperti Kuningan City, Mal Ambassador, dan ITC Kuningan bisa jadi opsi alternatif. Nggak repot sih kalau untuk urusan belanja dan makan di luar hotel, menurut saya. Bahkan, pihak hotel pun menawarkan shuttle ke beberapa lokasi. Sayangnya waktu saya menginap, layanan ini lagi nggak aktif. 

Dari Stasiun Gambir, hotel ini berjarak kurang lebih 20 menit, tergantung kondisi lalu lintas (berdasarkan perkiraan saya sendiri ini). Saya sendiri waktu menginap, nggak ke Jakarta menggunakan kereta api. Jadi, saya nggak hitung atau amati jarak dari Stasiun Gambir ke hotel. Namun, kalau dipikir-pikir atau dipertimbangkan, jaraknya kurang lebih segitu sih. Stasiun MRT terdekat dari hotel adalah Stasiun MRT Bendungan Hilir. LRT Jakarta di Rasuna Said masih dalam pembangunan, tapi kalau sudah jadi, stasiun LRT terdekat dari hotel adalah stasiun yang ada di depan Pasar Festival atau Agro Plaza. 

Pelayanan

Segmen ini memuat pendapat saya mengenai pelayanan yang diberikan pihak hotel. Apa yang saya tulis bersifat subjektif dan bukan merupakan informasi umum, dan lebih merupakan pendapat pribadi. Experience yang saya alami bisa jadi berbeda dari apa yang orang lain alami. Tulisan dalam segmen ini tidak ditujukan untuk menjelek-jelekkan atau menurunkan reputasi hotel. Jika informasi yang saya tulis bersifat positif, semoga manajemen hotel bisa tetap menjaga kualitas layanannya. Jika bernada negatif, semoga bisa menjadi bahan perbaikan bagi pihak hotel. 

Review JW Marriott Jakarta yang saya tulis tentunya nggak lengkap tanpa testimoni saya mengenai kualitas pelayanan yang diberikan oleh pihak hotel. Selama menginap selama dua malam, buat saya sih secara keseluruhan kualitas pelayanan yang diberikan oleh hotel sudah bagus. Ada beberapa hal yang pada awalnya bikin saya kaget dan agak kesal, tetapi baik pihak hotel dan saya bisa sama-sama cari solusi yang tepat. 

Di sore hari pertama, saya, Kak Ami, dan Pak Suneo memutuskan untuk keliling-keliling hotel dan ambil foto beberapa fasilitas hotel. Saat keliling-keliling di area lobi, kami seperti diikuti oleh staf keamanan hotel. Bahkan waktu kami ke Blu Martini pun, staf di sana sempat tanya-tanya tujuan kami ke bawah itu untuk apa. Setelah saya jelaskan (dan saya juga bilang bahwa saya menginap), akhirnya kami diizinkan foto-foto area bar dan lihat-lihat. Saat itu, staf keamanan hotel masih mengawasi kami dari jauh. Pak Suneo yang ngerasa risi akhirnya ngomong ke pihak resepsionis. Setelah ngobrol, kami (terutama saya) jadi paham kenapa kami seperti diikuti atau diawasi ketat. Insiden terorisme yang terjadi dua kali di hotel bikin pihak hotel harus jauh lebih ketat dalam menjaga properti dan mengawasi siapa pun yang datang ke hotel, termasuk kami. Namun, staf resepsionis menginformasikan ke beberapa pihak di hotel bahwa kami mungkin akan datang dan lihat-lihat untuk foto-foto. Setelah itu, kami bisa lihat-lihat dan ambil dokumentasi untuk review ini dengan santai dan nyaman. 

review jw marriott jakarta

Waktu tiba di kamar, saya senang dan terharu saat mendapatkan sambutan hangat dari pihak hotel. Di kamar saya, sudah tersedia makaron dan kue, dan di jendela kamar saya pun digambari doodle selamat datang. Senang sekali rasanya saat tahu bahwa pihak hotel sejak awal sudah berusaha membuat saya merasa welcomed dan nyaman di JW Marriott Jakarta. Kebetulan saya pun menginap dua malam di sana. Kenyamanan tentunya jadi faktor yang penting karena kalau saya nggak nyaman dari awal, kemungkinan stay saya ke sananya nggak akan terasa enjoyable.

Ada kendala yang saya alami saat menginap. Di pagi hari kedua, saya nggak bisa pakai shower kamar mandi karena katup air panas air dinginnya rusak. Walhasil, air yang keluar hanya air panas dan itu benar-benar panas. Kalau mau pakai air dingin atau hangat, harus mandi di bathtub, tapi itu sangat nggak praktis menurut saya. Akhirnya, saya pun minta tolong teknisi untuk memperbaiki shower di kamar mandi saya. Ternyata, prosesnya nggak begitu lama dan sekitar jam 12 siang, saya udah bisa pakai shower lagi dengan air bersuhu sejuk. Pas saya kembali ke kamar (setelah makan siang di luar hotel), kamar saya sudah rapi dan di atas meja sudah ada kue dan ucapan terima kasih. Waktu saya telepon, katanya sih itu ucapan terima kasih karena saya suka upload foto-foto properti ke Instagram Story. Apa pun itu, saya apresiasi ucapan terima kasih dari pihak hotel (dan saya habisin kuenya he he he). 

Overall, soal kualitas pelayanan sih saya nggak ada keluhan. Memang kalau boleh jujur, saat saya berada di lounge dan restoran, tidak ada pelayanan yang super spesial atau gimana. Bisa dibilang ya sama rata lah dengan para tamu lain. Namun, pelayanan yang diberikan juga nggak buruk atau messy. Saat check-in dan check-out pun, prosesnya berjalan cukup lancar dan para staf yang bertugas cukup helpful. No objection

Kesimpulan

Kunjungan saya ke JW Marriott Jakarta melengkapi goal saya untuk menginap di dua properti Marriott di Mega Kuningan. Bagi saya, Ritz-Carlton dan JW Marriott ini seperti duo Miriam Forcible dan April Spink dari film Coraline atau The Barry Sisters, duo penyanyi Amerika Serikat keturunan Yahudi yang terkenal di tahun 1940an hingga 1970an. Karena usianya lebih tua daripada Ritz-Carlton, saya bisa melihat tanda-tanda usia tersebut, terutama dari interior hotel. Soal interior, gaya yang diusung adalah gaya kontemporer dengan palet warna earthy. Kalau dibandingkan dengan properti-properti di kelasnya, dari segi interior sih memang dated, tapi saya secara pribadi nggak keberatan. 

review jw marriott jakarta

Dengan luas 42 meter persegi, kamar tetap terasa luas dan lapang, terutama dengan langit-langit yang tinggi dan jendela besar, meskipun beberapa furnitur terkesan oversized dan “badag”. Ditambah lagi, palet warna yang cerah dan pencahayaan yang cukup membuat atmosfer ruangan terasa hangat dan nyaman, terutama di malam hari. Di bawah jendela pun, terdapat semacam dudukan yang membuat saya bisa menikmati pemandangan Jakarta di malam hari sambil ngemil atau ngeteh. Kamar mandi di kamar saya pun cukup besar, dan yang saya suka dengan bathtub-nya yang panjang. Meskipun sempat ada kendala dengan shower, masalah bisa terselesaikan dengan baik dan kamar mandi tetap bisa digunakan. 

Soal fasilitas, JW Marriott Jakarta menawarkan beragam pilihan, dari fasilitas MICE, kebugaran, sampai hiburan. Ada tiga restoran, satu bar, dan satu coffee/tea shop di hotel ini. Kalau menginap di beberapa tipe kamar, kita juga bisa dapat akses ke executive lounge yang menyajikan sarapan, high tea, dan evening cocktail. Menu sarapan yang disajikan di Sailendra Restaurant menurut saya sangat variatif, dan setiap harinya berganti-ganti. Pilihan menu yang disajikan di executive lounge memang terbatas, tetapi kalau prioritasnya adalah eksklusifitas, makan dan minum di lounge memang pilihan yang pas. Apalagi, pemandangan dari lounge juga bagus. Yang saya agak sayangkan, lounge tidak menggelar lunch. Namun, selain itu sih soal makan minum, saya hepi-hepi aja. 

Dari semua fasilitas kebugaran yang tersedia, saya hanya pakai gym dan kolam renang. Sayangnya, sauna dan whirlpool belum beroperasi. Padahal, saya membayangkan enaknya berendam di whirlpool setelah selesai berenang dan nge-gym. Namun, berendam di bathtub juga bisa membayar keinginan tersebut. Posisi dan bentuk kolam renang yang menurut saya “aneh” sebetulnya urusannya soal preferensi saya. 

Waktu menginap, saya book lewat aplikasi Marriott Bonvoy dan dapat rate yang cukup terjangkau untuk dua malam, yaitu 2,2 juta rupiah. Ini karena saya dapat special rate ulang tahun JW Marriott Jakarta yang hanya valid kalau saya menginap selama dua malam di weekday. Apalagi, saya juga dapat kamar tipe Executive yang dilengkapi sarapan dan akses ke executive lounge. Asyik nggak tuh? Terakhir saya cek, harga-harga properti-properti Marriott, terutama yang bintang lima di Jakarta jadi pada naik cukup signifikan. Hotel ini menyentuh angka dua jutaan terakhir kali saya cek (sekitar beberapa hari yang lalu dari tanggal upload tulisan ini). Dulu sih, rate untuk properti ini sempat ada di kisaran 1,3 atau 1,5 jutaan. Mungkin karena sekarang orang-orang sudah bisa liburan lagi kali ya? Entahlah. 

Untuk kalian yang cari properti yang lebih baru dengan desain interior yang lebih modern, hotel ini memang menawarkan opsi yang agak dated, meskipun dari aspek teknologi sih, teknologi-teknologi baru sudah tersedia. Namun, hotel ini menghadirkan kamar-kamar yang luas, dengan fasilitas komprehensif, kualitas pelayanan yang baik, pengalaman bersantap yang berkesan, dan lokasi yang sangat strategis. 

Pros & Cons

👍🏻 Pros

  • Ukuran kamar cukup luas, dengan langit-langit yang tinggi dan jendela besar.
  • Bathtub di kamar mandi lebih panjang dari ekspektasi.
  • Lokasi strategis, dekat ke mana-mana, terutama kawasan perkantoran.
  • Menu breakfast sangat variatif.
  • As expected from a five-star hotel, fasilitas yang ditawarkan properti komprehensif, termasuk musala (ini saya nggak sangka-sangka sih sebetulnya, walaupun mungkin properti-properti lain juga banyak yang menyediakan musala, tapi saya nggak tahu).
  • Gym hotel cukup besar dengan banyak equipment.
  • Ini personal preference, tapi saya suka dengan desain interior barnya.

👎🏻 Cons

  • Bagi sebagian orang, desain interior kamar mungkin terkesan dated, tapi saya secara pribadi nggak masalah sih. Saya pernah bilang sebelumnya kalau hotel-hotel mewah di tahun 90an itu punya charm-nya tersendiri.
  • Pilihan menu di executive lounge jauh lebih terbatas (tapi entah kenapa, menurut saya terlalu terbatas jatuhnya meskipun saya suka dessert-nya).
  • Bentuk dan posisi kolam renangnya agak aneh buat saya.
  • Sempat ada kendala dengan shower. Menurut saya, ini perlu jadi catatan buat pihak hotel agar maintenance kamar lebih ditingkatkan.
  • Pelayanan di executive lounge terasa kurang personalized.

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌😶
Desain: 😆😆😆😶⚪️
Lokasi: 🤩🤩🤩🤩⚪️
Harga: 💰💰💰💰💰

Review: InterContinental Bandung Dago Pakar

Salah satu kawasan di Bandung yang jarang saya sambangi adalah Dago. Dari kecil, saya jarang banget main ke kawasan ini. Selain karena cukup jauh dari rumah, kawasan ini biasanya macet dan ramai di akhir pekan. Makanya, saya biasanya berkunjung atau menginap di hotel di kawasan ini di hari kerja (sempat sih mendekati akhir pekan, tapi itu pun check-in-nya hari Jumat di Sheraton Bandung). Selain itu, menurut saya kawasan Dago ini terlalu jauh dari pusat kota (nggak jauh-jauh banget sih sebetulnya, cuman saya lebih seneng kawasan yang memang ada di pusat kota biar gampang ke mana-mana). Maklum, anaknya tuh anak mal banget (nggak juga sih).

Namun, ada satu properti di kawasan Dago Atas yang, duh, buat properti in sih, saya nggak keberatan nyetir jauh dan stay jauh dari pusat kota. Suasana yang tenang, pemandangan yang keren, dan fasilitas yang ditawarkan jadi beberapa hal yang bikin saya suka dengan properti ini. Di tahun 2020 kemarin, saya dua kali menginap di hotel ini. Kuy ah tanpa berlama-lama, langsung aja masuk ke pembahasan!

review intercontinental bandung
InterContinental Bandung Dago Pakar

InterContinental Bandung Dago Pakar adalah sebuah hotel bintang 5 yang berlokasi di Jalan Resor Dago Pakar Raya No. 2B, Resor Dago Pakar, Bandung. Sesuai alamatnya, hotel mewah di Bandung ini berada di kompleks perumahan/resor yang cukup bergengsi. Waktu kali pertama ke sini, saya sampai minta tolong Andreyan, teman saya di Sheraton Bandung untuk nganterin ke properti supaya nggak kesasar. Pasalnya, properti ini lokasinya remote banget! Saya kira udah mau nyampe, ternyata masih jauh lagi. Pantesan aja waktu itu si Andre nyetirnya agak ngebut as if propertinya nggak bakalan terlewat. Ternyata memang jauh 😢

Ternyata, faktor lokasi ini pula yang menjadi daya tarik InterContinental Bandung. Berada jauh dari ingar bingar perkotaan, properti kelas teratas IHG ini menawarkan suasana tenang dan damai, dengan lingkungan sekitar yang masih cukup alami. Kamar-kamar di hotel ini menawarkan view perbukitan atau padang golf dan kota dari ketinggian. Dua kali menginap di sini di tahun 2020, dua kali juga saya dapat kamar dengan view padang golf dan kota. Oh, ya! Waktu menginap di sini, saya juga dikasih upgrade oleh pihak hotel (terima kasih banyak, InterCon Bandung!).

review intercontinental bandung
Lobi InterContinental Bandung Dago Pakar, tampil memukau dengan pemandangan padang golf dan kota.

Fasilitas yang tersedia di hotel ini cukup lengkap. Salah satu fasilitas unggulannya adalah infinity swimming pool. Sebetulnya, kolam renang di hotel ini terisi dengan air hangat. Hanya saja, waktu menginap di sana, airnya sedang tidak dihangatkan (kecewa sih saya). Meskipun demikian, saya tetap bisa seru-seruan berenang di sini (dan gantian foto buat Instagram bareng Andre). Fasilitas-fasilitas lain yang tersedia termasuk dua restoran, ballroom, ruang rapat, wedding hall, gym, sauna, spa, dan kids’ corner. Kalau weekend, suka ada penyewaan kuda di depan hotel. Karena kondisi masih belum kondusif, nggak semua fasilitas beroperasi selama saya menginap (dan di dua kunjungan saya), termasuk Tian Jing Lou, Chinese restaurant yang berada di lantai 18 hotel. Restoran ini sendiri terkenal dengan menu-menu dim sum-nya.

Ada 8 tipe kamar yang tersedia di InterContinental Bandung, termasuk vila-vila yang berada di bagian belakang bangunan hotel. Di kunjungan pertama, saya menginap di kamar tipe King Club Room atau Club InterContinental Room. Di kunjungan kedua, saya dapat tipe Premium Room with Golf View. Sebetulnya, kedua tipe ini nggak berbeda jauh dari segi interior dan room amenities. Namun, dari segi layanan tambahan, tipe King Club Room sudah mencakup akses ke Club InterContinental di lantai 18 yang—sayangnya—masih belum beroperasi. Selama menginap, ada beberapa kendala kecil yang saya alami. Namun, yang saya apresiasi adalah langkah yang diambil pihak hotel untuk menangani kendala tersebut. Pembahasan lebih lanjut, seperti biasa, saya sajikan di segmen berikutnya, ya!

Desain Kamar

Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, di tahun kemarin saya menginap dua kali di InterContinental Bandung dan mendapatkan dua tipe kamar yang berbeda. Namun, dari segi arsitektur, keduanya sebetulnya sama saja. Yang membedakan hanya akses ke Club InterContinental dan Bluetooth alarm saja. Baik tipe King Club Room dan Premium Room with Golf View sama-sama punya luas 46 meter persegi. Menurut informasi dari situs resmi hotel, tipe kamar terkecil (Classic Room) punya luas 41 meter persegi. Sejauh ini, saya bisa bilang bahwa InterContinental Bandung Dago Pakar adalah salah satu hotel di Bandung yang menawarkan kamar terluas.

Interior kamar mengusung desain kontemporer dengan palet warna-warna earthy dan pencahayaan berwarna hangat. Mengingat udara di kawasan Dago Atas terbilang dingin, skema warna yang hangat bikin suasana kamar makin nyaman. Tidak banyak ornamen yang rumit di kamar dan buat saya, kesederhanaan ini yang bikin kamar justru terasa elegan. Bagian dinding di atas headboard punya motif geometrik yang subtle. Di kedua sisi tempat tidur, terpasang wall lamp dengan gaya modern classic. Pencahayaan di kamar bisa dibilang cukup kompleks. Saya tipe orang yang sejujurnya nggak bisa tidur dalam keadaan gelap gulita. Jadi, saya selalu perlu satu atau dua lampu yang menyala di kamar, dan opsi pencahayaan yang tersedia di kamar mengakomodasi kebutuhan saya itu.

