Category Archives: 4 Stars

Review: Maison Teraskita Hotel Bandung

Ada yang spesial soal properti yang satu ini. Awalnya, saya nggak tahu kalau ini adalah sebuah boutique hotel. Seperti biasa, Instagram menampilkan banyak iklan dan tiba-tiba, iklan properti ini muncul. Namun, karena yang ditampilkan adalah foto makanan dan piano (oh! You guys know how much I love playing piano!), walhasil saya pun kepikiran datang untuk sekadar ngopi dan main piano. Kebetulan, waktu itu saya memang habis menginap di hotel lain. Waktu tiba, saya baru sadar kalau ternyata apa yang saya kira kafe ternyata merupakan bagian dari hotel. 

Saya pun langsung cek Instagram dan googling soal properti ini. Berhubung rate-nya sedang murah dan saya juga nggak begitu sibuk dengan kerjaan, saya putuskan untuk mendadak nginep di hotel ini. Ya, improptu aja. Bahkan, ada staf hotel yang sampai kaget karena saya tiba-tiba check-in, padahal awalnya hanya makan siang dan main piano. Turned out keputusan saya buat stay di hotel ini nggak salah because the hotel really lived up to its name.

review maison teraskita hotel bandung
Fasad Maison Teraskita Hotel Bandung

Maison Teraskita Hotel Bandung adalah salah satu hotel baru di Bandung. Properti bintang empat ini setahu saya beroperasi sejak tahun 2020 (di tahun 2019, kalau nggak salah bangunannya masih direnovasi). Bangunan hotel ini sendiri sebetulnya sudah unik. Saya coba cari tahu lebih lanjut soal bangunan peninggalan era kolonial Belanda yang sekarang menjadi hotel. Dilansir dari Property and The City, Maison Teraskita Bandung menempati bangunan kantor Waskita Karya yang juga merupakan salah satu bangunan cagar budaya grade B di Bandung. Bangunan tersebut konon sudah ada sejak tahun 1910an. 

Saya masih penasaran dengan sejarah gedung Maison Teraskita Bandung di era kolonial dulu. Pencarian di Google membawa saya ke sebuah artikel dari Cianjurpedia yang membahas riwayat gedung tersebut. Bagian bangunan yang menjadi wajah hotel ternyata dibangun di tahun 1913 dan digunakan sebagai kantor cabang Siemens. Anak milenial pasti nggak asing deh dengan nama Siemens. Pasalnya, Siemens adalah salah satu brand HP yang terkenal pada zamannya (ingat ringtone yang juga dipake sebagai ringtone HP Sanchai di serial  Meteor Garden?). Gedung ini sendiri sebetulnya bernama NV. Volker Aanemings Maatschappij, tetapi memang kemudian lebih dikenal sebagai Gedung Siemens. Di tahun 1961, gedung mengalami renovasi yang menyebabkan perubahan pada bentuknya. Setelah itu, gedung pun digunakan sebagai kantor Waskita Karya. 

review maison teraskita hotel bandung
Gedung kantor Waskita Karya sebelum menjadi Maison Teraskita | Credit: Sepanjang Jalan Kehidupan

Maison Teraskita Hotel Bandung adalah addition baru bagi portfolio The Gala Hotels Group. Berdasarkan informasi yang saya lihat dari situs resmi The Gala Hotels Group, hotel ini adalah properti pertama mereka di Bandung. Dua properti lainnya berada di Jakarta (and are definitely on my to-go list). Terdapat 84 kamar dan suite yang tersedia di hotel bintang 4 di Bandung ini. Soal fasilitas, ada rooftop swimming poolgym, restoran, dan kafe. Di koridor lift, ada beberapa ruangan kosong yang katanya sih akan jadi barbershop, tapi terakhir kali saya ke sana (saya sudah menginap dua kali, dan yang terakhir adalah bulan Agustus 2021), ruangan tersebut masih kosong. 

Ada 8 tipe kamar di hotel ini. Saat menginap di hotel ini, saya menempati kamar tipe Deluxe Maison Double. Oh, ya! Saya juga berkesempatan bertemu Bapak Alexander selaku director of sales marketing hotel (sayangnya beliau sudah tidak di Maison Teraskita lagi menurut salah satu staf hotel), dan juga chef hotel. Ulasan lengkap hotel dan cerita lainnya, as usual, saya bagikan di segmen berikutnya, ya!

Desain Kamar

Dari namanya, saya bisa menebak konsep yang dihadirkan oleh Maison Teraskita Hotel Bandung. Informasi ini juga diperkuat oleh pernyataan Bapak Alexander mengenai konsep hotel. Saat tiba di lobi, saya sudah bisa melihat manifestasi dari tema utama yang diusung hotel. Begitu tiba di kamar, saya bisa membayangkan diri berada di salah satu apartemen bergaya contemporary Parisian di pusat Paris. Hanya saja, dari jendela kamar, saya bisa melihat minaret Masjid Raya Bandung, dan bukan Menara Eiffel. Ya, setidaknya masih di Paris van Java lah ya.

Tipe Deluxe Maison Double memiliki luas 24 meter persegi. Bentuk kamar sebetulnya unik karena bukan persegi, melainkan trapesium. Dengan bentuk ruangan seperti ini, jendela kamar bisa diposisikan agar menghadap ke Masjid Raya Bandung, dan bukan langsung menghadap ke bangunan Jiwasraya. Hanya saja, dimensi jendela yang tinggi, dan bukan melebar, membuat pencahayaan alami di kamar terbilang kurang. 

Atmosfer khas apartemen bergaya Parisian langsung terasa begitu saya masuk ke kamar. Dinding kamar tampil mewah dalam balutan panel kayu berwarna putih. Untuk lantai, digunakan parket berwarna medium yang membangun kesan hangat. Sebagai focal point, dinding di belakang tempat tidur menggunakan panel kayu berwarna turquoise (tapi menurut saya, lebih biru sih). Langit-langit di area utama kamar cukup tinggi dan dilengkapi built-in lighting yang membuat ruangan terang, tanpa terasa terlalu silau.

Satu hal yang saya suka dari kamar ini adalah adanya potted plant. Ditempatkan di samping sofa, adanya tanaman membuat kamar terasa lebih segar dan lived-in, as if the room is really an apartment. Sayangnya, penempatan sofa dan meja kopi justru membelakangi televisi, dan bukan menghadap ke televisi. Walhasil, saya harus duduk di tempat tidur kalau ingin nonton televisi. Untuk tempat tidur sendiri, seperti yang bisa dilihat di foto, ternyata merupakan dua twin bed yang digabungkan. Saya sedikit kecewa sebetulnya. Headboard tempat tidur tampil sederhana dengan bentuk rectangular, tetapi unik karena dibuat dari anyaman rotan. Tidak ada end table di kedua sisi tempat tidur. Sebagai gantinya, lampu meja digantikan oleh wall lamp bergaya modern minimalist. Telepon pun dipasang di dinding dan, sayangnya, gagangnya sering jatuh. Buat yang biasa simpan HP atau jam tangan di end table, di sini HP harus disimpan either di meja kopi, meja kerja, or kasur.

Di ujung ruangan, terdapat nook dengan dinding bertekstur kasar yang dipisahkan oleh vitrage dan gorden berwarna hijau zamrud tua. Dengan meja kecil dan kursi rotan, area ini saya duga merupakan area kerja, meskipun sejujurnya kursinya kurang nyaman untuk dipake ngetik-ngetik kerjaan. Namun, dari area ini, saya bisa melihat bangunan Masjid Raya Bandung sambil kerja. Pemandangannya kurang “lega” memang, tapi setidaknya there was something I could see while working.

Di vestibule, terdapat satu kabinet untuk menyimpan kulkas mini dan coffee/tea maker. Untuk teh, Maison Teraskita Hotel Bandung menggunakan produk-produk teh Walini. Di sampingnya terdapat gantungan pakaian sebagai pengganti lemari atau closet. Sebetulnya, saya kurang begitu suka gantungan pakaian yang terbuka karena kesannya jadi rame atau riweuh, terutama ketika saya ngegantung banyak pakaian. Di setiap kamar, tersedia bathrobe dan slippers yang nyaman. Oh, ya. AC di kamar masih menggunakan unit terpisah, bukan AC sentral. Not a big problem for me sebetulnya.

Sayangnya, saya mengamati maintenance kamar tampaknya kurang optimal. Area di sekitar sakelar dan stopkontak tampak retak dan kurang rapi. Selain itu, cat pada dinding di sekitar bagian bawah jendela kamar mandi juga sudah mengelupas. Saya menyayangkan hal ini, mengingat properti ini masih terbilang baru dibuka. Semoga ke depannya maintenance kamar bisa ditingkatkan, ya.

Kamar Mandi

This is one of my favourite part waktu menginap di Maison Teraskita Bandung. Kamar mandi di tipe Deluxe Maison Double punya ukuran yang decent. Tidak besar, tapi nggak claustrophobic juga. Dari aspek desain, interiornya mengusung perpaduan Industrial dengan Art Deco. Interior kamar mandi ini mengingatkan saya dengan interior kamar mandi di de Braga by ARTOTEL. Pencahayaan kamar mandi juga bagus dan seperti yang mungkin kalian tahu, saya nggak suka kamar mandi yang redup.

Area shower dipisahkan dari area lain kamar mandi dengan dinding dan split level. Sayangnya, dinding pemisah ini kurang panjang dan split level-nya pun kurang signifikan untuk mencegah luapan air. Walhasil, saat saya mandi, air pun jadi luber ke sana sini. Adanya rainshower (meskipun piringannya nggak besar) membuat momen mandi saya jadi lebih menyenangkan. Bathroom fixture di kamar mandi pun memiliki desain modern classic (bisa dilihat dari desain shower tangan). What’s better, Maison Teraskita Hotel Bandung menghadirkan body wash dan shampoo dari koleksi Calming milik Sensatia Botanicals.

Kloset ditempatkan di sisi timur kamar. Di dinding di belakangnya terpasang foto salah satu sisi kota Bandung dengan filter hitam putih yang menambah kesan artsy pada interior kamar mandi. Sebetulnya, di kamar pun tersedia hair dryer, tetapi tidak disimpan di kamar mandi. Hair dryer disimpan di dalam tas kecil yang digantung pada gantungan, di dekat bathrobe. Jadi, kalau bicara soal fasilitas kamar mandi sih, saya rasa sudah lengkap. Actually, it was better than expected.

Fasilitas Umum

Teras Cafe

Salah satu fasilitas umum di Maison Teraskita yang menurut saya sangat prominent adalah kafenya. Teras Cafe berada di lantai dasar hotel dan menempati area lobid dan teras depan. Oh, ya! Untuk yang baru datang kali pertama atau mungkin sekadar lewat, mungkin nggak sadar kalau ini adalah hotel. Pasalnya, yang terlihat dari trotoar memang kafenya, meskipun outdoor area-nya cenderung tersembunyi di balik pagar bertanaman rambat. Namun, dengan konsep seperti ini, vibe Parisian cafe-nya justru dapet banget. Bisa dibilang, kafe ini jadi semacam oasis tersembunyi di tengah ingar bingar kawasan Alun-Alun Bandung. 

Focal point teras ini adalah air mancur bergaya klasik yang tampak cantik, baik di siang maupun malam hari (terutama malam hari karena ditambah pencahayaan yang pas). Meja-meja persegi dipadukan dengan kursi-kursi rotan dan beberapa parasol sebagai peneduhnya. Dikeliling bunga dan semak-semak, area teras kafe ini selain cantik juga cozy, terutama di sore hari. Di malam hari, area teras terasa romantis, terutama saat diterangi lampu-lampu. Sebagai penutup tanah, digunakan batu-batu kerikil yang, menurut saya sih, agak bikin was-was ketika jalan. Beberapa kali saya hampir jatuh karena kerikil-kerikil tersebut. Selain itu, kerikil-kerikil di tanah bikin kursi dan meja jadi kurang stabil. 

Pintu besar dengan frame berwarna teal gelap menyambut saya saat akan masuk ke lobi Maison Teraskita yang merangkap indoor area kafe. Tepat di sisi kanan pintu, ada tangga menuju lantai dua. Tangga berbentuk “L” ini masih menggunakan desain aslinya, tetapi dipercantik dengan runner bermotif foliage. Kurang “wah” untuk disebut grand staircase, tetapi sangat “wah” untuk sekadar disebut tangga biasa. Di dekat tangga, ditempatkan potted plant besar yang tidak hanya mempercantik ruangan, tetapi juga memberikan sentuhan segar “ijo royo-royo” pada interior kafe.

Lobi dan area indoor kafe diterangi jendela-jendela besar yang berada di sisi depan bangunan. Panel kayu berwarna putih melapisi dindingnya, sementara flooring menggunakan lantai kayu bermotif herringbone. Mungkin ada yang sudah tahu apa yang saya suka dari kafe ini. Ya, pianonya! Di bawah tangga, terdapat sebuah baby grand piano Yamaha (sepertinya tipe G1 karena ukurannya memang nggak begitu besar). Saat menginap (dan setiap ke kafe ini), saya selalu main piano itu dan para staf hotel ternyata senang (hore!). Kondisi piano baik, tetapi sering kali keyboard-nya berdebu. Maklum, dengan jendela dan pintu yang dibuka dan posisi hotel tepat menghadap ke Jalan Asia Afrika yang ramai, polusi dan debu dari luar bisa masuk dengan mudah. Hanya saja, terakhir kali saya main (sekitar satu dua minggu sebelum post ini diterbitkan), ada beberapa not yang agak fals.

Area indoor memiliki meja dan kursi yang lebih sedikit. Selain itu, para pengunjung kafe pun harus berbagi tempat dengan para tamu hotel. Kursi-kursi rotan digunakan pula di dalam kafe. Namun, dengan meja kopi, area indoor kafe sepertinya lebih cocok buat ngemil dan ngopi dibandingkan untuk makan with good posture. Lampu lantai dan gantung bergaya orb menjadi sumber penerangan sintetis. Desainnya pun memberikan sentuhan Art Deco pada interior kafe, terutama saat dipadukan dengan foto-foto berbingkai hitam di dinding. Dengan pencahayaan berwarna hangat, kafe ini terasa hangat, cozy, dan mewah, terutama saat hujan sore-sore atau di malam hari. 

