Category Archives: By Stars

Review: JW Marriott Jakarta

Kawasan Mega Kuningan Jakarta, selain terkenal sebagai distrik bisnis juga ternyata gudangnya properti-properti mewah. Sejujurnya, salah satu goal saya untuk urusan review hotel adalah meninggalkan “jejak” di properti-properti yang ada di kawasan Mega Kuningan dan Jalan Dr. Satrio. Sebelumnya, saya sudah merasakan serunya menginap dan berenang di Ritz-Carlton Mega Kuningan dan asyiknya liburan Natal dengan teman dan kakak di Ascott Sudirman. Nah, di Desember 2020 kemarin (haduh lama banget ya ini jedanya, setahun lebih), saya menginap di salah satu properti milik Marriott Hotels, yang juga tetanggaan deket sama Ritz-Carlton. Pokoknya sih, dari jendela kamar saya di Ritz-Carlton dulu, bangunan hotel ini keliatan jelas banget. Maklum bangunannya badag!

review jw marriott jakarta

JW Marriott Jakarta adalah hotel bintang lima yang berlokasi di Jalan DR. Ide Anak Agung Gde Agung Kav. E.1.2 No 1&2, Kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Hotel ini bisa dibilang salah satu properti mewah Marriott yang pertama di Jakarta. Menurut CVENT, properti ini dibangun dan dibuka sejak tahun 2001. Ini artinya umurnya sudah 21 tahun di tahun 2022. Yang jelas sih, dari waktu saya SD hotel ini sudah ada. Bangunannya yang besar dan terbilang “melebar” (saya ngeliatnya seperti blazer cewek kalau dipasangi shoulder pad) jadi ciri khas properti ini. 

Bicara soal JW Marriott Jakarta, rasanya ingatan saya nggak lepas dari insiden di tahun 2003 dan 2009 akibat teroris. Pasalnya, hotel ini dua kali menjadi sasaran terorisme yang memakan banyak korban. Di tahun 2009, tetangganya, Ritz-Carlton pun malah ikut jadi sasaran pembomban dan walhasil, Manchester United pun gagal main di Jakarta. Sumpah gedeg banget saya dengarnya. Namun, saya sangat senang dan bangga karena JW Marriott Jakarta bisa kembali bangkit dan beroperasi hingga sekarang, dan jadi salah satu properti bintang lima yang populer di ibukota.

Menurut situs resminya, ada 317 kamar yang tersedia di hotel ini. Dari 317 kamar tersebut, 285 unit merupakan tipe kamar biasa, sementara 32 unit lainnya merupakan suite room. Pada dasarnya, ada enam tipe kamar di JW Marriott Jakarta: Deluxe Room (King atau Double), Executive Room, Governor Suite, Diplomat Suite, JW Marriott Suite, dan Presidential Suite. Luas kamar di hotel ini sendiri mulai dari 42 meter persegi untuk tipe terkecil. Tipe paling besar, Presidential Suite, hadir dengan luas 210 meter persegi. Untuk fasilitas, ada restoran, bar, gym, kolam renang, spa, ballroom, meeting room, hingga coffee shop. Oh! Ada juga outdoor kids’ corner yang, kalau saya nggak salah ingat, hanya digelar pas weekend. Ya, digelar karena waktu saya menginap selama tiga hari dua malam, di hari kedua itu si kids’ corner ini belum ada. And oh! Di JW Marriott Jakarta juga ada taman di dekat area kolam renang, serta musala. Ini sih dugaan saya ya. Karena hotel ini lokasinya di kawasan bisnis dan memang waktu saya menginap pun, banyak diadakan acara seperti rapat dan seminar, adanya musala sebagai fasilitas standalone (bukan satu boardroom yang dipakai sebagai musala) jadi hal yang perlu diapresiasi. Dan ukuran musalanya pun cukup luas, dengan segregasi area untuk pria dan wanita.

Waktu menginap, saya memesan kamar tipe Executive. Tipe ini pada dasarnya adalah tipe Deluxe, tapi dilengkapi akses ke executive lounge di lantai 29. Secara keseluruhan, pengalaman menginap saya bisa dibilang positif. Ada kendala yang saya temukan saat menginap, tetapi langkah yang diambil oleh pihak hotel sangat saya apresiasi. Dan juga, pihak hotel kasih saya pralines, cokelat, makaron, dan kue dua hari berturut-turut! Senangnya saya! Lengkapnya, review JW Marriott Jakarta dari saya ada di segmen berikutnya, ya!

Desain Kamar

Berdiri sejak tahun 2001, kalau saya lihat dari luar nih, eksterior hotel tampaknya nggak “kolot”. Dari segi desain, JW Marriott Jakarta masih bisa “mejeng kece” bersama gedung-gedung pencakar langit di kawasan Mega Kuningan. Namun, begitu masuk ke dalam hotel, dari area lobi saja saya bisa merasakan aura “lawas” pada interiornya. Well, nggak lawas as in lagu tahun 70-80an, tapi dari interiornya saya tahu pasti bahwa hotel ini bukanlah hotel baru. Interiornya mewah, tapi mewah khas tahun 90an akhir atau 2000an awal. 

Tipe Executive sendiri punya luas 42 meter persegi, seperti tipe Deluxe. Furniturnya tampak dated, tapi bukan sesuatu yang problematik. Sekali lagi, hotel ini dibangun di tahun 2001 dan tampaknya kalau pun ada renovasi, perubahan yang diterapkan tidak begitu drastis. Menempatkan diri di suasana tahun 2000an awal, saya bisa melihat bahwa desain interior yang diusung cukup mencerminkan kemewahan pada era tersebut. Desain kontemporer dengan sedikit bumbu Art-Deco dan minimalism tercermin dari interior kamar. Yang saya suka lagi adalah palet warna yang digunakan. Rona cokelat yang terang dan ke arah pasir seperti rose beige dan bisque (beberapa warna punya sentuhan oranye) diterapkan pada furnitur-furnitur. Dipadukan dengan pencahayaan yang cukup, suasana kamar jadi terasa hangat dan cozy di malam hari. Secara pribadi, inilah suasana yang saya suka. 

Penggunaan warna yang terang dan hangat memberikan kesan yang lebih luas juga pada kamar. Pasalnya, furnitur-furnitur yang ada saya rasa ukurannya cukup bulky (terutama si oversized armchair). Ditambah lagi jendela besar yang menghadap ke jalan, kamar jadi terasa lapang. Saya awalnya minta kamar yang jendelanya menghadap ke arah utara karena ingin lihat lebih banyak gedung-gedung, tapi view kawasan Mega Kuningan pun ternyata nggak begitu membosankan. Beberapa lukisan berbingkai emas dipasang di dinding untuk mempercantik ruangan. 

Kalau biasanya kita bisa menemukan lemari pakaian di vestibule atau hallway, di kamar lemari justru ada di area utama kamar, tepatnya di sisi kiri tempat tidur. Mungkin alasan penempatannya seperti adalah untuk mengisi kekosongan pada dinding supaya dinding nggak terkesan bare. Namun, entah kenapa karena saya terbiasa dengan closet atau lemari pakaian yang adanya di vestibule, ada perasaan belum terbiasa. Di dalam lemari pakaian, ada mini-fridge, setrika, ironing board, dan brankas. Soal gantungan sih, jangan ditanya. Ruang yang ada cukup besar. Oh, ya! Ada satu hal yang saya baru sadari waktu lihat-lihat dokumentasi. Lampu meja yang ada di sisi kiri dan kanan tempat tidur nggak sama! Justru, lampu yang saya rasa seharusnya berpasangan dengan lampu di sisi kiri tempat tidur malah ditempatkan di atas meja kerja. Ini kenapa bisa begini (hahaha). Selain itu, di atas nightstand juga masih ada panel kendali untuk menyalakan atau mematikan lampu dan mengaktifkan indikator “don’t disturb” atau “clean the room”—teknologi peninggalan modernitas di tahun 90an akhir dan 2000an awal. 

review jw marriott jakarta
Control panel-nya masih berfungsi lho!

Yang saya suka lagi adalah di bagian bawah jendela, ada semacam apa ya, platform? Intinya sih kalau mau duduk-duduk di samping jendela, dek atau platformnya itu cukup besar sehingga nyaman. Dibilang window seat juga sebetulnya bukan sih, tapi pas hari kedua, saya sempat malas-malasan di kamar sambil ngemil dan lihat pemandangan di luar, dan itu sambil duduk di samping jendela. Buat menggalau sih cocok lah, terutama ketika hujan. 

Kamar Mandi

Interior kamar mandi unit Executive di JW Marriott Jakarta sebetulnya masih mengusung desain yang selaras dengan interior utama kamar. Namun, warna-warna earthy yang lebih cerah dan hangat dipadukan dengan penggunaan marmer berwarna hitam pada wastafel, bingkai cermin, dan border lantai sehingga memberikan kesan elegan khas hotel mewah di tahun 90an akhir dan 2000an awal. Lagi-lagi saya harus menggunakan referensi tersebut karena, well, ya memang begitu. Dari segi desain, kamar mandi ini mengingatkan saya dengan desain kamar mandi di Aryaduta Bandung.

Ukuran kamar mandi cukup luas. Ditambah pencahayaan yang mumpuni dan cermin-cermin besar di salah satu sisi panjang dan lebar bathtub, kesan lapang mun makin tercipta. Shower dan bathtub dipasang terpisah, meskipun bersebelahan dan dibatasi oleh dinding kaca. Area shower sendiri cukup luas, meskipun tanpa rainfall head dan shower tangan. Katup air panas dan air dingin pun terpisah dari keran yang mengatur debit keluaran air. Kloset ada di samping wastafel dan dipisahkan dengan half wall yang membangun semacam privasi, meskipun buat saya jatuhnya “sudut merenung” ini jadi sedikit klaustrofobik. Sedikit, ya. Produk-produk mandi dan perawatan kulit yang tersedia datang dari lini Mandarin Tea, seperti produk yang saya temukan di Intercontinental Dago Pakar Bandung. Oh! Saya juga baru tahu informasi soal lini Mandarin Tea ini. Iseng-iseng saya googling dan menurut informasi dari PinterPoin, produk-produk Mandarin Tea ini diproduksi di Sidoarjo. Ini didukung oleh informasi dari Cek BPOM yang menunjukkan bahwa amenities dari lini Mandarin Tea diproduksi oleh Budi Jaya Amenities yang bermarkas di Sidoarjo. Oalah baru tahu saya! Wanginya enak 🥰

Bathroom amenities dan perlengkapan seperti hairdryer, razor, sisir, sikat gigi, dan lain-lain tersedia di kamar mandi. Selain itu, saya juga suka bathtub di kamar mandi ini karena dimensinya yang panjang, dan bahkan bisa dibilang lebih panjang dari ekspektasi. Soal maintenance, saya rasa ini perlu ditingkatkan oleh pihak hotel. Lantai di area shower sudah mulai menunjukkan tanda-tanda “penuaan” dan bekas kesiram air panas. Terlihat dari tampilan lantai yang mulai pudar dan menguning. Keran shower juga sempat rusak dan saya rasa cukup parah. Pasalnya, katup air panas dan air dinginnya rusak sehingga air yang keluar, meskipun saya udah putar katup full ke air dingin, tetap air panas, and it was freaking hot I could burn myself if I kept using the shower. Untuk menikmati air dengan suhu yang pas (hangat atau dingin), mau nggak mau saya harus mandi di bathtub. Agak merepotkan. Saya laporkan kendala tersebut ke pihak hotel dan meskipun awalnya saya kira saya harus nunggu cukup lama, ternyata reparasinya memakan waktu yang cukup singkat. Patut diapresiasi.

Fasilitas Hotel

Sailendra Restaurant

Reservasi saya di JW Marriott Jakarta sudah mencakup breakfast dan akses ke executive lounge di lantai 29. Namun untuk sarapan, saya beserta Kak Ami dan Pak Suneo lebih memilih makan di Sailendra Restaurant karena pilihan menunya lebih variatif. Pas Natal tahun 2019 sendiri, saya dan Pak Suneo sempat makan di sini dan buffet-nya memang ajib sih. Restoran ini berada di lantai lobi. Kalau begitu masuk ke hotel, restoran ini ada di sayap kiri bangunan.

Area restoran ini sangat luas dan punya beberapa section. Waktu sarapan, saya pilih tempat duduk yang lebih dekat ke station, biar gampang ngambil ini itu. Sailendra Restaurant hadir dengan desain interior kontemporer yang saya rasa lebih modern kalau dibandingkan dengan desain kamar dan lobi utama. Langit-langitnya yang tinggi bikin restoran ini makin terkesan megah dan lapang, dan ada area semi-basement (nggak bisa dibilang basemen juga sih) yang menurut saya jauh lebih luas, dengan langit-langit yang lebih tinggi (ya karena dia ketinggiannya lebih rendah dibandingkan area penerimaan restoran) dan jendela-jendela besar yang menghadap ke luar hotel. Rasanya seperti berkunjung ke restoran di kapal pesiar. 

Banyaknya station bisa dibilang berbanding lurus dengan pilihan menu yang disediakan. Saya sempat sarapan dengan udon karena bisa dibilang saya nggak pernah makan udon untuk sarapan. Menu-menu sarapan lain khas hotel seperti baked beans dan kawan-kawannya sudah jelas tersedia. Pilihan bakery yang disajikan pun variatif. Untuk teh, kopi, atau bahkan air tawar, nanti akan dibawakan oleh staf yang bertugas (termasuk ketika kita mau nambah, bisa minta tolong ke staf yang ada). 

Besarnya area restoran sangat bisa dipahami. Pasalnya, untung mengakomodasi tamu-tamu yang stay di seluruh 317 kamar di JW Marriott Jakarta, tentunya dibutuhkan ruang yang lebih besar. Ada beberapa area yang lebih privat dan dibatasi oleh panel-panel kaca. Di ruangan atau area privat ini juga dipajang botol-botol wine, mungkin untuk wine tasting ya. Oh! Berhubung saya menginap menjelang Natal, dekorasi-dekorasi khas Natal terlihat di area restoran. Ada juga semacam pohon Natal yang terbuat dari roti-roti jahe. Pas ngeliatnya, bawaannya gatel ingin nyomot satu. 

Executive Lounge

Seperti yang saya bilang sebelumnya, tipe Executive di JW Marriott Jakarta sebetulnya sama dengan tipe Deluxe, tapi sudah dilengkapi akses ke executive lounge yang ada di lantai 29. Dengan akses ke lounge ini, saya juga bisa menikmati sajian sarapan, high tea, dan evening cocktails. Saya awalnya nggak baca apa saja culinary offering dari lounge ini, dan sekitar jam satu siang, pergi ke lounge sama Kak Ami dengan ekspektasi makan siang di sana. Ternyata, nggak ada lunch di lounge dan karena kadung ke sana (dan malu juga kalau ngilang begitu aja), kami pun “terpaksa” pesan teh sambil ngobrol barang 15 menitan sebelum akhirnya makan siang di Lotte Shopping Avenue.