Ketika masuk ke kamar, hal yang langsung menarik perhatian saya adalah daybed-nya. Di properti ini, hanya tipe Classic yang nggak dilengkapi daybed. Memiliki dimensi yang cukup luas, daybed ditempatkan di atas platform yang menjorok ke luar dan dikelilingi jendela kaca. Ini jadi tongkrongan yang nyaman banget, terutama di pagi hari. Di sisi kiri dan kanan daybed juga terpasang panel dekoratif berbahan besi yang subtly memberikan kesan tropis ala-ala resor atau vila di Bali. Oh, ya! Di kunjungan saya yang kedua, pihak hotel memberikan complimentary chocolate cake. Terima kasih banyak, InterContinental Bandung! Kok bisa tahu kalau saya suka kue cokelat, ya? He he he. Jadi, sore itu, saya habiskan dengan menikmati kue dan pemandangan padang golf dan kota. So relaxing! Di area daybed pun sudah ada penerangan. Jadi, buat yang ingin baca malem-malem di sini, bisa banget. Malah saya sempet kepikiran kayaknya seru kalau tidur malam di sini.

Di kunjungan kedua, saya sempat mengalami kendala dengan daybed. Lebih tepatnya, tirai yang mengelilingi daybed. Jadi, si sheer curtain ini nggak bisa dibuka. Walhasil, saya harus telepon dulu pihak teknisi untuk memperbaiki rel tirai. Untungnya, masalah bisa ditangani dengan cepat dan mudah. Saya sangat mengapresiasi bantuannya.

Hal yang saya amati lagi dari kamar adalah storage. Baik tipe King Club Room maupun Premium Golf sama-sama punya walk-in closet yang cukup besar, dan ruangan ini dibatasi dengan pintu. Jadi, baju-baju yang digantung dan koper atau berbagai barang bawaan yang mungkin berantakan nggak akan terlihat dari area utama kamar saat pintu walk-in closet ditutup. Oh, ya! Room amenities mencakup televisi, AC, WiFi (jelas lah), Bluetooth alarm (untuk tipe King Club Room), coffee/tea maker, dan mini fridge. Nah, coffee/tea maker, mini fridge, dan beragam pilihan teh dan kopi disimpan dengan rapi di dalam lemari kecil yang ada di belakang area kerja. Jadi urusan pertehan dan perkopian nggak bikin kamar terlihat “kebanyakan barang” (or rather, cluttered). Untuk telepon sendiri, ada 3 unit telepon di kamar, dan satu dipasang di kamar mandi.

Meja kerja yang tersedia cukup besar. Kursi kerja yang ada pun cukup nyaman dipakai duduk dan ngetik cukup lama. Koneksi internet bisa diandalkan dan cukup cepat. Stopkontak ada banyak. Channel TV pun beragam. Hmm… Apa lagi, ya? Soal hiburan dan produktivitas sih, saya nggak ada keluhan. It was all good.

Kamar Mandi

Semua tipe kamar di InterContinental Bandung Dago Pakar, kecuali tipe Classic, dilengkapi dengan oversized bathtub. Namun, untuk tipe-tipe yang lebih tinggi, bathtub-nya merupakan whirlpool bathtub. Jadi, setingkat lebih mantap, lah. Selama dua kali menginap di sini, kamar mandi jadi salah satu the best part yang saya rasakan.

Atmosfer natural terasa melalui penggunaan dinding batu. Untuk lantai sendiri, digunakan ubin bertekstur dengan warna yang kurang lebih sama dengan warna dinding. Skema warna interior kamar mandi yang gelap untungnya diseimbangkan oleh pencahayaan yang mumpuni dan terang, bahkan di shower area yang terbilang lebih tertutup. Ditambah lagi, di siang hari roller blind di samping bathtub bisa dibuka sehingga cahaya alami bisa masuk.

Produk-produk Mandarin Tea hadir sebagai sampo, sabun, kondisoner, dan body lotion. Ada juga face soap (saya lupa brand-nya) yang hadir dalam bentuk sabun batangan. Saya sempat coba sih, walaupun saya lebih suka facial wash punya saya sendiri. Soal aroma sih enak dan nggak menyengat. It was okay, meskipun produk Asprey-nya Ritz-Carlton Mega Kuningan dan Appelles Apothecary & Lab-nya Ascott Sudirman secara pribadi sih saya lebih suka.

Nah, waktu saya menginap untuk kali kedua, saya mengalami kendala di kamar mandi, tepatnya di shower area. Kendala ini saya rasa cukup serius karena berimbas luka ke badan saya. Shower tangan yang dipasang di area shower berbahan semacam plastik yang dilapisi cat/lapisan khusus sehingga kesannya berbahan logam. Nah, lapisan cat di bagian sudut kepala shower terkelupas sehingga sudut shower jadi runcing. Saya nggak sadar dengan hal itu pada awalnya. Walhasil, pas mandi, dada dan perut saya beberapa kali kena ujung yang runcing itu dan kena lecet yang bentuknya memanjang (awalnya saya bingung kenapa bisa lecet, ternyata penyebabnya ya si sudut kepala shower itu).

Kepala shower dengan sudut yang runcing.

Saya pun akhirnya langsung telepon operator untuk menyampaikan keluhan. Nah, sebetulnya waktu awal tiba di kamar pun, saya sempat komplain juga karena roller blind di kamar mandi nggak ada talinya. Walhasil, si tirai nggak bisa dibuka. Kendala roller blind kamar mandi ditangani berbarengan dengan sheer curtain di area daybed yang nggak bisa dibuka. Saya sempet kesal karena maintenance kamar seolah-olah kurang bagus, ditambah dengan masalah kepala shower. Untungnya, pihak teknisi dengan cepat langsung tiba di kamar dan mengganti kepala shower. Pihak hotel sendiri menawarkan saya untuk pindah kamar, tapi berhubung saya komplain di malam terakhir menginap dan saya malas packing segala macem, akhirnya saya bilang nggak perlu ganti kamar. Toh masalah shower pun sudah ditangani dengan baik. Still I appreciated the kind gesture, tho. Namun, baiknya sih urusan maintenance kamar perlu diperhatikan lebih detail oleh pihak hotel.

Fasilitas Umum

Damai Restaurant

InterContinental Bandung punya dua restoran, yaitu Damai Restaurant dan Tian Jing Lou. Sarapan untuk tamu diadakan di Damai Restaurant yang berada satu lantai dengan lobi. Kesan pertama yang saya dapatkan dari restoran ini adalah luas. Let me tell you something: the restaurant is pretty huge! Interior restoran mengusung desain kontemporer yang elegan, dengan beberapa sudut yang terlihat lebih chic berkat dekorasi dinding. Area indoor-nya sendiri cukup luas dan punya banyak meja. Kalau nggak cukup (atau ingin merokok), bisa pilih meja di area outdoor. Area outdoor restoran sendiri merupakan balkon besar yang menawarkan pemandangan padang golf dan kawasan pusat kota Bandung.

Menu sarapan yang disajikan sangat variatif. Dari roti-rotian sampai sushi pun tersedia. Ada cukup banyak station di restoran ini yang masing-masing menawarkan sajian yang berbeda. Di kunjungan pertama, saya sarapan bareng Andreyan (dia datang pagi-pagi karena kita udah janjian mau berenang bareng). Menu yang saya pilih standar sih: nasi goreng, tumis sayuran (lagi berusaha memperbanyak asupan sayuran), dan scrambled egg. Soal rasa sih, oke lah. Decent. Di kunjungan kedua, saya pilih sushi dan dim sum. Yes, you read it right. Dim sum! Ada juga stan seblak untuk yang senang jajanan pedas yang satu ini. Untuk minuman, staf restoran akan tanya kita mau minum apa. Saya sih nggak jauh-jauh dari teh, meskipun di kunjungan pertama, saya pesan capuccino.

Ada satu area di dekat bar yang dilengkapi meja-meja bundar. Area ini sendiri kelihatan lebih mewah menurut saya, terutama dengan jendela-jendela kaca besar dan grand piano di salah satu sudutnya. Saya sempat main piano ini. Sayangnya, pianonya perlu distem karena beberapa nadanya fals.

Waktu sarapan di kunjungan pertama, saya dan Andreyan sempat mengalami kejadian nggak enak. Saat saya dan Andre (sebetulnya) masih makan, kami sempat ngobrol dan nggak menyentuh piring dan gelas sama sekali (ya, namanya juga lagi ngobrol). Tiba-tiba, ada staf restoran yang datang dan begitu saja ngambil piring-piring kami, tanpa permisi atau bilang apa pun, dan langsung pergi. Andreyan (yang notabene orang hotel) dan saya sampe lihat-lihatan karena kaget dan kesinggung. Di kunjungan kedua pun, saya sempat kesal karena staf yang jaga stan dim sum kurang ramah dan mempersiapkan dim sum saya seperti dilempar begitu aja ke kukusan. Nggak ada bicara apa pun, benar-benar dingin dan nggak bersahabat. Saya udah keluhkan hal ini ke pihak hotel lewat kuesioner yang disediakan.

Tian Jing Lou & Club InterContinental

Di lantai 18 InterContinental Bandung, ada Tian Jing Lou dan Club InterContinental. Tian Jing Lou sendiri merupakan Chinese restaurant yang terkenal, salah satunya karena menu dim sum-nya. Waktu saya menginap, baik. Tian Jing Lou dan Club InterContinental belum beroperasi. Namun, kata staf yang bertugas, saya boleh lihat-lihat.

Salah satu claim to fame-nya Tian Jing Lou adalah pemandangan kota dan padang golf. Mereka menawarkan pengalaman bersantap hidangan Tiongkok dan pemandangan yang cantik. Jendela-jendela floor-to-ceiling mendominasi interior. Ada satu sudut yang lebih menjorok ke luar, dan saya pikir area ini bakalan lebih banyak peminatnya, unless you’re acrophobic, of course. Beberapa chandelier menambah kemewahan interior restoran. Nah, kalau bicara soal Chinese restaurant, biasanya kan interiornya didominasi oleh warna merah. Sayangnya, di sini warna merah nggak begitu mendominasi. Kalau saya lihat, hanya beberapa area atau sudut yang dipercantik dengan warna merah. Selain itu, sentuhan khas Tionghoa juga kurang terasa kental. Lukisan dan partisi kayu memang jadi elemen yang memberikan sentuhan tersebut. Hanya saja, vibe-nya masih kurang kerasa, terutama kalau saya bandingkan dengan Cha Yuen-nya Aryaduta Bandung (sayangnya sudah tutup restorannya) atau Li Feng-nya Mandarin Oriental Jakarta (ini nanti akan ada review-nya. Tunggu aja, ya!).

Di dekat pintu masuk ke Tian Jing Lou, ada pintu menuju Club InterContinental. Seperti Tian Jing Lou, saat saya berkunjung pun klub masih belum beroperasi. Beberapa tipe kamar sudah dilengkapi akses ke klub ini. Luasnya sih nggak besar dan ada semacam pintu geser yang memisahkan antara Club InterContinental dengan Tian Jing Lou. Mungkin kalau ada acara apa, pintu ini akan dibuka untuk mengakomodasi lebih banyak tamu.

Seating yang tersedia bisa dibilang sangat terbatas. Interior klub pun punya dekorasi yang terbilang minimalis. Penggunaan warna-warna earthy memberikan kesan nyaman dan hangat. Untuk klub, pemandangan yang ditawarkan adalah pemandangan perbukitan. Jadi, kalau ingin lihat pemandangan kota sih kehalangin bukit. Ada juga LED TV yang cukup besar di tengah ruangan. So far sih nggak ada sesuatu yang benar-benar spesial. Ya, mungkin juga ini karena klub belum beroperasi, ya.

Kolam Renang & Kids’ Corner

Nah! Ini nih fasilitas yang saya paling suka dari InterContinental Bandung: kolam renang! Untuk mengakses kolam renang, kita perlu turun satu lantai dari lantai lobi. Turunnya bisa lewat tangga atau lift. Kalau dari lobi sih, sepertinya kita bisa dapat view yang bagus dari kolam renang. Sayangnya, pemandangan kota atau padang golf-nya terhalangi oleh pohon-pohon.

Kolam renang di InterContinental Bandung Dago Pakar terbilang besar. Area kolam anak dipisahkan oleh pembatas kaca dari area kolam dewasa. Untuk kedalamannya sendiri sih, kalau saya berenang, area kolam yang paling dalam tuh sekitar sebahu saya (maklum saya pendek). Ada dua cocoon di dekat kolam anak, tapi karena di belakangnya itu pepohonannya sangat rimbun, saya jadi agak ngeri lihatnya. Ada juga beberapa pool lounger yang, sayangnya, tidak diteduhi parasol atau semacamnya. Untuk kamar mandi dan toilet, ada di bangunan tersendiri. Oh, ya! Yang saya sayangkan lagi adalah air kolam renang nggak hangat. Padahal, di situs web hotel disebutkan kalau kolam renang hotel punya air hangat. Cukup kecewa sebetulnya, tetapi untungnya waktu itu cuaca nggak dingin.

Masih berada di sekitar kolam renang, ada kids’ corner. Fasilitas ini jadi salah satu amenities yang belum beroperasi saat saya menginap. Namun, karena berada di dekat kolam dan punya pintu kaca, saya jadi bisa mengintip ke dalamnya. Areanya cukup besar sih, dan ada semacam treehouse. Karena nggak beroperasi, lampu-lampu di dalamnya dimatikan dan foto di atas jadi satu-satunya dokumentasi yang saya punya. Ruangan juga terlihat kosong. Mungkin kalau beroperasi, akan ada banyak mainan, boneka, buku-buku, dan semacamnya. Gambar beruang di dinding (di atas rak sepatu) jadi sesuatu yang saya rasa lucu dan menggemaskan. Mungkin anak-anak yang habis berenang, bisa mandi dulu, terus main di sini.

Lokasi

Bicara soal aspek ini, jangan berharap InterContinental Bandung ada di kawasan yang strategis. Nggak, bro. Dari kawasan pusat kota Bandung, perjalanan ke hotel ini bisa makan waktu setengah jam lebih, tergantung kondisi lalu lintas. Hotel ini berada di kompleks Resor Dago Pakar yang luas banget dan jauh dari jalan besar (Jalan Dago). Namun, perjalanan ke sini nggak sia-sia karena meskipun jauh dari mana-mana, properti ini menawarkan suasana yang lebih alami dan pemandangan yang keren dari setiap kamarnya. Buat yang niatnya ingin staycation mewah dan menikmati suasana yang lebih tenang, hotel ini bisa jadi pilihan yang pas.

Sejauh yang saya tahu dan amati sendiri, nggak ada minimarket atau toko swalayan di dekat hotel. Ada sih restoran di luar hotel, tapi buat ke sana kita harus berkendara selama sekitar 5 menitan (lumayan jauh kalau jalan kaki. Serius). Untuk ke minimarket sendiri, kita harus berkendara dulu sekitar 10 menitan karena Indomaret terdekat ada di Jalan Dago. Nah, kalau kita udah tiba di kawasan Dago Atas sendiri sih, udah gampang lah ke mana-mana. Soal makan, ada beberapa restoran yang menawarkan pemandangan Bandung dari ketinggian seperti Cocorico dan Sierra. Soal tempat wisata, ada Tahura alias Taman Hutan Raya. Semuanya berjarak sekitar 10-15 menitan aja dari hotel. Nah, saran saya sih karena hotel ini jauh dari mana-mana, sebelum ke sini, ada baiknya sudah beli jajanan atau bekal dari awal. Bawa juga makanan atau minuman sendiri kalau nggak ingin pesan dari restoran hotel atau pergi ke kafe/restoran di luar hotel.

Dari Stasiun Bandung, InterContinental Bandung Dago Pakar bisa ditempuh dalam waktu sekitar 30-40 menit, tergantung kondisi lalu lintas. Dari Bandara Internasional Husein Sastranegara, waktu tempuhnya pun kurang lebih sama. Titik macetnya biasanya di kawasan Dago Atas. Jadi, harap waspada aja, terutama di jam-jam sibuk atau akhir pekan.

Pelayanan

Segmen ini memuat pendapat saya mengenai pelayanan yang diberikan pihak hotel. Apa yang saya tulis bersifat subjektif dan bukan merupakan informasi umum, dan lebih merupakan pendapat pribadi. Experience yang saya alami bisa jadi berbeda dari apa yang orang lain alami. Tulisan dalam segmen ini tidak ditujukan untuk menjelek-jelekkan atau menurunkan reputasi hotel. Jika informasi yang saya tulis bersifat positif, semoga manajemen hotel bisa tetap menjaga kualitas layanannya. Jika bernada negatif, semoga bisa menjadi bahan perbaikan bagi pihak hotel. 

Menginap dua kali di InterContinental Bandung dalam jangka waktu yang cukup dekat membuat saya bisa mengevaluasi kualitas pelayanan yang, jujur saya, membuat saya terkesan. Kekurangan yang saya lihat dan alami di kunjungan pertama terbayar di kunjungan kedua. Kendala yang terjadi, terutama di kunjungan kedua, ditangani oleh pihak hotel dengan baik dan profesional.