Waktu kali pertama datang, saya pesan spaghetti aglio e olio untuk makan siang. Untuk minuman, saya lupa namanya apa. Untuk makanannya, jujur saya suka karena pesanannya sesuai custom order saya: tanpa keju sama sekali dan tingkat kepedasannya pas. Tingkat keasinannya ke arah rendah, tapi justru saya bisa merasakan gurih dari bahan-bahan lain. Rotinya renyah dan gurih, dan nggak sampai asin yang bikin pusing. Untuk minumannya, base-nya green apple syrup yang kentara. Sisanya sepertinya ada blue curacao-nya atau apa, tapi yang paling kentara sih green apple. Untuk rasanya, fine lah.

Dengan dwifungsinya sebagai lobi hotel dan indoor dining area, saya menduga area ini akan sangat ramai ketika hotel lagi banyak tamu, dan kafe lagi banyak pengunjung. Mungkin beberapa pengunjung kafe bisa diarahkan ke lantai dua atau teras. Nah, di lantai dua sendiri ada bar, dan di dekatnya ada pintu menuju restoran hotel yang digunakan sebagai tempat sarapan para tamu. Area lantai dua seingat saya hampir selalu kosong. Mungkin karena area ini tampaknya lebih difokuskan sebagai restoran, dan bukan kafe.

Singkatnya, Teras Cafe di Maison Teraskita Bandung bisa jadi tempat nongkrong cantik yang nyaman di pusat kota Bandung. Desain interiornya menjadi salah satu keunggulan kafe ini. Gaya modern Parisian, dipadukan dengan beberapa elemen vintage dan Art Deco membuat kafe ini makin cantik dan Insta-worthy. Namun, saya ingin ngasih tahu soal harga menu. Karena merupakan bagian dari hotel, perlu diingat bahwa pajak dan service charge-nya adalah 21%, dan bukan 10-15%. PPN + service charge sebesar itu bisa bikin harga nett jadi lebih tinggi secara signifikan.

Restoran

Restoran hotel berada satu lantai di atas lobi dan bisa diakses lewat lift maupun tangga. Area restoran cukup luas dan mencakup balkon sebagai smoking area. Dari segi interior, gaya modern Parisian tetap diusung. Restoran hotel berada satu lantai di atas lobi dan bisa diakses lewat lift maupun tangga. Area restoran cukup luas dan mencakup balkon sebagai smoking area. Dari segi interior, gaya modern Parisian tetap diusung. Hanya saja, terlepas dari luasnya, meja dan kursi yang tersedia cukup terbatas sih kalau saya amati. Di bagian tengah restoran, ada semacam island untuk bufet dan dari island tersebut, kita bisa “ngintip” ke arah dapur. Cukup seru sih, terutama ketika kita pada akhirnya bisa accidentally lihat live cooking show. Kursi-kursi rotan dipadukan dengan sectional sofa berlapis kain berwarna biru “horang kaya”, membangun atmosfer casual chic, tapi juga elegan. 

Soal menu breakfast, pihak hotel akan tanya kita mau makan apa saat check-in. Mereka akan kasih semacam form untuk kita isi, dan di form itu disebutkan makanan-makanan yang akan disajikan untuk sarapan keesokan paginya. Kita bisa centang makanan yang kita mau nikmati, dan kosongkan makanan yang kita nggak mau. Menurut saya, ini jadi sistem yang bagus karena pihak hotel hanya perlu menyajikan apa yang kita minta, dan nggak perlu menyajikan makanan atau minuman yang nggak kita akan ambil (dan mungkin pada akhirnya jadinya mubazir karena nggak dimakan). Less food waste, better life. Menu sarapan saya simpel, tapi cukup mengenyangkan. Dan entah, pom pom itu kenapa ya rasanya asin banget? Apakah setiap restoran atau gerai yang jual kentang pom pom itu nambahin garamnya kebanyakan, atau memang dari pabriknya garamnya udah banyak banget?

Kolam Renang

Fasilitas lain yang tersedia di Maison Teraskita Bandung (dan yang jadi favorit saya) adalah kolam renangnya. Berada di lantai rooftop, area kolam renang hotel menawarkan pemandangan pusat kota Bandung yang kece banget! Dari segi ukuran, kolam renang ini punya dimensi memanjang. Simpel, sebetulnya dan terbilang ramping. Namun, karena dimensinya memanjang, kolam renang ini cocok buat latihan bolak-balik beberapa lap.

Area duduk dibagi menjadi dua sisi. Karena bentuk kolam memanjang, kursi-kursi dan meja-meja ditempatkan di kedua ujung kolam renang. Sayangnya, nggak ada parasol untuk meneduhi tempat-tempat duduk di sini. Walhasil, kalau cuaca lagi panas banget, mau nggak mau harus siap-siap benar-benar berenang dan beraktivitas di bawah paparan cahaya matahari. Ini yang saya sayangkan sebetulnya. Selain itu, jumlah meja dan kursi yang ada juga sangat terbatas, mengingat area duduknya pun nggak begitu besar. Bisa dibayangkan kalau tingkat okupansi hotel lagi tinggi dan tamu-tamu pada berenang di jam yang sama. Siap-siap rebutan meja dan kursi ini sih. 

Buat yang bawa anak-anak, saya rasa faktor keselamatan di area kolam jadi salah satu yang harus diperhatikan. Pasalnya, karena konsep kolam renang bisa dibilang infinity pool, nggak ada dinding pembatas di sisi panjang kolam. Apalagi, dari area duduk, meskipun terhalang oleh planter, somehow orang tetap bisa pergi dan berdiri di atas dinding sisi panjang kolam (ya, nyelip-nyelip ke pinggir planter). Jadi, buat yang bawa anak-anak, harus dijaga ketat deh. To some extent, saya bahkan merasa kalau kolam ini nggak kids-friendly, terutama soal kedalamannya. 

Namun, yang paling keren lagi adalah view dari area kolam, dan rooftop secara keseluruhan. Seandainya ada rooftop bar di sini, udah deh lengkap banget Maison Teraskita Bandung tuh menurut saya. Pasalnya, view dari area kolam dan rooftop ini keren banget. Kawasan Alun-Alun Bandung, Masjid Raya Bandung, dan area komersial di sekitarnya (terutama gedung-gedung tinggi di daerah Kepatihan dan Dalem Kaum) terlihat jelas dan keren banget, apalagi di malam hari. Di arah barat, kita juga bisa lihat pemandangan Jalan Sudirman. Pemandangan gedung-gedung tinggi juga bisa terlihat di arah utara. Pokoknya, view dari area ini udah paling bagus deh menurut saya. Bahkan, saya bisa bilang bahwa Maison Teraskita Bandung adalah salah satu hotel dengan rooftop infinity pool terbagus di Bandung. 

Gym

Fasilitas berikutnya yang ada di Maison Teraskita Bandung adalah gym. Berada di lantai rooftop, gym hotel ini memang nggak besar. Kecil banget, kalau saya boleh bilang. Jumlah alatnya pun sangat terbatas. Lokasi gym ini berada di dekat kamar mandi dan ruang ganti pakaian.

Karena ruangannya yang terbilang kecil dan memanjang, bisa dipahami kenapa alat-alat yang ada di sini sangat terbatas jumlahnya. Namun, jendela-jendela full-height dipasang di salah satu sisi ruangan. Meskipun pemandangannya kurang bagus (view BRI Tower di sebelah hotel), jendela-jendela ini bikin cahaya alami bisa masuk dengan mudah dan melimpah ke ruangan sehingga kesan sempit jadi bisa diminimalisir. Selain itu, karena ukuran gym yang kecil, saya malah merasa seperti berada di home gym. Ada sedikit atmosfer homy yang saya rasakan di ruangan ini. 

Lokasi

Maison Teraskita Hotel Bandung berlokasi tepat di pusat kota Bandung, berseberangan dengan kawasan Alun-Alun Bandung dan Masjid Raya Bandung. Kalau soal lokasi sih, bisa dibilang kurang apa lagi coba? Stay di pusat kota Bandung dan dekat dari kawasan-kawasan turistik seperti Braga dan Asia Afrika, dan distrik belanja seperti kawasan Kepatihan, Dalem Kaum, dan Pasar Baru? Definitely a big yes! Ke mana-mana dekat. Mau main ke Alun-Alun atau belanja di daerah Kepatihan? Tinggal nyeberang jalan doang udah sampai. Kawasan Braga cuman sekitar 5 menit dari hotel dengan berjalan kaki. Soal transportasi, di depan Alun-Alun juga sebetulnya ada halte bis buat yang ingin naik kendaraan umum. Oh, ya! Yang saya suka lagi adalah meskipun berada di pusat kota dan dikeliling tempat yang ingar bingar, noise level di kamar terbilang kecil. 

Dari Stasiun Bandung, Maison Teraskita Hotel berjarak sekitar 10 menit menggunakan kendaraan roda empat, tergantung kondisi lalu lintas sebetulnya. Kalau dari Bandara Internasional Husein Sastranegara, jarak tempuh ke hotel dengan kendaraan roda empat bisa memakan waktu sekitar 15-20 menit atau bahkan lebih cepat, again tergantung kondisi lalu lintas. 

Pelayanan

Segmen ini memuat pendapat saya mengenai pelayanan yang diberikan pihak hotel. Apa yang saya tulis bersifat subjektif dan bukan merupakan informasi umum, dan lebih merupakan pendapat pribadi. Experience yang saya alami bisa jadi berbeda dari apa yang orang lain alami. Tulisan dalam segmen ini tidak ditujukan untuk menjelek-jelekkan atau menurunkan reputasi hotel. Jika informasi yang saya tulis bersifat positif, semoga manajemen hotel bisa tetap menjaga kualitas layanannya. Jika bernada negatif, semoga bisa menjadi bahan perbaikan bagi pihak hotel. 

Saya memang baru dua kali stay di Maison Teraskita Bandung (and to be honest, I’d love to come back again!), tetapi kualitas pelayanan di kedua kunjungan tersebut bisa saya bilang bagus. Saat tiba, saya dikasih welcome drink. Proses check-in juga cepat dan nggak ribet, dan pihak hotel sebisa mungkin kasih saya kamar sesuai request. Staf yang bertugas ramah-ramah, dan waktu saya main piano, mereka juga kasih saya tepuk tangan (dan bahkan ada yang request lagu). Wah, senangnya! 

Interaksi saya dengan para staf hotel nggak berhenti sampai di situ. Saya berkesempatan ketemu dengan sales marketing director Maison Teraskita Hotel, Pak Alexander. Jadi kehormatan bagi saya untuk ketemu Pak Alexander dan ngobrol soal properti keren ini. Bahkan, karena saya sampai dua kali pesan pasta aglio e olio, saya pun jadi ketemu dengan chef hotel dan beliau berterima kasih secara langsung. Senang banget rasanya. 

Kesimpulan

Paris van Java. Saya apresiasi usaha Maison Teraskita Hotel Bandung untuk menghadirkan suasana Paris di tatar Parahyangan. Interior bergaya modern Parisian yang chic berhasil dihadirkan oleh hotel ini, tanpa terkesan maksa atau gaudy. Desain yang sama juga diterapkan di area-area hotel yang lain. Salah satu yang cukup menarik adalah Teras Cafe-nya yang mengusung konsep cafe trottoir, meskipun ya nggak di trotoar juga. Namun, outdoor dining area kafe jadi semacam oasis sejuk di tengah ingar bingar kawasan pusat kota Bandung. 

Pada awalnya, saya sempat bingung karena hotel ini menyandang predikat hotel bintang empat. Namun, setelah saya main ke area rooftop, saya akhirnya give a nod. Kolam renang dengan pemandangan kota jadi fasilitas favorit saya, meskipun saya nggak sempat berenang (tapi saya udah puas kok santai dan lihat-lihat pemandangan Bandung dari ketinggian). Gym juga hadir sebagai fasilitas kebugaran untuk melengkapi kolam renang. Area rooftop akan lebih lengkap dengan kehadiran rooftop bar menurut saya. Karena lokasi hotel sudah bagus dan pemandangannya juga sudah keren banget, adanya rooftop bar akan jadi nilai tambah yang signifikan buat Maison Teraskita Hotel Bandung

Rate yang ditawarkan mulai dari kisaran 500 ribuan (waktu saya book dulu, saya dapat harga sekitar 650 ribu untuk tipe Deluxe). Dengan lokasi yang strategis, desain interior yang stylish, dan fasilitas yang cukup lengkap, rate segitu saya rasa masih sangat masuk akal (meskipun sering kali meledak, terutama di momen-momen liburan atau weekend). Overall, Maison Teraskita Hotel Bandung berhasil menawarkan suasana ala Paris ke jantung kota Bandung tanpa terkesan “maksa”. Properti ini layak dijadikan pilihan, terutama buat wisatawan yang memang ingin menginap di pusat kota Bandung dan banyak berakvitias di kawasan Sudirman, Braga, atau Otista Pasar Baru.

Pros & Cons

👍🏻 Pros

  • Desain interior modern Parisian yang diusung nggak “maksa” dan gaudy.
  • Fasilitas yang dihadirkan cukup komprehensif.
  • Lokasi sangat strategis dan bikin gampang ke mana-mana dengan berjalan kaki.
  • Pemandangan dari area rooftop dan kolam renang keren banget! Properti ini jadi salah satu hotel dengan rooftop infinity pool terbagus di Bandung.
  • Kamar mandi dilengkapi produk mandi dari Sensatia. Love it!

👎🏻 Cons

  • Area parkir sangat terbatas
  • Rate sebetulnya masih reasonable, tapi kalau sedang meledak, bisa sangat mahal.
  • Maintenance kamar masih perlu ditingkatkan.

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌😶
Desain: 😆😆😆😆😶
Lokasi: 🤩🤩🤩🤩🤩
Harga: 💰💰💰

Review: Four Points Bandung

Bagi saya, desain klasik itu sifatnya eternal. Mau seperti apa perkembangan dunia arsitektur, desain-desain klasik itu nggak ada matinya dan selalu punya tempat di hati para penggemarnya. Saya adalah salah satu penggemar desain-desain klasik, meskipun secara spesifik saya lebih tergerak dengan desain modern classic yang lebih simpel, tapi tetap berkelas. Terlebih lagi, karena tinggal di Indonesia, gaya-gaya arsitektur klasik yang lebih rumit macam Barok, Roccoco, dan Art Nouveau rasanya, apa ya, kayak nabrak pasti kalau dibandingkan bangunan-bangunan lain yang desainnya lebih sederhana. Salah-salah, desain-desain seperti itu malah bisa keliatan gaudy dan lebay kalau nggak dieksekusi dengan pas.