Executive lounge di properti ini bisa dibilang nggak begitu besar. Ukurannya mungkin hampir sebelas dua belas dengan executive lounge di Grand Hyatt Jakarta, meskipun dari segi bentuk atau dimensi sih, lounge di JW Marriott Jakarta terasa lebih luas dan lapang. Suasana elegan dan Christmas-y terasa dari interior lounge. Palet warna yang diterapkan ke interior kamar ikut diaplikasikan ke interior lounge. Namun, beberapa furnitur dan carpeting di lounge menggunakan warna yang lebih gelap. Bahkan, karpetnya sendiri berwarna merah Santa. Accidentally Christmas, I guess?

Sebuah koridor menuju toilet dan ruangan-ruangan employee-only membagi dua lounge menjadi dua area. Sisi selatan menawarkan view kawasan Mega Kuningan, sementara sisi utara menawarkan view Jalan Dr. Satrio dan gedung-gedung tinggi di kawasan Sudirman, dan menurut saya area ini jauh lebih seru sih kalau untuk lihat pemandangan sambil makan malam. Namun, station-station berada di sisi selatan lounge. Keputusan saya, Kak Ami, dan Pak Suneo untuk breakfast di Sailendra Restaurant tampaknya sudah sangat tepat. Pasalnya, station yang ada hanya dua, satu untuk makanan dan satu untuk minuman. Jadi, variasi menu yang dihadirkan pun jauh lebih terbatas.

Soal menu, buat saya sih decent. Culinary offering dari lounge memang dari segi variasi ya terbatas, tapi dari segi rasa sih enak-enak aja. Pilihan kue dan pastry-nya pun ya fine-fine aja. Minuman beralkohol bisa dinikmati pada jam evening cocktail, dan itu free flow. Sparkling wine cukup lah buat saya. Dan, oh! Saya suka banget sama kue cokelat dan chocolate mousse mereka! Saya nggak tahu dan nggak nanya nama kuenya apa, tapi itu kue cokelat dan enak banget. Chocolate mousee-nya jauh lebih enak! Di malam terakhir, saya nongkrong agak lama di lounge setelah makan malam buat baca buku. Ditemani beberapa gelas chocolate mousse, kue cokelat, dan sparkling wine, betah tuh saya sampai nggak kerasa beberapa bab terlewati. Saya sampai minta ke staf tolong dibawakan lagi mousse beberapa kali saking enaknya.

Ada satu hal lagi yang jadi catatan saya. Menurut saya, para staf di executive lounge memberikan pelayanan yang kurang personalized. Padahal, ekspektasi saya adalah saya bisa mendapatkan personalized service sesuai kebutuhan atau kondisi saya. Namun, jatuhnya saya amati semua tamu yang datang ke lounge mendapatkan pelayanan yang disamaratakan. Mungkin karena waktu itu lounge juga sedang ramai, tapi tetap saja ini jadi hal yang saya sayangkan sih. 

Blu Martini Bar & Lounge dan Asuka

Saat nulis review JW Marriott Jakarta ini, sejujurnya saya ngerasa ada yang kurang. Pasalnya, seperti halnya di beberapa review sebelumnya, saya nggak selalu menikmati fasilitas hotel secara maksimal. Untuk dining venue, misalnya, saya kadang hanya datang, foto-foto, dan beres, tanpa mencoba makanan atau minuman yang ditawarkan. But anyway, saya bertiga (dengan Kak Ami dan Pak Suneo) sempat lihat-lihat ke Blu Martini dan Asuka. Keduanya juga berada di lantai lobi. Namun untuk ke Blu Martini, harus turun dulu tangga. Bisa dibilang lokasinya Blu Martini ini di semi-basement

Lounge ini menurut saya cukup besar dan luas. Saya nggak masuk lebih dalam karena ternyata di area ujung, sedang ada acara. Jadi, batas saya hanyalah long bar dan area bilyar. Area mixology dipercantik oleh empat pilar yang dipasangi panel motif dan lampu neon yang berubah warna di dalamnya. Sebagai background, dipasang display raksasa berisi botol-botol liquor. Area mixology dan meja bar utamajuga jadi focal point di lounge ini. Saat lampu mulai masuk ke siklus warna ungu, pink, dan biru muda, saya langsung teringat sesuatu: Hotel del Luna! Bar di Hotel del Luna punya desain yang, meskipun nggak mirip, menggunakan palet warna yang sama untuk pencahayaannya. Jadi, ya, otomatis pikiran ini langsung teringat ke adegan Jang Man-wol dan Kim Shi-ik yang berantem di bar gegara urusan cocktail yang nggak enak. Blu Martini Bar & Lounge di JW Marriott Jakarta juga punya pool table buat yang suka main bilyar. 

Selepas dari Blu Martini, kami mampir ke Asuka karena ternyata si Pak Suneo sudah ke sana duluan buat ngobrol sama staf di sana dan beli Purin. Di Asuka, kami berkesempatan bertemu dengan Bu Yuli yang memberikan saya tur singkat (terima kasih banyak, Bu Yuli karena sudah mengizinkan saya ambil foto-foto Asuka). Sesuai namanya, sajian yang ditawarkan Asuka adalah hidangan Jepang. Di Asuka, kita juga bisa menikmati pengalaman omakase dining. Untuk yang belum tahu, omakase merupakan semacam konsep restoran atau sistem pemesanan makanan di mana kita mempersilakan chef untuk menentukan sendiri mau buat apa. Kasarnya sih, terserah lo deh. Dilansir dari situs resmi hotel, bahan-bahan bogabahari yang digunakan diimpor dari pasar ikan Toyoshu di Jepang. 

Soal interior, shades cokelat ala Sutei (istilah saya aja itu) digunakan untuk membangun suasana yang hangat dalam desain Jepang kontemporer. Area restoran cukup besar, meskipun saya nggak masuk-masuk sampai ke ujung karena terlalu asyik ngobrol dengan Bu Yuli dan Chef Nishiura Osamu. Yap betul! Kami berkesempatan bertemu dengan executive chef di Asuka, Chef Nishiura, and it was an honour for us (meskipun bahasa Jepang saya sangat sangat terbatas). Di area utama restoran, ada bar yang jadi spot seru untuk menikmati live cooking

Asuka juga punya beberapa ruang tatami yang lebih privat. Ruangan-ruangan ini cocok untuk ngumpul bareng keluarga atau mengadakan acara kecil seperti pesta ulang tahun atau semacamnya. Ada juga sudut-suduAsuka juga punya beberapa ruang tatami yang lebih privat. Ruangan-ruangan ini cocok untuk ngumpul bareng keluarga atau mengadakan acara kecil seperti pesta ulang tahun atau semacamnya. Ada juga sudut-sudut non-tatami (meja kursi biasa) yang terasa lebih privat karena tertutup atau tersegregasi dari area-area lain oleh panel-panel bergaya kontemporer. Di situs web hotel, ada beberapa offer yang ditawarkan, dan salah satunya adalah paket weekend okawari brunch yang diadakan setiap Sabtu dan Minggu dari jam 11.30 siang hingga jam 2.30 sore. Kalau saya ada kesempatan ke Jakarta, saya ingin coba ini.

Saya hampir lupa! Asuka juga menawarkan Purin, custard pudding khas Jepang. Saya lupa harganya berapa karena yang beli si Pak Suneo. Namun, dia beli dua varian. Teksturnya lembut dan manisnya nggak sampai bikin pusing! Kalau ingin pesan atau cari tahu lebih lanjut, bisa main ke Instagram-nya Asuka di sini.

Gym, Kolam Renang, dan Taman

JW Marriott Jakarta punya gym dan kolam renang sebagai fasilitas kebugaran utama. Ada juga spa dan area spa mencakup ruang ganti, kamar mandi/bilas, whirlpool, dan sauna. Sayangnya, sauna dan whirlpool belum bisa beroperasi karena pandemi. Namun, saya masih bisa menggunakan gym dan kolam renang untuk olahraga. Untuk gym sendiri, areanya cukup luas dan besar menurut saya. Peralatan yang tersedia pun variatif dan banyak. Oh, ya! Waktu saya menginap, saya harus reservasi slot dulu sebelum bisa pakai gym dan kolam renang. Seingat saya, slot waktu yang dikasih adalah satu jam. Kalau memang gym atau kolam renang sedang kosong dan kita masih mau olahraga, kita boleh lanjut. Cuman kalau sedang ramai, kita harus gantian dulu dengan orang lain yang ingin pakai slot waktu berikutnya. Banyaknya alat untuk setiap jenis peralatan membuat saya nggak perlu nunggu karena harus gantian dengan tamu lain. I had a good 20-minute exercise at the gym. Sebentar sih sebetulnya, tapi saya setelah lari di treadmill ingin berenang dan rencananya, besok paginya mau joging keliling Mega Kuningan (tapi nggak terlaksana because I’m not a morning person to be honest). Di gym juga ada staf yang bertugas jika sewaktu-waktu kita perlu bantuan atau ingin titip barang.

Kolam renang di hotel ini merupakan kolam outdoor dan punya bentuk yang menurut saya sih aneh. Posisinya yang mojok dan benar-benar mengikuti bentuk atau perimeter bangunan bikin bentuk kolam ini jadi, ya, itu, aneh kalau menurut saya. Di salah satu sisi kolam, terdapat barisan patung-patung itik (atau merpati ya?) yang dari mulutnya keluar air. Kolam dewasa memiliki kedalaman 1,2 meter. Kolam anak sendiri kedalamannya saya nggak ingat, tapi yang jelas nggak ada pemisah permanen antara kolam anak dan kolam dewasa. Jadi, buat yang bawa anak-anaknya berenang, tolong diawasi baik-baik, ya. Air kolam juga nggak dihangatkan. Saat cuaca panas, saya rasa menyegarkan sih untuk berenang di sini. Namun, karena saya berenang pas hari benar-benar gelap dan mau hujan, cuaca Jakarta jadi lebih dingin dan saya nggak kuat berenang lama-lama. Apalagi, waktu itu tamu yang berenang juga cukup banyak. I just didn’t like being around too many people

Di sekitar kolam, ada beberapa recliner dan kursi untuk para tamu. Namun, nggak ada parasol untuk meneduhi area duduk tersebut. Nggak jauh dari kolam renang, ada taman dan gazebo yang kelihatannya jadi rebutan para tamu yang ingin tempat teduh buat duduk atau bersantai. Taman tersebut nggak begitu besar, tapi well-maintained dan punya semacam jogging track, meskipun pendek. Saya bertiga sempat main ke taman tersebut sambil lihat-lihat, dan dari ujung taman, saya bisa lihat view area Mega Kuningan. Dari area kolam sendiri, kalau saya lihat ke arah atas, pemandangan yang terlihat bagus. Saya dikelilingi oleh bangunan-bangunan tinggi. By the way, pardon my finger di foto gazebo.

Fasilitas Lain

Sebetulnya, masih ada beberapa fasilitas lain seperti ballroom, meeting room, dan bahkan Chinese restaurant (Pearl) di hotel ini. Namun, karena nggak semua fasilitas saya kunjungi atau gunakan, saya nggak cantumkan di review JW Marriott Jakarta ini. Oh, ya! Untuk Pearl, restoran ini berada satu lantai di atas lantai lobi dan bisa diakses lewat lift atau grand staircase yang ada di dekat Sailendra Restaurant. 

Hanya saja, dua fasilitas lain yang saya sempat lihat langsung adalah musala dan kids’ corner. Musala di hotel ini berada satu lantai dengan area kolam renang dan gym. Ukurannya cukup luas. Area pria dan wanita juga dipisah. Mengingat hotel ini berada di kawasan bisnis dan sering menjadi tempat diadakan seminar atau pertemuan besar, adanya musala jadi fasilitas penunjang yang sangat berguna, terutama untuk para Muslim karena ini artinya penyelenggara acara nggak perlu mempersiapkan ruangan untuk disulap jadi musala dadakan. 

Di akhir pekan, di area kolam suka digelar kids’ corner. Saya berkesempatan lihat-lihat dan “nyebur” ke ball pit-nya. Mainan yang disediakan cukup beragam, dari kuda-kudaan, ball pit, sampai rumah-rumahan. Buat yang menginap bersama anak-anak, fasilitas yang satu ini bisa dicoba. Apalagi, kids’ corner ini juga dibuka di dekat kolam renang. Jadi, sebelum atau sesudah berenang, bisa main dulu di sini. 

Lokasi

Bicara soal lokasi, JW Marriott Jakarta berada di kawasan yang menurut saya strategis dari beberapa perspektif. Kalau dilihat dari sudut pandang pebisnis, misalnya, hotel ini berlokasi di kawasan bisnis dan perkantoran. Ke area perkantoran di Jalan Rasuna Said, deket. Ke kawasan SCBD, lumayan lah. Ke perkantoran di Jalan Sudirman, ya, lumayan juga sih. Intinya sih kalau menurut saya, nggak begitu repot untuk bepergian dari sini. Jalan Rasuna Said juga jadi salah satu “gudang”-nya embassy beberapa negara. Jadi, nggak heran ketika banyak tamu-tamu asing yang menginap di hotel ini.

Untuk jarak ke mal, sebetulnya mal terdekat dari hotel adalah Lotte Shopping Avenue dan Bellagio Boutique Mall. Jaraknya cukup dekat, cuman buat sebagian orang mungkin jaraknya terbilang jarak nanggung. Kalau jalan kaki, mungkin agak jauh. Kalau pakai taksi, mungkin terlalu dekat. Saya sendiri waktu menginap di sana dan makan siang ke Lotte, memang pakai Grab sih. Ya, kalau mau sekalian olahraga sih bisa jalan kaki aja. Nggak hanya Lotte Shopping Avenue, beberapa mal di Jalan Dr. Satrio seperti Kuningan City, Mal Ambassador, dan ITC Kuningan bisa jadi opsi alternatif. Nggak repot sih kalau untuk urusan belanja dan makan di luar hotel, menurut saya. Bahkan, pihak hotel pun menawarkan shuttle ke beberapa lokasi. Sayangnya waktu saya menginap, layanan ini lagi nggak aktif. 

Dari Stasiun Gambir, hotel ini berjarak kurang lebih 20 menit, tergantung kondisi lalu lintas (berdasarkan perkiraan saya sendiri ini). Saya sendiri waktu menginap, nggak ke Jakarta menggunakan kereta api. Jadi, saya nggak hitung atau amati jarak dari Stasiun Gambir ke hotel. Namun, kalau dipikir-pikir atau dipertimbangkan, jaraknya kurang lebih segitu sih. Stasiun MRT terdekat dari hotel adalah Stasiun MRT Bendungan Hilir. LRT Jakarta di Rasuna Said masih dalam pembangunan, tapi kalau sudah jadi, stasiun LRT terdekat dari hotel adalah stasiun yang ada di depan Pasar Festival atau Agro Plaza. 