Secara keseluruhan, kualitas pelayanan di properti ini saya bisa bilang bagus. Saat masuk ke hotel, check-in, menginap, hingga check-out, jauh lebih banyak positifnya yang saya rasakan daripada negatifnya. Di kunjungan pertama, misalnya. Proses check-in memakan waktu lebih lama dari yang dijanjikan. Ditambah lagi dengan tidak adanya recognition untuk saya sebagai member IHG Rewards Club, saya agak kecewa sebetulnya. Namun, kekecewaan ini terbayar ketika saya dapat upgrade beberapa tingkat (dari tipe Classic ke King Club). Room service cukup lama menurut saya. Ketika saya minta dibawakan gelas wiski dan es, pesanan saya datangnya lama, meskipun ya tetap dibawakan. Dan juga, mengenai insiden di restoran, itu pun bikin saya dan Andre kesal sebetulnya. Namun, keluhan kami dapat tanggapan dari pihak hotel dan saya secara pribadi mengapresiasi hal tersebut.

Di kunjungan kedua, kendala yang terjadi lebih ke aspek fasilitas kamar. Semuanya berhasil ditangani dengan baik oleh tim housekeeping dan teknisi. Soal shower tangan yang rusak pun, saya makin mengapresiasi pihak InterContinental Bandung karena menawari saya untuk pindah kamar, padahal masalahnya hanya ada di shower dan itu pun sudah diselesaikan. Keesokan paginya saat saya sarapan, saya lupa itu GM atau siapa, tapi yang jelas saya dengan Ibu tersebut ngobrol soal kendala yang saya alami. Beliau meminta maaf dan kasih kuesioner untuk saya isi. Sikap atau langkah seperti ini memang nggak lantas menyelesaikan kendala yang sempat dialami (lagi pula sudah beres ‘kan), tapi tentunya jadi sesuatu yang saya apresiasi dan bikin kesan saya tentang properti jadi lebih positif. Saat sarapan di hari terakhir, memang ada beberapa staf di beberapa station yang saya rasa kurang ramah, tetapi selebihnya para staf sih ramah dan helpful. Ya, ke depannya sih harapannya semua staf bisa lebih ramah.

Kesimpulan

A luxury seclusion. Saya bisa bilang bahwa InterContinental Bandung Dago Pakar adalah hotel yang tepat untuk “mengasingkan diri” in a luxurious fashion, tanpa harus berkendara terlalu jauh di Bandung. Dari segi fasilitas, properti ini sudah lengkap. Hanya saja, waktu saya berkunjung memang belum semua fasilitas bisa digunakan. Setiap kamar menawarkan view yang cukup menarik, meskipun memang pemandangan padang golf dan pusat kota Bandung tentunya lebih menarik. Beberapa kamar, seperti tipe Premium Golf View dan King Club yang saya tempati dilengkapi daybed yang cocok banget buat bersantai, rebahan, dan tidur siang (atau malam-malam tidur di sini pun nggak masalah karena bisa sambil lihat bintang). Oversized, freestanding bathtub pun jadi kelengkapan kamar yang saya rasa layak diapresiasi. Apalagi dengan penempatan di samping jendela. Duh! Seru banget rasanya bisa berendam, merilekskan tubuh, sambil melihat view Bandung dari ketinggian. Interior kamar pun menampilkan desain kontemporer yang elegan dan mewah dalam balutan warna-warna earthy.

Soal lokasi, InterContinental Bandung saya pikir bukan pilihan yang pas buat orang-orang yang ingin tinggal di kawasan pusat kota dan gampang bolak-balik ke mal atau tempat-tempat lain di area downtown. Perjalanan ke hotel ini sendiri bisa dibilang cukup jauh. Mungkin nggak jauh-jauh amat buat yang terbiasa main atau bolak-balik ke kawasan Dago Atas, tapi berdasarkan komentar dari teman-teman saya, ketika saya ajak meet-up buat renang atau makan malam di hotel, mereka nolak ajakan dengan alasan kejauhan. Bisa dipahami sih karena dari mulut Jalan Resor Dago Pakar saja, perjalanan ke hotel masih memakan waktu sekitar 10 menitan dengan mobil/motor. Ditambah lagi, minimarket terdekat pun perlu ditempuh dalam waktu sekitar 10-15 menitan. Namun, untuk yang cari suasana tenang dan pemandangan yang lebih alami, properti ini layak banget diperhitungkan. Saya sendiri secara pribadi merasa bahwa hotel ini bisa jadi pelarian saya di masa mendatang ketika saya lagi mumet atau sekadar ingin menenangkan diri di lingkungan alami, tetapi masih dalam naungan “kemewahan” dan tanpa harus berkendara jauh dari Bandung.

Soal pelayanan, kendala-kendala yang saya alami untungnya dapat ditangani dengan baik oleh pihak hotel, dan saya sangat mengapresiasi hal tersebut. Beberapa fasilitas kamar perlu dibenahi memang. Ya, semoga saja kendala yang saya alami tidak sampai terulang dan keramahan staf pun bisa lebih ditingkatkan. Kesan positif, fasilitas properti yang mumpuni, kondisi kamar yang nyaman, serta kecepatan dan bantuan para staf dalam menanggapi request saya outweighted the cons.

Kalau saya amati di aplikasi IHG, InterContinental Bandung Dago Pakar menawarkan kamar dengan average rate di kisaran 1,2-1,3 juta rupiah per malam (biasanya sudah dengan pajak). Di Bandung, rate segitu sudah terbilang cukup tinggi sebetulnya. Namun, dengan fasilitas lengkap, desain kamar yang elegan, dan pengalaman closer to the nature dalam naungan kemewahan, saya rasa haga segitu masih berterima dan properti ini bisa jadi pilihan yang pas untuk yang ingin menikmati staycation di lingkungan yang lebih alami dengan view yang keren, tanpa harus berkendara jauh dari pusat kota Bandung.

Pros & Cons

👍🏻 Pros

  • Semua kamar, kecuali tipe Classic sudah dilengkapi daybed dengan pemandangan perbukitan atau padang golf (yang lebih bagus memang view padang golf sih)
  • (LAGI) Semua kamar, kecuali tipe Classic, dilengkapi freestanding bathtub yang ditempatkan di samping jendela. Cocok banget buat self-pampering sambil lihat pemandangan.
  • Interior kamar mengusung desain kontemporer yang elegan dan mewah.
  • Ukuran kamar (bahkan tipe terkecil) relatif lebih besar untuk hotel-hotel di kelasnya.
  • Restorannya besar dan menu yang disajikan sangat beragam (dim sum-nya enak!)
  • Kolam renangnya besar dan menawarkan pemandangan alam yang cantik (harusnya view kota, tapi terhalangi pepohonan besar but still, it’s pretty Insta-worthy)
  • Fasilitas yang ditawarkan sudah lengkap. Meskipun jauh dari mana-mana, dengan adanya kids club, kolam renang, gym, dan area terbuka (bahkan kalau weekend itu suka ada penyewaan kuda), kayaknya stay di hotel aja nggak akan kerasa bosan.
  • InterContinental Bandung punya wedding hall yang cakep banget (saya lupa foto. Maaf). Buat yang mau nikahan, nggak ada salahnya ngelirik properti ini.
  • Nggak perlu repot soal parkiran. Area parkirnya luas banget.

👎🏻 Cons

  • Terkait pengalaman menginap saya, maintenance kamar (terutama kamar mandi) rasanya kurang. Shower tangan yang rusak dan ujungnya runcing itu sangat disayangkan.
  • Ini bisa jadi nilai positif sebetulnya, cuman bagi sebagian orang, lokasi hotel yang cenderung remote mungkin bakalan jadi sesuatu yang kurang bikin nyaman.
  • Kualitas pelayanan staf saat saya menginap agak kurang. Semoga ke depannya bisa lebih baik lagi. Meskipun demikian, kendala yang saya alami bisa ditangani oleh pihak hotel dengan baik. Sangat saya apresiasi.
  • Meskipun view-nya bagus, sayangnya air kolam lagi nggak dihangatkan.

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌😶
Desain: 😆😆😆😆😶
Lokasi
– Untuk “menyepi”: 🤩🤩🤩🤩😶
– Untuk yang ingin gampang ke mana-mana: 🤩🤩😶⚪️⚪️
Harga: 💰💰💰💰💰

Review: Crowne Plaza Bandung

Sebagai urang Bandung, saya sering mengamati perkembangan yang terjadi di kota saya, terutama di kawasan pusat kota dan area-area yang sering didatangi atau dilewati. Hotel baru, restoran baru, kafe baru, dan semacamnya. Flashback ke beberapa tahun silam, di Jalan Lembong ada bangunan pencakar langit yang sedang dibangun. Saya dapat informasi dari satu utas di Skyscrapercity kalau bangunan tersebut awalnya akan jadi Plaza Panasia, dan pembangunannya sudah dimulai dari tahun 1997. Dari strukturnya, bangunan ini kelihatan megah dan, terutama sebelum bangunan-bangunan tinggi mulai dibangun di sekitarnya, bangunan itu jadi hal yang menonjol. Namun, konstruksinya terhenti dan bangunan pun sempat mangkrak lama. Bisa dibilang lama banget soalnya sampai saya SMP, SMA, dan kuliah semester awal, nggak ada perubahan signifikan. Sempat jalan lagi, tapi berhenti lagi. Saya nggak tahu alasannya apa, sementara di sekitarnya udah mulai banyak bangunan pencakar langit lain. Dan akhirnya, konstruksi pun berjalan lagi dan saya mulai bisa lihat mau jadi seperti apa bangunan tersebut. Sekarang, bangunan ini berfungsi sebagai hotel bintang 5 di Bandung yang bulan Agustus kemarin sempat saya kunjungi.

review crowne plaza bandung

Crowne Plaza Bandung adalah hotel bintang 5 yang berlokasi di Jalan Lembong nomor 19, Bandung. Hotel ini (at least sampai saat tulisan ini terbit, ya) merupakan satu dari 3 properti IHG yang ada di Kota Kembang. Buat nyari hotel ini nggak susah karena bangunannya yang tinggi (23 lantai) bikin hotel ini gampang dikenali. Ditambah lagi, fasadnya megah dan ada satu bagian bangunan yang berbentuk melingkar. Ikonik. Saya takjub karena dari bangunan yang sempat mangkrak bertahun-tahun, akhirnya jadi hotel mewah yang—well—stylish.

Menurut informasi dari Tripadvisor, hotel mewah di Bandung ini punya 270 kamar. Dari situs resmi hotel, saya lihat ada 9 tipe kamar yang tersedia di Crowne Plaza Bandung. Soal fasilitas pun, hotel ini menawarkan pilihan yang beragam dan mumpuni. Ada gym, restoran, sky lounge, poolside bar, kolam renang, kids’ corner, spa, ruang rapat, dan ballroom. Sayangnya, waktu saya menginap, saya nggak bisa mencoba sebagian besar fasilitas hotel karena berdasarkan peraturan kota yang berlaku, beberapa fasilitas masih belum bisa dibuka. Sebetulnya, fasilitas seperti kolam renang bisa digunakan sih, tetapi di akhir pekan saja. Duh! Padahal saya pengen banget coba berenang dan nyantai di outdoor whirpool-nya. Gym, kids’ corner, dan sky lounge juga masih tutup waktu saya menginap, tapi saya sempat ambil dokumentasi buat fasilitas-fasilitas itu.

Salah satu hal yang saya suka dari hotel ini adalah lokasinya. Bukan hanya sekadar karena berada di pusat kota (dan bisa lihat lampu-lampu kalau malam), tapi juga karena jaraknya yang dekat ke mana-mana. Kawasan Jalan Braga, salah satu ikon Bandung bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama 5 menit aja dari hotel. Oh, ya! Waktu berkunjung, saya menempati kamar tipe Deluxe dengan 2 single bed. Awalnya, saya rencana nginap dengan kakak saya, tapi karena satu dan lain hal, dia nggak bisa datang. Walhasil, si kasur yang satu lagi pun kosong dan saya langsung taruh koper dan laptop di atasnya supaya kasurnya nggak kosong melompong. Sempat ada insiden kecil waktu saya menginap, tapi saya apresiasi bantuan dan langkah dari pihak hotel. Saya pun dipindahkan ke kamar lain, tapi jadi ke kamar tipe King Junior Suite (terima kasih banyak, Crowne Plaza Hotel dan Pak Julius selaku GM hotel!). Ulasan lengkapnya di segmen berikutnya, ya!

Desain Kamar

Deluxe 2 Single Bed

Saya menginap selama 3 hari dua malam di hotel mewah di Bandung ini. Untuk malam pertama (eh? sama siapa?), saya menempati kamar tipe Deluxe dengan 2 single bed. Dengan luas 34 meter persegi, kamar ini terasa cukup luas meskipun ada dua tempat tidur. Nah, sebetulnya ada satu hal yang bikin saya bingung. Kalau saya buka aplikasi IHG di ponsel dan ngecek harga, untuk tipe kamar yang sama, beda arrangement tempat tidur, beda juga harganya. Ini berlaku untuk beberapa properti, ya, dan nggak hanya properti-properti di Bandung. Kamar dengan 2 single bed ditawarkan dengan harga yang lebih murah daripada kamar dengan 1 king bed (bedanya bisa sekitar 50-100 ribuan). Saya sempat tanya alasan perbedaan harga tersebut, dan jawabannya adalah “Karena lebih luas, Pak.” Padahal, bicara soal layout ruangan, mau 1 king bed atau 2 single bed, kamarnya tetap unya luas yang sama sebetulnya. Pada akhirnya, soal lebih luas atau sempit, itu karena ada satu furnitur tambahan, ‘kan?

Back to the review.

Bicara soal desain, semua kamar di Crowne Plaza Bandung punya interior bergaya kontemporer yang cukup stylish. Desain ini mengingatkan saya dengan saudaranya yang ada di Jakarta, Holiday Inn & Suites Gajah Mada. Palet warna earthy menjadi pilihan untuk interior kamar dan saya suka dengan accent wall berpola geometrik di belakang tempat tidur. Saya malah ingat satu area di Queen Elizabeth Walk di Singapura karena pola segi empatnya yang berundak. Area ini bahkan jadi salah satu setting di film Crazy Rich Asians (2018). Meskipun didominasi oleh warna-warna earthy yang lebih cerah dan muted, interior kamar masih terasa gelap. Entah karena jendelanya kurang besar atau karena memang pencahayaannya kurang banyak. Sebetulnya, kamar yang saya tempati ini layout-nya memang beda. Kalau lihat di foto-foto di galeri situs resmi hotel, jendela di kamar hotel ukurannya lebih lebar. Namun, kamar yang saya tempat punya dinding yang menjorok ke dalam sehingga jendelanya pun nggak selebar yang ditampilkan di foto. Kalau di malam hari, untuk tidur sih tingkat pencahayaannya sebetulnya nyaman. Namun, di sore hari atau malam hari sebelum tidur (pas masih nonton TV atau kerja, misalnya), saya rasa tingkat pencahayaannya masih kurang cerah.

Room amenities yang tersedia mencakup televisi 40 inci, alarm + Bluetooth speaker, WiFi, AC, tea/coffee maker, kulkas kecil, meja +kursi kerja, kursi lengan, dan meja kopi. Di atas meja kerja, ada cermin berbentuk lingkaran yang alih-alih fungsional, saya pikir lebih ke arah dekoratif karena posisinya cukup tinggi (atau mungkin saya yang terlalu pendek). Untuk yang mau touch up di meja kerja, bakalan susah sih karena harus berdiri, nggak bisa duduk. Jendela kamar saya menawarkan view ke arah utara. Yang bisa terlihat dari kamar adalah kolam renang dan bangunan-bangunan lain di sisi utara kota (terhalang sih sama Tera Residence, tapi gedung itu jadi background foto yang menurut saya sih cantik. Bisa dilihat di Instagram pribadi saya). Waktu saya tiba, di atas meja sudah tersedia buah-buahan segar, complimentary dari pihak hotel. Terima kasih banyak, Crowne Plaza Bandung!

Hal lain yang menarik perhatian saya di kamar ini adalah desain lemari pakaian. Lemari pakaian di kamar punya desain tertutup. Setrika, ironing board, bathrobe, slippers, dan electronic safe disimpan dengan rapi di dalam lemari. Hanya saja, gantungan yang tersedia nggak banyak. Di samping lemari, ada semacam panel kayu dengan desain Arabesque yang cantik. Tea/coffee maker dan kulkas ditempatkan di kabinet pendek di samping lemari.

Oh, ya! Waktu menempati kamar ini, saya sempat merasa kewalahan saat ngatur AC. Bukan karena saya nggak bisa pakainya, tapi karena suhunya tampaknya nggak berubah, meskipun saya udah atur dengan sesuai. Udara yang keluar terlalu dingin. Saya bahkan sampai atur ke suhu 28 dan kurangi kecepatan kipas pun masih dingin. Sempat saya matikan AC kamar karena suhu di kamar dingin banget dan alergi dingin saya agak kumat.

Kamar Mandi (Deluxe)

Untuk kamar mandi unit Deluxe di Crowne Plaza Bandung, ukurannya bisa saya bilang cukup luas. Interiornya didominasi marmer berwarna beige dan dilengkapi pencahayaan yang terang. Buat yang sudah baca review-review saya sebelumnya, mungkin tahu kalau saya nggak suka kamar mandi yang remang. Sebagai aksen, marmer berwarna hitam kecokelatan dipasang menyerupai “frame” yang mengelilingi cermin dan wastafel. Buat saya, elemen aksen ini yang bikin kamar mandi terlihat lebih elegan dan mewah, terutama dengan dua modern lantern yang digantung di sisi kiri dan kanan cermin. Kamar mandi unit Deluxe tidak dilengkapi his-and-hers sink, tapi berhubung saya nginep sendirian, hal ini nggak jadi masalah.