Nah, di kawasan Dago Bandung, ada sebuah properti yang mengusung desain modern classic. Dengan “perawakan” yang tinggi, dominasi warna putih, dan atap mansard khas bangunan-bangunan bergaya Perancis, bangunan hotel ini pun tampil menonjol dibandingkan bangunan-bangunan tetangganya. Sebagian besar komentar teman-teman saya soal hotel ini pun berkaitan dengan bangunannya yang memang majestic. Sebetulnya, saya pernah nginap di hotel ini sebelumnya, di tahun 2016 saya masih ingat. Waktu itu, hotel ini baru buka. Jadi, bisa dibilang saya adalah salah satu tamu pertama hotel. Setelah bertahun-tahun, akhirnya saya nginep lagi di sana.

Bangunan hotel Four Points by Sheraton Bandung. Foto milik pribadi.

Four Points by Sheraton Bandung adalah hotel bintang empat yang berada di Jl. Ir. H. Djuanda No. 46, Bandung. Buat yang sering main ke kawasan Dago, terutama Dago bawah, pasti tahu lah hotel ini. Posisinya bersebelahan dengan Superindo Dago dan berseberangan dengan ACE/Informa Dago (eks-Dago Plaza). Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, hotel ini terkenal dengan bangunannya yang menjulang berwarna putih, hampir ke arah “bulky” sebetulnya. Dengan gaya arsitektur modern classic dan atap mansard, bangunan hotel ini sudah cukup ikonik dan mencerminkan classiness-nya.

Dari jalan, bangunan utama hotel sebetulnya tersembunyi di balik bangunan restoran. Jadi, sebetulnya ada dua bangunan di kompleks ini. Tower utama berada di belakang bangunan restoran, dan atap bangunan restoran sendiri berfungsi sebagai area kolam renang hotel. Waktu pertama kali menginap di sini, restoran tersebut belum buka, tapi restoran hotel sih sudah beroperasi. Nah, buat yang bingung, restoran yang ada di depan Four Points Bandung ini (Buttercup Boulangerie) beda manajemen dengan hotel. Ini informasi saya dapat dari staf restoran ya. Saya sendiri udah beberapa kali makan di sana. Dulu mereka punya menu pesto fettuccini yang enak banget, tapi sayangnya menu itu dihapus.

Dilansir dari Tripadvisor, ada 162 kamar yang tersedia di hotel ini. Di situs resmi hotel, disebutkan 5 tipe kamar (sebetulnya 6 karena tipe Classic ditawarkan sebagai dua pilihan: opsi king dan twin bed). Oh, ya! Saat menginap, saya berkesempatan ngobrol dengan Bu Emi selaku general manager Four Points Bandung. Dari beliau, saya belajar bahwa hotel ini ternyata awalnya diproyeksikan sebagai boutique hotel. Hmm… No wonder hotel ini mengusung desain yang memang nggak main-main. Waktu pertama kali menginap, saya menempati kamar Premium, satu tingkat di atas tipe Classic. Nah, pas kunjungan terakhir saya di bulan Agustus, saya memesan kamar tipe Classic. Soal fasilitas, ada restoran, fitness center, kolam renang, sky lounge, meeting room, ballroom, dan pool bar. Sayangnya, waktu saya menginap, pool bar-nya masih tutup. Namun, fasilitas-fasilitas lain sudah beroperasi. Bahkan, ada juga yang nikahan dan ngadain acara besar. Ulasan lengkapnya saya sajikan di segmen berikutnya, ya!

Desain Kamar

Semua tipe kamar di Four Points by Sheraton Bandung mengusung warna putih sebagai warna dominannya. Dengan interior bergaya modern classic, penggunaan warna putih membuat kamar terasa lega dan elegan. Nah, tipe kamar yang saya tempati adalah tipe Classic King di lantai 11. Dilansir dari situs resmi hotel, tipe Classic memiliki luas 30 meter persegi. Nah, kalau saya bandingkan, luas ini sebetulnya nggak jauh beda dengan luas kamar tipe Deluxe di Sheraton Bandung. Namun, kamar di Four Points Bandung terasa lebih luas, salah satunya karena dominasi warna putih di interior kamar, tidak adanya loveseat dan meja kopi, serta langit-langit yang lebih tinggi.

Tempat tidur king-size ditempatkan di tengah kamar, dengan headboard yang desainnya mengingatkan saya dengan desain-desain furnitur, khususnya tempat tidur, bergaya modern classic di era 90an akhir atau 2000an awal (coba deh tonton film atau sinetron di era tahun segitu yang menampilkan rumah-rumah orang kaya bergaya modern “pada zamannya”). Pasalnya, tante saya punya satu set furnitur kamar tidur dengan desain yang mirip-mirip. Bedanya, set furnitur punya tante saya warnanya hijau zamrud. Sebagai pengganti table lamp, digunakan lampu gantung bergaya kontemporer dengan bentuk tabung sederhana yang dipasang di kedua sisi tempat tidur. Di atas end table, terdapat jam alarm/iPod dock yang sayangnya nggak punya fitur Bluetooth (hal ini agak disesali karena saya pakai ponsel Samsung). Di end table yang satu lagi, terdapat telepon dan notepad kecil. Di atas tempat tidur, terpasang lukisan mawar memanjang, dengan satu kuntum berwarna merah muda, sementara bunga-bunga lainnya berwarna hitam putih. Saya jadi ingat adegan girl in red coat di film Schindler’s List.

Meja kerja ditempatkan bersebelahan dengan kabinet televisi. Untuk TV sendiri memiliki ukuran 42 inci dan dipasang di dinding sehingga memberikan cukup banyak ruang di atas kabinet buat menyimpan berbagai barang. Kanal televisi yang ditawarkan cukup banyak dan beragam. Koneksi WiFi hotel pun cukup cepat dan bisa diandalkan, walaupun pada hari pertama saya menginap, tingkat okupansi hotel sedang padat banget. Nah, waktu saya tiba, di atas kabinet TV ternyata sudah ada buah-buahan, complimentary dari pihak Four Points by Sheraton Bandung. Terima kasih banyak, Four Points! Kabinet TV hanya punya satu pintu yang, saat dibuka, ternyata masih ada satu kantung plastik putih bekas tamu sebelumnya sepertinya. Kosong sih kantung plastiknya dan bersih, cuman ‘kan tetap saja itu sampah. Duh, next time pihak hotel harus bersihin kamarnya lebih teliti lagi, nih.

Area utama kamar dibedakan dari hallway melalui penggunaan karpet berwarna abu-abu tua, senada dengan warna gorden. Si karpet dan gorden ini sendiri memberikan kontras warna di tengah dominasi warna putih dan gading. Di hallway, ada beberapa built-in lemari dengan desain pintu yang masih senada dengan desain furnitur di kamar, tentunya dalam balutan warna putih. Lemari pakaian memiliki ukuran yang cukup luas, dan mencakup electronic safe di dalamnya. Sayangnya, pintu geser lemari ini merangkap pintu kamar mandi. Walhasil, kalau kita tutup pintu kamar mandi, kelihatan lah isi lemari. Kalau isi lemarinya hanya baju sih mungkin nggak masalah. Cuman, saya pikir bisa jadi masalah ketika kita nginap dengan teman, atau ada tamu yang datang berkunjung, dan di lemari kita simpan barang berharga. Untuk setrika dan ironing board, tersimpan di dalam lemari di samping rak minibar dan kulkas. Oh, ya! Ada juga cermin besar di hallway yang jadi sarana saya foto-foto buat Instagram.

Untuk view sendiri, kamar saya menawarkan pemandangan Gunung Tangkuban Parahu dari ketinggian 11 lantai. Dari jendela juga terlihat Jembatan Pasopati, Moxy Bandung, dan kawasan di sekitarnya. Awalnya, saya sempat agak kecewa karena nggak bisa mendapatkan view kota. Namun, setelah dipikir-pikir lagi, waking up to a mountain view doesn’t hurt at all. Di siang hari, cahaya matahari yang masuk ke kamar pun melimpah sehingga saya nggak perlu nyalain lampu di siang hari.

Kamar Mandi

Kamar mandi untuk tipe Classic di Four Points Bandung memiliki ukuran yang cukup luas. Meskipun bathroom counter punya ukuran yang cukup bulky, penggunaan lantai dan dinding marmer berwarna beige dan pencahayaan yang terang membuat ruangan terasa lapang. Di kamar mandi, hanya ada satu wastafel. Handuk dan hair dryer disimpan di rak counter. Vanity mirror juga terpasang di dinding sebagai pelengkap cermin biasa berukuran besar dengan bentuk segi empat. Jarak dari kloset ke dinding di seberangnya cukup jauh, tetapi jarak dengan dinding di sampingnya bisa dibilang terlalu dekat.

Area shower di kamar mandi cukup luas. Bukan yang terluas memang, tapi seenggaknya saya masih bisa bergerak bebas dan mandi dengan nyaman. Hadirnya rainshower jadi salah satu hal yang saya sukai di kamar mandi ini. Shower tangan pun tersedia sebagai pelengkap rainshower. Semburan air yang keluar, baik dari rainshower maupun shower tangan cukup kencang. Enak lah buat mandi. Overall, tidak ada keluhan soal kamar mandi untuk tipe Classic di Four Points by Sheraton Bandung.

Fasilitas Umum

Saffron Restaurant

Berada di lantai lobi, Saffron Restaurant adalah dining venue utama di Four Points Bandung. Seperti halnya fasilitas dan kamar di hotel, interior restoran mengusung desain modern classic dengan dominasi warna putih. Pilar-pilar dipasangi cermin untuk memberikan kesan luas dan mewah. Lantai dengan pola checkerboard juga turun menambah kesan elegan pada interior restoran. Di sisi utara dan selatan, dipasangi jendela-jendela besar. Untuk sisi selatan sendiri, terdapat pintu menuju teras sebagai perluasan dining area dan smoking area. Chandelier yang dipasang di restoran memiliki desain yang unik, dengan motif tangkai atau ranting dedaunan yang, buat saya sih, seperti memiliki sedikit sentuhan Gothic. Sebagai colour pop di tengah-tengah palet monokron, warna kuning digunakan pada jok dan sandaran kursi panjang. Sayangnya, buat saya sih corak warna kuningnya terasa kurang elegan.

Meja dan kursi yang tersedia cukup banyak, tetapi tetap saja ketika tingkat okupansi hotel sedang tinggi, restoran terasa penuh. Sebenarnya, waktu menginap, saya diberi tahu bahwa untuk sarapan, saya kebagian di sky lounge hotel. Namun, saat saya ke sky lounge, kondisinya penuh dan saya nggak kebagian meja kosong. Saya pun ke Saffron Restaurant dan ternyata sama saja. Namun, untungnya saya berhasil dapat meja kosong di dekat jendela besar. Selain itu, posisinya juga dekat ke station es krim. Jadi, gampang lah buat bolak-balik ngambil es krim. Di sisi timur, terdapat beberapa station dan bar.

Soal menu sarapan, bisa dibilang menunya decent. Sejujurnya, saya tidak menemukan opsi yang sangat sangat spesial, tetapi setidaknya decent lah. Menu untuk pagi pertama dan kedua nggak jauh beda. Hanya saja, di akhir pekan dibuka station es krim. Nah, di pagi terakhir, station es krimnya ‘kan tutup. Namun, saya coba tanya ke staf restoran apakah saya bisa dapat es krim sebagai sajian penutup, dan pihak restoran menyajikan satu mangkuk es krim, walaupun di weekday, station es krim tidak buka. Wah! Terima kasih banyak, Four Points Bandung! Sangat saya apresiasi! Oh, ya! Di pagi pertama, karena restoran sangat ramai, ada beberapa staf tambahan yang bekerja di restoran, dan saya nggak nyangka bahwa staf yang bertugas di station es krim pagi itu adalah Bu Emi, general manager hotel. Waduh! Maaf ya, Bu Emi. Waktu itu saya belum kenal soalnya. Namun, setelah check out, saya beruntung bisa berkesempatan berkenalan dan ngobrol sebentar dengan Bu Emi mengenai hotel dan segala macam. Saya jadi belajar cukup banyak juga soal Four Points by Sheraton Bandung.

Buttercup Boulangerie

Selain Saffron Restaurant, Four Points Bandung juga punya dining venue yang lain. Menempati bangunan di bagian depan hotel, Buttercup Boulangerie hadir dengan interior berkonsep unik. Interiornya memadukan desain modern classic dengan sentuhan youthful yang tercermin dari pilar besar di tengah ruangan berbalut wallpaper tipografi dengan unsur (atau, lebih tepatnya, teknik) emphasis. Wallpaper yang sama juga dipasang di sudut-sudut ruangan yang lain, termasuk dinding di belakang grand staircase menuju lantai dua. Si tangga besar di sini jadi semacam focal point restoran. Berdasarkan pengalaman (karena saya pernah ke restoran ini beberapa kali), biasanya menjelang natal dipasang pohon natal besar di bawah tangga, dan tangga itu sendiri dihias dengan lampu-lampu. Cantik banget deh pokoknya.

Dining area utama restoran memiliki luas yang cukup besar, dengan meja-meja yang ditempatkan dalam jarak yang tidak begitu mepet. Di tengah-tengah ruangan juga ada meja panjang yang biasanya dipakai para tamu yang makan sekalian rapat. Ada grand piano di salah satu sudut ruangan dan, sedihnya, dikunci. Saya pun nggak bisa main piano deh 😕. Nah, dulu di Buttercup Boulangerie juga ada toko wine The Peak. Namun, pas saya tanya ke staf restoran, toko tersebut sudah tutup dan pindah (saya lupa pindahnya ke mana). Seingat saya sih, masih ada The Peak di Setiabudhi Supermarket, in case ingin beli wine.

Di sebelah selatan area utama (yang dipisah jendela-jendela besar di samping piano), ada smoking area. Saya nggak sempat foto areanya, tapi dari segi luas jelas lebih kecil. Soal menu, seperti yang saya bilang sebelumnya, pilihan menunya sudah berbeda dibandingkan ketika saya ke sana di tahun 2017-2018 (lama banget, ya). Saya ingat dulu mereka punya menu pesto fettuccini, tapi sekarang sudah nggak ada. Dan juga, saya lupa foto si chicken katsu bowl yang saya pesan di sini, tapi dari segi rasa sih enak. Dagingnya lembut dan luarnya renyah, tapi dari segi porsi sih memang tidak begitu banyak dibandingkan dengan harganya. Untuk menu lengkapnya, bisa baca informasi menu dan harganya dari Pergikuliner.