Pelayanan

Segmen ini memuat pendapat saya mengenai pelayanan yang diberikan pihak hotel. Apa yang saya tulis bersifat subjektif dan bukan merupakan informasi umum, dan lebih merupakan pendapat pribadi. Experience yang saya alami bisa jadi berbeda dari apa yang orang lain alami. Tulisan dalam segmen ini tidak ditujukan untuk menjelek-jelekkan atau menurunkan reputasi hotel. Jika informasi yang saya tulis bersifat positif, semoga manajemen hotel bisa tetap menjaga kualitas layanannya. Jika bernada negatif, semoga bisa menjadi bahan perbaikan bagi pihak hotel. 

Review JW Marriott Jakarta yang saya tulis tentunya nggak lengkap tanpa testimoni saya mengenai kualitas pelayanan yang diberikan oleh pihak hotel. Selama menginap selama dua malam, buat saya sih secara keseluruhan kualitas pelayanan yang diberikan oleh hotel sudah bagus. Ada beberapa hal yang pada awalnya bikin saya kaget dan agak kesal, tetapi baik pihak hotel dan saya bisa sama-sama cari solusi yang tepat. 

Di sore hari pertama, saya, Kak Ami, dan Pak Suneo memutuskan untuk keliling-keliling hotel dan ambil foto beberapa fasilitas hotel. Saat keliling-keliling di area lobi, kami seperti diikuti oleh staf keamanan hotel. Bahkan waktu kami ke Blu Martini pun, staf di sana sempat tanya-tanya tujuan kami ke bawah itu untuk apa. Setelah saya jelaskan (dan saya juga bilang bahwa saya menginap), akhirnya kami diizinkan foto-foto area bar dan lihat-lihat. Saat itu, staf keamanan hotel masih mengawasi kami dari jauh. Pak Suneo yang ngerasa risi akhirnya ngomong ke pihak resepsionis. Setelah ngobrol, kami (terutama saya) jadi paham kenapa kami seperti diikuti atau diawasi ketat. Insiden terorisme yang terjadi dua kali di hotel bikin pihak hotel harus jauh lebih ketat dalam menjaga properti dan mengawasi siapa pun yang datang ke hotel, termasuk kami. Namun, staf resepsionis menginformasikan ke beberapa pihak di hotel bahwa kami mungkin akan datang dan lihat-lihat untuk foto-foto. Setelah itu, kami bisa lihat-lihat dan ambil dokumentasi untuk review ini dengan santai dan nyaman. 

review jw marriott jakarta

Waktu tiba di kamar, saya senang dan terharu saat mendapatkan sambutan hangat dari pihak hotel. Di kamar saya, sudah tersedia makaron dan kue, dan di jendela kamar saya pun digambari doodle selamat datang. Senang sekali rasanya saat tahu bahwa pihak hotel sejak awal sudah berusaha membuat saya merasa welcomed dan nyaman di JW Marriott Jakarta. Kebetulan saya pun menginap dua malam di sana. Kenyamanan tentunya jadi faktor yang penting karena kalau saya nggak nyaman dari awal, kemungkinan stay saya ke sananya nggak akan terasa enjoyable.

Ada kendala yang saya alami saat menginap. Di pagi hari kedua, saya nggak bisa pakai shower kamar mandi karena katup air panas air dinginnya rusak. Walhasil, air yang keluar hanya air panas dan itu benar-benar panas. Kalau mau pakai air dingin atau hangat, harus mandi di bathtub, tapi itu sangat nggak praktis menurut saya. Akhirnya, saya pun minta tolong teknisi untuk memperbaiki shower di kamar mandi saya. Ternyata, prosesnya nggak begitu lama dan sekitar jam 12 siang, saya udah bisa pakai shower lagi dengan air bersuhu sejuk. Pas saya kembali ke kamar (setelah makan siang di luar hotel), kamar saya sudah rapi dan di atas meja sudah ada kue dan ucapan terima kasih. Waktu saya telepon, katanya sih itu ucapan terima kasih karena saya suka upload foto-foto properti ke Instagram Story. Apa pun itu, saya apresiasi ucapan terima kasih dari pihak hotel (dan saya habisin kuenya he he he). 

Overall, soal kualitas pelayanan sih saya nggak ada keluhan. Memang kalau boleh jujur, saat saya berada di lounge dan restoran, tidak ada pelayanan yang super spesial atau gimana. Bisa dibilang ya sama rata lah dengan para tamu lain. Namun, pelayanan yang diberikan juga nggak buruk atau messy. Saat check-in dan check-out pun, prosesnya berjalan cukup lancar dan para staf yang bertugas cukup helpful. No objection

Kesimpulan

Kunjungan saya ke JW Marriott Jakarta melengkapi goal saya untuk menginap di dua properti Marriott di Mega Kuningan. Bagi saya, Ritz-Carlton dan JW Marriott ini seperti duo Miriam Forcible dan April Spink dari film Coraline atau The Barry Sisters, duo penyanyi Amerika Serikat keturunan Yahudi yang terkenal di tahun 1940an hingga 1970an. Karena usianya lebih tua daripada Ritz-Carlton, saya bisa melihat tanda-tanda usia tersebut, terutama dari interior hotel. Soal interior, gaya yang diusung adalah gaya kontemporer dengan palet warna earthy. Kalau dibandingkan dengan properti-properti di kelasnya, dari segi interior sih memang dated, tapi saya secara pribadi nggak keberatan. 

review jw marriott jakarta

Dengan luas 42 meter persegi, kamar tetap terasa luas dan lapang, terutama dengan langit-langit yang tinggi dan jendela besar, meskipun beberapa furnitur terkesan oversized dan “badag”. Ditambah lagi, palet warna yang cerah dan pencahayaan yang cukup membuat atmosfer ruangan terasa hangat dan nyaman, terutama di malam hari. Di bawah jendela pun, terdapat semacam dudukan yang membuat saya bisa menikmati pemandangan Jakarta di malam hari sambil ngemil atau ngeteh. Kamar mandi di kamar saya pun cukup besar, dan yang saya suka dengan bathtub-nya yang panjang. Meskipun sempat ada kendala dengan shower, masalah bisa terselesaikan dengan baik dan kamar mandi tetap bisa digunakan. 

Soal fasilitas, JW Marriott Jakarta menawarkan beragam pilihan, dari fasilitas MICE, kebugaran, sampai hiburan. Ada tiga restoran, satu bar, dan satu coffee/tea shop di hotel ini. Kalau menginap di beberapa tipe kamar, kita juga bisa dapat akses ke executive lounge yang menyajikan sarapan, high tea, dan evening cocktail. Menu sarapan yang disajikan di Sailendra Restaurant menurut saya sangat variatif, dan setiap harinya berganti-ganti. Pilihan menu yang disajikan di executive lounge memang terbatas, tetapi kalau prioritasnya adalah eksklusifitas, makan dan minum di lounge memang pilihan yang pas. Apalagi, pemandangan dari lounge juga bagus. Yang saya agak sayangkan, lounge tidak menggelar lunch. Namun, selain itu sih soal makan minum, saya hepi-hepi aja. 

Dari semua fasilitas kebugaran yang tersedia, saya hanya pakai gym dan kolam renang. Sayangnya, sauna dan whirlpool belum beroperasi. Padahal, saya membayangkan enaknya berendam di whirlpool setelah selesai berenang dan nge-gym. Namun, berendam di bathtub juga bisa membayar keinginan tersebut. Posisi dan bentuk kolam renang yang menurut saya “aneh” sebetulnya urusannya soal preferensi saya. 

Waktu menginap, saya book lewat aplikasi Marriott Bonvoy dan dapat rate yang cukup terjangkau untuk dua malam, yaitu 2,2 juta rupiah. Ini karena saya dapat special rate ulang tahun JW Marriott Jakarta yang hanya valid kalau saya menginap selama dua malam di weekday. Apalagi, saya juga dapat kamar tipe Executive yang dilengkapi sarapan dan akses ke executive lounge. Asyik nggak tuh? Terakhir saya cek, harga-harga properti-properti Marriott, terutama yang bintang lima di Jakarta jadi pada naik cukup signifikan. Hotel ini menyentuh angka dua jutaan terakhir kali saya cek (sekitar beberapa hari yang lalu dari tanggal upload tulisan ini). Dulu sih, rate untuk properti ini sempat ada di kisaran 1,3 atau 1,5 jutaan. Mungkin karena sekarang orang-orang sudah bisa liburan lagi kali ya? Entahlah. 

Untuk kalian yang cari properti yang lebih baru dengan desain interior yang lebih modern, hotel ini memang menawarkan opsi yang agak dated, meskipun dari aspek teknologi sih, teknologi-teknologi baru sudah tersedia. Namun, hotel ini menghadirkan kamar-kamar yang luas, dengan fasilitas komprehensif, kualitas pelayanan yang baik, pengalaman bersantap yang berkesan, dan lokasi yang sangat strategis. 

Pros & Cons

👍🏻 Pros

  • Ukuran kamar cukup luas, dengan langit-langit yang tinggi dan jendela besar.
  • Bathtub di kamar mandi lebih panjang dari ekspektasi.
  • Lokasi strategis, dekat ke mana-mana, terutama kawasan perkantoran.
  • Menu breakfast sangat variatif.
  • As expected from a five-star hotel, fasilitas yang ditawarkan properti komprehensif, termasuk musala (ini saya nggak sangka-sangka sih sebetulnya, walaupun mungkin properti-properti lain juga banyak yang menyediakan musala, tapi saya nggak tahu).
  • Gym hotel cukup besar dengan banyak equipment.
  • Ini personal preference, tapi saya suka dengan desain interior barnya.

👎🏻 Cons

  • Bagi sebagian orang, desain interior kamar mungkin terkesan dated, tapi saya secara pribadi nggak masalah sih. Saya pernah bilang sebelumnya kalau hotel-hotel mewah di tahun 90an itu punya charm-nya tersendiri.
  • Pilihan menu di executive lounge jauh lebih terbatas (tapi entah kenapa, menurut saya terlalu terbatas jatuhnya meskipun saya suka dessert-nya).
  • Bentuk dan posisi kolam renangnya agak aneh buat saya.
  • Sempat ada kendala dengan shower. Menurut saya, ini perlu jadi catatan buat pihak hotel agar maintenance kamar lebih ditingkatkan.
  • Pelayanan di executive lounge terasa kurang personalized.

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌😶
Desain: 😆😆😆😶⚪️
Lokasi: 🤩🤩🤩🤩⚪️
Harga: 💰💰💰💰💰

Review: Maison Teraskita Hotel Bandung

Ada yang spesial soal properti yang satu ini. Awalnya, saya nggak tahu kalau ini adalah sebuah boutique hotel. Seperti biasa, Instagram menampilkan banyak iklan dan tiba-tiba, iklan properti ini muncul. Namun, karena yang ditampilkan adalah foto makanan dan piano (oh! You guys know how much I love playing piano!), walhasil saya pun kepikiran datang untuk sekadar ngopi dan main piano. Kebetulan, waktu itu saya memang habis menginap di hotel lain. Waktu tiba, saya baru sadar kalau ternyata apa yang saya kira kafe ternyata merupakan bagian dari hotel. 

Saya pun langsung cek Instagram dan googling soal properti ini. Berhubung rate-nya sedang murah dan saya juga nggak begitu sibuk dengan kerjaan, saya putuskan untuk mendadak nginep di hotel ini. Ya, improptu aja. Bahkan, ada staf hotel yang sampai kaget karena saya tiba-tiba check-in, padahal awalnya hanya makan siang dan main piano. Turned out keputusan saya buat stay di hotel ini nggak salah because the hotel really lived up to its name.

review maison teraskita hotel bandung
Fasad Maison Teraskita Hotel Bandung

Maison Teraskita Hotel Bandung adalah salah satu hotel baru di Bandung. Properti bintang empat ini setahu saya beroperasi sejak tahun 2020 (di tahun 2019, kalau nggak salah bangunannya masih direnovasi). Bangunan hotel ini sendiri sebetulnya sudah unik. Saya coba cari tahu lebih lanjut soal bangunan peninggalan era kolonial Belanda yang sekarang menjadi hotel. Dilansir dari Property and The City, Maison Teraskita Bandung menempati bangunan kantor Waskita Karya yang juga merupakan salah satu bangunan cagar budaya grade B di Bandung. Bangunan tersebut konon sudah ada sejak tahun 1910an. 

Saya masih penasaran dengan sejarah gedung Maison Teraskita Bandung di era kolonial dulu. Pencarian di Google membawa saya ke sebuah artikel dari Cianjurpedia yang membahas riwayat gedung tersebut. Bagian bangunan yang menjadi wajah hotel ternyata dibangun di tahun 1913 dan digunakan sebagai kantor cabang Siemens. Anak milenial pasti nggak asing deh dengan nama Siemens. Pasalnya, Siemens adalah salah satu brand HP yang terkenal pada zamannya (ingat ringtone yang juga dipake sebagai ringtone HP Sanchai di serial  Meteor Garden?). Gedung ini sendiri sebetulnya bernama NV. Volker Aanemings Maatschappij, tetapi memang kemudian lebih dikenal sebagai Gedung Siemens. Di tahun 1961, gedung mengalami renovasi yang menyebabkan perubahan pada bentuknya. Setelah itu, gedung pun digunakan sebagai kantor Waskita Karya. 

review maison teraskita hotel bandung
Gedung kantor Waskita Karya sebelum menjadi Maison Teraskita | Credit: Sepanjang Jalan Kehidupan

Maison Teraskita Hotel Bandung adalah addition baru bagi portfolio The Gala Hotels Group. Berdasarkan informasi yang saya lihat dari situs resmi The Gala Hotels Group, hotel ini adalah properti pertama mereka di Bandung. Dua properti lainnya berada di Jakarta (and are definitely on my to-go list). Terdapat 84 kamar dan suite yang tersedia di hotel bintang 4 di Bandung ini. Soal fasilitas, ada rooftop swimming poolgym, restoran, dan kafe. Di koridor lift, ada beberapa ruangan kosong yang katanya sih akan jadi barbershop, tapi terakhir kali saya ke sana (saya sudah menginap dua kali, dan yang terakhir adalah bulan Agustus 2021), ruangan tersebut masih kosong. 

Ada 8 tipe kamar di hotel ini. Saat menginap di hotel ini, saya menempati kamar tipe Deluxe Maison Double. Oh, ya! Saya juga berkesempatan bertemu Bapak Alexander selaku director of sales marketing hotel (sayangnya beliau sudah tidak di Maison Teraskita lagi menurut salah satu staf hotel), dan juga chef hotel. Ulasan lengkap hotel dan cerita lainnya, as usual, saya bagikan di segmen berikutnya, ya!