Kelengkapan kamar mandi mencakup timbangan, vanity mirror, dan hair dryer. Produk-produk mandi sudah jelas ada ya, dari shower gel, kondisioner, sampai grooming products. Untuk aromanya, buat saya sih nggak ada yang spesial. Ya, nice lah bisa dibilang. Yang saya suka dari kamar mandinya adalah adanya rainshower. Selain rainshower, shower tangan pun tersedia. Area shower ini cukup luas dan salah satu sisinya dipasangi kaca buram yang memisahkan kamar mandi dan area utama kamar. Pencahayaan juga bisa berasal dari kaca ini, terutama di siang hari.

Nah, di awal saya sempat bilang ada insiden, dan insiden tersebut terjadi di kamar mandi. Jadi, sebelum saya datang kamar tentunya dibersihkan dan didisinfektan terlebih dahulu. Langkah ini sangat saya apresiasi, terutama di masa wabah seperti sekarang. Namun, sepertinya staf housekeeping kurang teliti membersihkan sisa-sisa produk pembersihnya. Walhasil, di lantai kamar mandi saya lihat ada semacam bekas minyak atau produk pembersih. Awalnya, saya nggak pikirkan hal itu, tapi karena lantai yang licin, saya hampir jatuh di kamar mandi. Beruntung saya masih bisa jaga keseimbangan. Kalau nggak ‘kan mungkin saya jatuh dan kepala saya kebentur. Setelah kejadian itu, saya laporkan keluhan ke operator dan minta staf housekeeping datang untuk bersihkan lagi kamar mandi. Setelah dibersihkan lagi, untungnya lantai kamar mandi ngga begitu licin lagi, cuman tetap saja sih saya jadi agak was-was pas mandi.

Besoknya saat sarapan, saya ketemu dengan Pak Julius selaku GM Crowne Plaza Bandung. Ternyata, keluhan saya sampai ke beliau dan beliau minta maaf atas insiden yang saya alami. Kami juga ngobrol cukup lama, terutama soal pandemi dan dampaknya ke hotel. Ya, semoga aja pandemi ini (kalau pun tidak segera) bisa segera lebih terkendali. Oh, ya! Pak Julius juga menawarkan saya untuk pindah kamar dan ternyata, pindah kamar ini bukan sekadar pindah kamar. I got an upgrade!

King Junior Suite

Seperti yang saya bilang sebelumnya, saya bukan sekadar pindah kamar, tapi ternyata dapat upgrade. Terima kasih banyak, Pak Julius dan Crowne Plaza Bandung! Unit King Junior Suite punya luas 60 meter persegi, hampir dua kali lipat tipe kamar sebelumnya. Dari segi desain, interior kamar nggak jauh beda dengan interior kamar tipe Deluxe. Palet warnanya masih sama. Elemen-elemen dekoratif seperti accent wall-nya pun sama. Bedanya, di sini ada sentuhan warna teal pada coverlet tempat tidur dan throw pillow di three-seater sofa. Sepintas saya jadi ingat Garuda Airlines.

Dengan luas 60 meter persegi, tentunya ada banyak ruang di kamar ini. Room amenities yang tersedia pun sama, hanya dilengkapi dengan espresso maker dan sofa. Yang saya sayangkan adalah, untuk kamar dengan luas seperti ini, televisi yang dipasang ukurannya terlalu kecil. Namun, selama menginap saya nggak banyak nonton TV sih. Ya, nonton lah satu, dua, atau tiga film dari Celestial Movies, tapi selebihnya saya kerja, tidur, dan berendam. Tipe King Junior Suite juga punya jendela yang lebih besar dan tentunya full-height. View yang saya dapat masih sama, tapi dengan “layar” yang lebih lebar, rasanya lebih seru. Cahaya matahari yang masuk pun bisa lebih banyak. Sayangnya, waktu sore ternyata turun hujan deras dan yang awalnya niatnya mau menikmati matahari sore, malah jadi ngegalau sambil ngeteh di pinggir jendela.

Oh, ya! For your information, selama menginap di Crowne Plaza Bandung, saya nggak pergi ke mana-mana (kecuali di malam terakhir, pergi ke minimarket karena harus beli obat). Saya di hotel terus dan nggak pergi-pergi. Ngapain aja? Ya itu tadi: kerja, tidur, berendam. Bisa dibilang kunjungan kali ini gabungan antara kerja dan istirahat. Maklum, saya sering kurang tidur.

Di malam hari, pencahayaan di kamar bisa dibilang sudah cukup. Berbeda dengan tipe sebelumnya, entah kenapa di tipe ini kamar terasa lebih terang, meskipun dari segi jumlah, lampu yang tersedia ya kurang lebih sama aja dengan tipe sebelumnya. I had a goodnight sleep and woke up feeling refreshed.

Yang saya suka lagi dari tipe King Junior Suite adalah adanya walk-in closet. Kalau di tipe sebelumnya, storage pakaian tersedia dalam bentuk lemari tertutup, di tipe ini ada walk-in closet. Panel bergaya Arabesque digunakan sebagai double sliding door ke walk-in closet. Nah, karena walk-in closet di tipe ini besar, saya malah sempat mikir ini kelihatan kayak sauna. Coba lihat aja sendiri di foto. Di dalam walk-in closet, tersimpan setrika, ironing board, bathrobe, dan electronic safe. Karena pintunya masih ada lubang-lubang, saya rasa agak, what’s the word… Ya intinya sih kalau bawa tamu ke kamar, tamu tetap bisa lihat ke dalam walk-in closet. But still, it’s a pretty good-size walk-in closet… with a big mirror!

Kamar Mandi

Kamar mandi untuk tipe King Junior Suite di Crowne Plaza Bandung sebetulnya nggak jauh berbeda dari kamar mandi untuk tipe Deluxe dari segi desain. Interiornya didominasi marmer berwarna beige. Frame marmer berwarna hitam kecokelatan pun bisa ditemukan mengelilingi cermin yang dimensinya lebih panjang. Modern lantern pun dipasang di area wastafel sebagai sumber pencahayaan sekaligus elemen dekorasi yang mewah. Untuk tipe ini, wastafel yang tersedia juga hanya satu, bukan his-and-hers sink.

Perbedaan utama yang ada pada kamar mandi ini adalah hadirnya bathtub. Ukurannya cukup panjang untuk satu orang. Apalagi, saya kan pendek. Jadi bathtub terasa lapang saat dipakai berendam. Keluaran air dari keran pun deras dan suhu air panasnya stabil (nggak mengalami penurunan atau “ngadat”). Dari segi luas, saya pikir nggak berbeda secara signifikan dengan kamar mandi di tipe sebelumnya sebetulnya. Kamar mandi di tipe ini terasa lebih luas, saya pikir karena sudut yang tadinya shower area digunakan untuk bathtub. Menghilangnya dinding kaca pemisah shower area membuat ruang terasa tambah luas. Ditambah lagi, penggunaan cermin yang bentuknya memanjang dan dibingkai marmer berwarna gelap makin memberikan kesan space yang besar.

Di sisi ruangan yang lain, ada kloset dan shower area. Karena dipindahkan ke sudut, walhasil luas shower area pun berkurang. Namun, ukurannya tetap cukup besar untuk bergerak leluasa. Shower tangan dan rainshower tetap tersedia di sini. Perlengkapan kamar mandi lainnya seperti timbangan, hair dryer, vanity mirror, dan produk-produk kebersihan ada di bathroom counter. So far, saya nggak punya keluhan soal kamar mandi. Saya bisa berendam dengan nyaman dan pakai bath salt. Apalagi, ada jendela kaca di samping bathtub. Saya tinggal pindahkan channel TV, besarin volumenya, dan nonton sambil berendam.

Fasilitas Umum

Mosaic All Day Dining Restaurant

Sebagian besar dining venue di Crowne Plaza Bandung berada di lantai dasar. Sebagai restoran utama hotel, ada Mosaic All Day Dining Restaurant. Sarapan diadakan di restoran ini. Hal pertama yang saya perhatikan adalah ukuran restoran. Luas banget! Bahkan, ada semi-outdoor area juga yang digunakan sebagai area merokok. Ada beberapa ruang VIP yang cocok untuk rapat atau sekadar makan dalam suasana yang lebih privat. Di sisi barat restoran, ada The Deli yang menyediakan berbagai dessert, kopi, dan teh.

Dilansir dari situs resmi hotel, Mosaic All Day Dining Restaurant di Crowne Plaza Bandung bisa menampung maksimal 214 pengunjung. Restoran ini juga mengusung konsep open kitchen. Jadi, sambil ngider nyari makanan, pengunjung juga bisa melihat para koki dan staf restoran memasak hidangan. Saya sempat main ke sini saat restoran tutup untuk ambil foto-foto, tapi saya takjub saat keesokan harinya. Ya, karena tutup, lampu-lampu restoran jadi dimatikan. Namun, saat dinyalakan, saya cukup kagum dengan interiornya.

Pada dasarnya, interior restoran didominasi palet warna netral. Skema warna yang sama juga berlaku untuk furnitur-furnitur restoran. Namun, sebagai color pop, dipasang beberapa panel kaca sandblast dengan warna transparan, biru aquamarine, dan ungu. Bahkan, di tengah restoran, ada island counter besar dengan pilar yang membentuk semacam payung atau cendawan di atasnya. Nah, waktu saya sarapan, si pilar ini diterangi lampu-lampu neon berwarna putih kebiruan dan ungu. Ada sedikit kesan cyberpunk yang saya tangkap dari penggunaan lampu-lampu tersebut, tapi hal tersebut nggak lantas menghilangkan keeleganan interior restoran. Melihatnya, saya langsung inget salah satu setting di sebuah drama Korea: bar di Hotel del Luna!

Soal menu sarapan, untuk ukuran hotel bintang 5 mungkin variasinya setara hotel bintang 4, tapi segi rasa sih udah decent. Salah satu alasannya mungkin karena tingkat okupansi yang sedang rendah dan kondisi juga sedang pandemi (hotel-hotel masih pada adaptasi tentunya). Kalau situasi sudah jauh lebih baik, mungkin station-station yang lain akan dibuka dan opsi makanan jadi jauh lebih beragam. Saya sendiri memang nggak banyak makan, tetapi buat saya, menunya sudah cukup lah. Untuk teh, kita bisa minta ke staf yang bertugas. Pilihan tehnya juga cukup variatif. Waktu saya menginap, tingkat okupansi hotel sedang rendah dan restorannya sepi. Selain itu, protokol yang berlaku juga ketat. Namun, saya senang karena saya duduk pun nggak perlu takut terlalu berdekatan dengan orang lain. Para tamu yang datang juga duduknya saling berjauhan.

Gym, Kolam Renang, dan Kids Corner

Sebagai fasilitas kebugaran, ada gym di Crowne Plaza Bandung. Seperti yang saya bilang sebelumnya, sebagian fasilitas hotel belum berfungsi saat saya menginap, dan salah satunya adalah gym. Namun, saya bisa ngintip ke dalam gym untuk melihat keadaannya. Dari segi ruangan, gym di hotel ini bisa dibilang sangat luas. Jenis peralatan yang tersedia juga beragam, tetapi dari segi jumlah, bisa dibilang terbatas. Untuk ukuran gym seluas ini, jumlah peralatan yang ada rasanya terlalu sedikit.

Salah satu keunggulan gym di sini menurut saya adalah view yang ditawarkan dari jendela. Dengan pemandangan kota Bandung, sesi olahraga rasanya akan terasa lebih mengasyikkan. At least, ada sesuatu buat ditonton lah sambil lari di atas treadmill. Jujur agak sedih rasanya karena saya nggak bisa bahas lebih mendalam soal gym di Crowne Plaza Bandung karena fasilitas sedang tutup dan saya nggak bisa pakai fasilitas tersebut untuk merasakan sendiri secara langsung pengalamannya.

Berada satu lantai dengan gym, ada kids corner untuk anak-anak (ya iya lah! Namanya aja kids corner). Area ini sangat luas dan, seperti halnya area bermain anak-anak pada umumnya, didekorasi dengan warna-warni ceria. Kids corner juga tutup saat saya berkunjung ke sana.

Di salah satu sisi ruangan, terdapat mainan anak-anak seperti perosotan dan rumah-rumahan. Di sisi yang berseberangan, ada beberapa meja dan kursi supaya anak-anak bisa mewarnai, menggambar, atau bermain. Saya nggak tahu apakah di dekat area seluncur ada ball pit apa nggak, tapi kalau ada, kayaknya akan lebih seru. Maklum, waktu kecil saya seneng banget kalau diajak main ke ball pit atau mandi bola. Padahal, dulu rame banget isu yang beredar kalau mandi bola itu wahana yang berbahaya bagi anak karena katanya di dalamnya ada silet dan, bahkan, ular berbisa. Sebetulnya sih kalau soal bahaya, ya bisa aja ada, tapi kalau soal silet sih kayaknya berlebihan. Kalau soal hewan atau bekas urine, memang bisa terjadi.

Fasilitas unggulan Crowne Plaza Bandung yang sayangnya nggak bisa saya coba adalah kolam renangnya. Damn! Ini kolam luas dan keren banget padahal! Waktu saya tiba di kamar, saya langsung lihat kolam renang dan sempat bingung karena area kolam kelihatan sepi. Saya pun tanya ke resepsionis dan ternyata kolam renang hotel hanya beroperasi di akhir pekan. Duh!

Kolam renang berada satu lantai dengan gym dan kids corner. Kalau kebetulan lagi nginap di hotel dan ada fasilitas gym dan kolam renang, saya sih biasanya nge-gym dulu sebentar, lalu berenang, lalu pakai sauna/jacuzzi sebelum mandi dan ganti baju. Nah, di Crowne Plaza Bandung, fasilitas-fasilitas itu tersedia, tapi sayangnya saya nggak bisa pakai. Walhasil, selama menginap pun nggak olahraga. Aduh!

Desain kolam renang di hotel ini bisa dibilang unik. Dengan bentuk memanjang, area kolam anak menyatu dengan kolam dewasa. Namun, area kolam anak yang dangkal mengelilingi area kolam dewasa yang berada di tengahnya. Bisa dibilang sih area kolam anak ini jadi semacam frame untuk area kolam dewasa. Tidak ada pemisah yang sifatnya permanen antara kolam anak dan kolam dewasa so parents, watch your kids! Ada dua area shower di sekitar kolam. Whirlpool berada di salah satu sisi kolam renang. View yang ditawarkan di area kolam renang juga sebetulnya lumayan bagus. Di area kolam renang juga ada poolside bar buat yang ingin beli minuman dan camilan.

Infinite Lounge and Resto

Crowne Plaza Bandung punya sky lounge bernama Infinite Lounge and Resto. Berada di lantai 22, lounge cantik ini menawarkan pemandangan kota Bandung sebagai daya tarik utamanya. Interior lounge mengusung desain rustic yang didominasi elemen-elemen kayu dan warna-warna earthy yang selain homy, juga membangun kesan elegan dan seksi.

Seperti halnya kolam renang dan gym, sky lounge ini pun tidak beroperasi. Padahal, tempat ini cocok banget buat nongkrong bareng teman atau romantic dinner dengan pasangan. Sofa-sofa bulky berbahan kulit ditempatkan di sisi railing dan jendela yang menghadap ke arah kota. Area lounge sendiri berbentuk setengah lingkaran (karena di sisi yang lain masih ada juga area lounge) sehingga view yang didapatkan dari sini tentunya bagus dan lebih beragam. Melangkah masuk ke sini, saya menangkap kesan rustic lodge di hutan atau pegunungan. Maklum, elemen kayunya dominan soalnya.

Di Infinite Lounge and Resto juga ada wine shop. Makanya, tempat ini cocok buat ketemu teman, ngobrol dengan rekan kerja, atau makan malam romantis dengan pasangan. Seadainya fasilitas ini buka waktu saya menginap, kayaknya malam-malam saya akan nongkrong di sini cukup lama. Ya, mungkin sambil nge-YouTube, beresin kerjaan, dan lihat pemandangan kota.

Connexion Lobby Lounge

Berlokasi di lantai lobi, Connexion Lobby Lounge bisa jadi dining venue alternatif di Crowne Plaza Bandung. Dengan atmosfer santai nan elegan, lounge ini merupakan tempat yang pas buat ngobrol dengan teman atau keluarga di sore hari, atau buat sekadar kerja. Desain kontemporer dengan warna-warna earthy diusung di sini. Meja dan kursi yang tersedia pun cukup banyak. Ditambah lagi, ada bar di sini. Cocok buat yang seneng nge-beer.

Di sisi selatannya, terdapat seating area yang saya pikir lebih elegan dan mewah. Area ini dipercantik dengan kursi lengan yang empuk berwarna violet dan oranye sebagai colour pop yang membuat interior terlihat makin hidup. Dengan langit-langit setinggi dua lantai, area ini saya pikir lebih cocok dijadikan tempat pertemuan yang sifatnya semiformal, apalagi dengan lantai karpet yang membuat suasana terasa lebih hangat.

Lokasi

Berdiri di pusat kota, Crowne Plaza Bandung jadi salah satu akomodasi bintang lima unggulan di kota Bandung. Pasalnya, meskipun bukan berada di jantung keramaian, hotel ini dekat dari mana-mana. Salah satu kawasan yang layak disambangi pas nginap di sini adalah Jalan Braga. Dari hotel, kawasan Jalan Braga bisa ditempuh dengan jalan kaki selama 5 menit aja. Deket kok! Nggak jauh dari hotel, ada kawasan Jalan Sumatera yang di kiri kanannya banyak restoran dan kafe (dulu ada restoran favorit saya, namanya Indischetafel. Sayangnya restoran ini udah tutup 😢).