Kolam Renang

Sebagai salah satu fasilitas kebugaran dan hiburan, kolam renang hadir di Four Points by Sheraton Bandung. Lokasinya sebenarnya berada di rooftop bangunan Buttercup Boulangerie, tapi hanya bisa diakses lewat bangunan utama hotel. Kolam renang hotel juga satu lantai dengan gym. Ukurannya cukup besar dan panjang untuk bolak-balik satu lap. Sayangnya, nggak ada pemisah yang lebih jelas (or rather, aman) antara kolam anak dengan kolam dewasa. Jadi, buat yang bawa anak-anak, pastikan anak-anaknya diawasi dengan saksama, ya.

Kolam renang di Four Points Bandung berair dingin. Namun, karena konsepnya outdoor, kolam renang jadi terpapar cahaya matahari dan di sore hari, kadang-kadang airnya kerasa lebih hangat. Yang saya sayangkan adalah waktu main ke area kolam, lounge chair yang tersedia jumlahnya sedikit. Selain itu, ngga ada area teduh (kecuali pool bar yang masih berada di area beratap) di pinggir-pinggir kolam. Jadi, yang duduk di lounge chair, siap-siap terpapar cahaya matahari. Seandainya ada parasol, saya rasa akan lebih baik dan nyaman. Di ujung selatan area kolam renang, terdapat shower bilas. Untuk kamar mandi, letaknya ada di dekat pool bar.

Oh, ya. Waktu saya menginap, pool bar hotel masih belum buka. Semoga saja, pas pembaca ada yang berkesempatan menginap ke sana, pool bar-nya sudah buka, ya. Dari area kolam renang, sebetulnya kita bisa lihat view kota. Hanya saja, memang harus berdiri dekat ke dinding pembatas. Dari shower bilas, bahkan kita bisa ngintip ke Superindo dan area parkirnya di sebelah hotel. Saya hampir lupa! Saat masuk ke area pool bar, di sisi selatan terdapat satu nook yang, waktu saya kali pertama menginap di sini di tahun 2016, berfungsi sebagai entertainment area, dengan TV, coffee table, karpet bulu, dan lounge chair. Kalau nggak salah, ada juga bean bag. Namun, waktu saya menginap kedua kalinya, nook tersebut sudah berubah dan hanya diisi dua lounge chair. Jendela yang ada di belakang kursi menawarkan view kota yang cantik. Saya pikir sayang banget area ini jadi kerasa kosong. Padahal, kalau bisa dimanfaatkan untuk fasilitas lain, lumayan sih (mis. perpustakaan atau fasilitas semacamnya).

Gym

Fasilitas kebugaran lainnya yang tersedia di Four Points by Sheraton Bandung adalah gym. Saya suka desain interiornya karena didominasi oleh jendela-jendela full-height yang langsung menghadap ke kolam renang dan pool bar. Walhasil, ruangan pun terasa luas dan terang karena cahaya matahari bisa masuk secara optimal. Sentuhan modern classic masih tetap terasa melalui penggunaan lemari-lemari berwarna putih di sisi timur ruangan. Dari segi desain, lemari-lemari ini mengusung gaya yang sama dengan furnitur yang ada di kamar.

Namun, dari segi jumlah, peralatan yang ada memang terbatas. Ada 2 mesin treadmill, 2 elliptical trainer, dan 1 stationary bike yang ditempatkan menghadap ke jendela. Ada juga 1 weight-lifting machine di sisi timur ruangan. Barbel-barbel ditempatkan di bawah televisi. Meskipun dari segi ukuran, ruangan gym ini tidak besar, masih ada space yang cukup luas untuk senam atau yoga. Oh, ya! Lemari-lemari di salah satu sisi ruangan juga berfungsi sebagai media penyimpanan perlengkapan seperti handuk, paper cup, dan dispenser air minum. Dengan jumlah alat yang terbatas, tamu mungkin harus menunggu agak lama untuk gantian pakai alat. Namun, untungnya waktu saya berkunjung ke gym dan kolam renang, hanya saya tamu yang datang.

Fasilitas Lain

Selain fasilitas-fasilitas yang saya sebutkan di atas, Four Points Bandung juga punya beberapa pilihan lain, seperti ruang rapat dan ballroom. Dilansir dari situs resmi hotel, ada 11 event room, termasuk satu ballroom dengan luas 360 meter persegi yang bisa mengakomodasi maksimal 400 orang. Nah, ada juga sky lounge yang menempati ruangan di dalam atap mansard bangunan. Saya sempat ke sana sebetulnya, tapi nggak sempat ambil foto-foto karena memang awalnya ke lounge untuk breakfast (dan nggak jadi karena saya akhirnya sarapan di Saffron).

Edelweiss Sky Lounge berada satu lantai di atas lantai PH (penthouse). Untuk mengakses lounge ini, kita harus naik lagi satu tangga khusus. Soal view sih, jangan ditanya. Saya bisa menikmati pemandangan Bandung dengan jelas. Untuk interior (meskipun nggak ada fotonya), warna ungu mendominasi ruangan. Sky lounge-nya sendiri sebetulnya nggak begitu luas, tetapi punya outdoor area buat yang ingin menikmati angin malam. Sayangnya, waktu saya menginap, lounge ini pun tidak beroperasi di luar jam sarapan. Lounge juga hanya dibuka di akhir pekan. Waktu saya coba datang lagi Senin pagi, lounge ditutup dan sarapan digelar di Saffron. Jadi, mohon maaf ya karena saya nggak bisa memberikan dokumentasi yang lebih komprehensif terkait sky lounge ini 😔

Hal lain yang ingin saya bahas, meskipun nggak ada fotonya, adalah area parkir. Dari segi jumlah, spot parkir yang tersedia bisa dibilang nggak begitu banyak. Terlebih lagi, area parkir hotel juga harus berbagi dengan area parkir untuk para pengunjung Buttercup Boulangerie. Namun, yang saya rasa agak—what’s the word—khawatirkan adalah ramp ke basemen dan lantai-lantai parkir di bawahnya. Gosh! Ramp-nya sempit banget! Waktu nyetir ke basemen, saya ngerasa was-was karena takut mobil kena dinding pembatas. Pokoknya, hati-hati aja saat mau parkir ke basemen.

Lokasi

Menurut saya, salah satu aspek unggulan Four Points by Sheraton Bandung adalah lokasinya. Berada di kawasan Dago bawah, properti ini memudahkan para pengunjung untuk pergi ke either kawasan Dago atas, or kawasan Balai Kota, Braga, dan Asia Afrika. Pasalnya, posisinya bisa dibilang berada di tengah-tengah. Untuk tamu yang datang dari Jakarta (atau masuk ke Bandung lewat tol Pasteur), cukup lewati Jalan Pasteur dan naik Jembatan Pasupati, kemudian turun di Balubur. Dari situ sih, udah dekat banget ke hotel.

Kehadiran toko swalayan, restoran, dan kafe di sekitar hotel pun jadi sesuatu yang memberikan kemudahan saat saya menginap. Di seberang hotel, bahkan ada ACE dan Informa, just in case mau beli furnitur atau perlengkapan rumah lainnya (he he he). Hotel ini pun berada di jalur angkot. Jadi, gampang banget sih sebetulnya untuk urusan pergi-pergi dan beli-beli. Nah, satu hal lagi yang saya suka adalah di seberang hotel ada Chatime dan Terminale Gelato. Karena saya suka jajan, kehadiran dua gerai itu tentunya memuaskan hasrat ingin jajan saya. Pas lagi bosen kerja di kamar dan ingin ngemil, tinggal nyeberang, beli Chatime dan gelato, terus balik lagi ke hotel.

Dari Stasiun Bandung, Four Points Bandung berjarak sekitar 10-15 menit, tergantung kondisi lalu lintas sebetulnya. Kalau dari Bandara Internasional Husein Sastranegara, jarak tempuh dengan kendaraan bermotor ke hotel bisa mencapai 20-30 menit.

Pelayanan

Segmen ini memuat pendapat saya mengenai pelayanan yang diberikan pihak hotel. Apa yang saya tulis bersifat subjektif dan bukan merupakan informasi umum, dan lebih merupakan pendapat pribadi. Experience yang saya alami bisa jadi berbeda dari apa yang orang lain alami. Tulisan dalam segmen ini tidak ditujukan untuk menjelek-jelekkan atau menurunkan reputasi hotel. Jika informasi yang saya tulis bersifat positif, semoga manajemen hotel bisa tetap menjaga kualitas layanannya. Jika bernada negatif, semoga bisa menjadi bahan perbaikan bagi pihak hotel. 

Selama menginap di Four Points by Sheraton Bandung, saya terkesan dengan pelayanan yang pihak hotel berikan. Proses check-in berjalan lancar dan cepat, padahal saat itu tingkat okupansi sedang tinggi dan para tamu ngantri untuk check-in. No nonsense—bisa dibilang begitu. Saat tiba di kamar pun, ternyata sudah tersedia buah-buahan segar untuk saya, serta personalized note dari Bu Emi. Terima kasih banyak 🙏🏻 Hanya saja, seperti yang saya sebutkan di segmen pertama, ada satu kantung plastik sampah yang tertinggal di dalam kabinet TV. Ke depannya, semoga tim housekeeping bisa melakukan persiapan dan pembersihan yang lebih menyeluruh.

Soal keramahan para staf (terutama yang di restoran karena saya banyak berinteraksi dengan mereka saat sarapan), saya merasa tidak ada masalah. Saat sarapan di Senin pagi, station es krim tidak beroperasi. Namun, saat saya tanya apakah saya bisa dapat es krim sebagai dessert, staf yang bertugas bisa menyediakan semangkuk es krim. Memang bukan rasa yang saya inginkan, tapi saya pikir ini perlu diapresiasi.

Satu hal lagi yang harus saya apresiasi adalah bantuan staf hotel saat saya mengalami masalah dengan kabel charger laptop. Jadi, tiba-tiba kabel charger laptop saya hampir putus dan karet pembungkusnya terkelupas (memang usianya juga udah lama banget sih). Saya coba tanya apakah pihak hotel punya lakban hitam tebal supaya saya bisa menutupi bagian kabel yang terbuka. Nah (saya lupa nggak menanyakan nama staf yang waktu itu datang), staf yang bantu saya bilang bahwa nggak ada lakban hitam, tapi dia bilang akan bantu carikan alternatifnya. Akhirnya, untuk sementara kabel saya ditutupi semacam tape warna merah. Ya, setidaknya kabel saya aman dan bagian dalamnya nggak sampai terekspos deh. Sekarang sih saya sudah beli charger baru. Terima kasih banyak untuk staf Four Points Bandung. Bantuannya sangat saya apresiasi.

Kesimpulan

Beautiful in white. Saya tahu itu judul lagunya Shane Filan, tapi baik dari segi eksterior maupun interior, Four Points Bandung memang tampil cantik dalam balutan warna putih, tentunya ditambah dengan desain modern classic yang diusung. Dari sisi eksterior, bangunan hotel tampil menonjol dengan “bodi” yang menjulang dan atap mansard khas Perancis yang membuat bangunan hotel terlihat majestic dan mewah. Dari sisi interior, desain modern classic yang dipadukan dominasi warna putih membuat kamar terkesan elegan dan luas. Penggunaan lantai marmer di area-area publik hotel pun makin menonjolkan kemewahan hotel. Wajar saja karena hotel ini sejak awal diproyeksikan sebagai hotel butik. Jadi, penampilannya pun harus atraktif dong.

Pilihan fasilitas yang tersedia saya rasa sudah cukup lengkap untuk properti bintang empat. Ada kolam renang, gym, restoran, pool bar, sky lounge, ruang rapat, dan ballroom. Fasilitas yang saya rasa bisa jadi primadona hotel adalah kolam renang dan restorannya. Dengan ukuran yang cukup besar, kolam renang hotel cocok jadi fasilitas kebugaran dan hiburan, terutama untuk keluarga. Hanya saja, kolam anak dan kolam dewasa tidak dipisah dan dibatasi oleh dinding pendek di dalam kolam. Untuk gym, jumlah peralatan yang tersedia memang sangat terbatas sehingga ada kemungkinan saat ramai, tamu-tamu harus menunggu cukup lama untuk gantian pakai alat.

Untuk kamar, interiornya mengusung desain modern classic dan didominasi warna putih. Semua in-room amenities berfungsi dengan baik. Hanya saja, yang saya sesalkan ya kantung plastik sampah yang masih tertinggal di dalam kabinet TV. Pintu geser lemari pakaian pun merangkap sebagai pintu geser kamar mandi. Ini artinya kalau kita pakai kamar mandi dan tutup pintunya, lemarinya jadi terbuka dan isinya bisa terlihat. Selain itu, jam alarm di kamar pun nggak dilengkapi fitur Bluetooth. Namun, selebihnya sih everything is great. Koneksi WiFi punya kecepatan yang cukup tinggi dan bisa diandalkan untuk kerja. Kamar mandi tampil mewah dalam balutan marmer berwarna beige. Pilihan kanal televisi yang tersedia cukup beragam. Ukuran kamar cukup luas dengan pemandangan gunung yang cantik. What else? Ya, saya tahu sih. Jam alarm yang tidak dilengkapi Bluetooth jadi salah satu hal yang disayangkan, at least untuk saya secara pribadi.

four points bandung

Dengan rate dari 890 ribuan per malam (berdasarkan rate paling rendah yang saya dapat di Marriott Bonvoy), saya harus jujur bahwa Four Points Bandung bukanlah akomodasi bintang 4 paling terjangkau di kelasnya, terutama kalau saya bandingkan dengan properti-properti setara dengan rate yang lebih rendah. Namun, dengan fasilitas yang cukup komprehensif, desain interior yang elegan dan Insta-worthy, serta lokasi yang prima, Four Points by Sheraton Bandung bisa jadi pilihan hotel untuk menikmati staycation mewah di Bandung.