Desain Kamar

Dari namanya, saya bisa menebak konsep yang dihadirkan oleh Maison Teraskita Hotel Bandung. Informasi ini juga diperkuat oleh pernyataan Bapak Alexander mengenai konsep hotel. Saat tiba di lobi, saya sudah bisa melihat manifestasi dari tema utama yang diusung hotel. Begitu tiba di kamar, saya bisa membayangkan diri berada di salah satu apartemen bergaya contemporary Parisian di pusat Paris. Hanya saja, dari jendela kamar, saya bisa melihat minaret Masjid Raya Bandung, dan bukan Menara Eiffel. Ya, setidaknya masih di Paris van Java lah ya.

Tipe Deluxe Maison Double memiliki luas 24 meter persegi. Bentuk kamar sebetulnya unik karena bukan persegi, melainkan trapesium. Dengan bentuk ruangan seperti ini, jendela kamar bisa diposisikan agar menghadap ke Masjid Raya Bandung, dan bukan langsung menghadap ke bangunan Jiwasraya. Hanya saja, dimensi jendela yang tinggi, dan bukan melebar, membuat pencahayaan alami di kamar terbilang kurang. 

Atmosfer khas apartemen bergaya Parisian langsung terasa begitu saya masuk ke kamar. Dinding kamar tampil mewah dalam balutan panel kayu berwarna putih. Untuk lantai, digunakan parket berwarna medium yang membangun kesan hangat. Sebagai focal point, dinding di belakang tempat tidur menggunakan panel kayu berwarna turquoise (tapi menurut saya, lebih biru sih). Langit-langit di area utama kamar cukup tinggi dan dilengkapi built-in lighting yang membuat ruangan terang, tanpa terasa terlalu silau.

Satu hal yang saya suka dari kamar ini adalah adanya potted plant. Ditempatkan di samping sofa, adanya tanaman membuat kamar terasa lebih segar dan lived-in, as if the room is really an apartment. Sayangnya, penempatan sofa dan meja kopi justru membelakangi televisi, dan bukan menghadap ke televisi. Walhasil, saya harus duduk di tempat tidur kalau ingin nonton televisi. Untuk tempat tidur sendiri, seperti yang bisa dilihat di foto, ternyata merupakan dua twin bed yang digabungkan. Saya sedikit kecewa sebetulnya. Headboard tempat tidur tampil sederhana dengan bentuk rectangular, tetapi unik karena dibuat dari anyaman rotan. Tidak ada end table di kedua sisi tempat tidur. Sebagai gantinya, lampu meja digantikan oleh wall lamp bergaya modern minimalist. Telepon pun dipasang di dinding dan, sayangnya, gagangnya sering jatuh. Buat yang biasa simpan HP atau jam tangan di end table, di sini HP harus disimpan either di meja kopi, meja kerja, or kasur.

Di ujung ruangan, terdapat nook dengan dinding bertekstur kasar yang dipisahkan oleh vitrage dan gorden berwarna hijau zamrud tua. Dengan meja kecil dan kursi rotan, area ini saya duga merupakan area kerja, meskipun sejujurnya kursinya kurang nyaman untuk dipake ngetik-ngetik kerjaan. Namun, dari area ini, saya bisa melihat bangunan Masjid Raya Bandung sambil kerja. Pemandangannya kurang “lega” memang, tapi setidaknya there was something I could see while working.

Di vestibule, terdapat satu kabinet untuk menyimpan kulkas mini dan coffee/tea maker. Untuk teh, Maison Teraskita Hotel Bandung menggunakan produk-produk teh Walini. Di sampingnya terdapat gantungan pakaian sebagai pengganti lemari atau closet. Sebetulnya, saya kurang begitu suka gantungan pakaian yang terbuka karena kesannya jadi rame atau riweuh, terutama ketika saya ngegantung banyak pakaian. Di setiap kamar, tersedia bathrobe dan slippers yang nyaman. Oh, ya. AC di kamar masih menggunakan unit terpisah, bukan AC sentral. Not a big problem for me sebetulnya.

Sayangnya, saya mengamati maintenance kamar tampaknya kurang optimal. Area di sekitar sakelar dan stopkontak tampak retak dan kurang rapi. Selain itu, cat pada dinding di sekitar bagian bawah jendela kamar mandi juga sudah mengelupas. Saya menyayangkan hal ini, mengingat properti ini masih terbilang baru dibuka. Semoga ke depannya maintenance kamar bisa ditingkatkan, ya.

Kamar Mandi

This is one of my favourite part waktu menginap di Maison Teraskita Bandung. Kamar mandi di tipe Deluxe Maison Double punya ukuran yang decent. Tidak besar, tapi nggak claustrophobic juga. Dari aspek desain, interiornya mengusung perpaduan Industrial dengan Art Deco. Interior kamar mandi ini mengingatkan saya dengan interior kamar mandi di de Braga by ARTOTEL. Pencahayaan kamar mandi juga bagus dan seperti yang mungkin kalian tahu, saya nggak suka kamar mandi yang redup.

Area shower dipisahkan dari area lain kamar mandi dengan dinding dan split level. Sayangnya, dinding pemisah ini kurang panjang dan split level-nya pun kurang signifikan untuk mencegah luapan air. Walhasil, saat saya mandi, air pun jadi luber ke sana sini. Adanya rainshower (meskipun piringannya nggak besar) membuat momen mandi saya jadi lebih menyenangkan. Bathroom fixture di kamar mandi pun memiliki desain modern classic (bisa dilihat dari desain shower tangan). What’s better, Maison Teraskita Hotel Bandung menghadirkan body wash dan shampoo dari koleksi Calming milik Sensatia Botanicals.

Kloset ditempatkan di sisi timur kamar. Di dinding di belakangnya terpasang foto salah satu sisi kota Bandung dengan filter hitam putih yang menambah kesan artsy pada interior kamar mandi. Sebetulnya, di kamar pun tersedia hair dryer, tetapi tidak disimpan di kamar mandi. Hair dryer disimpan di dalam tas kecil yang digantung pada gantungan, di dekat bathrobe. Jadi, kalau bicara soal fasilitas kamar mandi sih, saya rasa sudah lengkap. Actually, it was better than expected.

Fasilitas Umum

Teras Cafe

Salah satu fasilitas umum di Maison Teraskita yang menurut saya sangat prominent adalah kafenya. Teras Cafe berada di lantai dasar hotel dan menempati area lobid dan teras depan. Oh, ya! Untuk yang baru datang kali pertama atau mungkin sekadar lewat, mungkin nggak sadar kalau ini adalah hotel. Pasalnya, yang terlihat dari trotoar memang kafenya, meskipun outdoor area-nya cenderung tersembunyi di balik pagar bertanaman rambat. Namun, dengan konsep seperti ini, vibe Parisian cafe-nya justru dapet banget. Bisa dibilang, kafe ini jadi semacam oasis tersembunyi di tengah ingar bingar kawasan Alun-Alun Bandung. 

Focal point teras ini adalah air mancur bergaya klasik yang tampak cantik, baik di siang maupun malam hari (terutama malam hari karena ditambah pencahayaan yang pas). Meja-meja persegi dipadukan dengan kursi-kursi rotan dan beberapa parasol sebagai peneduhnya. Dikeliling bunga dan semak-semak, area teras kafe ini selain cantik juga cozy, terutama di sore hari. Di malam hari, area teras terasa romantis, terutama saat diterangi lampu-lampu. Sebagai penutup tanah, digunakan batu-batu kerikil yang, menurut saya sih, agak bikin was-was ketika jalan. Beberapa kali saya hampir jatuh karena kerikil-kerikil tersebut. Selain itu, kerikil-kerikil di tanah bikin kursi dan meja jadi kurang stabil. 

Pintu besar dengan frame berwarna teal gelap menyambut saya saat akan masuk ke lobi Maison Teraskita yang merangkap indoor area kafe. Tepat di sisi kanan pintu, ada tangga menuju lantai dua. Tangga berbentuk “L” ini masih menggunakan desain aslinya, tetapi dipercantik dengan runner bermotif foliage. Kurang “wah” untuk disebut grand staircase, tetapi sangat “wah” untuk sekadar disebut tangga biasa. Di dekat tangga, ditempatkan potted plant besar yang tidak hanya mempercantik ruangan, tetapi juga memberikan sentuhan segar “ijo royo-royo” pada interior kafe.

Lobi dan area indoor kafe diterangi jendela-jendela besar yang berada di sisi depan bangunan. Panel kayu berwarna putih melapisi dindingnya, sementara flooring menggunakan lantai kayu bermotif herringbone. Mungkin ada yang sudah tahu apa yang saya suka dari kafe ini. Ya, pianonya! Di bawah tangga, terdapat sebuah baby grand piano Yamaha (sepertinya tipe G1 karena ukurannya memang nggak begitu besar). Saat menginap (dan setiap ke kafe ini), saya selalu main piano itu dan para staf hotel ternyata senang (hore!). Kondisi piano baik, tetapi sering kali keyboard-nya berdebu. Maklum, dengan jendela dan pintu yang dibuka dan posisi hotel tepat menghadap ke Jalan Asia Afrika yang ramai, polusi dan debu dari luar bisa masuk dengan mudah. Hanya saja, terakhir kali saya main (sekitar satu dua minggu sebelum post ini diterbitkan), ada beberapa not yang agak fals.

Area indoor memiliki meja dan kursi yang lebih sedikit. Selain itu, para pengunjung kafe pun harus berbagi tempat dengan para tamu hotel. Kursi-kursi rotan digunakan pula di dalam kafe. Namun, dengan meja kopi, area indoor kafe sepertinya lebih cocok buat ngemil dan ngopi dibandingkan untuk makan with good posture. Lampu lantai dan gantung bergaya orb menjadi sumber penerangan sintetis. Desainnya pun memberikan sentuhan Art Deco pada interior kafe, terutama saat dipadukan dengan foto-foto berbingkai hitam di dinding. Dengan pencahayaan berwarna hangat, kafe ini terasa hangat, cozy, dan mewah, terutama saat hujan sore-sore atau di malam hari. 

Waktu kali pertama datang, saya pesan spaghetti aglio e olio untuk makan siang. Untuk minuman, saya lupa namanya apa. Untuk makanannya, jujur saya suka karena pesanannya sesuai custom order saya: tanpa keju sama sekali dan tingkat kepedasannya pas. Tingkat keasinannya ke arah rendah, tapi justru saya bisa merasakan gurih dari bahan-bahan lain. Rotinya renyah dan gurih, dan nggak sampai asin yang bikin pusing. Untuk minumannya, base-nya green apple syrup yang kentara. Sisanya sepertinya ada blue curacao-nya atau apa, tapi yang paling kentara sih green apple. Untuk rasanya, fine lah.

Dengan dwifungsinya sebagai lobi hotel dan indoor dining area, saya menduga area ini akan sangat ramai ketika hotel lagi banyak tamu, dan kafe lagi banyak pengunjung. Mungkin beberapa pengunjung kafe bisa diarahkan ke lantai dua atau teras. Nah, di lantai dua sendiri ada bar, dan di dekatnya ada pintu menuju restoran hotel yang digunakan sebagai tempat sarapan para tamu. Area lantai dua seingat saya hampir selalu kosong. Mungkin karena area ini tampaknya lebih difokuskan sebagai restoran, dan bukan kafe.

Singkatnya, Teras Cafe di Maison Teraskita Bandung bisa jadi tempat nongkrong cantik yang nyaman di pusat kota Bandung. Desain interiornya menjadi salah satu keunggulan kafe ini. Gaya modern Parisian, dipadukan dengan beberapa elemen vintage dan Art Deco membuat kafe ini makin cantik dan Insta-worthy. Namun, saya ingin ngasih tahu soal harga menu. Karena merupakan bagian dari hotel, perlu diingat bahwa pajak dan service charge-nya adalah 21%, dan bukan 10-15%. PPN + service charge sebesar itu bisa bikin harga nett jadi lebih tinggi secara signifikan.

Restoran

Restoran hotel berada satu lantai di atas lobi dan bisa diakses lewat lift maupun tangga. Area restoran cukup luas dan mencakup balkon sebagai smoking area. Dari segi interior, gaya modern Parisian tetap diusung. Restoran hotel berada satu lantai di atas lobi dan bisa diakses lewat lift maupun tangga. Area restoran cukup luas dan mencakup balkon sebagai smoking area. Dari segi interior, gaya modern Parisian tetap diusung. Hanya saja, terlepas dari luasnya, meja dan kursi yang tersedia cukup terbatas sih kalau saya amati. Di bagian tengah restoran, ada semacam island untuk bufet dan dari island tersebut, kita bisa “ngintip” ke arah dapur. Cukup seru sih, terutama ketika kita pada akhirnya bisa accidentally lihat live cooking show. Kursi-kursi rotan dipadukan dengan sectional sofa berlapis kain berwarna biru “horang kaya”, membangun atmosfer casual chic, tapi juga elegan. 

Soal menu breakfast, pihak hotel akan tanya kita mau makan apa saat check-in. Mereka akan kasih semacam form untuk kita isi, dan di form itu disebutkan makanan-makanan yang akan disajikan untuk sarapan keesokan paginya. Kita bisa centang makanan yang kita mau nikmati, dan kosongkan makanan yang kita nggak mau. Menurut saya, ini jadi sistem yang bagus karena pihak hotel hanya perlu menyajikan apa yang kita minta, dan nggak perlu menyajikan makanan atau minuman yang nggak kita akan ambil (dan mungkin pada akhirnya jadinya mubazir karena nggak dimakan). Less food waste, better life. Menu sarapan saya simpel, tapi cukup mengenyangkan. Dan entah, pom pom itu kenapa ya rasanya asin banget? Apakah setiap restoran atau gerai yang jual kentang pom pom itu nambahin garamnya kebanyakan, atau memang dari pabriknya garamnya udah banyak banget?

Kolam Renang

Fasilitas lain yang tersedia di Maison Teraskita Bandung (dan yang jadi favorit saya) adalah kolam renangnya. Berada di lantai rooftop, area kolam renang hotel menawarkan pemandangan pusat kota Bandung yang kece banget! Dari segi ukuran, kolam renang ini punya dimensi memanjang. Simpel, sebetulnya dan terbilang ramping. Namun, karena dimensinya memanjang, kolam renang ini cocok buat latihan bolak-balik beberapa lap.

Area duduk dibagi menjadi dua sisi. Karena bentuk kolam memanjang, kursi-kursi dan meja-meja ditempatkan di kedua ujung kolam renang. Sayangnya, nggak ada parasol untuk meneduhi tempat-tempat duduk di sini. Walhasil, kalau cuaca lagi panas banget, mau nggak mau harus siap-siap benar-benar berenang dan beraktivitas di bawah paparan cahaya matahari. Ini yang saya sayangkan sebetulnya. Selain itu, jumlah meja dan kursi yang ada juga sangat terbatas, mengingat area duduknya pun nggak begitu besar. Bisa dibayangkan kalau tingkat okupansi hotel lagi tinggi dan tamu-tamu pada berenang di jam yang sama. Siap-siap rebutan meja dan kursi ini sih. 