Dari Jalan Braga, kalau lanjut jalan lagi bisa sampai ke Alun-Alun Bandung. Kawasan ini berjarak sekitar 10-15 menit dengan berjalan kaki. Soal cari makan, sebetulnya nggak susah sih ketika kita menginap di Crowne Plaza Bandung. Di Jalan Braga, silakan pilih sendiri deh restoran dan kafe yang diinginkan. Ada juga Braga Citywalk, mal dengan beberapa pilihan restoran dan kafe. Di kawasan Alun-Alun Bandung sendiri ada banyak restoran dan kafe yang bisa dikunjungi. Untuk minimarket, kita memang harus jalan kaki ke Jalan Braga atau Naripan (ya kurang lebih 5 menitan) karena minimarket terdekat adanya di dua jalan itu.

Faktor lokasi membuat hotel ini juga menawarkan view kota Bandung yang keren. Jendela-jendela yang menghadap ke utara menawarkan view jalan Dago dan Gunung Tangkuban Parahu. Sayangnya, untuk beberapa kamar, view akan terhalangi oleh gedung Tera Residence. Kamar-kamar dengan jendela yang menghadap ke selatan punya view kawasan Jalan Asia Afrika.

Dari Stasiun Bandung, hotel ini bisa ditempuh dalam jarak sekitar 10-15 menit menggunakan kendaraan bermotor. Kalau dari Bandara Internasional Husein Sastranegara, waktu tempuhnya sekitar 15-20 menit, tergantung kondisi lalu lintas.

Pelayanan

Segmen ini memuat pendapat saya mengenai pelayanan yang diberikan pihak hotel. Apa yang saya tulis bersifat subjektif dan bukan merupakan informasi umum, dan lebih merupakan pendapat pribadi. Experience yang saya alami bisa jadi berbeda dari apa yang orang lain alami. Tulisan dalam segmen ini tidak ditujukan untuk menjelek-jelekkan atau menurunkan reputasi hotel. Jika informasi yang saya tulis bersifat positif, semoga manajemen hotel bisa tetap menjaga kualitas layanannya. Jika bernada negatif, semoga bisa menjadi bahan perbaikan bagi pihak hotel. 

Selama menginap dua malam, saya bisa menilai kualitas layanan di Crowne Plaza Bandung. Salah satu keuntungan long stay adalah kita bisa merasakan layanan yang diberikan properti dalam jangka waktu yang lebih lama sehingga kita bisa lihat apa saja kelebihan dan kekurangannya. Dari check-in, saya jujur merasa cukup puas. Sebagai anggota IHG Rewards Club, saya dapat recognition sebagai anggota waktu check-in (dan ini sudah ada aturannya, lho. Silakan cari dan baca informasi tentang privilege member IHG Rewards Club). Proses check-in juga nggak bertele-tele dan relatif cepat.

Seperti yang saya bilang sebelumnya, saya mengalami masalah dengan kamar mandi di kamar pertama saya (Deluxe Twin). Sangat disayangkan karena pihak housekeeping kurang teliti dalam membersihkan kamar mandi sehingga lantainya masih licin akibat sisa-sisa produk pembersih. Namun, tim housekeeping segera datang dan membersihkan kembali kamar mandi sehingga lantainya nggak licin lagi. Kecepatan tanggap ini sangat diapresiasi. Ya, namanya masalah kadang ada aja, tapi langkah yang diambil propertilah yang menentukan kualitas layanan hotel. Bukan hanya itu, besoknya saya pun ditawari untuk pindah kamar, dan ternyata bukan sekadar pindah kamar, tapi dapat upgrade. Saya sangat apresiasi langkah ini, meskipun sebetulnya masalahnya hanya ada di kamar mandi.

Secara keseluruhan, kualitas layanan yang diberikan Crowne Plaza Bandung sangat baik. Para staf juga ramah dan helpful. Bisa saya bilang, pelayanan dan kelas hotel sama-sama bintang lima.

Kesimpulan

New life for an old building. Gedung tinggi yang pembangunannya dulu sempat mangkrak akhirnya mendapatkan a new life sebagai hotel bintang lima. Crowne Plaza Bandung berhasil menawarkan kemewahan, kenyamanan, dan layanan unggul untuk saya. Kendala yang saya alami selama menginap berhasil ditangani dengan baik. Bahkan, langkah yang pihak hotel ambil menurut saya jauh lebih baik dari dugaan.

Desain kedua tipe kamar yang saya tempati cukup menarik. Sebetulnya, interior bergaya kontemporer bukan hal yang asing lagi. Namun, kekhasan kamar seperti accent wall dengan pola segi empat berundak dan divider kayu bergaya Arabesque menjadi ciri khas hotel ini. Ukuran kamar tipe Deluxe terbilang cukup luas dan fasilitas yang tersedia sudah oke lah. Hanya saja, untuk hotel bintang lima, rasanya kurang lengkap kalau di kamar mandi tipe terkecil tidak ada bathtub. Saya sempat telepon pihak hotel dan mereka menjelaskan bahwa untuk tipe Deluxe Twin, memang tidak tersedia bathtub. Namun, di tipe Deluxe King dan selanjutnya, bathtub sudah tersedia. Meskipun demikian, kekurangan itu dikompensasi dengan adanya rainshower, fitur kamar mandi yang saya suka.

Ah! Sekarang saya tahu kenapa tipe Deluxe King lebih mahal daripada Deluxe Twin!

Tipe Junior King Suite hadir dengan ukuran yang lebih luas dan jendela yang lebih besar, serta bathtub yang cukup besar dan panjang, cocok buat kalangan pebisnis yang datang untuk keperluan pekerjaan, tetapi di malam hari mungkin perlu merilekskan diri.

Fasilitas yang tersedia di Crowne Plaza Bandung sudah cukup lengkap. Sebagai fasilitas kebugaran, ada kolam renang, whirlpool, dan gym. Untuk anak-anak, ada kids corner. Dining venue di hotel pun beragam. Namun, saya hanya menyayangkan satu hal: sebagian masih pada tutup. Review saya rasanya kurang mendalam karena saya nggak mencoba fasilitas-fasilitas itu secara langsung. Ya, semoga ke depannya sih pas saya menginap di sana lagi, fasilitas-fasilitas yang ada sudah beroperasi. Duh! Saya pengen banget nyoba kolam renang dan whirlpool-nya!

review crowne plaza bandung

Dengan rate mulai dari 535 ribuan (berdasarkan Tripadvisor), Crowne Plaza Bandung bisa jadi opsi hotel bintang 5 untuk yang ingin menikmati pengalaman menginap di hotel mewah di Bandung dengan biaya yang relatif lebih terjangkau. Kalau di aplikasi resmi IHG sendiri, kadang saya dapat rate 600 ribuan (nett) per malam. Kadang-kadang bisa lebih murah lagi. Secara keseluruhan, properti ini memberikan kesan yang positif untuk saya sebagai hotel berbintang dengan layanan berkualitas dan staf bertalenta di pusat kota Bandung.

Pros & Cons

👍🏻 Pros

  • Lokasinya strategis dan berada di pusat kota. Ke mana-mana dekat dan bisa dengan jalan kaki.
  • Menempati bangunan yang tinggi, view yang ditawarkan dari kamar pun bagus-bagus. Untuk beberapa kamar dengan jendela yang menghadap. keutara, mungkin view terhalangi oleh Tera Residence but for me, it wasn’t a really big deal.
  • Fasilitas yang tersedia cukup lengkap (sayangnya waktu saya menginap belum banyak yang beroperasi karena peraturan pemerintah kota terkait COVID-19)
  • Saya nggak sebutkan ini di review, tapi sebetulnya banyak spot yang Instagrammable, termasuk grand staircase di dekat Mosaic.
  • Hotel ini punya sky lounge yang cocok banget buat romantic dinner atau nongkrong bareng teman-teman sambil lihat view kota Bandung di malam hari.
  • Kolam renangnya besar banget! Cocok pula buat foto-foto.
  • Tipe King Junior Suite punya space yang luas dan nyaman, dan walk-in closet yang gede. Cocok buat yang barang bawaannya banyak (terutama baju-baju yang digantung).

👎🏻 Cons

  • AC di kamar pertama yang saya tempati sepertinya rusak atau gimana. Indikatornya bilang 25 derajat, tapi rasanya kayak 18 derajat.
  • Untuk hotel bintang 5, sayang banget ketika tipe kamar terkecil pun nggak ada bathtub.
  • Nggak ada pembatas yang lebih permanen antara kolam anak dan kolam dewasa. Anak-anak kalau mau berenang harus diawasi ketat banget.
  • Insiden di kamar mandi yang terjadi cukup mengejutkan. Mungkin ke depannya, pihak housekeeping harus lebih teliti lagi saat bersih-bersih kamar dan pastikan sisa produk pembersihnya nggak tertinggal.

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌⚪️
Desain: 😆😆😆😆😶
Lokasi: 🤩🤩🤩🤩🤩
Harga: 💰💰💰

Review: Grand Hotel Preanger

Waktu SMA, saya cukup sering main ke daerah Braga untuk sebatas foto-foto, jajan kue di Canary Bakery atau es krim di Toko Sumber Hidangan, atau gabut di Braga City Walk. Kadang-kadang, saya jalan sedikit ke Jalan Asia Afrika dan setiap kali di sana, saya selalu mengagumi dua hotel yang sebetulnya sejak SMP sudah saya sukai, Savoy Homann dan Grand Hotel Preanger. Sebetulnya, saya pernah ke kedua hotel itu dulu, tapi hanya sebatas datang dan pulang lagi karena nyamper ayah saya yang memang lagi ada urusan kerjaan atau rapat. Nah, bertahun-tahun kemudian, puji Tuhan saya bisa menginap di kedua hotel tersebut. Review untuk Savoy Homann sudah bisa dibaca di blog. Nah, untuk Grand Preanger, saya baru bisa tulis sekarang. Padahal, nginepnya itu bulan Agustus 2019. Telat banget, ya. But better late than never, ‘kan?

Bangunan tower Grand Hotel Preanger

Grand Hotel Preanger adalah akomodasi bersejarah yang berlokasi di Jalan Asia Afrika No. 81, Bandung. Hotel ini juga dikenal dengan nama Prama Grand Preanger, tapi kalau saya sebagai urang Bandung sih (dan para urang Bandung lainnya) biasanya menyebut hotel ini sebagai Hotel Preanger atau Grand Preanger. Seperti halnya Savoy Homann, Grand Preanger adalah hotel historis yang sudah berdiri sejak era kolonial. Informasi dari Wikipedia dan situs resmi Grand Hotel Preanger menyebutkan bahwa hotel ini sudah berdiri sejak tahun 1897.

Nah, sebelum beroperasi sebagai hotel, bangunan Grand Preanger Bandung ternyata merupakan sebuah toko swalayan. Namun, informasi dari Travel Kompas menyebutkan bahwa bangunan sempat digunakan sebagai toko roti. Hmm… Jadi sebetulnya, toko swalayan apa toko roti? Atau toko swalayan mencakup toko roti? Toko tersebut sudah ada sejak tahun 1884 dan melayani para pemilik perkebunan yang sering turun ke kota. Ketika toko bangkrut, bangunannya dibeli oleh orang Belanda bernama W.H.C. van Deeterkom dan dijadikan hotel bernama Hotel Preanger di tahun 1897, seperti yang saya sebut di paragraf sebelumnya.

Informasi baru yang saya baru tahu lagi (duh, ribet banget ngomongnya) adalah ternyata, seperti Savoy Homann, bangunan Hotel Preanger sebelumnya tidak mengusung gaya Art Deco seperti sekarang. Bangunan mengusung gaya Indische Empire khas rumah-rumah gedongan milik orang Belanda pada era kolonial. Desain ini mengingatkan saya dengan sebuah rumah jadul di Kuningan, kampung halaman ayah saya. Saya nggak tahu kabar rumah itu seperti apa sekarang, tapi dulu sih konon berhantu. Bangunan hotel kemudian direnovasi dan mengusung gaya Art Deco di tahun 1929 oleh C. P. Wolff Schoemaker, dibantu oleh presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno. Oh, ya! Schoemaker juga meninggalkan banyak jejak di Kota Kembang. Salah satunya adalah Villa Isola, bangunan historis di kompleks Universitas Pendidikan Indonesia (kampus aku lho itu!). Tiap hari saya lihat bangunan itu dan nggak pernah bosan lihatnya (kalau bergidik karena ngeri sih, pernah). Duh! Ngomongin sejarah tuh nggak ada habisnya dan selalu seru!

Hotel Preanger era 1910-1930an. Foto milik Tropenmuseum.

Jujur, saya agak bingung dengan informasi yang cukup simpang siur mengenai kelas hotel. Kalau melihat di Agoda, Grand Hotel Preanger menyandang gelar hotel bintang 5. Ada beberapa informasi yang menyebutkan bahwa Preanger merupakan akomodasi bintang 4. Namun, waktu saya dan Pak Suneo ngobrol langsung dengan Teh Yayu, guest relation officer, kami dikasih tahu bahwa hotel menyandang predikat akomodasi bintang 5. Nah, kalau sudah dengar dari orang hotelnya sih, lebih yakin ya.

Tripadvisor menyebutkan ada 188 kamar di hotel bersejarah di Bandung ini. Kalau saya lihat di situs resminya, ada 8 tipe kamar yang tersedia: Deluxe, Executive, Naripan Wing 1 Bed, Malabar Suite, Priangan Suite, Naripan Wing 2 Bed, Pandawa Suite, dan Presidential Suite. Dulu, saya sempat mengira kalau hotel ini nggak begitu besar karena waktu saya kecil, yang saya anggap hotel itu hanya sayap depan yang berada di Jalan Asia Afrika (bangunan Art Deco), tapi ternyata, dang! It’s humongous! Untuk fasilitas, Grand Preanger Bandung punya kolam renang, gym, restoran, bar, ballroom, meeting room, spa, business center, dan museum. Ya! Museum! Waktu saya tahu bahwa di hotel ini ada museum, saya excited banget. Meskipun ukurannya nggak besar, tapi saya senang bisa menyelami waktu dan melihat berbagai koleksi yang ada di sana.

Waktu menginap, saya menempati kamar tipe Deluxe. Kamar tipe ini lokasinya ada di tower hotel. Untuk kunjungan berikutnya, saya ingin coba kamar-kamar yang ada di wing lama. Nah, karena segmen awal ini sudah terlanjur panjang banget, langsung saja baca ulasan lengkapnya di segmen berikutnya, ya!

Desain Kamar

Tipe Deluxe merupakan tipe kamar terkecil di Grand Hotel Preanger. Dilansir dari situs resminya, tipe ini memiliki luas 32 meter persegi. Luasnya kurang lebih sama dengan luas tipe Business di Aryaduta Bandung dan tipe Deluxe di Sheraton Bandung. Kamar-kamar tipe Deluxe menempati tower hotel dan yang suka adalah lift yang digunakan merupakan lift panoramik dengan pemandangan ke arah utara. I have a soft spot for panoramic lifts!

Interior kamar mengusung desain kontemporer yang menurut saya cukup khas di era tahun 90an akhir dan 2000an awal. Dated, memang, tapi khas dan punya charm-nya tersendiri. Saya pernah ke beberapa hotel yang mengusung desain seperti itu (saya menyebutnya desain paling modern “pada zamannya”), termasuk Hotel Harbour Bay Amir dan Nagoya Plaza di Batam. Desainnya tipikal hotel-hotel mewah di era tahun segitu lah bisa dibilang. Menurut informasi dari setiapgedung.web.id, Grand Hotel Preanger direnovasi besar-besaran di 1987 dan beroperasi penuh di tahun 1990. Renovasi ini mencakup adanya tower sebagai ekspansi bangunan. Kalau melihat dari tahunnya, nggak heran sih interiornya seperti apa yang ada di kamar.

Ruang seluas 32 meter persegi memang terasa luas. Ukuran furnitur yang relatif besar berhasil menyeimbangkan kekosongan di ruangan. Hasilnya, ruangan terasa lived in, tanpa terkesan kosong banget atau penuh banget. Warna-warna earthy mendominasi interior dan sebagai colour pop, digunakan warna merah “lipen emak-emak” pada coverlet dan throw pillow. Sementara itu, karpet berwarna biru kehijauan (turquoise tua) memberikan kesan sejuk yang diseimbangkan oleh pencahayaan berwarna hangat. Tempat tidur terasa mendominasi ruangan dengan penggunaan headboard besar dengan desain polos. Oh! Ini saya wajib kasih tahu PAKE banget. Di kamar ada guling! Sejauh ini, saya jaraaaaaang banget nemu hotel yang menyediakan bantal guling, dan tidur pake guling itu nyaman sekaligus nostalgic banget! Waktu kecil, saya kalau tidur harus ada guling. Tidur tanpa guling itu rasanya seperti lebaran tanpa ketupat. Kata Bunda Inul sih, “Kurang enak kurang sedap.”

Yang unik lagi adalah alih-alih menggunakan tirai atau gorden, jendela dipasangi semacam double sliding panel dengan motif batik. Saat dibuka, kamar serasa punya balkon tertutup yang menawarkan pemandangan Jalan Asia Afrika atau Bandung sisi utara. Kebetulan, saya dapat kamar dengan view Jalan Asia Afrika. Nggak begitu jelas sih karena kamar berada di lantai 6, tetapi ya mending lah daripada nggak ada view sama sekali. Kelengkapan kamar mencakup televisi, AC, WiFi, coffee/tea maker, dan electronic safe. Oh, ya! Di end table samping tempat tidur, terpasang panel kendali untuk televisi, musik, dan pencahayaan. Ini fitur lawas banget yang biasanya ditemukan di hotel-hotel era tahun 80-90an.