Pros & Cons

👍🏻 Pros

  • Desain hotel, baik eksterior maupun interior cantik banget dalam balutan warna putih dan gaya modern classic. Bangunan hotel yang megah dengan atap French mansard yang khas jadi keunikan hotel ini.
  • Lokasi hotel prima banget. Di sekitar hotel ada toko swalayan, restoran, kafe, dan bahkan hardware store. Hotel juga berada di jalur angkot (in case mau bepergian pakai angkot).
  • Ukuran kamar tipe terkecil (Classic) sudah cukup luas, terutama dengan dominasi warna putih pada interiornya dan langit-langit yang tinggi.
  • Properti ini punya sky lounge. Cocok buat yang ingin nongkrong malem sambil lihat view Bandung.
  • Secara pribadi, saya terkesan dengan pelayanan yang diberikan pihak hotel, terutama soal bantuan yang diberikan staf terkait kabel charger laptop saya yang terkoyak dan es krim saat sarapan. They went above and beyond at giving the best service.

👎🏻 Cons

  • Ramp ke area parkir di basemen sempit banget. Harus hati-hati pokoknya.
  • Jumlah peralatan di gym terbatas. Jadi, kalau sedang ramai, mau nggak mau harus nunggu (mungkin agak lama) untuk gantian.
  • Kolam anak dan kolam dewasa tidak dipisah dan hanya dibatasi oleh dinding pendek di dalam kolam. Anak-anak harus diawasi ketat pokoknya pas berenang.
  • Rate-nya terbilang tinggi untuk properti di kelasnya.

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌😶
Desain: 😆😆😆😆😶
Lokasi: 🤩🤩🤩🤩🤩
Harga: 💰💰💰💰

Review: de Java Hotel Bandung

Duh! Outbreak COVID-19 bikin kita semua kena imbas yang cukup serius. Pekerjaan dan kehidupan sehari-hari jadi terganggu. Saya sendiri udah 2 minggu lebih di rumah dan sejak weekend minggu kemarin, sudah mulai bosan. Stok camilan pun sempat habis, meskipun akhirnya saya belanja online buat beli beberapa barang. Namun, kebutuhan-kebutuhan lain masih belum saya beli karena toko-toko yang menjual produk-produk itu masih tutup. Ya, toko dan mal ‘kan pada tutup. Saya juga bete karena sudah lama nggak main Pump It Up! dan gatal banget kaki ini rasanya.

Anyway, daripada gabut, saya mau review satu properti di Bandung yang lokasinya tepat berseberangan dengan mal langganan saya, Paris van Java. Sebetulnya, saya nginep di sini tahun kemarin. Jadi, kebayang, ya, berapa lama saya nunggak nulis review untuk hotel ini. Mohon maaf, ya. Maklum kerjaan lagi padat banget. Setiap ke PVJ, saya pasti lewat hotel ini, tetapi memang saya baru nginap satu kali di sana dan itu pun tahun kemarin. Dengar cerita dari beberapa teman, hotel ini menonjolkan desain interiornya sebagai keunggulannya dan, tentunya, lokasinya yang super strategis. Setelah menginap, saya bisa mengonfirmasi cerita teman-teman.

206812929
Lobi De Java Hotel. Foto milik pihak manajemen hotel.

de Java Hotel adalah hotel bintang 4 di Bandung yang berlokasi di Jalan Sukajadi No. 148-150. Seperti yang saya bilang di atas, hotel Instagrammable ini berseberangan dengan PVJ, salah satu mal upscale di Bandung. Bisa dibilang hotel ini juga cukup terkenal di kalangan wisatawan karena lokasinya. Gimana nggak? Mau ke mal, tinggal nyeberang jalan. Sebelum sistem satu arah di Jalan Sukajadi diterapkan di akhir tahun 2019, lokasi hotel ini makin strategis karena bisa dicapai dari dua arah. Sekarang, sejak Jalan Sukajadi diubah jadi jalan satu arah, hotel ini hanya bisa diakses dari arah bawah ke atas (Lembang).

Saya coba browsing informasi tentang hotel ini dan nggak dapat banyak informasi. Namun, dari saya kuliah pun hotel ini sudah berdiri. Jadi, bisa dibilang usianya mungkin udah sekitar 5-6 tahun lebih. Bangunan hotel yang ada sekarang merupakan hasil perluasan karena dulu, bangunannya nggak sebesar itu. Meskipun dari luar kelihatan kecil, ternyata hotel ini lumayan besar. Lorong-lorong kamarnya cukup bikin bingung karena ada bagian hotel yang baru dan lorong yang ditutup. Saya agak susah menjelaskannya, tapi yang jelas, saya sempat agak kesulitan cari kamar. Saya juga nggak dapat informasi tentang jumlah kamar di hotel ini dan nggak sempat ngobrol dengan GM atau staf di sana. Yang jelas, sesuai namanya, de Java Hotel mengusung interior bergaya tradisional Jawa yang berhasil di-fusion dengan sentuhan modern. Di lobi, misalnya, sentuhan tradisional Jawa terlihat dari gunungan wayang di dinding belakang meja resepsionis. Elemen-elemen kayu dan warna-warna earthy juga mendominasi interior ruang-ruang publik di hotel. Karena ini, saya bisa bilang kalau hotel ini adalah salah satu hotel unik di Bandung.

Waktu berkunjung ke de Java Hotel, saya menginap di kamar tipe Superior. Dilihat dari kondisinya, kamar saya sepertinya merupakan hasil perluasan hotel. Jadi, masih terbilang baru. Ulasan lengkapnya saya sajikan di segmen berikutnya, ya!

Desain Kamar

Satu hal yang saya suka dari de Java Hotel adalah konsepnya. Sesuai namanya, interior bergaya tradisional Jawa diusung di hotel ini. Namun, yang bikin saya lebih senang adalah fusion-nya yang apik dengan sentuhan modern. Saya menempati kamar tipe Superior. Berdasarkan informasi dari situs resmi hotel, kamar ini punya luas 21 meter persegi. Bicara soal ukuran, saya nggak bisa bilang kalau kamar ini kecil, tetapi nggak luas juga. Sebenarnya, mungkin akan terkesan luas kalau jendela kamar punya view ke luar bangunan. Sayangnya, ketika jendela dibuka, view yang didapat adalah dinding kosong. Walhasil, selama menginap saya selalu tutup gorden dan kamar jadi terasa agak claustrophobic. Mungkin next time bisa coba minta assign kamar dengan view ke arah luar.

IMG_20190428_143911
IMG_20190428_143952
IMG_20190428_143940

Interior kamar tampak elegan dan unik dengan penggunaan panel kayu berwarna cokelat tua di belakang tempat tidur. Panel rotan dekoratif berfungsi sebagai headboard. Di panel ini juga tergantung satu cermin dan beberapa hiasan dinding dari batik. Sentuhan mewah makin ditonjolkan melalui penggunaan wall light. Sebenarnya, saya minta kamar dengan double bed, tetapi double bed ini ternyata twin bed yang digabungkan. Namun, nilai plus lain yang saya lihat adalah adanya guling mini dengan sarung batik. Oh! I love Dutch wives! Waktu saya kecil, kayaknya kalau tidur nggak pakai guling tuh, rasanya nggak pulas.

Fasilitas yang disediakan oleh de Java Hotel di tipe Superior mencakup TV, AC, coffee/tea maker, dan meja kerja. Untuk WiFi, saya sempat kesulitan akses jaringan ini lewat laptop, tapi berhasil kalau pakai handphone. Oh, ya! Di dekat jendela juga ada set kursi dan meja kopi. Kursi ini punya sandaran berbahan rotan yang cantik. Buat saya sih, meja dan kursinya terlalu pendek, tapi tetap jadi sweet addition to the bedroom.

IMG_20190428_144036
IMG_20190428_144003
IMG_20190428_143919

Suasana tradisional Jawa semakin diperkuat dengan lantai ubin berpola. Ini rasanya kayak main ke rumah Mbah di Yogyakarta. Pintu kamar mandi pun merupakan double door dengan pegangan bergaya tradisional dan kaca buram kekuningan dengan pola yang khas. Cantik banget dan saya suka! Di rumah nenek saya, ada satu jendela yang dipasangi kaca seperti itu, tetapi warnanya bukan kuning. Saya nggak tahu istilahnya. Kalau ada yang tahu, please let me know. Media penyimpanan di sini cukup banyak. Untuk closet, memang bukan lemari tertutup. Namun, saya rasa kalau pakai lemari yang tertutup, ruangan akan terasa lebih sempit. Saya rasa mungkin karena kamar didominasi warna-warna earthy yang cukup gelap sehingga kesannya kecil. Meskipun demikian, atmosfer kamar tetap terasa hangat dan cozy.

Namun, ada satu hal yang agak mengganggu ketika saya menginap di de Java Hotel. Kamar kurang kedap suara. Di pagi hari, saya dengar suara anak kecil nangis dari kamar sebelah, diikuti suara-suara lain seperti ringtone ponsel tamu dan suara ibu-ibu yang ngomel. Suara-suara seperti itu mengganggu istirahat. Namun, saya jadi sadar bahwa suara dari kamar saya pun mungkin bisa aja kedengaran oleh tamu di kamar sebelah. Privasi bisa agak terganggu nih.

Kamar Mandi

Untuk kamar mandi tipe Superior di de Java Hotel, desainnya masih in line dengan interior kamar. Namun, kalau dinding utama kamar bercat putih, dinding kamar mandi dipasangi ubin berwarna abu-abu. Sentuhan tradisional Jawa tercermin dari lukisan batik di atas kloset. Ukuran kamar mandi sendiri sebetulnya cukup kecil, dan ditambah pemilihan ubin berwarna gelap, kamar mandi terkesan “mengekang”. Untungnya, pencahayaan di kamar mandi cukup cerah. Selain itu, penggunaan ubin dengan warna dan pola kayu di area wastafel dan belakang kloset memberikan sentuhan elegan, terutama ketika dipadukan dengan cermin berbentuk lingkaran. Di area shower, tersedia shower tangan, tanpa rainshower. Area ini dipisahkan oleh dinding kaca dan split level. Namun, tetap sih ketika mandi, air bisa luber ke area kamar mandi yang lain, meskipun area kloset sih masih tetap kering.

IMG_20190428_144400
IMG_20190428_144405

Di kamar mandi, tersedia hair dryer. Fasilitas ini sendiri saya pikir jadi staple bathroom amenity untuk hotel bintang empat. Sampo, pasta gigi, sabun, dan sampo juga tersedia. Untuk toilet paper, penempatannya nggak tepat di samping kloset, dan ada di dekat wastafel. Untuk kita yang cebok pakai air sih, nggak masalah karena ada water gun. Nah, untuk tamu yang cebok pakai toilet paper, mungkin harus maju sedikit untuk ambil toilet paper. Oh, ya! Di atas area shower, saya perhatikan ada satu lubang yang terbuka dan jujur, ini bikin agak parno. Mungkin di lubang itu, nantinya akan dipasangi kipas angin, tapi jujur aja saya parno ketika pakai kamar mandi. Ya, semoga aja sih sekarang lubang itu sudah ditutup dan dipasangi exhaust.

IMG_20190428_144349
20190429_111134_900

Fasilitas Umum

Restoran

Sarapan di de Java Hotel disajikan di restoran yang ada di lantai lobi. Ukuran restorannya cukup luas menurut saya dan masih mengusung kombinasi desain kontemporer dengan sentuhan tradisional Jawa. Sebetulnya, area restoran ini punya extension di dekat lobi untuk mengakomodasi para tamu kalau main dining hall sudah penuh.

IMG_20190428_204048
IMG_20190428_204116
IMG_20190428_204042

Saya lupa foto menu sarapannya dan foto-foto restoran diambil di malam hari. Namun, buat gambaran aja, menu yang disajikan cukup variatif. Ya, standar hotel bintang empat kalau menurut saya sih. Untuk minuman, seperti biasa ada kopi, teh, air putih. Dari segi rasa, saya juga nggak punya complaint. Saat menginap, saya sarapan lebih awal, sekitar jam setengah 7 pagi dan kondisi restoran masih relatif sepi.

Oh, ya. de Java Hotel juga katanya punya bar, tapi saya nggak tahu di sebelah mana, dan saya juga nggak sempat cari. Setiap lewat depan hotel kalau mau ke PVJ, saya sering lihat promo yang diadakan bar. Biasanya sih, promo untuk bir (dan yang terakhir saya lihat sih, it was a pretty good deal!). Mungkin next time saya nginap lagi di sana, saya coba ke barnya. Ya, sekalian untuk update informasi di review ini.

Kolam Renang

Fasilitas lain di de Java Hotel yang sayang dilewatkan adalah kolam renangnya. Kalau dulu, kolam renangnya terbuka dan lihat di foto-foto sih, ada poolside bar. Namun, waktu saya ke sana, kolam renangnya sudah tidak lagi terbuka. Semi-outdoor lah bisa dibilang. Namun, view dari jendela-jendela besar di area kolam bagus banget, terutama view ke arah selatan.

IMG_20190429_080944
IMG_20190429_080930

Waktu saya datang ke kolam renang, ada banyak meja dan kursi yang sudah ditata. Sepertinya sih, akan ada acara di gelar di sini. Namun, ada satu dua orang tamu yang masih berenang. Ukuran kolam renang di de Java Hotel nggak begitu besar memang. Kalau untuk renang satu lap sih ini masih jarak pendek. Kolam anak dan kolam dewasa itu sama, tapi ada pemisahnya. Sayangnya, pemisahnya ini menurut saya sih kurang aman. Jadi, kalau bawa anak-anak berenang ke sini, pastikan harus diawasi.

Fasilitas Lain

Selain restoran, bar, dan kolam renang, de Java Hotel juga punya beberapa function room yang saya lihat waktu mau ke kolam renang. Hotel ini juga katanya punya gym, tapi saya nggak tahu di sebelah mana. Yang jelas, di sini juga ada spa, toko suvenir (lagi tutup waktu saya menginap), dan ATM (di depan hotel).

IMG_20190428_204018
IMG_20190428_204008

Lokasi

Faktor lokasi jadi salah satu keunggulan de Java Hotel. Bisa dibilang properti ini adalah salah satu hotel paling strategis di Bandung. Meskipun Jalan Sukajadi sekarang sudah menjadi jalan satu arah, secara lokasi hotel ini masih dibilang strategis. Buat hiburan, misalnya, di depan hotel ada Paris van Java, salah satu mal upscale di Bandung. Tinggal nyeberang jalan, sampai deh di PVJ. Mal ini sendiri punya beragam pilihan restoran. Di sekitar hotel juga ada minimarket dan warung-warung. Aman deh kalau urusan makan.