Buat yang bawa anak-anak, saya rasa faktor keselamatan di area kolam jadi salah satu yang harus diperhatikan. Pasalnya, karena konsep kolam renang bisa dibilang infinity pool, nggak ada dinding pembatas di sisi panjang kolam. Apalagi, dari area duduk, meskipun terhalang oleh planter, somehow orang tetap bisa pergi dan berdiri di atas dinding sisi panjang kolam (ya, nyelip-nyelip ke pinggir planter). Jadi, buat yang bawa anak-anak, harus dijaga ketat deh. To some extent, saya bahkan merasa kalau kolam ini nggak kids-friendly, terutama soal kedalamannya. 

Namun, yang paling keren lagi adalah view dari area kolam, dan rooftop secara keseluruhan. Seandainya ada rooftop bar di sini, udah deh lengkap banget Maison Teraskita Bandung tuh menurut saya. Pasalnya, view dari area kolam dan rooftop ini keren banget. Kawasan Alun-Alun Bandung, Masjid Raya Bandung, dan area komersial di sekitarnya (terutama gedung-gedung tinggi di daerah Kepatihan dan Dalem Kaum) terlihat jelas dan keren banget, apalagi di malam hari. Di arah barat, kita juga bisa lihat pemandangan Jalan Sudirman. Pemandangan gedung-gedung tinggi juga bisa terlihat di arah utara. Pokoknya, view dari area ini udah paling bagus deh menurut saya. Bahkan, saya bisa bilang bahwa Maison Teraskita Bandung adalah salah satu hotel dengan rooftop infinity pool terbagus di Bandung. 

Gym

Fasilitas berikutnya yang ada di Maison Teraskita Bandung adalah gym. Berada di lantai rooftop, gym hotel ini memang nggak besar. Kecil banget, kalau saya boleh bilang. Jumlah alatnya pun sangat terbatas. Lokasi gym ini berada di dekat kamar mandi dan ruang ganti pakaian.

Karena ruangannya yang terbilang kecil dan memanjang, bisa dipahami kenapa alat-alat yang ada di sini sangat terbatas jumlahnya. Namun, jendela-jendela full-height dipasang di salah satu sisi ruangan. Meskipun pemandangannya kurang bagus (view BRI Tower di sebelah hotel), jendela-jendela ini bikin cahaya alami bisa masuk dengan mudah dan melimpah ke ruangan sehingga kesan sempit jadi bisa diminimalisir. Selain itu, karena ukuran gym yang kecil, saya malah merasa seperti berada di home gym. Ada sedikit atmosfer homy yang saya rasakan di ruangan ini. 

Lokasi

Maison Teraskita Hotel Bandung berlokasi tepat di pusat kota Bandung, berseberangan dengan kawasan Alun-Alun Bandung dan Masjid Raya Bandung. Kalau soal lokasi sih, bisa dibilang kurang apa lagi coba? Stay di pusat kota Bandung dan dekat dari kawasan-kawasan turistik seperti Braga dan Asia Afrika, dan distrik belanja seperti kawasan Kepatihan, Dalem Kaum, dan Pasar Baru? Definitely a big yes! Ke mana-mana dekat. Mau main ke Alun-Alun atau belanja di daerah Kepatihan? Tinggal nyeberang jalan doang udah sampai. Kawasan Braga cuman sekitar 5 menit dari hotel dengan berjalan kaki. Soal transportasi, di depan Alun-Alun juga sebetulnya ada halte bis buat yang ingin naik kendaraan umum. Oh, ya! Yang saya suka lagi adalah meskipun berada di pusat kota dan dikeliling tempat yang ingar bingar, noise level di kamar terbilang kecil. 

Dari Stasiun Bandung, Maison Teraskita Hotel berjarak sekitar 10 menit menggunakan kendaraan roda empat, tergantung kondisi lalu lintas sebetulnya. Kalau dari Bandara Internasional Husein Sastranegara, jarak tempuh ke hotel dengan kendaraan roda empat bisa memakan waktu sekitar 15-20 menit atau bahkan lebih cepat, again tergantung kondisi lalu lintas. 

Pelayanan

Segmen ini memuat pendapat saya mengenai pelayanan yang diberikan pihak hotel. Apa yang saya tulis bersifat subjektif dan bukan merupakan informasi umum, dan lebih merupakan pendapat pribadi. Experience yang saya alami bisa jadi berbeda dari apa yang orang lain alami. Tulisan dalam segmen ini tidak ditujukan untuk menjelek-jelekkan atau menurunkan reputasi hotel. Jika informasi yang saya tulis bersifat positif, semoga manajemen hotel bisa tetap menjaga kualitas layanannya. Jika bernada negatif, semoga bisa menjadi bahan perbaikan bagi pihak hotel. 

Saya memang baru dua kali stay di Maison Teraskita Bandung (and to be honest, I’d love to come back again!), tetapi kualitas pelayanan di kedua kunjungan tersebut bisa saya bilang bagus. Saat tiba, saya dikasih welcome drink. Proses check-in juga cepat dan nggak ribet, dan pihak hotel sebisa mungkin kasih saya kamar sesuai request. Staf yang bertugas ramah-ramah, dan waktu saya main piano, mereka juga kasih saya tepuk tangan (dan bahkan ada yang request lagu). Wah, senangnya! 

Interaksi saya dengan para staf hotel nggak berhenti sampai di situ. Saya berkesempatan ketemu dengan sales marketing director Maison Teraskita Hotel, Pak Alexander. Jadi kehormatan bagi saya untuk ketemu Pak Alexander dan ngobrol soal properti keren ini. Bahkan, karena saya sampai dua kali pesan pasta aglio e olio, saya pun jadi ketemu dengan chef hotel dan beliau berterima kasih secara langsung. Senang banget rasanya. 

Kesimpulan

Paris van Java. Saya apresiasi usaha Maison Teraskita Hotel Bandung untuk menghadirkan suasana Paris di tatar Parahyangan. Interior bergaya modern Parisian yang chic berhasil dihadirkan oleh hotel ini, tanpa terkesan maksa atau gaudy. Desain yang sama juga diterapkan di area-area hotel yang lain. Salah satu yang cukup menarik adalah Teras Cafe-nya yang mengusung konsep cafe trottoir, meskipun ya nggak di trotoar juga. Namun, outdoor dining area kafe jadi semacam oasis sejuk di tengah ingar bingar kawasan pusat kota Bandung. 

Pada awalnya, saya sempat bingung karena hotel ini menyandang predikat hotel bintang empat. Namun, setelah saya main ke area rooftop, saya akhirnya give a nod. Kolam renang dengan pemandangan kota jadi fasilitas favorit saya, meskipun saya nggak sempat berenang (tapi saya udah puas kok santai dan lihat-lihat pemandangan Bandung dari ketinggian). Gym juga hadir sebagai fasilitas kebugaran untuk melengkapi kolam renang. Area rooftop akan lebih lengkap dengan kehadiran rooftop bar menurut saya. Karena lokasi hotel sudah bagus dan pemandangannya juga sudah keren banget, adanya rooftop bar akan jadi nilai tambah yang signifikan buat Maison Teraskita Hotel Bandung

Rate yang ditawarkan mulai dari kisaran 500 ribuan (waktu saya book dulu, saya dapat harga sekitar 650 ribu untuk tipe Deluxe). Dengan lokasi yang strategis, desain interior yang stylish, dan fasilitas yang cukup lengkap, rate segitu saya rasa masih sangat masuk akal (meskipun sering kali meledak, terutama di momen-momen liburan atau weekend). Overall, Maison Teraskita Hotel Bandung berhasil menawarkan suasana ala Paris ke jantung kota Bandung tanpa terkesan “maksa”. Properti ini layak dijadikan pilihan, terutama buat wisatawan yang memang ingin menginap di pusat kota Bandung dan banyak berakvitias di kawasan Sudirman, Braga, atau Otista Pasar Baru.

Pros & Cons

👍🏻 Pros

  • Desain interior modern Parisian yang diusung nggak “maksa” dan gaudy.
  • Fasilitas yang dihadirkan cukup komprehensif.
  • Lokasi sangat strategis dan bikin gampang ke mana-mana dengan berjalan kaki.
  • Pemandangan dari area rooftop dan kolam renang keren banget! Properti ini jadi salah satu hotel dengan rooftop infinity pool terbagus di Bandung.
  • Kamar mandi dilengkapi produk mandi dari Sensatia. Love it!

👎🏻 Cons

  • Area parkir sangat terbatas
  • Rate sebetulnya masih reasonable, tapi kalau sedang meledak, bisa sangat mahal.
  • Maintenance kamar masih perlu ditingkatkan.

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌😶
Desain: 😆😆😆😆😶
Lokasi: 🤩🤩🤩🤩🤩
Harga: 💰💰💰

Review: Holiday Inn Express Matraman

Dari semua kawasan di Jakarta, saya paling jarang berkunjung ke Jakarta Utara dan Jakarta Timur. Wilayah edar saya bisa dibilang itu lagi itu lagi: Jakpus, Jaksel, dan Jakbar. Teman-teman saya bahkan bisa nebak saya ke mal apa kalau ke Jakarta saking seringnya ke sana (dan seolah nggak ada tempat tujuan lain). Sebagian besar teman-teman saya tinggal di tiga kawasan itu dan jujur aja, dengan kereta api sebagai moda transportasi favorit saya, tiga kawasan itu rasanya lebih nyaman untuk saya kunjungi atau jadikan patokan untuk cari hotel. Maklum. Saya ‘kan turun di Gambir.

Namun, di tahun kemarin saya dan Pak Suneo sempat menginap di salah satu properti di kawasan Jakarta Timur. Nggak begitu jauh dari Jakpus sebetulnya dan surprisingly, pemandangan yang saya dapat dari kamar justru keren banget. Hotel budget di Jakarta Timur ini bisa jadi pilihan akomodasi ramah di kantung yang pas karena fasilitas yang ditawarkan cukup komprehensif untuk properti di kelasnya. Tanpa berlama-lama, langsung aja saya bahas propertinya di bawah ini.

review holiday inn express matraman

Holiday Inn Express Matraman adalah hotel bintang tiga yang berlokasi di Jl. Matraman Raya, Kecamatan Matraman, Jakarta Timur. Properti milik IHG ini adalah hotel kedua dari lini Holiday Inn Express yang saya inapi (yang pertama adalah Holiday Inn Express Thamrin). Karena sudah pernah menginap di HIEX sebelumnya, saya bisa tahu what to expect. Hotel ini juga salah satu yang paling baru di antara properti-properti IHG lainnya di Jakarta (saya lupa duluan ini atau InterContinental Pondok Indah, ya?).

Dilansir dari situs resmi hotel, ada 179 kamar yang disebar ke 8 lantai. Untuk tipe kamar sendiri, secara umum sih semuanya sama dan hanya dibedakan oleh tempat tidur (1 queen-size bed atau twin bed). Ya, sama seperti Holiday Inn Express Thamrin. Soal fasilitas, ada gym, laundry room, meeting room, dan restoran di Holiday Inn Express Matraman. Bisa dipastikan keempat fasilitas itu ada di properti-properti lini Holiday Inn Express. Namun, sepengetahuan saya, ada juga beberapa properti di lini ini yang menawarkan kolam renang sebagai pelengkap gym, seperti Holiday Inn Express Clarke Quay di Singapura (hotel ini udah masuk ke list saya. Semoga kondisi bisa segera membaik dan saya bisa berlibur lagi ke luar negeri dengan aman dan mudah).

Saat menginap, saya dan Pak Suneo menempati kamar di lantai 7 dengan posisi jendela menghadap ke arah jalan. Menurut Bu Eka, guest service leader hotel, kamar-kamar yang posisinya di depan ini salah satu pilihan terbaik hotel. Nggak salah sih karena view yang didapatkan memang keren banget. Meskipun nggak berada di jantung kota banget, hotel ini berhasil menawarkan pemandangan kota yang keren banget menurut saya. Sometimes you just have to go farther to have a better view to enjoy. Ulasan lengkapnya seperti biasa saya sajikan di segmen berikutnya.

Desain Kamar

Berbeda dengan Holiday Inn Express Thamrin yang mengusung desain kontemporer yang lebih elegan, Holiday Inn Express Matraman justru mengusung desain yang menurut saya sih lebih youthful dan ceria, dan nggak biru “generic” khas lini Holiday Inn Express. Dengan luas 18 meter persegi, kamar-kamar di properti ini memang nggak begitu luas. Namun, penggunaan warna putih yang mendominasi interior kamar membuat kamar terasa lebih lapang, terutama dibarengi dengan jendela berukuran besar. Elemen-elemen kayu menggunakan warna cokelat dengan hue yang lebih terang sehingga membangun kesan hangat. Sebagai focal point, dinding di belakang tempat tidur digambari pola geometri dengan warna-warna pastel.

Saat ambil foto, sebetulnya ada dua kamar yang digunakan. Kamar yang kami tempati nggak punya connecting door. Namun, besoknya kami diajak Bu Eka lihat-lihat properti dan kamar yang ditunjukkan punya connecting door. Jadi, jangan bingung ya kalau ada yang beda di foto-fotonya. Soal fasilitas kamar sendiri, semuanya sama kok. Ada TV, AC, kursi kerja ergonomis, iPod docking station, electronic safe, kulkas kecil, dan tea/coffee maker. Koneksi WiFi yang tersedia cukup reliable untuk kerja dan nge-YouTube. Kebetulan waktu menginap, saya juga harus beresin kerjaan dan selama kerja, saya ngga mengalami gangguan pada koneksi internet. Closet yang tersedia di kamar konsepnya terbuka. Kalau tertutup, kayaknya sih kamar akan terkesan lebih rapi. Namun, dengan konsep terbuka seperti ini, kamar bisa terlihat lebih luas… selama pakaian yang digantungnya nggak banyak sih.

Selama menginap di Holiday Inn Express Matraman, saya nggak mengalami kendala di kamar terkait aspek fasilitas. Kualitas kanal televisi baik, koneksi WiFi juga baik, dan AC berfungsi dengan normal. Oh, ya! View dari kamar juga keren, terutama di malam hari. Sayangnya, kaca jendelanya ditempeli lapisan berwarna biru. Walhasil, fotonya pun jadi ikut berwarna biru. Gedung-gedung tinggi di kawasan Jakarta Pusat dan SCBD keliatan bagus banget di malam hari. Kalau tahun baru, kayaknya lihat kembang api dari hotel bakalan seru banget.