Kelengkapan ruangan berfungsi dengan baik. Televisi menawarkan channel yang cukup beragam. Jaringan WiFi juga lancar dengan kecepatan yang decent. Overall, tidak ada keluhan untuk kedua hal tersebut.

Kamar Mandi

Kamar mandi untuk tipe Deluxe di Grand Preanger Bandung menurut saya tidak semewah interior area utama kamar. Ukurannya memang cukup luas dan well-lit. Seperti yang kalian tahu kalau sudah baca-baca tulisan saya sebelumnya, saya paling nggak suka kamar mandi yang suasananya redup dan gelap. Mandinya kayak nggak nyaman dan ngeri aja jatuhnya. Namun, dari aspek desain, kamar mandinya biasa saja.

Interior kamar mandi didominasi ubin berwarna abu-abu muda dengan pencahayaan berwarna putih yang membuat kamar mandi terasa luas dan terang. Hanya saja, ya itu tadi, dari segi desain sih biasa saja. Bahkan, penggunaan pintu geser berbahan aluminium ke shower area membuat kamar mandi terasa… apa ya. Jatuhnya menurut saya sih mirip kamar mandi dan toilet kolam renang umum. Jujur saja hal ini cukup disayangkan, mengingat interior area utama kamar sudah cukup elegan.

Ada split level sebelum masuk ke area shower. Area ini berada lebih rendah dari area kamar mandi yang lain sehingga air nggak akan meleber ke seluruh kamar mandi (adanya pintu geser juga membantu menahan air). Sayangnya, dibutuhkan waktu agak lama hingga air terbuang ke saluran drainase. Walhasil, air jadi menggenang dan membuat semacam kolam. Di area shower juga hanya tersedia satu shower, dan itu pun fixed shower yang dipasang di dinding. Nggak ada shower tangan maupun rainshower. Namun, keluaran airnya kencang. Jadi, cukup nyaman buat dipakai pijat bahu atau leher.

Kelengkapan kamar mandi mencakup hair dryer, sampo, sabun, kondisioner, dan beberapa produk kebersihan pribadi lainnya. Sayangnya, saya nggak menemukan body lotion dan korek kuping (mungkin ini harus minta ke housekeeping). Ah! Untuk kondisioner, saya merasa aromanya aneh. Baunya mirip rumput kalau menurut saya.

Fasilitas Umum

Brasserie Restaurant

Berada di lantai lobi, Brasserie Restaurant merupakan restoran utama Grand Hotel Preanger. Areanya cukup luas, mencakup semi-outdoor seating area dengan pemandangan taman dan kolam renang. Untuk indoor seating area sendiri, sentuhan Art Deco mendominasi restoran. Area teras juga sering kali digunakan untuk event.

Ada satu hal yang menarik perhatian saya. Di salah satu sisi restoran, terdapat area dengan dinding berpanel kayu berwarna mahogany dengan corak kemerahan. Panel ini dipercantik dengan lis-lis logam berwarna perak, serta dekorasi berbentuk lingkaran yang menyerupai kaca jendela kapal laut. Seketika, saya langsung ingat Observation Bar di Queen Mary Hotel, hotel yang menempati RMS Queen Mary, kapal pesiar buatan tahun 1930 yang dimiliki oleh Cunard-White Star Line. Something rings the bell? Ya, White Star Line adalah firma perkapalan yang memiliki Titanic, kapal mewah terkenal era Victorian yang tenggelam di tahun 1912. Observation Bar di Queen Mary Hotel pun mengusung desain Art Deco untuk interiornya dan tampil cantik dalam balutan panel kayu berwarna cokelat gelap yang memikat. Ya, mirip dengan salah satu sudut yang ada di Brasserie Resturant Grand Preanger. Saya juga jadi ingat interior restoran kapal yang menjadi salah satu setting film komedi keluarga tahun 1998 yang dibintangi Lindsay Lohan, The Parent Trap.

Di dekat pintu masuk menuju restoran (dari arah lift), ada area dengan skylight pada bagian atasnya. Skylight pendek ini dipercantik oleh kaca patri yang membentuk motif bunga dengan warna hijau dan merah muda. Saya langsung ingat dome yang menghiasi area lobi Mercure Jakarta Kota. Hanya saja, skylight di Brasserie Restaurant tidak berbentuk kubah.

Banyaknya kursi dan meja yang tersedia, termasuk area tambahan di teras membuat restoran ini bisa menampung cukup banyak tamu. Saat sarapan pun, saya nggak kesulitan mencari meja kosong. Hanya saja, staf restoran kurang cepat mengisi ulang station yang kosong. Untuk beberapa station, saya harus menunggu agak lama sebelum masakan kembali dihidangkan. Namun, pilihan menu yang tersedia sudah variatif. Untuk menemani sarapan, ada grup musik yang memainkan musik tradisional Sunda secara live. Alih-alih terasa seperti di kondangan, atmosfer restoran pada jam sarapan terasa seperti restoran Sunda mewah.

Kolam Renang & Gym

Kolam renang dan gym menjadi fasilitas hiburan dan kesehatan di Grand Hotel Preanger. Untuk mengakses kolam renang, kita tinggal keluar melalui pintu yang ada di dekat lobi. Di dekat kolam renang, ada taman dan area berumput yang cukup luas. Saya suka area tersebut. Di sore hari area ini cocok dimanfaatkan untuk bersantai dan main, terlebih karena sinar matahari terhalangi oleh tower hotel.

Kolam renang di Grand Preanger berbentuk persegi panjang yang memanjang dari barat ke timur. Di sisi barat, terdapat kolam anak berbentuk lingkaran. Area shower juga berada di sisi ini. Kursi malas dan meja dinaungi oleh parasol sehingga para tamu nggak perlu takut terkena paparan cahaya matahari secara langsung. Dari segi ukuran, saya rasa kolam renang di hotel ini sudah cukup besar, terutama dengan dimensinya yang memanjang (meskipun tidak sampai seukuran olimpik). Di dekat kolam anak, ada papan peringatan yang menampilkan aturan dan regulasi penggunaan kolam renang. Uniknya, teks judul dan informasi jam operasional dicetak dalam font Art Deco (kalau di komputer saya, fonnya semacam Caviar Dreams). Di area kolam, saya nggak menemukan jacuzzi. Bahkan waktu masuk ke gym pun, saya nggak melihat ada jacuzzi. Seandainya ada, akan jadi fasilitas tambahan yang seru.

Di sisi barat, terdapat bangunan yang menjadi area gym dan spa hotel. Waktu saya baca informasi di situs resmi hotel, fitness centre menempati lantai 3. Nah, waktu saya menginap, gym masih berada satu lantai dengan kolam renang dengan luas yang terbatas. Sepertinya, gym sudah pindah ke lokasi barunya dan kalau lihat di foto yang ada di situs resmi hotel, kelihatannya area gym jadi lebih luas. Kalau memang gym betul sudah pindah ke lokasi baru, informasi dari saya ini berarti obsolete karena membahas gym di lokasi lamanya. Namun, saya akan tetap cantumkan untuk memberikan gambaran (setidaknya kondisi pada masa sebelum gym dipindahkan). Untuk mengakses gym, kita harus melewati lorong di area spa.

Dari segi ruang, gym hotel memiliki luas yang terbatas. Cermin-cermin berukuran full-height dipasang di dinding ruangan untuk memberikan kesan luas. Sayangnya, penggunaan warna biru tua pada dinding memberikan kesan gelap yang justru membuat ruangan tetap terasa sempit. Untuk peralatan, kelengkapannya sih sudah cukup baik. Saya sendiri saat menginap tidak sempat menggunakan fasilitas ini karena keterbatasan waktu (udah ada janji makan malam bareng si Alifa). Alat-alat gym yang ada pun tidak terlihat obsolete dari segi desain (saya kurang yakin kalau dari aspek sistem atau komputernya). Gym juga mencakup area loker, toilet, dan kamar mandi. Lokernya mirip dengan loker di SMA saya dulu. He he he.

Lounge

Lounge di Grand Hotel Preanger berada di sisi timur dan menampilkan pemandangan persimpanan Jalan Tamblong dan Jalan Asia Afrika. Dari segi ukuran, area lounge memang nggak begitu besar, tapi tidak sempit juga. Di sini juga ada stage untuk penampilan musik. Oh, ya! Saat check-in, saya dikasih tahu bahwa ada welcome drink yang bisa dinikmati di lounge. Ternyata, welcome drink itu berupa minuman secang. Enak banget dan menyegarkan! Rasanya mirip apa ya? Hmm… Saya pikir rasanya mirip minuman jahe merah.

Interior lounge mengingatkan saya dengan bar atau lounge hotel mewah di era tahun 80-90an. Di malam hari, saya mendapatkan vibe acara-acara musik nostalgia di lounge ini. Sofa dan kursi berbahan kulit dengan warna hitam dan beige tersebar di beberapa titik. Di sisi selatan lounge, ada meja dengan bar stool yang ditempatkan di dekat jendela dan menawarkan pemandangan persimpangan Jalan Tamblong dan Jalan Asia Afrika. Saya sama Pak Suneo nongkrong di sini sambil menghabiskan minuman secang dan ngebahas nanti malam mau makan apa sama si Alifa.

Lounge di Grand Preanger juga memiliki toko wine yang menjual beragam pilihan anggur. Beberapa pilihan juga dipajang di dalam lounge (di luar ruangan toko) untuk menarik perhatian pengunjung. Untuk stage, setelah dipikir-pikir lagi, area penampil nggak begitu luas. Ditambah lagi, stage tidak berbentuk platform yang lebih tinggi dari lantai. Grand piano Yamaha ditempatkan di area ini. Seperti biasa, kalau ada grand piano, saya suka ikut main. Kondisi piano baik dan well-tuned. Untuk sore itu, saya putuskan untuk mainkan lagu A Whole New World, lagu tema film animasi Disney, Aladdin.

Museum

Fasilitas terakhir yang saya kunjungi di Grand Hotel Preanger adalah museumnya. Museum ini bisa dikunjungi secara gratis dan bisa diakses dari tangga ke lantai dasar kalau dari lobi. Museum ini sendiri berlokasi di sayap depan hotel, gedung dengan eksterior bergaya Art Deco. Seingat saya, dulu juga di sini tuh ada kafe, tapi sepertinya tutup atau justru dipindahkan jadi lounge.

Lorong-lorong di luar area museum menonjolkan desain Art Deco yang lebih kental. Eksplorasi ke area ini rasanya seperti main ke Museum Konferensi Asia Afrika karena beberapa area di sana pun mengusung desain serupa, terutama di hall utama. Ada juga lift antik dengan pintu geser yang mengingatkan saya dengan gerbang-gerbang besi di kelas tiga RMS Titanic (maksudnya, bagian dalam liftnya sih cantik dan antik, tapi pintunya ya pintu geser besi). Soal jumlah, memang tidak banyak koleksi yang ada di museum ini. Namun, untuk ukuran museum hotel sih, segini sudah cukup. After all, adanya museum saja sudah jadi nilai tambah yang signifikan lho buat Grand Hotel Preanger.

Di museum, terdapat barang-barang seperti kamera video (atau pemutar video, ya?), furnitur antik yang diduduki figur bersejarah, foto-foto lama, mesin tik, dan barang-barang dari era lawas. Di salah satu sudut museum, terdapat poster Charlie Chaplin, aktor komedi asal Inggris yang terkenal dengan silent film-nya. Buat yang inget, di akhir tahun 90an dan awal tahun 2000an, ada acara komedi Spontan yang ditayangkan di SCTV. Nah, di acara tersebut, ada satu sketsa atau segmen yang menampilkan karakter Den Bagus, versi Indonesia dari Charlie Chaplin. Entah kenapa, saya sampai sekarang masih takut lihat dua-duanya.

Lokasi

Berada di pusat kota Bandung membuat Grand Hotel Preanger jadi salah satu properti yang strategis. Soal kebutuhan, ada banyak tempat yang bisa dikunjungi dengan berjalan kaki, terutama tempat-tempat bersejarah dan wisata. Titik 0 KM Bandung jaraknya paling cuman 1-2 menit dari hotel. Museum Konferensi Asia Afrika bisa ditempuh dengan jalan kaki selama 3 menit. Alun-Alun Bandung, Masjid Raya Bandung, dan Jalan Braga jaraknya sekitar 7-10 menit dari hotel. Untuk urusan makan, sebetulnya ada banyak restoran dan kafe yang bisa ditemui di kawasan Jalan Braga dan Alun-Alun Bandung. Kadang-kadang, di area Cikapundung juga suka diadakan pasar malam, festival, atau semacamnya. Starbucks juga dekat kok dari hotel—sekitar 3 menit dan letaknya pun berseberangan dengan Museum Konferensi Asia Afrika.

Pada jam-jam tertentu, kawasan Jalan Asia Afrika sering macet, terutama ke arah barat (titik kemacetan mulai terasa di depan De Vries dan Alun-Alun). Namun, kalau di depan Grand Preanger sendiri, lalu lintas biasanya masih lancar. Dari Stasiun Bandung, hotel ini berjarak kurang lebih 15 menit dengan kendaraan bermotor (paling titik padat ada di Jalan Kebonjati, dekat Stasiun Hall dan belokan ke Pasar Baru). Kalau dari Bandara Internasional Husein Sastranegara, hotel ini bisa ditempuh dalam waktu sekitar 20-25 menit, tergantung kondisi lalu lintas.

Pelayanan

Segmen ini memuat pendapat saya mengenai pelayanan yang diberikan pihak hotel. Apa yang saya tulis bersifat subjektif dan bukan merupakan informasi umum, dan lebih merupakan pendapat pribadi. Experience yang saya alami bisa jadi berbeda dari apa yang orang lain alami. Tulisan dalam segmen ini tidak ditujukan untuk menjelek-jelekkan atau menurunkan reputasi hotel. Jika informasi yang saya tulis bersifat positif, semoga manajemen hotel bisa tetap menjaga kualitas layanannya. Jika bernada negatif, semoga bisa menjadi bahan perbaikan bagi pihak hotel. 

Selama menginap, hampir tidak ada masalah yang saya alami. Hanya saja, proses check-in terasa lama. Sebetulnya, bukan lama pada saat check-in, tapi lama nunggu antreannya. Si Suneo sempat marah karena yang harusnya kita giliran check-in, tapi justru orang lain yang dikasih giliran duluan. Padahal, kita sudah datang dan ngantri lebih awal. Untungnya, proses check-in nggak bertele-tele dan relatif cepat. Kebayang kalau prosesnya lama. Sudah giliran kita disela orang lain, harus melewati proses check-in yang tedious. Saya juga bakalan marah banget sih.

Di Grand Hotel Preanger, saya juga sempat ngobrol dengan Teh Yayu, guest relation officer. Kami ngobrol soal properti dan segala macam. Saya juga baru tahu kalau di hotel ada museum pas ngobrol itu. Kalau ngobrol sama orang hotelnya langsung, rasanya lebih puas sih cari tahu tentang properti.

Untuk pelayanan di restoran, yang saya sayangkan adalah lamanya makanan di-refill dari kitchen. Ketika sudah pada kosong, tray nggak cepat diisi lagi, padahal waktu itu masih cukup pagi (sekitar jam setengah 9). Waktu saya udah duduk dan makan, baru deh tray diisi lagi makanan. Kalau udah mager ‘kan, malah jadi malas buat ke buffet lagi. Namun, soal kebersihan meja sih, saya rasa staf cukup gesit membersihkan meja-meja yang berantakan. Ditambah lagi, meja yang tersedia cukup banyak. Jadi, tamu punya banyak pilihan tempat untuk duduk.

Kesimpulan

Bucat bisul. Itu istilah untuk sesuatu yang dinanti-nanti dan akhirnya terjadi (biasanya sesuatu yang positif). Waktu masih kecil, saya pengen banget nyoba nginep di Grand Hotel Preanger dan akhirnya harapan saya bisa terlaksana. Meskipun Preanger yang dulu bukanlah yang sekarang (terutama dengan banyaknya perubahan di sana sini), vibe tempo doeloe masih tetap terasa dan desain sebagian besar area hotel masih dipertahankan.

Area lobi hotel

Untuk ukuran properti bintang lima dan bersejarah, hotel ini menawarkan fasilitas yang mumpuni. Kolam renang, gym, spa, ballroom, restoran, lounge, dan museum—ini sudah lumayan. Yang paling saya suka dari properti ini adalah kehadiran museum sebagai fasilitas edukatif untuk para tamu. Correct me if I’m wrong, tapi sejauh ini di Bandung, baru Grand Hotel Preanger yang menghadirkan museum di dalam hotel.

Interior kamar tipe Deluxe mengusung desain yang lebih baru dibandingkan tipe-tipe di wing lama (meskipun beberapa tipe sudah direnovasi dan menghadirkan desain yang lebih baru juga). Penggunaan sliding panel sebagai pengganti tirai jadi salah satu keunikan tipe tersebut, terlebih dengan adanya railing yang membuat kamar bisa disulap menjadi enclosed balcony saat panel dibuka. Teknologi “lawas” berupa panel kendali di end table samping tempat tidur pun masih dipertahankan di kamar. Buat sebagian orang, panel seperti ini mungkin agak gimana, tapi buat saya, justru itu unik karena hotel-hotel lawas (terutama yang heyday-nya di era tahun 80-90an) itu punya charm-nya tersendiri. Sayangnya, desain kamar mandi terasa “B aja” dan bahkan, memberikan vibe area kamar mandi/bilas kolam renang umum, I would say.