Dari Stasiun Bandung, de Java Hotel bisa dicapai dengan kendaraan roda empat selama sekitar 15-20 menit, tergantung kondisi lalu lintas. Biasanya, titik kemacetan ada di Jalan Pasirkaliki dan Sukajadi bawah. Kalau dari Bandara Internasional Husein Sastranegara, hotel ini berjarak sekitar 30 menit.

Pelayanan

Segmen ini memuat pendapat saya mengenai pelayanan yang diberikan pihak hotel. Apa yang saya tulis bersifat subjektif dan bukan merupakan informasi umum, dan lebih merupakan pendapat pribadi. Experience yang saya alami bisa jadi berbeda dari apa yang orang lain alami. Tulisan dalam segmen ini tidak ditujukan untuk menjelek-jelekkan atau menurunkan reputasi hotel. Jika informasi yang saya tulis bersifat positif, semoga manajemen hotel bisa tetap menjaga kualitas layanannya. Jika bernada negatif, semoga bisa menjadi bahan perbaikan bagi pihak hotel. Ke depannya, saya akan sertakan segmen ini di ulasan-ulasan berikutnya. 

Faktor pelayanan jadi salah satu hal yang saya rasa cukup baik. Staf yang bertugas ramah-ramah. Selama menginap, interaksi saya dengan staf memang nggak banyak. Namun, kalau papasan sih, staf biasanya senyum atau menyapa. Waktu breakfast, staf yang bertugas juga cukup gesit menyiapkan berbagai hal. Proses check-in dan check-out juga lancar. Overall, bisa dibilang kualitas pelayanannya baik. Semoga kualitasnya tetap dipertahankan dan kalau bisa, lebih baik lagi.

Kesimpulan

An elegant fusion. Mungkin itu yang bisa saya bilang untuk menggambarkan de Java Hotel. Interior kamar jadi salah satu hal yang saya sukai dari hotel ini. Dari segi ukuran, memang tipe Superior bukan tipe yang luas. Namun, kalau yang dicari adalah desain interior, hotel ini layak dipertimbangkan. Yang jadi concern adalah tidak adanya view dari jendela kamar. Mungkin next time, kalau mau pesan kamar di hotel ini, coba minta kamar dengan view ke luar. Saya juga ngerasa terganggu dengan suara berisik dari kamar sebelah (terutama karena anaknya nangis terus). Kurang kedap suaranya kamar jadi sesuatu yang harus dipertimbangkan juga. Selain itu, adanya lubang di atas area shower jadi privacy concern. Karena udah satu tahun sejak saya ke sana, semoga aja sekarang lubang itu sudah ditutup.

Untuk aspek pelayanan dan fasilitas umum, saya nggak ada objection. My stay was fine. Staf cukup ramah dan helpful. Menu sarapan yang disajikan juga cukup variatif. Ya, standar hotel bintang empat lah, gimana. Adanya kolam renang dengan view kota Bandung bikin hotel ini jadi opsi yang tepat untuk liburan bareng keluarga. Ditambah lagi, lokasinya yang strategis memudahkan saya pergi ke mana-mana. Karena saya sering ke Paris van Java, main ke mal rasanya gampang banget.  Tinggal nyeberang jalan dan voila! Saya udah di PVJ.

Dengan rate mulai dari 500 ribu rupiah per malam (berdasarkan info dari Tripadvisor), de Java Hotel bisa jadi pilihan yang cocok untuk liburan di Bandung. Untuk staycation pun, hotel ini rasanya pas, terutama karena dekat dengan mal. Dengan desain interior yang cantik dan fasilitas yang terbilang mumpuni, de Java Hotel perlu dipertimbangkan untuk rencana liburan keluarga di Bandung.

Pros & Cons

👍🏻 Pros

  • Desain interiornya cantik, memadukan gaya tradisional Jawa dengan sentuhan kontemporer, tanpa terkesan “trying too hard“. Dominasi elemen kayu dan warna-warna earthy di kamar membangun atmosfer yang cozy.
  • Lokasi hotel cukup strategis. Dekat ke mal, di kelilingi minimarket dan beragam kedai atau warung. Buat makan sih, gampang banget lah.
  • Untuk hotel di tengah kota dan berseberangan dengan mal, rate yang ditawarkan masih affordable, ditambah lagi desain interiornya yang cantik.
  • Fasilitas yang ditawarkan, terutama kolam renangnya cocok untuk liburan bareng keluarga.

👎🏻 Cons

  • Kamarnya dirasa kurang kedap suara. Saya pagi-pagi terganggu dengan suara anak kecil nangis di kamar sebelah, plus ibunya yang marah-marah. Di sisi lain, suara dari kamar kita bisa jadi terdengar ke kamar sebelah. Privacy concern number 1.
  • Nggak semua kamar menawarkan view ke luar bangunan. Kamar yang saya tempati nggak punya view. Walhasil, jendela harus selalu ditutup dan kamar terasa claustrophobic, terlebih dengan ukurannya (21 meter persegi).
  • Waktu saya menginap, di langit-langit area shower ada lubang terbuka. Mungkin lubang itu akan dipasangi exhaust, tapi yang jelas saya jadi parno. Privacy concern number 2.

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😶⚪️
Desain: 😆😆😆😆⚪️
Lokasi: 🤩🤩🤩🤩😶
Harga: 💰💰

Review: Art Deco Luxury Hotel & Residence Bandung

Lagi-lagi hiatus. Jujur kadang saya sedih ketika sadar bahwa blog ini mulai terbengkalai. Sebenarnya, mau gimana lagi. Tanggung jawab pekerjaan memang nggak bisa dilepas begitu aja. No pain no gain. Nggak kerja, nggak dapet duit. Padahal, utang review masih banyak sebetulnya. Ada beberapa hotel yang sudah dikunjungi dan tinggal diulas. Hanya waktunya saja sih yang belum ada.

But anyway, saya lagi ada waktu luang setelah beresin kerjaan. Nah, momen ini akan saya manfaatin untuk mengulas hotel yang satu ini. Sebetulnya, saya kunjungi hotel ini udah cukup lama, tapi baru sempat sekarang nih nulis review-nya. Ada cerita unik sebetulnya tentang hotel ini. Jadi, waktu itu saya lagi iseng-iseng cek Agoda. As usual, saya sering iseng cek Agoda, Traveloka, Marriott Bonvoy, IHG, dan situs-situs booking lainnya dengan harapan dapet diskon atau deal asyik. Nah, waktu lagi cek, tiba-tiba hotel ini muncul di list. Yang bikin saya excited adalah diskonnya cukup menarik. Di Agoda sendiri, rate hotel ini cukup tinggi. Karena diskonnya cukup besar dan reservasinya sudah mencakup breakfast, akhirnya saya putuskan buat book hotel ini sekalian review.

Screen Shot 2019-12-04 at 10.57.04 PM
Fasad Art Deco Luxury & Residence Bandung. Foto milik pihak manajemen hotel.

Art Deco Luxury & Residence Bandung berlokasi di Jl. Rancabentang No. 2, Bandung. Dari segi lokasi, hotel ini dekat banget dengan Universitas Katolik Parahyangan. Namun, yang jadi fokus saya sebetulnya bukan jaraknya dari kawasan UNPAR, tapi lingkungannya yang asri dan rimbun. Menurut saya secara pribadi sih Art Deco Luxury ini salah satu hotel di Bandung yang menawarkan view alam terbaik, tapi juga akses yang lebih dekat ke pusat kota. Karena dikelilingi banyak pepohonan, gedungnya yang bergaya modern klasik ini tampak mencolok, apalagi dengan tinggi 9 lantai dan dominasi warna putih.

Ada 65 kamar di hotel ini. Mengusung nama “art deco”, ekspektasi saya sebetulnya cukup besar karena saya ingin tahu seberapa art deco sih hotel ini. Saya sampai ngontak kakak saya yang arsitek buat minta konfirmasi. Sebelum datang, saya hanya lihat kamarnya dari foto-foto di internet dan jujur, saya suka dengan desainnya. Sepintas saya ingat dengan kamar saya di Four Seasons Jakarta dulu. Oh, ya! Semua kamar yang ada terbagi ke dalam empat tipe, yaitu Deluxe, Premier, Corner Suite, dan Jacuzzi Suite. Untuk tipe yang terakhir, ada jacuzzi di balkonnya. Next time mungkin saya coba deh book tipe kamar itu (masalahnya, rate-nya lumayan mahal sih). Untuk fasilitas sendiri, ada gym, restoran, rooftop pool, whirlpool, spa, dan meeting room. Untuk hotel bintang empat, fasilitas segitu sudah terbilang lengkap lah.

Waktu berkunjung, saya pesan kamar tipe Deluxe. Saya dapat kamar dengan twin bed. Sebetulnya, kalau bisa dapat yang king bed sih sepertinya enak buat guling-guling di atas kasur, walaupun saya sebetulnya kalau tidur nggak motah. Untuk ulasan lengkapnya, bisa baca segmen berikutnya, ya!

Desain Kamar

Kalau melihat dari namanya, ekspektasi saya dari Art Deco Luxury & Residence Bandung ini adalah kamar-kamar bergaya art deco. Sebetulnya, ada beberapa elemen interior, tidak hanya kamar tapi juga area publik lainnya yang mencerminkan gaya ini (dan sudah dikonfirmasi sama kakak saya. Xiexie, Bang Michan). Untuk kamar sendiri, dengan luas 28 meter persegi, saya merasa kamar sudah terasa cukup luas. Interior kamar sendiri buat saya lebih ke arah gaya modern classic. Penggunaan panel kayu saja sebetulnya tidak lantas membuat interior kamar bergaya art deco. Namun, headboard tempat tidur punya bentuk yang hampir menyerupai clamshell, dan buat saya sih  headboard berbentuk clamshell cukup art deco. Seandainya motifnya adalah garis-garis vertikal, dan bukan quilted, saya rasa kesan art deco-nya akan makin kentara.

IMG_20190719_153600_BURST1
IMG_20190719_153648
IMG_20190719_153707

Terlepas dari seberapa art deco-nya interior kamar, satu hal yang berani saya bilang adalah suasana kamar terasa elegan. Pemilihan warna gading yang dipadukan beberapa shades cokelat bikin kamar terlihat mewah. Pencahayaan ruangan memang cenderung redup, tapi saya rasa cocok sih kalau niatnya datang untuk istirahat. Saat menginap, saya hampir nggak pergi ke mana-mana lagi (kecuali sekitar jam 9an untuk makan malam, dan balik lagi jam 10). Jujur saya betah sebetulnya di kamar. Apalagi waktu sore-sore saat hari masih cerah. Saya senang nongkrong di balkon buat sebatas ngeteh sambil lihat kebun.

Sayangnya, personal request saya nggak terpenuhi. Saya rasa mungkin karena tingkat okupansi Art Deco Luxury & Residence Bandung pada saat itu lagi tinggi. Saya minta kamar di lantai yang lebih tinggi, tapi malah dapat kamar di lantai 2. Walhasil, pemandangan yang didapat pun kurang tinggi.

IMG_20190719_153748
IMG_20190719_153758

Untuk en suite amenities sendiri, jelas ada TV, WiFi, dan AC. Sebelumnya saya sempat bilang kalau interior kamar lebih ke arah modern classic. Saya punya alasannya. Bisa dilihat sendiri, working desk dan kursinya lebih bergaya kontemporer. Kalau gini, jatuhnya sih seperti modern meets classic, dan saya sendiri fine dengan hal itu. Hanya saja, kalau memang ingin menonjolkan “art deco”, mungkin penggunaan furnitur dengan nuansa art deco yang lebih kental akan jauh lebih bagus.

Di kamar juga ada coffee/tea maker dan electronic safe. Lemari pakaiannya sendiri cukup besar. Di dekat counter teh dan kopi, ada pintu menuju connecting room di sebelah. Nah, yang saya kurang suka adalah pemotongan panel dinding yang “maksa”. Bisa dilihat di foto sebelumnya, alih-alih memasang pintu dengan desain yang memang pintu banget (mis. pintu utama kamar), pintu menuju kamar sebelah terkesan seperti dipaksa dibuat dengan membongkar dinding yang sudah ada. Saat lihat itu, saya langsung ingat salah satu episode serial Mr. Bean. Di episode itu, si Bean mencoba menutup bukaan di dinding dengan menggambar persegi panjang pada salah satu dinding gipsum, menjebol dinding tersebut sesuai gambar, dan memasangkan si potongan persegi panjang itu ke bukaan dinding pertama.

IMG_20190719_154140
IMG_20190719_154204

Sebelumnya, saya sempat bilang bahwa interior kamar ini mengingatkan saya dengan interior kamar saya waktu menginap di Four Seasons Jakarta. Salah satu aspek pengingat yang paling menonjol adalah mural di dinding belakang tempat tidur. Di Art Deco Luxury & Residence Bandung, mural yang ada tampil dengan warna yang lebih kontras dari latar belakang. Meskipun demikian, muralnya masih berdesain floral dengan burung dan kupu-kupu. Saya juga suka dengan adanya sconce kristal di kedua sisi tempat tidur. Kehadiran sconce ini menambah kemewahan interior kamar.

Oh, ya! Saya lupa cerita lebih banyak tentang balkonnya. Saya udah bilang kalau saya menempati kamar di lantai 2. Ya, dari segi ketinggian sih masih belum cukup tinggi buat melihat pemandangan yang lebih luas. Apalagi, tepat di bawah kamar saya ada unit-unit punya residents. Nah, kalau saya perhatikan, unit-unit itu dilengkapi kolam renang kecil. Sayangnya, sebagian besar kolam renang di unit-unit itu pada nggak keurus dan dibiarin kotor. Saya sengaja nggak foto karena memang kelihatannya kurang rapi. Untuk view sendiri, saya langsung dapat view kebun. Cukup menyegarkan mata, terutama di pagi hari. Waktu bangun, hal yang pertama saya lakukan adalah buka tirai dan pintu, lalu ke balkon buat bersantai. Udara kawasan Ciumbuleuit ini masih segar banget. Dingin, tapi menyegarkan.

IMG_20190719_154059
IMG_20190719_154042
IMG_20190719_154051

Kamar Mandi

Desain kamar mandi sendiri senada dengan desain kamar. Lagi-lagi, ada satu sudut kamar mandi yang mengingatkan saya dengan kamar mandi di Four Seasons Jakarta. Di dinding belakang kloset, terpasang lukisan kecil. Kalau penasaran, bisa coba lihat di review saya sebelumnya. Nggak 100% identik, tapi mirip.