Sebetulnya, menginap di sini merupakan idenya si Suneo. Sejauh ini, dia lebih senang stay di pusat kota yang lebih bustling. Dia sendiri suka datang kesini di malam tahun baru. Pasalnya, dia pengen cari tenang dan suasana yang lebih nyaman buat menikmati tahun baru. Waktu saya lihat pemandangan dari jendela kamar, well, I can undestand his reason.

Kamar Mandi

Soal kamar mandi, ukurannya memang kecil. Penggunaan dinding marble berwarna putih dan pencahayaan yang cukup terang membuat kamar mandi terkesan lebih luas. Namun, sayangnya terlepas dari penggunaan tersebut, kamar mandi pada akhirnya tetap terasa sempit sih. Yang saya suka adalah adanya rain shower, seperti yang kalian pernah baca di review-review sebelumnya. Keluaran air dari shower pun cukup kencang. Kalau rain shower airnya kecil tuh bakalan kurang seru mandinya.

Bathroom amenities yang lain mencakup peralatan kebersihan pribadi, sampo/sabun, dan hair dryer. Nggak ada timbangan di sini dan entah kenapa, makin ke sini saya makin enggan pakai timbangan. Rasanya kesal sendiri kalau lihat timbangan makin naik. Lihat perut yang makin buncit aja rasanya geregetan sendiri. Secara keseluruhan, nggak ada keluhan terkait kamar mandi di Holiday Inn Express Matraman. Saya bisa mandi dengan nyaman.

Fasilitas Umum

Restoran

Untuk bersantap di Holiday Inn Express Matraman, ada restoran yang di lantai dasar. Bicara soal desain, interiornya mengusung gaya kontemporer yang didominasi warna-warna putih. Penggunaan warna-warna ash dan oranye pada jok kursi, golden oak pada meja, dan hitam pada kerangka kursi dan panel dinding membuat ruangan terlihat lebih elegan. Ukuran restoran sendiri sebetulnya nggak besar-besar banget, tetapi pemilihan warna yang pas dan banyaknya cahaya alami yang masuk lewat jendela-jendela full-height di salah satu sisi ruangan membuat ruangan terasa lebih lapang dan nggak mengekang. Station-station makanan dan minuman ada di sisi ruangan yang lebih dalam.

Sisi dengan station makanan dipercantik oleh penggunaan ubin memanjang berwarna putih yang dipasang dalam pola running bonds. Di dinding pun dipasang semacam rak dengan foto-foto atau gambar-gambar. Dengan berbagai peralatan makan dan memasak di atas counter, area ini terasa seperti dapur rumah sendiri karena cukup cluttered (in a positive way, like a lived-in house). Waktu saya lihat-lihat, meja dan kursi yang tersedia terkesan seperti banyak. Namun, kalau saya hitung-hitung lagi, ketika tingkat okupansi hotel sedang penuh, sepertinya meja dan kursinya akan kurang.

Saya lupa foto menu sarapan saya dan saya juga lupa waktu itu sarapan dengan apa saja (aduh maaf), tapi kalau saya coba ingat-ingat, pilihan menunya untuk properti bintang tiga sih cukup variatif. Kondisi makanan (rasa dan suhu) pun masih bagus, meskipun saya bangunnya agak telat. Yang saya ingat adalah di station minuman, ada teh aroma jeruk purut (kesukaan saya ini!). Sayangnya, di sini tidak tersedia (atau tidak disediakan pada saat itu) hot chocolate, seperti yang pernah saya temukan di Holiday Inn Express Thamrin.

Di lobi, ada satu sudut yang berfungsi sebagai bar, tapi karena di situ juga dijual camilan-camilan, saya melihatnya seperti “kantin” kecil. Saya malah ingat kantin yang jual berbagai jajanan di kampus atau sekolah saya; hanya saja, di sini ditambah meja dan kursi bar. Posisinya tepat di dekat pintu masuk menuju lobi. Sebetulnya, di seberang jalan juga ada Indomaret, tapi kalau mager jalan jauh atau keluar hotel, ya, beli jajanan di sini juga bisa lah. Ada Lay’s juga, lho!

Seriously. I hope Indofood won’t take Lay’s away from me…

Gym, Laundry Room, dan Meeting Room

Fasilitas wajib berikutnya yang tersedia di semua lini Holiday Inn Express adalah gym dan laundry room. Kedua fasilitas ini berada di satu lantai yang sama. Ruangan gym di Holidan Inn Express Matraman bisa dibilang tidak begitu luas. Namun, besarnya jendela dan pencahayaan alami yang maksimal membuat ruangan terkesan luas. Alat-alat olahraga seperti treadmill diposisikan menghadap jendela sehingga tamu bisa berolahraga sambil melihat pemandangan di luar.

Soal alat, menurut saya sih alat-alat yang tersedia sudah cukup pas lah buat basic exercise. Lagipula, ruangan yang ada ‘kan nggak cukup besar. Jadi, kalau dipaksakan tambah alat justru akan bikin ruangan sempit. Saya nggak sempat berolahraga lama-lama di sini karena terlalu capek. Namun, lari di atas treadmill selama sekitar 15 menit sudah dirasa cukup bikin saya berkeringat banyak (dan makin capek).

Di sebelah gym, ada ruang rapat yang kebetulan pintunya terbuka. Walhasil, saya jadi ngintip ke dalamnya karena penasaran. Ukurannya cukup luas dan cocok untuk rapat kecil dengan belasan orang (maksimal). Ruangan ini juga punya jendela-jendela besar yang menghadap ke jalan raya. Jadi, ruangan ini nggak terasa mengekang, apalagi dengan dinding bercat pastel. Sejujurnya, saya merasa senang nulis review untuk Holiday Inn Express Matraman karena dibandingkan properti-properti lainnya, baru kali ini saya sampai bisa cek ruang rapat, salah satu fasilitas yang saya biasanya nggak “sentuh” saat menginap di hotel. Ya, mau rapat sama siapa lagipula? Ha ha ha.

Fasilitas dasar di ruang rapat pun tersedia. Sudah ada proyektor yang terpasang di langit-langit. Meja, papan tulis, screen, dan semacamnya pun sudah ada. Kalau alat tulis, air mineral, dan buku catatan sih, saya yakin akan disediakan oleh pihak hotel saat ada yang pakai ruang rapat ini.

Fasilitas berikutnya yang saya sambangi di Holiday Inn Express Matraman (walaupun nggak saya pakai) adalah laundry room. Ruangan ini berada satu lantai dengan gym dan ruang rapat, tetapi nggak punya jendela. Walhasil, kesannya kayak mengekang. Namun, ada televisi di sana sebagai sarana hiburan buat yang ingin nyuci baju atau nyetrika.

Berhubung nggak ada baju yang saya harus cuci, saya cuman lihat-lihat saja. Setrika (dan ironing board-nya), mesin cuci, dan dryer tersedia sepasang-sepasang. Ada juga wastafel. Televisi dipasang di salah satu sisi ruangan (nggak saya foto). Ada juga kursi dan sofa buat yang mau nunggu cucian sambil nonton televisi. Untuk koin, ini bisa didapatkan di resepsionis. Saya kurang tahu apakah detergen dan pelembut juga disediakan karena saya nggak nemu, tapi sepertinya sih ada (mungkin harus tanya pihak hotel). Hmm… Kalau ngga mau nonton televisi, saran saya sih bisa olahraga sambil nunggu cucian beres. But perhaps, a little Marimar or Rosalinda won’t hurt.

*dancing to Marimar while ironing my clothes*

Lokasi

Sesuai nama properti, Holiday Inn Express Matraman berlokasi di kawasan Matraman. Saya sendiri sebetulnya sangat jarang main atau berkunjung ke kawasan ini. Namun, waktu ke sana dari titik awal Wahid Hasyim, ternyata perjalanan nggak memakan waktu yang terlalu lama. Mungkin karena kondisi lalu lintas lagi relatif sepi, atau memang jaraknya nggak jauh. 

Di dekat hotel, ada banyak tempat-tempat yang bisa dikunjungi. Mau ngopi, ada Starbucks dan beberapa kafe lain. Soal makan, di hotel sendiri sudah ada restoran but if you want to choose something else, ada banyak juga kok restoran di sekitar hotel (waktu itu, saya malah pesen makan siang dari HokBen). Nggak jauh dari hotel juga ada Gramedia, in case mau beli bacaan apa gitu. Di depan properti sendiri ada halte Transjakarta. Jadi, bisa dibilang sih dari segi lokasi, properti ini cukup strategis dan memberikan banyak kemudahan untuk bepergian. 

Oh, ya! Satu hal lagi yang menurut saya sih jadi kelebihan saat menginap di sini adalah view dari kamar. Memang sih nggak semua kamar menawarkan view kota yang cantik, tapi kalau dapat kamar-kamar dengan jendela yang menghadap ke arah jalan, dari kamar kita bisa melihat city view Jakarta yang cantik dengan gedung-gedung pencakar langitnya. Waktu diajak ke hotel ini dan dikasih tahu lokasinya, saya sempat ragu soal view dari kamar. Namun, setelah sampai di kamar, ya, view dari jendela memang bagus sih, terutama di malam hari. Terima kasih lagi buat pihak Holiday Inn Express Matraman karena sudah assign kamar dengan view kota yang keren. 

Pelayanan

Segmen ini memuat pendapat saya mengenai pelayanan yang diberikan pihak hotel. Apa yang saya tulis bersifat subjektif dan bukan merupakan informasi umum, dan lebih merupakan pendapat pribadi. Experience yang saya alami bisa jadi berbeda dari apa yang orang lain alami. Tulisan dalam segmen ini tidak ditujukan untuk menjelek-jelekkan atau menurunkan reputasi hotel. Jika informasi yang saya tulis bersifat positif, semoga manajemen hotel bisa tetap menjaga kualitas layanannya. Jika bernada negatif, semoga bisa menjadi bahan perbaikan bagi pihak hotel. 

Bicara soal pelayanan, saya terkesan dengan apa yang ditawarkan oleh Holiday Inn Express Matraman. Proses check-in berjalan lancar dan seperti biasa, being a social butterfly, Pak Suneo ngobrol lama dulu dengan Puput di resepsionis (but I, too, enjoyed the conversation). Kebersihan kamar terjaga dengan rapi dan perlengkapan kamar pun berfungsi dengan baik. Fasilitas-fasilitas lain juga dirawat dan dikelola dengan baik. Kalau ada apa-apa, staf hotel juga cekatan menanggapi kami. 

Yang jelas sih, kami (terutama saya karena baru kali pertama ke sana) senang bisa bertemu dengan Bu Eka selaku guest service leader Holiday Inn Express Matraman. Bu Eka mengajak kami room tour dan cerita banyak soal hotel, termasuk dunia perhotelan dalam kondisi sebelum pandemi meledak. Saya ikut sedih saat dengar kisah-kisah perjuangan di dunia hospitality di tengah kondisi pandemi yang tampaknya nggak akan membaik dalam jangka waktu dekat. Semoga semuanya tetap dikasih kekuatan dan kesehatan. 

Kesimpulan

A nod to the Holiday Inn Express quality signature. Lini yang satu ini memang tidak se-wah atau selengkap lini IHG lainnya, tetapi dari segi kualitas, properti-properti Holiday Inn Express nggak main-main, termasuk Holiday Inn Express Matraman. Untuk sebuah properti budget, hotel ini memberikan fasilitas dan pelayanan yang saya bisa bilang sih di atas rata-rata. Dari gym sampai laundry room, fasilitas-fasilitas yang tersedia cocok, terutama untuk kalangan pebisnis yang lebih senang dengan no-frill thingy: kamar yang cukup luas dengan tempat tidur yang nyaman, fasilitas MICE yang cukup komprehensif, gym untuk olahraga, dan laundry room untuk cuci baju (kalau memang mau cuci sendiri). Setidaknya, kebutuhan dasar tuh sudah terpenuhi. 

Soal desain kamar, sejujurnya saya memang tidak menemukan sesuatu yang sangat spesial atau unik. Namun, pola geometrik pada dinding di belakang tempat tidur membangun suasana youthful dan ceria, tanpa terkesan terlalu “nyolot” atau semacamnya. Dalam balutan marmer berwarna putih, interior kamar mandi terlihat sedikit nabrak dengan interior utama kamar. Namun, fasilitas kamar mandi yang lengkap bisa mengalihkan perhatian saya dari ke-nabrak-an itu. Di kamar mandi juga tersedia rainshower, fitur yang saya suka dari kamar mandi.  Dari segi lokasi, Holiday Inn Express Matraman memang nggak berada tepat di pusat kota. Untuk yang fokus sama nightlife atau city life, properti ini mungkin bukan opsi yang sempurna. Namun, masih ada taksi daring dan moda transportasi lainnya untuk mengakses pusat kota. Lagi pula, untuk urusan makan atau belanja sih, di dekat hotel ada banyak restoran, kafe, hingga pusat perbelanjaan.

Waktu saya cek di aplikasi IHG, Holiday Inn Express Matraman menawarkan rate mulai dari 360 ribuan nett per malam. Untuk harga segitu dengan fasilitas yang ditawarkan, menurut saya sih hotel ini layak dipertimbangkan. Kawasan Matraman sendiri bukan wilayah edar saya, tapi setidaknya saya tahu bahwa ada pilihan akomodasi yang akan jadi pertimbangan saya kalau sewaktu-waktu saya harus berkunjung ke Matraman.

Pros & Cons

👍🏻 Pros

  • Fasilitas cukup komprehensif. Ada gym, laundry room, dan meeting room.
  • Rate-nya masih terbilang terjangkau.
  • Dekat dari halte Transjakarta.
  • Area parkir cukup besar.
  • City view dari kamar bagus (untuk kamar-kamar dengan jendela yang menghadap ke jalan raya).

👎🏻 Cons

  • Lokasi nggak tepat di pusat kota yang ramai. Untuk yang lebih suka berada di jantung kota dan menikmati all the hustle and bustle, harus siap berkendara atau make a longer trip.

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌😶
Desain: 😆😆😆😆⚪️
Lokasi: 🤩🤩🤩😶
Harga: 💰💰

Review: InterContinental Bandung Dago Pakar

Salah satu kawasan di Bandung yang jarang saya sambangi adalah Dago. Dari kecil, saya jarang banget main ke kawasan ini. Selain karena cukup jauh dari rumah, kawasan ini biasanya macet dan ramai di akhir pekan. Makanya, saya biasanya berkunjung atau menginap di hotel di kawasan ini di hari kerja (sempat sih mendekati akhir pekan, tapi itu pun check-in-nya hari Jumat di Sheraton Bandung). Selain itu, menurut saya kawasan Dago ini terlalu jauh dari pusat kota (nggak jauh-jauh banget sih sebetulnya, cuman saya lebih seneng kawasan yang memang ada di pusat kota biar gampang ke mana-mana). Maklum, anaknya tuh anak mal banget (nggak juga sih).