Dilansir dari situs resmi hotel, rate yang ditawarkan mulai dari 478 ribuan per malam (belum nett ini kemungkinan). Namun, rate segitu untuk hotel bintang lima dan bersejarah sih saya rasa masih terjangkau. Ditambah lagi, lokasinya dekat ke mana-mana dan fasilitasnya cukup lengkap. Kalau cari akomodasi bintang lima di pusat Bandung, secara spesifik di kawasan Asia Afrika, Grand Hotel Preanger layak dipertimbangkan. Nilai historis hotel dan berbagai fasilitas yang ada, termasuk museum, menjadi keunggulan hotel yang menjadi saksi beberapa momen penting bagi bangsa Indonesia.

Pros & Cons

👍🏻 Pros

  • Nilai historis hotel ini jadi keunggulan tersendiri. Well, nggak semua hotel menyimpan nilai sejarah.
  • Adanya museum menjadi nilai tambah buat properti ini.
  • Untuk hotel bintang lima, rate yang ditawarkan masih terjangkau.
  • Lokasinya prima. Ke mana-mana deket dan bisa dengan jalan kaki (terutama kawasan wisata Alun-Alun Bandung dan Jalan Braga).
  • Ada guling di kamar!
  • Hotel ini jadi salah satu ikon Bandung, terutama dari aspek arsitektur karena menonjolkan pesona Art Deco dari era 1920an.
  • Fasilitas yang tersedia cukup lengkap.

👎🏻 Cons

  • Desain interior kamar mungkin terlalu dated buat sebagian orang.
  • Interior kamar mandi tipe Deluxe “B” aja. Nothing special.
  • Saya kurang puas dengan proses check-in yang bikin giliran saya dilewat orang lain terus. Padahal, saya udah datang dan antre lebih awal (ini semoga nggak terjadi ke kalian).
  • Makanan di buffet sarapan lama di-refill-nya (semoga nggak terjadi lagi).
  • Kondisionernya kok aneh sih baunya?

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌⚪️
Desain: 😆😆😆😆⚪️
Lokasi: 🤩🤩🤩🤩🤩
Harga: 💰💰💰

Review: Sheraton Bandung Hotel & Towers

Sebetulnya, saya masih agak bingung dengan block editor WordPress yang baru. Karena sudah sangat terbiasa dengan classic editor, rasanya mau ini itu jadi susah. Saya rasa ini juga berpengaruh ke format tulisan-tulisan saya ke depannya. Editor yang baru menggunakan konsep blok. Saya sendiri masih mencoba mendapatkan gambaran mengenai fungsi ini itu dan semacamnya. Beradaptasi dengan perubahan baru memang nggak selalu gampang.

Anyway, saya ingin bahas satu hotel mewah di Bandung yang, setelah bertahun-tahun saya tinggal di kota ini, baru saya inapi bulan Juli kemarin (tahun 2020). Sebetulnya, ada teman saya yang bekerja di hotel tersebut dan dia dari lama sudah minta saya buat datang untuk nge-review (bahkan ngasih breakfast gratis dan kalau udah makan, boleh main piano, katanya). Maap ya, Andre. Saya baru bisa mampir dan nginap bulan Juli kemarin. Akhirnya pecah bisul juga, ya.

Sheraton Bandung Hotel & Towers dengan lagoon-style pool

Sheraton Bandung Hotel & Towers adalah hotel bintang lima yang berlokasi di Jl. Ir. H. Juanda No. 390, Bandung. Kawasan ini sendiri lebih dikenal dengan nama Dago dan kalau weekend, beuh! Jangan ditanya deh padatnya kayak gimana! Hotel mewah di Bandung ini sebetulnya menjadi salah satu hotel yang usianya paling tua. Dilansir dari Travelweekly, hotel yang berada di bawah naungan Marriott Hotels ini sudah beroperasi sejak tahun 1990. Ya, saya belum lahir pada tahun itu. Jadi, usia hotel ini sudah jauh lebih tua dari umur saya. Bandung sendiri punya beberapa hotel yang sudah beroperasi sejak tahun 90an, termasuk Hyatt Regency (sekarang Aryaduta Bandung).

Dari beberapa teman, saya dengar bahwa Sheraton yang dulu bukanlah yang sekarang (udah kayak lagunya si Tegar aja). Dilansir dari DestinAsian Indonesia, Sheraton Bandung mengalami renovasi besar-besaran di tahun 2014. Renovasi ini mengaplikasikan desain Art Deco pada eksterior dan interior bangunan. Nah, kalau saya lihat review atau cerita-cerita dari orang lain soal hotel ini, katanya zaman dulu hotel didominasi oleh elemen-elemen kayu berwarna gelap. Hmm… Saya malah jadi penasaran dengan perawakan hotel pada era sebelum renovasi.

Ada 145 kamar dan 11 suite di hotel mewah ini yang terbagi ke dalam 7 tipe: Deluxe, Executive, Tower Room, Junior Suite, Executive Suite, Tower Suite, dan Presidential Suite. Tipe Deluxe sendiri ada yang punya akses langsung ke kolam renang. Jadi, kalau dihitung sih totalnya sebetulnya ada 8 tipe. Sheraton Bandung Hotel & Towers juga punya fasilitas-fasilitas penunjang seperti gym, kolam renang, restoran, spa, sauna, jogging track, kids’ club, event room, meeting & business equipment, dan lain-lain. Bangunan-bangunan hotel juga dikelilingi oleh taman-taman yang asri dan cantik. Bahkan, ada area outdoor yang cukup luas yang, kata Andre, sering dipakai untuk acara-acara macam nikahan, ulang tahun, dan semacamnya. Saat menginap, rasanya memang seperti sedang di sebuah resor. Dari jendela kamar, kita bisa lihat pemandangan taman atau kolam (tergantung tipe kamar). Untuk beberapa tipe, bahkan ada balkon atau teras sendiri. Cocok lah buat escape in luxury di Bandung.

Waktu berkunjung, saya memesan kamar Deluxe dengan king-size bed. Selama menginap, hampir tidak ada kendala yang dialami dan jujur aja, saya ingin ke sana lagi, terutama saat okupansi hotel sedang agak turun dan suasana jadi jauh lebih tenang. Cocok banget buat kerja dan bersantai! Ulasan lengkapnya saya bahas di segmen berikutnya, ya!

Desain Kamar

Tipe terkecil di Sheraton Bandung adalah tipe Deluxe. Dengan luas 32 meter persegi, tipe ini bisa dibilang “kecil-kecil cabe rawit” karena cukup luas, terlepas dari furnitur-furniturnya yang ukurannya relatif besar. Hanya saja, langit-langit kamar terasa lebih pendek dan pencahayaan yang cenderung redup membuat atmosfer di kamar saat malam hari terasa, what’s the word, mengekang (?). Namun, untungnya efek ini tidak sampai bikin claustrophobic.

Oh, ya! Kamar-kamar yang ada di hotel ini tersebar di beberapa bangunan. Setiap bangunan terhubung lewat jembatan atau koridor. Pada awalnya, saya sempat agak bingung mencari kamar saya saking pusingnya dengan koridor dan tangga yang ada. Namun, ada papan informasi yang membuat saya bisa kembali ke jalan yang benar *insert OST sinetron Hidayah here*. Buat anak-anak, konsep seperti ini mungkin agak memusingkan, walaupun anak-anak yang jiwanya petualang sih kayaknya bakalan seneng buat mengeksplorasi kompleks hotel yang luas ini.

Interior kamar menampilkan desain kontemporer dan didominasi oleh warna krem yang hangat. Pencahayaan pun menggunakan warna-warna hangat yang membangun kesan inviting dan cozy, terutama mengingat kawasan Dago ini jadi salah satu kawasan di Bandung yang terbilang lebih dingin. Lukisan bunga berwarna merah ditempatkan di belakang tempat tidur. Sebetulnya, ada banyak aksen atau motif bunga yang bisa ditemukan di kamar, termasuk di jendela kaca yang memisahkan area shower kamar mandi dengan area utama kamar tidur. Furnitur yang tersedia di kamar mencakup meja kerja, TV counter, kursi kerja, loveseat, dan lemari pakaian. Counter TV sendiri kelihatannya perlu diperbaiki karena pintunya tampak miring. Coffee/tea maker dan kulkas juga tersedia. Bahkan, di kamar pun disediakan Fire Chicken Cheese-nya Samyang (berbayar)! Di dalam lemari pakaian ada electronic safe, ironing board, dan setrika. Untuk fasilitas hiburan, ada TV dengan beragam kanal lokal dan internasional, dan alarm merangkap Bluetooth speaker. Untuk kerja, ada koneksi WiFi yang, anehnya, bisa diakses tanpa password. Hmm… Ini artinya semua orang, termasuk orang di luar hotel, bisa pakai koneksi hotel. Dampaknya, kecepatan koneksi bisa dibilang lebih lambat, meskipun masih bisa dipakai untuk ngecek e-mail atau YouTube-an. Duh, Sheraton Bandung, tolong dong koneksinya dikasih password. He he he.

Kamar saya punya balkon sempit yang menawarkan view taman. Posisi kamar saya yang berdekatan dengan kamar lain (yang kebetulan ada orangnya) membuat saya nggak bisa menikmati balkon ini dengan bebas. Untungnya, di hari terakhir, saya masih sempat membuka lebar pintu menuju balkon dan kerja sambil dimanjakan udara segar dan suara-suara alam. Seandainya saya nginap satu hari lagi, mungkin saya bisa menghabiskan satu sore tiduran di loveseat sambil dengar musik dan dimanjakan angin segar. Oh, ya! Mengikuti protokol kebersihan dan kesehatan, ada beberapa barang yang sengaja tidak disediakan di kamar. Barang-barang seperti bathrobe bisa kita minta dengan menghubungi operator. Saat masuk ke kamar pun, ada dua pak tisu disinfektan yang bisa digunakan untuk mengelap barang-barang seperti telepon, remote TV, sampai HP.

Kamar Mandi

Untuk tipe Deluxe, kamar mandi hanya dilengkapi shower, tanpa bathtub. Namun, shower yang tersedia ada dua jenis: shower tangan dan rainshower. Untuk kalian yang sering baca review saya, sepertinya udah tahu kalau saya suka banget rainshower. Kehadiran shower tangan juga sebetulnya sangat disukai, terutama saat dipakai dengan opsi semburan jet. Cocok banget buat pijat bahu, leher, kepala, lengan, dan kaki.

Shower area di kamar mandi sangat luas dengan bentuk ke arah memanjang. Biasanya, saya menghitung luas shower area dengan Sorry Sorry-nya Super Junior. Kalau saya bisa dance dengan nyaman dan lancar, berarti shower area-nya luas. Please teknik ini jangan ditiru, ya, karena joget-joget di shower area itu berbahaya, terutama pas lantainya basah dan licin. Teknik itu juga jadi salah satu dumb ways to die.

Kelengkapan kamar mandi mencakup kloset dengan water gun (saya lebih suka water gun daripada bidet yang dipasang langsung ke kloset), wastafel, produk mandi, dan hair dryer. Seperti yang saya bilang sebelumnya, kalau perlu bathrobe, kita bisa minta ke operator. Kamar mandi terasa makin lapang dengan penggunaan warna-warna terang dan pencahayaan warna hangat. Cermin berbentuk persegi dengan pola herringbone di keempat sisinya memberikan sentuhan glamor pada interior kamar mandi. Secara keseluruhan, nggak ada yang benar-benar wah di kamar mandi. Namun, dari segi kelengkapan dan suasana, semuanya sudah pas buat saya.

Fasilitas Umum

Lagoon Pool

Soal fasilitas di Sheraton Bandung, saya ingin mulai dari fasilitas yang paling saya suka (walaupun saya nggak gunakan). Berada di bagian tengah kompleks hotel, kolam renang hotel mengusung konsep laguna yang dikelilingi taman-taman cantik, lengkap dengan pulau mini berpohon kamboja. Kolam utama punya ukuran yang cukup luas dan menarik perhatian para tamu, bahkan sejak tamu menginjakkan kaki di lobi. Beberapa tipe kamar punya akses langsung ke kolam.

Di sisi selatan, terdapat kolam kecil untuk anak. Shower bilas tersedia di beberapa titik. Di sisi utara kolam utama, terdapat semacam platform dengan beberapa lounge chair. Kata Andre, dulu sempat ada beberapa cocoon dipasang di area kolam, tapi fitur tersebut tidak lagi tersedia. Kursi-kursi malas yang ditempatkan di sisi timur dilengkapi parasol. Sayangnya, tidak semua kursi dan meja di area kolam dilengkapi payung. Jadi, kalau nggak kebagian kursi dan meja berpayung, siap-siap panas-panasan. Sebetulnya, kursi dan meja di sisi barat diteduhi oleh tanaman-tanaman besar dan bangunan lobi di atasnya. Waktu menginap, saya nggak berenang, tapi saya cukup bersantai di pinggir kolam di sore hari sambil menikmati complimentary Opera cake (thank you, Dre!). Bisa dibilang, lagoon pool ini jadi primadonanya Sheraton Bandung Hotel & Towers. Mungkin di kunjungan berikutnya, saya coba berenang deh.

Feast Restaurant

Untuk bersantap di Sheraton Bandung, para tamu bisa langsung berkunjung ke Feast Restaurant yang berada di lantai satu, atau selantai dengan area kolam renang. Kalau dari lobi, kita bisa mengakses restoran lewat tangga yang katanya sih jadi salah satu spot Instagrammable di hotel. Namun, setelah dikasih tahu si Andre, saya justru tahu spot lain yang jauh lebih Instaworthy.

Dari segi desain interior, secara pribadi saya tidak melihat sesuatu yang spesial di restoran ini. Interior bergaya kontemporer dengan dominasi warna krem dan putih sebetulnya banyak diusung oleh restoran atau hotel lain. Feast punya area yang cukup luas dan terbagi menjadi area indoor dan semi-outdoor. Untuk area semi-outdoor, ada dua teras di restoran ini, dan salah satunya menghadap ke arah kolam renang (tetapi view ke arah kolam terhalangi oleh tanaman-tanaman besar). Di sisi barat restoran, terdapat pintu menuju gym dan spa.

Foto interior saya ambil di malam hari saat restoran kosong. Setiap island ditempati oleh stan berbagai sajian. Menu yang disajikan untuk sarapan cukup variatif, meskipun selama menginap saya pilih menu yang kurang lebih sama. Untuk jus dan infused water, kita bisa datang langsung ke island yang bersangkutan, tetapi kalau ingin teh dan kopi, kita bisa minta langsung ke staf yang bertugas. Mengikuti protokol kesehatan dan keamanan, tamu tidak boleh mengambil sendiri makanan, tetapi diambilkan oleh para staf yang bertugas. Interaksi tamu dan para staf pun dibatasi oleh fiberglass. Setiap tamu juga diimbau untuk tidak duduk berdekatan dengan tamu-tamu lain. Oh, ya! Saat check-in, saya diminta memilih “shift” jam sarapan. Di Sheraton Bandung, jam sarapan dibagi ke dalam tiga shift dan setiap tamu diminta memilih satu shift. Saya sendiri pilih shift paling awal (jam 6 sampai 7.30 pagi) karena kata Winky, resepsionis yang handle check-in saya, shift itu yang paling sepi. Dalam kondisi kayak gini, saya mendingan bangun lebih awal dan sarapan dalam kondisi restoran yang masih sepi. In fact, yang sepikiran sama saya ternyata banyak. Meskipun demikian, shift pagi ini ternyata lebih sepi dibandingkan shift-shift berikutnya. Saran saya sih, kalau hotel yang kalian kunjungi menerapkan sistem shift untuk sarapan, tanya ke resepsionis shift yang paling sepi dan kosong itu apa, dan pilih shift itu. Jangan ambil risiko deh.

Pada hari kedua kunjungan, saya memutuskan untuk makan siang lagi di Feast karena malas kalau harus keluar hotel dan terjebak kemacetan (ya, Bandung udah mulai macet lagi di masa pandemi begini). Untuk makan siang, saya pilih light meal karena masih kenyang dengan cake yang super manis. Saya pesan kentang goreng dan calamari. Untuk minuman, duh, saya lupa namanya apa, tapi dia segar deh pokoknya dan banyak buahnya. Oh, ya! Yang saya suka dari Feast adalah harga yang tertera di menu ini sudah termasuk pajak. Jadi, saya nggak perlu repot-repot hitung pajak dan service charge-nya berapa. Ditambah lagi, dapat diskon dari si Andre. Duh! Memang, ya, tenaga orang dalam ini tenaga yang ampuh (nanti aku traktir makan di tempat lain, Dre!). Si Andre juga memperkenalkan saya dengan salah satu minuman signature di Sheraton Bandung, Bandrek Capuccino. Dari segi rasa, ya, rasanya seperti halnya bandrek pada umumnya, tetapi teksturnya lebih halus dan foam di atasnya memberikan pengalaman minum bandrek yang unik. Oh, ya! Rasa bandreknya pun nggak begitu strong. Jadi, cocok lah buat lidah saya yang lemah ini.

Tower Lounge

Fasilitas berikutnya yang saya suka di Sheraton Bandung Hotel & Towers adalah club lounge-nya. Posisinya masih satu lantai dengan kamar saya. Di awal tulisan, saya mengutip informasi dari sebuah sumber yang menyebutkan bahwa renovasi hotel di tahun 2014 turut menerapkan sentuhan Art Deco pada interior hotel, dan sentuhan tersebut terasa lebih kental di club lounge. Sebelumnya, mohon maaf untuk hasil jepretan kamera di malam hari tampak blur.