IMG_20190719_153921
IMG_20190719_153836
IMG_20190719_153853

Bentuk kamar mandinya memanjang, dengan sisi lebar yang menurut saya sih kecil. Posisi “default” tempat sampah terlalu dekat dengan kloset. Jadi, kalau mau buang air, saya harus geser dulu tempat sampahnya supaya nggak sempit. Meskipun demikian, saya suka dengan penggunaan marble wall berwarna beige yang bikin interior kamar mandi terasa mewah dan elegan. Bathroom sink-nya pun besar dengan bentuk oval.

IMG_20190719_153908
IMG_20190719_153938

Bathroom amenities-nya mencakup produk mandi, hairdryer (ada di dalam laci), dan handuk. Nggak ada vanity mirror di sini. Nah, karena ukuran kamar mandinya juga yang serba terbatas, shower area-nya bisa agak kecil. Ada fixed shower dan shower tangan di sini, dan saya lebih suka pakai shower tangannya karena bisa diatur ke semburan jet. Lumayan buat pijat bahu dan leher yang pegal. Untuk bath product sendiri, Art Deco Luxury & Residence Bandung menghadirkan produk-produk lini White River Falls dari Waterl’Eau, perusahaan asal Belgia yang sudah berkecimpung di dunia produk mandi sejak tahun 1992.

Nah, saya sempat research singkat tentang lini ini. Dilansir dari situs resminya, produk-produk dari lini White River Falls ini mengandung witch hazel sebagai bahan utamanya. Witch hazel sendiri bermanfaat menghaluskan kulit dan mencegah peradangan. Tanaman ini juga bisa membasmi jerawat, dan saya sendiri pakai toner wajah yang bahan utamanya witch hazel karena kulit saya cenderung berminyak dan gampang jerawatan. Dari segi aroma, saya suka karena nggak menyengat (kecuali body lotion-nya karena aromanya lebih intens). Sepintas aromanya mengingatkan saya sama sampo bayi Johnsons. Kalau mau mencoba mandi mewah, produk-produk ini bisa jadi andalan.

Fasilitas Umum

Restoran

Art Deco Luxury & Residence Bandung punya satu restoran di lantai rooftop. Sebenarnya, ini satu-satunya dining venue di hotel ini. Begitu keluar dari lift, saya disambut dengan satu dinding dengan mural bertema oriental dan dua buah kursi tangan bergaya Chinoiserie sebagai focal point. Untuk restorannya sendiri sebetulnya cukup besar. Ada area indoor dan outdoor. Area indoor-nya masih mengusung desain interior yang sejalan dengan interior kamar. Dan lagi-lagi, buat saya sih masih kurang art deco (kalau mengambil definisi art deco era Roaring Twenties).

IMG_20190719_170752
IMG_20190719_154903

Interior restoran tampil elegan dalam dominasi warna putih dan furnitur bergaya modern klasik dalam balutan warna krem dan emas. Ada sofa beludru berwarna royal blue sebagai colour pop di area indoor restoran. Pencahayaan didukung oleh beberapa chandelier dan sconce yang mirip dengan sconce di kamar atau koridor hotel. Penggunaan cermin di dinding membangun kesan lapang di dalam ruangan. Restoran juga terasa lapang karena banyak jendela besar yang menghadap ke arah luar. Di siang hari, jendela-jendela ini membantu banyak cahaya untuk masuk ke ruangan. Jadi, bisa mengurangi penggunaan lampu dan menghemat listrik. Di salah satu sudut restoran, ada lemari penyimpanan wine. Sabi lah kalau mau selebrasi.

IMG_20190719_155102
IMG_20190719_155009

Waktu sarapan, saya sengaja pilih tempat di area outdoor. Area ini sendiri punya kelebihdan dan kekurangan. Kelebihannya ya view yang didapatkan dan paparan udara segar yang lebih besar. Kekurangannya adalah saat angin lagi kenceng, siap-siap deh kedinginan dan tisu berterbangan. Karena bangun agak telat, saya sarapan sekitar jam setengah sepuluh. Dengan kondisi cuaca yang mendung dan angin yang kencang, lagi sarapan tuh rasanya kedinginan. Tadinya, saya mau makan di area indoor, tapi berhubung okupansi lagi ramai dan terlalu banyak orang, yang sepi dan lebih nyaman buat makan ya area outdoor ini. Tapi serius deh, view dari area ini tuh cantik banget!

IMG_20190719_155230
IMG_20190719_154955
IMG_20190719_154938
IMG_20190719_154848

Untuk menu sarapan sendiri sih, dibilang basic banget nggak. Bisa dibilang standar hotel bintang empat kali ya. Ada cake, sajian penutup mulut, salad, dan semacamnya. Waktu itu saya hampir kehabisan makanan karena bangunnya telat. Saya sarapan dengan hashbrown potato, sosis, dan tipikal makanan sarapan. Ada kopi dan teh juga tentunya. Overall sih saya nggak kecewa dengan menu sarapannya. Everything was okay.

IMG_20190720_103501
IMG_20190720_103448

Kolam Renang

Fasilitas yang satu ini sebetulnya jadi fasilitas yang pengen saya coba waktu menginap di Art Deco Luxury & Residence Bandung. Namun, karena kolam renangnya selalu ramai sama tamu, terutama anak-anak, niat berenang pun urung. Malas aja rasanya kalau berenang keganggu banyak tamu. Kan nggak enak ketika lagi mau renang satu lap, eh kehalangin anak kecil. Ditambah lagi cuaca sedang mendung. Intinya sih mager.

Terlepas dari kondisinya, kolam renang di hotel ini bisa jadi salah satu yang terbaik di Bandung, terutama dari segi view. Posisinya di rooftop berarti kolam ini punya view yang cantik. Ukurannya memanjang dan bisa dibilang cukup luas. Untuk kedalaman, seingat saya sih 1,4 meter. Cukup lah buat menyelam.

IMG_20190720_103532
IMG_20190719_154545
IMG_20190720_103842

Di sisi utara kolam renang, ada whirlpool yang ternyata laku di kalangan anak-anak. Bahkan, ban renang bentuk flamingo pun sampai dibawa ke whirlpool yang sebetulnya kedalamannya cetek. Ya, mungkin karena airnya yang hangat, anak-anak lebih betah berendem di sana daripada nyebur ke kolam renang. Duh, padahal saya tuh ingin banget berendam di sana. Ada juga beberapa gazebo dan recliners buat bersantai. Dari segi desain, area ini sebetulnya cantik sih, terutama kalau lagi sepi. Mungkin lain kali saya coba deh berendam di whirlpool itu dan semoga aja nggak ramai sama anak-anak.

Gym

Di sisi utara kolam renang, ada gym yang cukup luas. Dengan posisi di ujung bangunan, gym ini menawarkan pengalaman olahraga yang menyegarkan. View dari jendelanya keren banget dan bikin mata adem! Bisa dibilang, salah satu keunggulan Art Deco Luxury & Residence Bandung ini view yang ditawarkan, baik dari kamar maupun fasilitas hotel.

IMG_20190719_154654
IMG_20190719_154647
IMG_20190719_154704

Meskipun ruangannya luas, peralatan di gym ini bisa terbilang terbatas. Dari segi jenis peralatan sih memang variatif, tapi jumlahnya sedikit. Satu jenis alat hanya ada satu unit. Misalnya, di sini hanya ada satu treadmill dan satu stationary bike. Kalau ada beberapa tamu yang mau pakai treadmill, mau nggak mau harus gantian. Unit-unitnya sendiri cukup modern, bukan tipikal mesin obsolete. No objection sih buat gym di sini. Asyik banget rasanya lari di atas treadmill sambil ngeliat view kota Bandung.

Lokasi

Ngomongin faktor lokasi, ada nilai plus dan minus buat Art Deco Luxury & Residence Bandung. Sebetulnya sih, bukan soal plus minus, tapi lebih ke arah tujuan kunjungannya. Berdiri megah di kawasan Ciumbuleuit, hotel ini menawarkan view hutan dan perbukitan yang cantik banget. Udara di sini masih segar dan suhu udaranya masih sejuk. Pagi-pagi buka pintu balkon tuh rasanya asyik banget. Malahan, bisa meditasi kayaknya di balkon.

Selain itu, lokasinya yang tersembunyi membuat properti ini pas banget buat kalian yang ingin cari ketenangan saat berlibur. Hotel ini masih dikelilingi hutan dan pohon-pohon pinus. Ingar bingar dari Jalan Ciumbuleuit pun nggak kedengaran. Di kamar saya, misalnya, saat buka pintu ke balkon, yang saya dengar itu justru suara alam. Ada sih kedengaran suara orang ngobrol, tapi ternyata itu para staf yang lagi kerja di kebun. Sayup-sayup suara kendaraan masih terdengar, tapi nggak begitu mengganggu. Intinya sih cocok buat yang jengah sama hiruk pikuk pusat kota. Mungkin karena saya dapat kamar yang menghadap ke timur, dan bukan ke barat. Kamar-kamar di sisi barat sendiri punya jendela yang menghadap ke jalan kecil di samping hotel dan, bisa ditebak, jalan itu jadi jalur lalu lintas daerah situ.

Di sisi lain, posisinya yang remote bikin saya agak susah ke mana-mana. Sebetulnya, ada sih kayak tempat makan mahasiswa di sekitar UNPAR, tapi untuk ke sana pun kalau jalan kaki sih kurang convenient. At least, harus pakai motor biar cepat sampai. Untuk yang nggak biasa main ke daerah Ciumbuleuit, hotel ini mungkin agak susah dicari. Aksesnya bisa lewat belokan yang nggak jauh dari UNPAR sebetulnya, tapi saya justru akses hotel ini lewat atas. Kalau ingin cari properti yang punya akses lebih cepat ke pusat kota atau daerah rame-rame, sepertinya pikir-pikir lagi sebelum pilih hotel ini.

Art Deco Luxury & Residence Bandung berjarak kurang lebih 30-45 menit dari Stasiun Bandung. Jarak tempuhnya juga kurang lebih sama untuk Bandara Internasional Husein Sastranegara. Sebetulnya, tergantung kondisi lalu lintas sih. Ditambah lagi, Pertigaan Gandok itu terkenal dengan macetnya. Siap-siap aja pokoknya, tapi perjuangan mencapai hotel ini terbayar dengan sejuknya udara perbukitan dan view yang memanjakan mata.

Kesimpulan

Jewel of the forest. Coba bayangin di tengah-tengah kawasan berbukit dan banyak pepohonannya, ada bangunan hotel bergaya modern klasik yang menjulang tinggi. Art Deco Luxury & Residence Bandung menawarkan kemewahan dalam liburan di tengah suasana yang masih alami. Hotel bintang empat di Bandung ini berhasil bikin saya merasa nyaman dengan suasananya. Memang saya agak sedikit kecewa kalau bicara soal desain yang menurut saya masih kurang “art deco” but overall, saya apresiasi apa yang ditawarkan oleh hotel ini. Interior kamar terasa mewah dan elegan, terutama dengan penggunaan panel berwarna putih dan mural di dinding, termasuk sconce kristal yang cantik. Adanya balkon di unit juga jadi nilai tambah tersendiri. Waking up to the sound of nature and soft hill breeze is such a bliss.

IMG_20190719_170946
IMG_20190719_171105

Beberapa aspek di kamar memang terlihat aneh, tapi nggak sampai mengurangi kenyamanan beristirahat (pemasangan connecting door-nya itu loh). Produk mandi yang ditawarkan juga memuaskan karena bukan sebatas produk mandi standar. Hotel ini mengingatkan saya dengan Four Seasons Jakarta, tetapi dengan rate yang jauh lebih terjangkau dan jarak yang lebih dekat ke rumah saya. Fasilitas yang tersedia juga cukup lengkap. Restoran, gym, kolam renang, hot tub… Buat saya sih segitu sudah cukup.

Dengan rate mulai dari 662 ribu rupiah (berdasarkan TripAdvisor, tapi saya sendiri perhatikan di Agoda dan Traveloka, rata-rata rate jatuh di kisaran 800-900 ribuan). hotel ini terbilang reasonable untuk kemewahan dan fasilitas yang ditawarkan, meskipun memang lebih mahal kalau dibandingkan properti-properti lain di kelasnya. Ditambah lagi lingkungan sekitar hotel yang masih alami dan udara yang masih sejuk. Saya rasa properti ini cocok buat kalian yang ingin menjauh sejenak dari ingar bingar perkotaan.

Pros & Cons

Pros 👍🏻

  • Desain interior kamar terasa elegan dan mewah. Semua kamar punya balkon, dan ini jadi daya tarik tersendiri, terutama untuk kamar-kamar di sisi timur dengan view perbukitan dan kota yang lebih cantik.
  • Rooftop pool-nya mantap abis! Ada juga whirlpool buat ngangetin badan kalau kedinginan habis berenang.
  • Gym-nya punya view yang bagus. Lari di atas treadmill sambil liat view perbukitan ‘kan menyegarkan, ya.
  • Lingkungan sekitar hotel masih cukup asri dan dikelilingi banyak pohon pinus. Cocok buat yang ingin nyari ketenangan.
  • Bath product-nya punya aroma yang unik, dan bukan tipikal bath product standar.
  • Ada beberapa unit yang punya private jacuzzi.

Cons 👎🏻

  • Mengusung nama art deco, interior kamar buat saya secara pribadi masih kurang art deco. Mungkin karena saya mengacu ke art deco dari era Roaring Twenties. Jatuhnya, interior lebih terlihat bergaya modern klasik.
  • Kamar mandi untuk tipe Deluxe bisa dibilang kecil dan sempit.
  • Lokasinya tersembunyi, cocok buat yang ingin cari ketenangan, tapi agak repot buat yang ingin akses cepat ke tempat-tempat makan atau daerah perkotaan.
  • Di kelasnya, properti ini punya rate yang relatif lebih tinggi.