Namun, ada satu properti di kawasan Dago Atas yang, duh, buat properti in sih, saya nggak keberatan nyetir jauh dan stay jauh dari pusat kota. Suasana yang tenang, pemandangan yang keren, dan fasilitas yang ditawarkan jadi beberapa hal yang bikin saya suka dengan properti ini. Di tahun 2020 kemarin, saya dua kali menginap di hotel ini. Kuy ah tanpa berlama-lama, langsung aja masuk ke pembahasan!

review intercontinental bandung
InterContinental Bandung Dago Pakar

InterContinental Bandung Dago Pakar adalah sebuah hotel bintang 5 yang berlokasi di Jalan Resor Dago Pakar Raya No. 2B, Resor Dago Pakar, Bandung. Sesuai alamatnya, hotel mewah di Bandung ini berada di kompleks perumahan/resor yang cukup bergengsi. Waktu kali pertama ke sini, saya sampai minta tolong Andreyan, teman saya di Sheraton Bandung untuk nganterin ke properti supaya nggak kesasar. Pasalnya, properti ini lokasinya remote banget! Saya kira udah mau nyampe, ternyata masih jauh lagi. Pantesan aja waktu itu si Andre nyetirnya agak ngebut as if propertinya nggak bakalan terlewat. Ternyata memang jauh 😢

Ternyata, faktor lokasi ini pula yang menjadi daya tarik InterContinental Bandung. Berada jauh dari ingar bingar perkotaan, properti kelas teratas IHG ini menawarkan suasana tenang dan damai, dengan lingkungan sekitar yang masih cukup alami. Kamar-kamar di hotel ini menawarkan view perbukitan atau padang golf dan kota dari ketinggian. Dua kali menginap di sini di tahun 2020, dua kali juga saya dapat kamar dengan view padang golf dan kota. Oh, ya! Waktu menginap di sini, saya juga dikasih upgrade oleh pihak hotel (terima kasih banyak, InterCon Bandung!).

review intercontinental bandung
Lobi InterContinental Bandung Dago Pakar, tampil memukau dengan pemandangan padang golf dan kota.

Fasilitas yang tersedia di hotel ini cukup lengkap. Salah satu fasilitas unggulannya adalah infinity swimming pool. Sebetulnya, kolam renang di hotel ini terisi dengan air hangat. Hanya saja, waktu menginap di sana, airnya sedang tidak dihangatkan (kecewa sih saya). Meskipun demikian, saya tetap bisa seru-seruan berenang di sini (dan gantian foto buat Instagram bareng Andre). Fasilitas-fasilitas lain yang tersedia termasuk dua restoran, ballroom, ruang rapat, wedding hall, gym, sauna, spa, dan kids’ corner. Kalau weekend, suka ada penyewaan kuda di depan hotel. Karena kondisi masih belum kondusif, nggak semua fasilitas beroperasi selama saya menginap (dan di dua kunjungan saya), termasuk Tian Jing Lou, Chinese restaurant yang berada di lantai 18 hotel. Restoran ini sendiri terkenal dengan menu-menu dim sum-nya.

Ada 8 tipe kamar yang tersedia di InterContinental Bandung, termasuk vila-vila yang berada di bagian belakang bangunan hotel. Di kunjungan pertama, saya menginap di kamar tipe King Club Room atau Club InterContinental Room. Di kunjungan kedua, saya dapat tipe Premium Room with Golf View. Sebetulnya, kedua tipe ini nggak berbeda jauh dari segi interior dan room amenities. Namun, dari segi layanan tambahan, tipe King Club Room sudah mencakup akses ke Club InterContinental di lantai 18 yang—sayangnya—masih belum beroperasi. Selama menginap, ada beberapa kendala kecil yang saya alami. Namun, yang saya apresiasi adalah langkah yang diambil pihak hotel untuk menangani kendala tersebut. Pembahasan lebih lanjut, seperti biasa, saya sajikan di segmen berikutnya, ya!

Desain Kamar

Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, di tahun kemarin saya menginap dua kali di InterContinental Bandung dan mendapatkan dua tipe kamar yang berbeda. Namun, dari segi arsitektur, keduanya sebetulnya sama saja. Yang membedakan hanya akses ke Club InterContinental dan Bluetooth alarm saja. Baik tipe King Club Room dan Premium Room with Golf View sama-sama punya luas 46 meter persegi. Menurut informasi dari situs resmi hotel, tipe kamar terkecil (Classic Room) punya luas 41 meter persegi. Sejauh ini, saya bisa bilang bahwa InterContinental Bandung Dago Pakar adalah salah satu hotel di Bandung yang menawarkan kamar terluas.

Interior kamar mengusung desain kontemporer dengan palet warna-warna earthy dan pencahayaan berwarna hangat. Mengingat udara di kawasan Dago Atas terbilang dingin, skema warna yang hangat bikin suasana kamar makin nyaman. Tidak banyak ornamen yang rumit di kamar dan buat saya, kesederhanaan ini yang bikin kamar justru terasa elegan. Bagian dinding di atas headboard punya motif geometrik yang subtle. Di kedua sisi tempat tidur, terpasang wall lamp dengan gaya modern classic. Pencahayaan di kamar bisa dibilang cukup kompleks. Saya tipe orang yang sejujurnya nggak bisa tidur dalam keadaan gelap gulita. Jadi, saya selalu perlu satu atau dua lampu yang menyala di kamar, dan opsi pencahayaan yang tersedia di kamar mengakomodasi kebutuhan saya itu.

Ketika masuk ke kamar, hal yang langsung menarik perhatian saya adalah daybed-nya. Di properti ini, hanya tipe Classic yang nggak dilengkapi daybed. Memiliki dimensi yang cukup luas, daybed ditempatkan di atas platform yang menjorok ke luar dan dikelilingi jendela kaca. Ini jadi tongkrongan yang nyaman banget, terutama di pagi hari. Di sisi kiri dan kanan daybed juga terpasang panel dekoratif berbahan besi yang subtly memberikan kesan tropis ala-ala resor atau vila di Bali. Oh, ya! Di kunjungan saya yang kedua, pihak hotel memberikan complimentary chocolate cake. Terima kasih banyak, InterContinental Bandung! Kok bisa tahu kalau saya suka kue cokelat, ya? He he he. Jadi, sore itu, saya habiskan dengan menikmati kue dan pemandangan padang golf dan kota. So relaxing! Di area daybed pun sudah ada penerangan. Jadi, buat yang ingin baca malem-malem di sini, bisa banget. Malah saya sempet kepikiran kayaknya seru kalau tidur malam di sini.

Di kunjungan kedua, saya sempat mengalami kendala dengan daybed. Lebih tepatnya, tirai yang mengelilingi daybed. Jadi, si sheer curtain ini nggak bisa dibuka. Walhasil, saya harus telepon dulu pihak teknisi untuk memperbaiki rel tirai. Untungnya, masalah bisa ditangani dengan cepat dan mudah. Saya sangat mengapresiasi bantuannya.

Hal yang saya amati lagi dari kamar adalah storage. Baik tipe King Club Room maupun Premium Golf sama-sama punya walk-in closet yang cukup besar, dan ruangan ini dibatasi dengan pintu. Jadi, baju-baju yang digantung dan koper atau berbagai barang bawaan yang mungkin berantakan nggak akan terlihat dari area utama kamar saat pintu walk-in closet ditutup. Oh, ya! Room amenities mencakup televisi, AC, WiFi (jelas lah), Bluetooth alarm (untuk tipe King Club Room), coffee/tea maker, dan mini fridge. Nah, coffee/tea maker, mini fridge, dan beragam pilihan teh dan kopi disimpan dengan rapi di dalam lemari kecil yang ada di belakang area kerja. Jadi urusan pertehan dan perkopian nggak bikin kamar terlihat “kebanyakan barang” (or rather, cluttered). Untuk telepon sendiri, ada 3 unit telepon di kamar, dan satu dipasang di kamar mandi.

Meja kerja yang tersedia cukup besar. Kursi kerja yang ada pun cukup nyaman dipakai duduk dan ngetik cukup lama. Koneksi internet bisa diandalkan dan cukup cepat. Stopkontak ada banyak. Channel TV pun beragam. Hmm… Apa lagi, ya? Soal hiburan dan produktivitas sih, saya nggak ada keluhan. It was all good.

Kamar Mandi

Semua tipe kamar di InterContinental Bandung Dago Pakar, kecuali tipe Classic, dilengkapi dengan oversized bathtub. Namun, untuk tipe-tipe yang lebih tinggi, bathtub-nya merupakan whirlpool bathtub. Jadi, setingkat lebih mantap, lah. Selama dua kali menginap di sini, kamar mandi jadi salah satu the best part yang saya rasakan.

Atmosfer natural terasa melalui penggunaan dinding batu. Untuk lantai sendiri, digunakan ubin bertekstur dengan warna yang kurang lebih sama dengan warna dinding. Skema warna interior kamar mandi yang gelap untungnya diseimbangkan oleh pencahayaan yang mumpuni dan terang, bahkan di shower area yang terbilang lebih tertutup. Ditambah lagi, di siang hari roller blind di samping bathtub bisa dibuka sehingga cahaya alami bisa masuk.

Produk-produk Mandarin Tea hadir sebagai sampo, sabun, kondisoner, dan body lotion. Ada juga face soap (saya lupa brand-nya) yang hadir dalam bentuk sabun batangan. Saya sempat coba sih, walaupun saya lebih suka facial wash punya saya sendiri. Soal aroma sih enak dan nggak menyengat. It was okay, meskipun produk Asprey-nya Ritz-Carlton Mega Kuningan dan Appelles Apothecary & Lab-nya Ascott Sudirman secara pribadi sih saya lebih suka.

Nah, waktu saya menginap untuk kali kedua, saya mengalami kendala di kamar mandi, tepatnya di shower area. Kendala ini saya rasa cukup serius karena berimbas luka ke badan saya. Shower tangan yang dipasang di area shower berbahan semacam plastik yang dilapisi cat/lapisan khusus sehingga kesannya berbahan logam. Nah, lapisan cat di bagian sudut kepala shower terkelupas sehingga sudut shower jadi runcing. Saya nggak sadar dengan hal itu pada awalnya. Walhasil, pas mandi, dada dan perut saya beberapa kali kena ujung yang runcing itu dan kena lecet yang bentuknya memanjang (awalnya saya bingung kenapa bisa lecet, ternyata penyebabnya ya si sudut kepala shower itu).

Kepala shower dengan sudut yang runcing.

Saya pun akhirnya langsung telepon operator untuk menyampaikan keluhan. Nah, sebetulnya waktu awal tiba di kamar pun, saya sempat komplain juga karena roller blind di kamar mandi nggak ada talinya. Walhasil, si tirai nggak bisa dibuka. Kendala roller blind kamar mandi ditangani berbarengan dengan sheer curtain di area daybed yang nggak bisa dibuka. Saya sempet kesal karena maintenance kamar seolah-olah kurang bagus, ditambah dengan masalah kepala shower. Untungnya, pihak teknisi dengan cepat langsung tiba di kamar dan mengganti kepala shower. Pihak hotel sendiri menawarkan saya untuk pindah kamar, tapi berhubung saya komplain di malam terakhir menginap dan saya malas packing segala macem, akhirnya saya bilang nggak perlu ganti kamar. Toh masalah shower pun sudah ditangani dengan baik. Still I appreciated the kind gesture, tho. Namun, baiknya sih urusan maintenance kamar perlu diperhatikan lebih detail oleh pihak hotel.

Fasilitas Umum

Damai Restaurant

InterContinental Bandung punya dua restoran, yaitu Damai Restaurant dan Tian Jing Lou. Sarapan untuk tamu diadakan di Damai Restaurant yang berada satu lantai dengan lobi. Kesan pertama yang saya dapatkan dari restoran ini adalah luas. Let me tell you something: the restaurant is pretty huge! Interior restoran mengusung desain kontemporer yang elegan, dengan beberapa sudut yang terlihat lebih chic berkat dekorasi dinding. Area indoor-nya sendiri cukup luas dan punya banyak meja. Kalau nggak cukup (atau ingin merokok), bisa pilih meja di area outdoor. Area outdoor restoran sendiri merupakan balkon besar yang menawarkan pemandangan padang golf dan kawasan pusat kota Bandung.

Menu sarapan yang disajikan sangat variatif. Dari roti-rotian sampai sushi pun tersedia. Ada cukup banyak station di restoran ini yang masing-masing menawarkan sajian yang berbeda. Di kunjungan pertama, saya sarapan bareng Andreyan (dia datang pagi-pagi karena kita udah janjian mau berenang bareng). Menu yang saya pilih standar sih: nasi goreng, tumis sayuran (lagi berusaha memperbanyak asupan sayuran), dan scrambled egg. Soal rasa sih, oke lah. Decent. Di kunjungan kedua, saya pilih sushi dan dim sum. Yes, you read it right. Dim sum! Ada juga stan seblak untuk yang senang jajanan pedas yang satu ini. Untuk minuman, staf restoran akan tanya kita mau minum apa. Saya sih nggak jauh-jauh dari teh, meskipun di kunjungan pertama, saya pesan capuccino.

Ada satu area di dekat bar yang dilengkapi meja-meja bundar. Area ini sendiri kelihatan lebih mewah menurut saya, terutama dengan jendela-jendela kaca besar dan grand piano di salah satu sudutnya. Saya sempat main piano ini. Sayangnya, pianonya perlu distem karena beberapa nadanya fals.

Waktu sarapan di kunjungan pertama, saya dan Andreyan sempat mengalami kejadian nggak enak. Saat saya dan Andre (sebetulnya) masih makan, kami sempat ngobrol dan nggak menyentuh piring dan gelas sama sekali (ya, namanya juga lagi ngobrol). Tiba-tiba, ada staf restoran yang datang dan begitu saja ngambil piring-piring kami, tanpa permisi atau bilang apa pun, dan langsung pergi. Andreyan (yang notabene orang hotel) dan saya sampe lihat-lihatan karena kaget dan kesinggung. Di kunjungan kedua pun, saya sempat kesal karena staf yang jaga stan dim sum kurang ramah dan mempersiapkan dim sum saya seperti dilempar begitu aja ke kukusan. Nggak ada bicara apa pun, benar-benar dingin dan nggak bersahabat. Saya udah keluhkan hal ini ke pihak hotel lewat kuesioner yang disediakan.

Tian Jing Lou & Club InterContinental

Di lantai 18 InterContinental Bandung, ada Tian Jing Lou dan Club InterContinental. Tian Jing Lou sendiri merupakan Chinese restaurant yang terkenal, salah satunya karena menu dim sum-nya. Waktu saya menginap, baik. Tian Jing Lou dan Club InterContinental belum beroperasi. Namun, kata staf yang bertugas, saya boleh lihat-lihat.