Tower Lounge kalau saya bilang sih merupakan salah satu tempat paling elegan dan mewah di Sheraton Bandung. Dari segi interior, saya melihat perpaduan beberapa desain atau aesthetics. Vaulted ceiling setinggi dua lantai dengan beam kayu yang dibiarkan terekspos dan perapian besar yang dibalut batu alam membangun kesan rustic lodge. Sayangnya, waktu saya menginap, club lounge masih belum beroperasi sehingga si perapian juga nggak dinyalakan. Pemilihan panel kayu berpola herringbone memberikan kesan hangat nan mewah. Sebagai aksen, beberapa bagian dinding dipasangi panel dengan motif clamshell khas Art Deco yang memberikan sentuhan elegan. Namun, yang bikin saya betah dan takjub lagi adalah dua chandelier besar bergaya gothic yang langsung mengingatkan saya dengan The Addams Family. I can’t get over them!

Food station berada masing-masing di sisi timur dan barat lounge. Meskipun saya dapat akses ke lounge, untuk sarapan saya tetap ke Feast. Saya ke lounge setelah sarapan untuk ngeteh sambil kerja. Di pagi hari, semua pintu menuju balkon dibuka. Area balkon sendiri menjadi dining area alternatif yang menawarkan pemandangan perbukitan yang asri, terutama di pagi hari. Kata Andre sih, dari balkon pemandangan sunrise-nya bagus banget, but I’m not a morning person so… begitulah. Area balkon juga terkena langsung paparan cahaya matahari. Jadi, kalau makan di sana, lebih cepat juga ngerasa gerah.

Selama menginap, saya sering banget ke lounge buat nyantai dan kerja. Lounge memang belum beroperasi (dan hanya buka pada jam sarapan karena afternoon tea dipindahkan ke lobi), tapi justru itu bikin saya senang karena bisa kerja tanpa gangguan. Di hari kedua dan ketiga, lounge sudah tutup sejak jam 10. Staf yang bertugas tahu kalau saya datang untuk kerja dan ngopi, dan mengizinkan saya stay di lounge selama yang diinginkan (hanya saja, setelah jam 10 sudah nggak bisa pesan makanan dan minuman). Tanpa siapa pun, rasanya kayak satu lounge itu punya saya sendiri. Oh, ya! Tangga di depan lounge juga jadi spot yang Instagrammable.

Gym

Fasilitas yang satu ini letaknya dekat dengan Feast Restaurant. Untuk mengakses gym, kita bisa lewat restoran atau jalan kecil di dekat area drop off. Gym hotel berada satu bangunan dengan venue acara dan spa. Sauna sendiri berada di dalam spa. Sayangnya, saat saya menginap, fasilitas spa belum buka.

Sebagai (bukan) seorang gym rat, bagi saya equipment yang tersedia di gym sudah cukup lengkap (toh saya biasanya cuman pakai treadmill, elliptical trainer, dan stationary bike). Jumlah alat-alatnya pun cukup banyak. Namun, karena mengikuti protokol kesehatan dan keselamatan, beberapa alat dinonaktifkan supaya pengguna bisa saling menjaga jarak. Dari segi teknologi, alat-alat yang tersedia pun nggak tergolong obsolete, meskipun ada beberapa alat yang tombolnya harus mulai diperbaiki, seperti mesin elliptical trainer. Sayangnya, di gym juga tidak ada area atau ruangan khusus untuk yang suka senam, yoga, atau pilates. Kalau mau coba pun, space yang ada sempit sih. Oh, ya! Untuk menggunakan fasilitas ini, saya harus mendaftarkan diri dulu ke resepsionis. Setelah itu, saya akan diantar oleh staf ke gym karena akses ke gym hanya bisa diberikan oleh staf. Lagi musim kayak gini sih, pengamanan harus ketat deh pokoknya dan kita pun nggak boleh bandel.

Lobby Lounge

Fasilitas Sheraton Bandung terakhir yang saya kunjungi dan gunakan adalah lobby lounge. Sebetulnya, area publik yang satu ini sih dikunjungi semua orang. Lha wong resepsionisnya ada di sini. Namun, di lobi juga ada bar yang menyajikan beragam minuman dan makanan. Afternoon tea yang biasanya digelar di Tower Lounge diadakan di lobi.

Bicara soal desain, area lobi tampil mencolok dengan instalasi seni/chandelier berwarna turquoise dengan bentuk memanjang. Sepintas, saya jadi ingat instalasi seni Kinetic Rain di Changi Airport. Bedanya, di sini sih tidak bergerak. Kebayang kalau harus membersihkan setiap gelasnya. Kata Andre sih, pernah ada kaca yang jatuh dan pecah. Saya sih nggak berani membayangkan. Seating area di lobi punya langit-langit yang tidak begitu tinggi, tetapi beratapkan kaca sehingga cahaya matahari bisa masuk. Untuk seating area di sini sendiri, sebetulnya ukurannya cukup luas karena memanjang. Set sofa, kursi, dan meja pun disebar di beberapa titik. Ada pula grand piano berwarna putih yang ditempatkan di stan wedding. Sayangnya, pianonya di kunci 😕

Dalam dominasi warna putih dan krem (serta beberapa warna earthy di sana sini), kehadiran warna turquoise menjadi elemen atraktif. Adanya warna tersebut membangun kesan tropis yang, bagi saya sih, membangun vibe pantai atau perairan dangkal ala ala Finding Nemo. Warna turquoise juga tercermin dari karpet yang digunakan di seating area. Ditambah lagi, di sisi timur lobi terdapat jendela-jendela yang menghadap langsung ke kolam renang. Bawaannya langsung ingin nyebur.

Lokasi

Berada di kawasan Dago Atas, Sheraton Bandung Hotel & Towers cocok untuk yang ingin menikmati liburan tropis dan sejenak kabur dari ingar bingar Bandung yang makin lama makin bikin keblinger (I do have a love-hate relationship with this city). Dengan posisi yang cukup tinggi, udara di kawasan ini terbilang segar, terutama di pagi hari. Taman-taman yang mempercantik kompleks hotel juga bikin mata segar.

Hotel ini masih berada di jalur yang dilewati angkutan umum. Berdasarkan pengalaman saya, jalan di depan Sheraton Bandung di akhir pekan sih “agak” kosong. Cuman, kalau naik atau turun sedikit, kita bisa melihat kemacetan. Maklum, baik kawasan Dago Atas maupun Dago Bawah ‘kan favoritnya para turis. Ada beberapa restoran, terutama di kawasan Dago Atas yang bisa dikunjungi. Di seberang hotel sendiri ada beberapa minimarket kalau-kalau ingin jajan. Toko swalayan yang lebih besar berjarak sekitar 5-10 menit dari hotel, tergantung moda transportasi yang digunakan. Secara pribadi, saya sendiri jarang main ke kawasan Dago Atas. Bisa dibilang, saya anak downtown.

Dari Stasiun Bandung, hotel ini berjarak kurang lebih 30 menit, tergantung kondisi lalu lintas. Kalau dari Bandara Internasional Husein Sastranegara sih, mungkin jarak tempuhnya sekitar 30-35 menit, lagi-lagi tergantung kondisi lalu lintas. Saya nggak segan-segan mengingatkan. Berhubung Bandung ini kalau udah macet benar-benar mengesalkan, informasi dari saya ini nggak 100% akurat. Kalau jalanan lagi lancar, mungkin bisa lebih cepat sampai ke hotel. Hanya saja, sekali lagi, di akhir pekan kawasan Dago itu biasanya macet, terutama Dago Atas.

Pelayanan

Segmen ini memuat pendapat saya mengenai pelayanan yang diberikan pihak hotel. Apa yang saya tulis bersifat subjektif dan bukan merupakan informasi umum, dan lebih merupakan pendapat pribadi. Experience yang saya alami bisa jadi berbeda dari apa yang orang lain alami. Tulisan dalam segmen ini tidak ditujukan untuk menjelek-jelekkan atau menurunkan reputasi hotel. Jika informasi yang saya tulis bersifat positif, semoga manajemen hotel bisa tetap menjaga kualitas layanannya. Jika bernada negatif, semoga bisa menjadi bahan perbaikan bagi pihak hotel. 

Untuk segmen ini, saya sebetulnya agak takut buat nulis. Bukan kenapa. Saya takut memberikan kesan bias karena punya teman yang menjadi staf di hotel. Namun, segmen ini saya tulis secara jujur dan objektif. Jadi, nggak ada bias, ya.

Dari aspek pelayanan, saya tidak punya keluhan serius. Hmm… Bisa dibilang juga, saya nggak punya hal yang perlu dikeluhkan. Namun, proses check-in berjalan lebih lama dari dugaan. Saya harus nunggu selama sekitar 20 menit (awalnya diminta menunggu 15 menit) karena ternyata kamar saya belum ready. Saya pun nunggu di lobi sambil kerja. Kalau saya nggak ada kerjaan yang harus dibereskan, mungkin saya bakalan ngerasa bete sih. Untungnya, sambil nunggu dan kerja, saya ditawari minuman, dan saya pilih lychee tea. Lamanya proses persiapan ini karena kamar harus dibersihkan secara lebih menyeluruh. Ditambah lagi, tingkat okupansi hotel pada hari saya check-in terbilang ramai. Sebenarnya, kalau bisa dibersihkan lebih awal, akan lebih bagus but who knows? Para tamu mungkin pada late check-out dan para staf hanya punya waktu singkat untuk bersih-bersih. Ya, semoga sih di kunjungan berikutnya, saya nggak perlu menunggu lama lagi.

Beberapa barang (mis. bathrobe) sejak awal tidak disediakan di kamar sebagai tindakan preventif. Untungnya, saya nggak harus menunggu lama saat menelepon minta barang-barang tersebut. Salah satu hal yang bikin saya sering kali kesal adalah barang yang datangnya lama banget. Padahal, yang diminta itu bukan sesuatu yang ribet dan perlu dipersiapkan dalam waktu lama (mis. Q-tips, slippers, atau semacamnya). Para staf segera membawakan barang yang saya minta, dan kecepatan ini layak diapresiasi.

Soal kebersihan kamar, ada satu hal yang menurut saya harus lebih diperhatikan. Waktu saya buka-buka kabinet, ada satu platter buah-buahan yang belum dibuang oleh staf housekeeping. Dari penampilannya sih, buah-buahannya memang nggak busuk dan ditutupi plastic wrap, cuman mungkin ke depannya staf housekeeping harus melakukan pembersihan secara lebih teliti lagi. Di luar itu, kondisi kamar sudah baik dan bersih. Saya juga dikasih dua pak tisu disinfektan untuk membersihkan berbagai surface di kamar.

Keramahan dan perhatian staf jadi hal yang membuat saya senang saat menginap. Di Tower Lounge, saya ketemu dengan Pak Enang (eh, betul nggak ya namanya? Maaf kalau salah). Selama di sana, Pak Enang ini yang “ngasuh” saya. Beliau yang handle pesanan saya dan ngajak ngobrol. Personalized service seperti ini sangat diapresiasi. Bahkan, Pak Enang sendiri yang bilang kalau saya boleh kerja di lounge, meskipun memang lounge tidak beroperasi setelah jam 10 pagi. Again, having the lounge for myself was so great! Oh, ya! Di musim pandemi seperti sekarang, saya juga memperhatikan ketegasan dan kedisiplinan pihak hotel. Saya senang dengan diadakannya sistem shift untuk sarapan karena memungkinkan saya untuk tidak bertemu terlalu banyak orang. Pengecekan suhu juga dilakukan di beberapa titik. Waktu bersantai di pinggir kolam renang, ada beberapa anak-anak yang mau menempati lounge chair di samping saya. Staf yang bertugas di kolam renang dengan tegas langsung menyuruh mereka untuk tidak menempati kursi tersebut supaya bisa menjaga jarak dengan saya (syukurlah sudah diingatkan karena kalau saya yang ngingetin, ada kemungkinan saya justru bakalan ngomel dan galak). Dengan langkah-langkah preventif yang dilakukan pihak hotel, saya merasa lebih lega dan tenang saat menginap. Kalau pihak hotel sudah melakukan langkah-langkah preventif, para tamu pun harusnya bisa, ya. Namun, pada kenyataannya, ya, ada aja tamu hotel yang bandel dan keras kepala. Kalau sudah begitu sih, biasanya saya yang menghindar dan menjauh.

Satu lagi! Saat tiba di kamar, saya dikirimi Opera cake sebagai hadiah selamat datang. Dan nggak tanggung-tanggung, slice-nya besar! Saya bahkan sampai harus bungkus kuenya karena selama menginap dua malam, si kue nggak habis-habis!

Kesimpulan

Sheraton Bandung Hotel & Towers berhasil membawa atmosfer tropis ala resor pinggir pantai ke dataran tinggi. Pada awalnya, saya tidak berekspektasi seperti itu. Namun, setelah datang langsung ke hotel dan melihat lagoon pool-nya, wah! Rasanya memang kayak lagi di resor tepi pantai (minus pantai dan view laut tentunya).

Meskipun usianya jauh lebih tua daripada saya, Sheraton Bandung tetap menawarkan pengalaman menginap yang mengesankan. Renovasi di tahun 2014 benar-benar memberikan wujud baru pada properti milik Marriott ini. Saya sendiri masih belum menemukan foto lama Sheraton Bandung (yang katanya didominasi elemen-elemen kayu berwarna gelap). Jadi, saya masih penasaran. Seandainya bisa lihat fotonya, saya mungkin bisa bandingkan vibe lama dengan vibe barunya. Dengan lokasi di kawasan touristic, nggak aneh kalau hotel ini sering dikunjungi. Dari pusat kota sih, memang nggak begitu dekat. Namun, jaraknya masih bisa ditoleransi dan lokasinya masih dekat dengan “peradaban”, one might say.

Kamar mengusung desain kontemporer, dengan ukuran yang cukup luas dan balkon yang mengarah ke taman atau kolam renang. Terlepas dari usia properti, furnitur yang ada tidak lagi terkesan dated, thanks to the renovation. Fasilitas yang tersedia di kamar cukup lengkap. Hanya saja, koneksi internet hotel tidak ditambahi password sehingga memungkinkan siapa saja, termasuk orang di luar hotel menggunakan koneksi tersebut. Walhasil, kecepatannya pun jadi kena imbasnya. Selain itu, ini juga cukup berisiko karena takut ada orang asing masuk ke jaringan dan justru melakukan tindak kejahatan dalam jaringan.

Fasilitas yang tersedia di Sheraton Bandung cukup lengkap. Saya pikir seandainya ada whirlpool, mungkin kunjungan akan makin lengkap rasanya. Beberapa fasilitas masih belum beroperasi, tetapi gym, restoran, dan kolam renang sudah bisa digunakan (setidaknya pada waktu saya berkunjung). Taman-taman asri yang menghiasi kompleks hotel memberikan efek sejuk di mata. Tanpa harus pergi ke daerah yang lebih jauh dan remote, menginap di sini sudah cukup untuk menyegarkan pikiran dan menikmati suasana yang lebih tenang (unless tingkat okupansi hotel sedang mencapai puncaknya dan suara orang-orang yang nyaring terdengar di sana sini).

Mengacu pada Tripadvisor, rate hotel ini mulai dari 1,2 juta rupiah. Namun, kalau saya cek di Marriott Bonvoy, rate mulai 1,0 jutaan pun bisa dapat (coba rajin-rajin cek kode promo). Saya sendiri waktu itu pakai promo buy one get one dan secara keseluruhan dapat rate 1,6 juta (nett) untuk dua malam, sudah termasuk sarapan. Lumayan, ‘kan? Dengan fasilitas yang lengkap dan mumpuni, serta lingkungan yang asri dan ijo royo-royo, Sheraton Bandung Hotel & Towers cocok jadi pilihan staycation mewah di Bandung dengan suasana yang lebih alami, tanpa harus bepergian jarak jauh.

Pros & Cons

👍🏻 Pros

  • Lagoon pool-nya bagus dan cantik banget!
  • Secara pribadi, club lounge-nya adalah salah satu executive lounge paling keren dan mewah di Bandung.
  • Informasi harga yang tertera di menu restoran sudah termasuk pajak dan service charge (sepele, tapi buat saya ini membantu banget karena nggak harus pusing ngitung-ngitung berapanya).
  • Bangunan-bangunan hotel dikelilingi taman-taman cantik. Cocok buat menyegarkan mata.
  • Lingkungan di sekitar hotel relatif tenang. Udaranya pun masih lebih segar, terutama di pagi hari.
  • Dari segi rate, hotel ini menawarkan rate yang relatif lebih terjangkau untuk hotel bintang 5.
  • Fasilitas yang ditawarkan cukup lengkap. Pas lah untuk properti bintang 5.
  • Meskipun di Dago Atas, lokasinya masih terbilang lebih dekat ke pusat kota.

👎🏻 Cons

  • Staf housekeeping mohon lebih teliti lagi saat bersih-bersih kamar. Kabinet dan laci tolong dibuka untuk cek apakah ada piring, gelas, atau sampah yang tertinggal atau tidak.
  • Koneksi WiFi tidak punya password, memungkinkan orang di luar hotel untuk memanfaatkan koneksi dan (ngerinya) nge-hack perangkat para tamu/staf hotel.
  • Kalau ada whirlpool atau jacuzzi, sepertinya lebih baik.

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌😶
Desain: 😆😆😆😆⚪️
Lokasi: 🤩🤩🤩🤩⚪️
Harga: 💰💰💰💰💰