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌⚪️
Desain: 😆😆😆😆😶
Lokasi: 🤩🤩🤩😶⚪️
Harga: 💰💰💰💰

Review: Best Western Premier La Grande Bandung

Mau sedikit cerita dulu. Kemarin, saya sempat telepon pihak ISP karena koneksi internet sering down. Jangankan upload foto ke blog, buka e-mail pun lamanya minta ampun. Sebetulnya, saya udah jengah dengan ISP yang satu ini, tapi berhubung di daerah saya yang tersedia baru ini (dan opsi lainnya ternyata harganya nggak jauh beda, dengan kecepatan yang terbatas), mau nggak mau masih harus bertahan dulu. Biasanya, kalau internet udah lelet, saya jadi agak susah untuk tulis review. Gambar jadi lebih lama dimuat, saya nggak bisa upload foto, dan lain-lain.

Anyway, hotel yang akan saya bahas ini merupakan salah satu hotel yang menurut saya secara pribadi fasadnya kece banget. Bangunannya juga ramping dan tinggi. Kalau kebetulan saya lagi ada acara di Taman Balaikota, bangunan hotel ini jadi latar belakang bangunan kantor walikota bergaya kolonial Belanda. Semacam modern ketemu klasik.

1158696_17022409400051224328
Best Western Premier La Grande. Foto milik pihak manajemen hotel.

Best Western Premier La Grande adalah hotel bintang 4 yang berlokasi di Jalan Merdeka No. 25-29, Bandung. Hotel ini berada satu kompleks dengan La Grande Apartment dan berdiri di atas lahan yang dulunya ditempati Pujasera Merdeka, tempat makan murah meriah yang jadi langganan si Sebastian dan Michi makan es duren. Kalau orang Bandung sih sepertinya masih pada ingat tempat ini. Sekarang, Pujasera ada di bagian belakang area hotel dan apartemen. Di depan apartemen, ada KFC yang dulu juga pernah ada di Pujasera lama.

Ada 191 kamar dan suite di Best Western Bandung yang terbagi ke dalam 6 tipe: Superior, Deluxe, Executive, Junior Suite, Family Suite, dan Premier Suite. Secara keseluruhan, interior kamar menampilkan desain modern kontemporer dengan balutan warna-warna earthy dan sentuhan eksotis. Untuk fasilitas umum, hotel ini punya gym, restoran, kolam renang dengan air hangat, meeting room, business center, spa, dan executive lounge.

Salah satu keunggulan Best Western Premier La Grande adalah lokasinya. Hotel ini diapit oleh dua mal terkenal di Bandung, Bandung Indah Plaza (BIP) dan Bandung Electronic Center Mall (BEC Mall). Nggak jauh dari hotel juga ada Taman Balai Kota dan Taman Sejarah. Jalan kaki sedikit, ada Gramedia. Di sekitar hotel juga banyak restoran dan pusat jajanan buat bersantap. Intinya sih kalau nginep di sini, ke mana-mana bakalan gampang.

Waktu menginap, saya pesan kamar Superior. Posisi kamar berada di sisi kiri gedung kalau dilihat dari depan. Ini artinya jendela-jendela kamar saya menghadap ke arah pusat kota dan Taman Balai Kota. Ulasan lebih lengkapnya saya kasih di segmen berikutnya, ya!

Desain Kamar

Bicara soal desain kamar, saya secara pribadi sih merasanya oke aja. Dibilang cookie-cutter nggak, tapi dibilang unik daripada yang lain juga nggak juga. Di Bandung, saya tahu ada banyak hotel yang mengusung interior kamar bergaya modern kontemporer dan memanfaatkan penggunaan panel kayu sebagai aksen dinding. Namun, harus saya akui bahwa dominasi warna-warna earthy dan dekorasi ruangan di kamar saya membangun atmosfer elegan.

Dengan luas 29 meter persegi, ada banyak ruang untuk bergerak bebas. Kamar jadi terasa lebih lapang. Meskipun demikian, pemilihan palet warna hangat dan pencahayaan yang tepat membuat kamar tetap terasa cozy. Area tidur utama juga dialasi oleh karpet berwarna krem dengan desain yang sederhana. Kenyamanan tetap bisa didapatkan melalui kesederhanaan.

IMG_20190421_150249
IMG_20190421_150300

Tempat tidur di kamar Superior berukuran cukup besar untuk dua orang. Headboard-nya tampil sederhana dengan bentuk persegi panjang. Di belakang headboard, ada panel kayu setinggi langit-langit dengan niche pada bagian tengahnya yang dipasangi lukisan dengan bentuk memanjang. Niche ini juga dipasangi lampu yang sengaja disembunyikan untuk efek pencahayaan yang mewah.

Di ujung kamar, ditempatkan kursi lengan dan end table. Posisinya membelakangi jendela yang menampilkan pemandangan Taman Balai Kota dan area pusat kota. Area kerja berada di samping televisi. Karena terhalang oleh dinding, cahaya dari jendela nggak menerangi area meja kerja. Sebagai gantinya, ditempatkan lampu meja di atas meja kerja. Oh ya, bisa dilihat di gambar bahwa di salah satu dinding di dekat jendela, ada panel kayu dengan motif floral ala-ala “menggambar batik” jaman SD dulu sebagai aksen dinding.  Waktu menginap di sini, hujan deras turun di sore hari sekitar jam 4 sore dan suasananya asyik banget buat ngopi sambil lihat pemandangan di luar.

IMG_20190421_150427
IMG_20190421_150436
IMG_20190422_083815

In-room amenities mencakup TV, AC, WiFi, coffee/tea maker, electronic safe, dan kulkas. Ya, fasilitas standar lah yang biasanya ada di hotel bintang empat. Ukuran televisinya memang nggak begitu besar, tetapi opsi kanalnya cukup banyak. Koneksi WiFi juga cukup cepat dan stabil. Secara keseluruhan, nggak ada keluhan dari saya. Good job, Best Western Premier La Grande!

Kamar Mandi

Untuk kamar mandi, ukurannya bisa dibilang luas. Bentuknya memanjang, dengan bathroom counter dan lantai berwarna hitam. Dinding kamar mandi sendiri menggunakan keramik besar berwarna abu-abu. Secara keseluruhan, palet monokromatik digunakan untuk interior kamar mandi.

IMG_20190421_150413
IMG_20190421_150406

Perlengkapan kamar mandi mencakup produk dan alat mandi, hair dryer, vanity mirror, dan telepon di samping kloset. Produk dan perlengkapan yang disediakan berfungsi dengan baik. Untuk shower area sendiri, ukurannya cukup luas. Hanya saja, nggak ada shower tangan dan rain shower. Kalau dikasih pilihan antara shower tangan dan rain shower, saya akan lebih pilih rain shower. Keluaran airnya bisa dibilang cukup kencang dan pengaturan suhunya cukup mudah. Again, nggak ada keluhan apa pun.

IMG_20190421_150349

Fasilitas Umum

Restoran

Bertempat di lantai tiga, Parc de Vile Restaurant adalah restoran utama di Best Western Premier La Grande. Bentuknya memanjang dan ukurannya cukup luas, dengan beberapa meja dan kursi di area balkon. Hanya saja, dengan lokasi di bagian depan hotel yang menghadap langsung ke Jalan Merdeka, saya rasa makan di area balkon ini agak kurang nyaman. Selain berisik, risiko makanan terkena debu juga lebih tinggi. Mungkin area ini lebih cocok dipakai buat nongkrong aja.

Dari segi desain sendiri, saya rasa tidak ada yang begitu spesial dengan restoran ini. Konsepnya kontemporer ke arah minimalis. Cukup banyak ditemui di tempat-tempat lain. Meskipun demikian, ukuran restoran yang cukup luas dan penggunaan jendela-jendela besar membuat restoran terasa lapang.

IMG_20190422_101547
IMG_20190422_101558
IMG_20190422_101623

Kolam Renang

Satu lantai di atas restoran, ada kolam renang hotel. Nah, si kolam ini sendiri menurut saya unik karena bentuknya menyerupai huruf “L”. Untuk mengakses kolam renang, kita harus berjalan ke arah gym, setelah itu naik tangga menuju area kolam. Sebagian besar wilayah kolam diteduhi langit-langit. Jadi, pas lah buat berenang tanpa perlu kepanasan karena terkena paparan cahaya matahari langsung (kecuali di pagi hari ketika matahari masih ada di timur).

IMG_20190422_074649
IMG_20190422_074626

Air kolam sendiri terasa hangat karena memang ada heater. Di dekat tangga menuju kolam renang, ada Cordial Pool Bar yang menyediakan beragam light meal dan minuman untuk menemani momen berenang bareng teman-teman dan keluarga. Seating area di pool bar ini terbilang cramped karena meja-meja ditempatkan berdekatan satu sama lain. Kamar bilas dan ruang ganti baju ada di dekat pool bar. Sebetulnya, saya senang sih nongkrong di area kolam renang ini. Hanya saja, saya sayangnya nggak bawa baju renang. Padahal kalau bawa sih, niatnya sekalian nyebur aja.

Gym

Satu lantai dengan kolam renang, ada gym yang cukup luas. Gym ini bisa diakses melalui koridor menuju kolam renang. Kalau dari lift sih, tinggal ikuti koridor menuju kolam renang aja. Si gym ini ada di sisi kiri koridor. Waktu saya ke sana, gym sedang kosong banget. Saya tadinya mau sekalian olahraga, tapi kerjaan menunggu jadi mau nggak mau, saya hanya bisa masuk untuk foto-foto tempat aja.

IMG_20190422_074529
IMG_20190422_074539
IMG_20190422_074514

Dari segi peralatan, gym ini cukup lengkap. Perlengkapan yang ada juga cukup modern. Ada treadmill, stationary bike, stepper, sampai weight lifter. Standar gym lah intinya sih. Space untuk senam bisa dibilang nanggung karena selain tempatnya di tengah-tengah gym, cermin yang ada terhalangi weight lifter. Untuk loker, ada di sisi barat ruangan, di dekat dispenser air. Next time kalau nginep di sana lagi, saya harus pakai fasilitas gym-nya.

Lokasi

Best Western Premier La Grande berada di salah satu distrik belanja Bandung, yaitu Jalan Merdeka. Di sekitar hotel sendiri, ada banyak restoran dan tempat makan terkenal, seperti Baso Malang Karapitan, Dunkin Donuts, dan KFC. Kalau mau jalan sedikit ke belakang, ada Pujasera yang menawarkan beragam makanan. Intinya sih kalau urusan bersantap, aman lah. Hotel ini juga berada di antara dua mal besar, yaitu BIP dan BEC. Dari depan gedung, kita tinggal menyeberangi JPO untuk ke BIP. Jalan sedikit ke belakang, kita tinggal nyeberang jalan ke BEC Mall 2.

Nggak jauh dari hotel, ada beberapa tempat wisata Bandung yang bisa dikunjungi secara gratis. Ada Taman Sejarah yang (sayangnya) lebih terkenal dengan kiddie pool gratisnya. Nggak jauh dari Taman Sejarah, ada Taman Balaikota Bandung yang jadi tempat berkumpulnya muda-mudi Bandung dan beberapa grup kreatif, mulai dari kelompok bahasa sampai dance group. Dari Stasiun Bandung, Best Western Premier La Grande bisa dicapai dengan mobil dalam waktu sekitar 15 menit. Kalau dari Bandara Internasional Huesin Sastranegara, hotel ini bisa ditempuh dalam waktu sekitar 20-25 menit, tergantung kondisi lalu lintas. Maklum, Bandung ‘kan katanya jadi kota termacet pertama se-Indonesia.

Kesimpulan

Dari semua aspek yang ada di hotel ini, lokasi jadi faktor unggulan Best Western Premier La Grande. Posisinya yang strategis bikin saya enak ke mana-mana. Saya cuma perlu parkir mobil dan ke mana-mana tinggal jalan kaki. Selain itu, dari segi segmentasi pasar pun, tempat makan dan mal yang ada di sekitar hotel bisa dibilang masih ada di segmen menengah. Nggak akan bikin cekak deh.

Bicara soal kamar, saya suka dengan ukuran dan palet warna earthy-nya yang bikin kamar terasa hangat. Pencahayaannya juga pas. Ditambah lagi dengan jendela yang menghadap ke arah kota dan hujan di sore hari, bersantai di kamar tuh rasanya nyaman banget. Sambil ngopi, sambil liat suasana kota di saat hujan. Cozy abis! Kamar mandi terasa luas, tapi ke arah unnecessary luas. Semua perlengkapan kamar mandi berfungsi dengan baik. Yang saya sayangkan adalah tidak adanya shower tangan atau rain shower, tapi secara keseluruhan sih nggak ada masalah.

Dengan rate mulai dari 600 ribuan per malam (berdasarkan Tripadvisor), Best Western Premier La Grande bisa jadi opsi yang tepat kalau ingin menikmati liburan di pusat kota dengan akses mudah ke berbagai tempat, tanpa pakai kendaraan. Hotel bintang empat ini juga punya beragam fasilitas yang keren, termasuk kolam renang dengan air hangat. Untuk yang suka suasana kota dan lihat pemandangan kota di malam hari, hotel ini layak buat dipertimbangkan.

Pros & Cons

👍🏻 Pros

  • Lokasinya strategis banget. Ke mana-mana bisa jalan kaki. Enak lah pokoknya. Banyak kafe dan restoran di sekitar hotel. Ada juga factory outlet, mal, dan toko buku. Oh, ya! Pasar hewan peliharaan di samping Dunkin Donuts juga bisa dikunjungi kalau mau liat kelinci, anjing, dan kucing.
  • Ukuran kamarnya luas. Ditambah dengan jendela besar yang mengarah ke pusat kota, nyaman banget rasanya buat istirahat di kamar.
  • Untuk ukuran hotel bintang empat dengan lokasi di pusat kota, rate rata-rata yang ditawarkan terbilang terjangkau.
  • Hotel ini punya kolam renang air hangat. Cocok buat berenang di malam hari, tanpa takut kedinginan.
  • Desain kamarnya cantik, memadukan warna earthy dengan motif floral ala “membatik” jaman SD.
  • Gym-nya cukup luas.
  • Meskipun berada di pusat kota, soundproofing kamar bagus banget. Suara berisik dari jalanan nggak kedengaran (ditambah lagi dengan posisi kamar di lantai yang cukup tinggi).

👎🏻 Cons

  • Kalau ada shower tangan atau rain shower di kamar (tipe Superior), kayanya mandi jadi lebih enak.
  • Seating area di pool bar-nya terasa cramped.

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌😶
Desain: 😆😆😆😆⚪️
Lokasi: 🤩🤩🤩🤩🤩
Harga: 💰💰💰