Salah satu claim to fame-nya Tian Jing Lou adalah pemandangan kota dan padang golf. Mereka menawarkan pengalaman bersantap hidangan Tiongkok dan pemandangan yang cantik. Jendela-jendela floor-to-ceiling mendominasi interior. Ada satu sudut yang lebih menjorok ke luar, dan saya pikir area ini bakalan lebih banyak peminatnya, unless you’re acrophobic, of course. Beberapa chandelier menambah kemewahan interior restoran. Nah, kalau bicara soal Chinese restaurant, biasanya kan interiornya didominasi oleh warna merah. Sayangnya, di sini warna merah nggak begitu mendominasi. Kalau saya lihat, hanya beberapa area atau sudut yang dipercantik dengan warna merah. Selain itu, sentuhan khas Tionghoa juga kurang terasa kental. Lukisan dan partisi kayu memang jadi elemen yang memberikan sentuhan tersebut. Hanya saja, vibe-nya masih kurang kerasa, terutama kalau saya bandingkan dengan Cha Yuen-nya Aryaduta Bandung (sayangnya sudah tutup restorannya) atau Li Feng-nya Mandarin Oriental Jakarta (ini nanti akan ada review-nya. Tunggu aja, ya!).

Di dekat pintu masuk ke Tian Jing Lou, ada pintu menuju Club InterContinental. Seperti Tian Jing Lou, saat saya berkunjung pun klub masih belum beroperasi. Beberapa tipe kamar sudah dilengkapi akses ke klub ini. Luasnya sih nggak besar dan ada semacam pintu geser yang memisahkan antara Club InterContinental dengan Tian Jing Lou. Mungkin kalau ada acara apa, pintu ini akan dibuka untuk mengakomodasi lebih banyak tamu.

Seating yang tersedia bisa dibilang sangat terbatas. Interior klub pun punya dekorasi yang terbilang minimalis. Penggunaan warna-warna earthy memberikan kesan nyaman dan hangat. Untuk klub, pemandangan yang ditawarkan adalah pemandangan perbukitan. Jadi, kalau ingin lihat pemandangan kota sih kehalangin bukit. Ada juga LED TV yang cukup besar di tengah ruangan. So far sih nggak ada sesuatu yang benar-benar spesial. Ya, mungkin juga ini karena klub belum beroperasi, ya.

Kolam Renang & Kids’ Corner

Nah! Ini nih fasilitas yang saya paling suka dari InterContinental Bandung: kolam renang! Untuk mengakses kolam renang, kita perlu turun satu lantai dari lantai lobi. Turunnya bisa lewat tangga atau lift. Kalau dari lobi sih, sepertinya kita bisa dapat view yang bagus dari kolam renang. Sayangnya, pemandangan kota atau padang golf-nya terhalangi oleh pohon-pohon.

Kolam renang di InterContinental Bandung Dago Pakar terbilang besar. Area kolam anak dipisahkan oleh pembatas kaca dari area kolam dewasa. Untuk kedalamannya sendiri sih, kalau saya berenang, area kolam yang paling dalam tuh sekitar sebahu saya (maklum saya pendek). Ada dua cocoon di dekat kolam anak, tapi karena di belakangnya itu pepohonannya sangat rimbun, saya jadi agak ngeri lihatnya. Ada juga beberapa pool lounger yang, sayangnya, tidak diteduhi parasol atau semacamnya. Untuk kamar mandi dan toilet, ada di bangunan tersendiri. Oh, ya! Yang saya sayangkan lagi adalah air kolam renang nggak hangat. Padahal, di situs web hotel disebutkan kalau kolam renang hotel punya air hangat. Cukup kecewa sebetulnya, tetapi untungnya waktu itu cuaca nggak dingin.

Masih berada di sekitar kolam renang, ada kids’ corner. Fasilitas ini jadi salah satu amenities yang belum beroperasi saat saya menginap. Namun, karena berada di dekat kolam dan punya pintu kaca, saya jadi bisa mengintip ke dalamnya. Areanya cukup besar sih, dan ada semacam treehouse. Karena nggak beroperasi, lampu-lampu di dalamnya dimatikan dan foto di atas jadi satu-satunya dokumentasi yang saya punya. Ruangan juga terlihat kosong. Mungkin kalau beroperasi, akan ada banyak mainan, boneka, buku-buku, dan semacamnya. Gambar beruang di dinding (di atas rak sepatu) jadi sesuatu yang saya rasa lucu dan menggemaskan. Mungkin anak-anak yang habis berenang, bisa mandi dulu, terus main di sini.

Lokasi

Bicara soal aspek ini, jangan berharap InterContinental Bandung ada di kawasan yang strategis. Nggak, bro. Dari kawasan pusat kota Bandung, perjalanan ke hotel ini bisa makan waktu setengah jam lebih, tergantung kondisi lalu lintas. Hotel ini berada di kompleks Resor Dago Pakar yang luas banget dan jauh dari jalan besar (Jalan Dago). Namun, perjalanan ke sini nggak sia-sia karena meskipun jauh dari mana-mana, properti ini menawarkan suasana yang lebih alami dan pemandangan yang keren dari setiap kamarnya. Buat yang niatnya ingin staycation mewah dan menikmati suasana yang lebih tenang, hotel ini bisa jadi pilihan yang pas.

Sejauh yang saya tahu dan amati sendiri, nggak ada minimarket atau toko swalayan di dekat hotel. Ada sih restoran di luar hotel, tapi buat ke sana kita harus berkendara selama sekitar 5 menitan (lumayan jauh kalau jalan kaki. Serius). Untuk ke minimarket sendiri, kita harus berkendara dulu sekitar 10 menitan karena Indomaret terdekat ada di Jalan Dago. Nah, kalau kita udah tiba di kawasan Dago Atas sendiri sih, udah gampang lah ke mana-mana. Soal makan, ada beberapa restoran yang menawarkan pemandangan Bandung dari ketinggian seperti Cocorico dan Sierra. Soal tempat wisata, ada Tahura alias Taman Hutan Raya. Semuanya berjarak sekitar 10-15 menitan aja dari hotel. Nah, saran saya sih karena hotel ini jauh dari mana-mana, sebelum ke sini, ada baiknya sudah beli jajanan atau bekal dari awal. Bawa juga makanan atau minuman sendiri kalau nggak ingin pesan dari restoran hotel atau pergi ke kafe/restoran di luar hotel.

Dari Stasiun Bandung, InterContinental Bandung Dago Pakar bisa ditempuh dalam waktu sekitar 30-40 menit, tergantung kondisi lalu lintas. Dari Bandara Internasional Husein Sastranegara, waktu tempuhnya pun kurang lebih sama. Titik macetnya biasanya di kawasan Dago Atas. Jadi, harap waspada aja, terutama di jam-jam sibuk atau akhir pekan.

Pelayanan

Segmen ini memuat pendapat saya mengenai pelayanan yang diberikan pihak hotel. Apa yang saya tulis bersifat subjektif dan bukan merupakan informasi umum, dan lebih merupakan pendapat pribadi. Experience yang saya alami bisa jadi berbeda dari apa yang orang lain alami. Tulisan dalam segmen ini tidak ditujukan untuk menjelek-jelekkan atau menurunkan reputasi hotel. Jika informasi yang saya tulis bersifat positif, semoga manajemen hotel bisa tetap menjaga kualitas layanannya. Jika bernada negatif, semoga bisa menjadi bahan perbaikan bagi pihak hotel. 

Menginap dua kali di InterContinental Bandung dalam jangka waktu yang cukup dekat membuat saya bisa mengevaluasi kualitas pelayanan yang, jujur saya, membuat saya terkesan. Kekurangan yang saya lihat dan alami di kunjungan pertama terbayar di kunjungan kedua. Kendala yang terjadi, terutama di kunjungan kedua, ditangani oleh pihak hotel dengan baik dan profesional.

Secara keseluruhan, kualitas pelayanan di properti ini saya bisa bilang bagus. Saat masuk ke hotel, check-in, menginap, hingga check-out, jauh lebih banyak positifnya yang saya rasakan daripada negatifnya. Di kunjungan pertama, misalnya. Proses check-in memakan waktu lebih lama dari yang dijanjikan. Ditambah lagi dengan tidak adanya recognition untuk saya sebagai member IHG Rewards Club, saya agak kecewa sebetulnya. Namun, kekecewaan ini terbayar ketika saya dapat upgrade beberapa tingkat (dari tipe Classic ke King Club). Room service cukup lama menurut saya. Ketika saya minta dibawakan gelas wiski dan es, pesanan saya datangnya lama, meskipun ya tetap dibawakan. Dan juga, mengenai insiden di restoran, itu pun bikin saya dan Andre kesal sebetulnya. Namun, keluhan kami dapat tanggapan dari pihak hotel dan saya secara pribadi mengapresiasi hal tersebut.

Di kunjungan kedua, kendala yang terjadi lebih ke aspek fasilitas kamar. Semuanya berhasil ditangani dengan baik oleh tim housekeeping dan teknisi. Soal shower tangan yang rusak pun, saya makin mengapresiasi pihak InterContinental Bandung karena menawari saya untuk pindah kamar, padahal masalahnya hanya ada di shower dan itu pun sudah diselesaikan. Keesokan paginya saat saya sarapan, saya lupa itu GM atau siapa, tapi yang jelas saya dengan Ibu tersebut ngobrol soal kendala yang saya alami. Beliau meminta maaf dan kasih kuesioner untuk saya isi. Sikap atau langkah seperti ini memang nggak lantas menyelesaikan kendala yang sempat dialami (lagi pula sudah beres ‘kan), tapi tentunya jadi sesuatu yang saya apresiasi dan bikin kesan saya tentang properti jadi lebih positif. Saat sarapan di hari terakhir, memang ada beberapa staf di beberapa station yang saya rasa kurang ramah, tetapi selebihnya para staf sih ramah dan helpful. Ya, ke depannya sih harapannya semua staf bisa lebih ramah.

Kesimpulan

A luxury seclusion. Saya bisa bilang bahwa InterContinental Bandung Dago Pakar adalah hotel yang tepat untuk “mengasingkan diri” in a luxurious fashion, tanpa harus berkendara terlalu jauh di Bandung. Dari segi fasilitas, properti ini sudah lengkap. Hanya saja, waktu saya berkunjung memang belum semua fasilitas bisa digunakan. Setiap kamar menawarkan view yang cukup menarik, meskipun memang pemandangan padang golf dan pusat kota Bandung tentunya lebih menarik. Beberapa kamar, seperti tipe Premium Golf View dan King Club yang saya tempati dilengkapi daybed yang cocok banget buat bersantai, rebahan, dan tidur siang (atau malam-malam tidur di sini pun nggak masalah karena bisa sambil lihat bintang). Oversized, freestanding bathtub pun jadi kelengkapan kamar yang saya rasa layak diapresiasi. Apalagi dengan penempatan di samping jendela. Duh! Seru banget rasanya bisa berendam, merilekskan tubuh, sambil melihat view Bandung dari ketinggian. Interior kamar pun menampilkan desain kontemporer yang elegan dan mewah dalam balutan warna-warna earthy.

Soal lokasi, InterContinental Bandung saya pikir bukan pilihan yang pas buat orang-orang yang ingin tinggal di kawasan pusat kota dan gampang bolak-balik ke mal atau tempat-tempat lain di area downtown. Perjalanan ke hotel ini sendiri bisa dibilang cukup jauh. Mungkin nggak jauh-jauh amat buat yang terbiasa main atau bolak-balik ke kawasan Dago Atas, tapi berdasarkan komentar dari teman-teman saya, ketika saya ajak meet-up buat renang atau makan malam di hotel, mereka nolak ajakan dengan alasan kejauhan. Bisa dipahami sih karena dari mulut Jalan Resor Dago Pakar saja, perjalanan ke hotel masih memakan waktu sekitar 10 menitan dengan mobil/motor. Ditambah lagi, minimarket terdekat pun perlu ditempuh dalam waktu sekitar 10-15 menitan. Namun, untuk yang cari suasana tenang dan pemandangan yang lebih alami, properti ini layak banget diperhitungkan. Saya sendiri secara pribadi merasa bahwa hotel ini bisa jadi pelarian saya di masa mendatang ketika saya lagi mumet atau sekadar ingin menenangkan diri di lingkungan alami, tetapi masih dalam naungan “kemewahan” dan tanpa harus berkendara jauh dari Bandung.

Soal pelayanan, kendala-kendala yang saya alami untungnya dapat ditangani dengan baik oleh pihak hotel, dan saya sangat mengapresiasi hal tersebut. Beberapa fasilitas kamar perlu dibenahi memang. Ya, semoga saja kendala yang saya alami tidak sampai terulang dan keramahan staf pun bisa lebih ditingkatkan. Kesan positif, fasilitas properti yang mumpuni, kondisi kamar yang nyaman, serta kecepatan dan bantuan para staf dalam menanggapi request saya outweighted the cons.

Kalau saya amati di aplikasi IHG, InterContinental Bandung Dago Pakar menawarkan kamar dengan average rate di kisaran 1,2-1,3 juta rupiah per malam (biasanya sudah dengan pajak). Di Bandung, rate segitu sudah terbilang cukup tinggi sebetulnya. Namun, dengan fasilitas lengkap, desain kamar yang elegan, dan pengalaman closer to the nature dalam naungan kemewahan, saya rasa haga segitu masih berterima dan properti ini bisa jadi pilihan yang pas untuk yang ingin menikmati staycation di lingkungan yang lebih alami dengan view yang keren, tanpa harus berkendara jauh dari pusat kota Bandung.

Pros & Cons

👍🏻 Pros

  • Semua kamar, kecuali tipe Classic sudah dilengkapi daybed dengan pemandangan perbukitan atau padang golf (yang lebih bagus memang view padang golf sih)
  • (LAGI) Semua kamar, kecuali tipe Classic, dilengkapi freestanding bathtub yang ditempatkan di samping jendela. Cocok banget buat self-pampering sambil lihat pemandangan.
  • Interior kamar mengusung desain kontemporer yang elegan dan mewah.
  • Ukuran kamar (bahkan tipe terkecil) relatif lebih besar untuk hotel-hotel di kelasnya.
  • Restorannya besar dan menu yang disajikan sangat beragam (dim sum-nya enak!)
  • Kolam renangnya besar dan menawarkan pemandangan alam yang cantik (harusnya view kota, tapi terhalangi pepohonan besar but still, it’s pretty Insta-worthy)
  • Fasilitas yang ditawarkan sudah lengkap. Meskipun jauh dari mana-mana, dengan adanya kids club, kolam renang, gym, dan area terbuka (bahkan kalau weekend itu suka ada penyewaan kuda), kayaknya stay di hotel aja nggak akan kerasa bosan.
  • InterContinental Bandung punya wedding hall yang cakep banget (saya lupa foto. Maaf). Buat yang mau nikahan, nggak ada salahnya ngelirik properti ini.
  • Nggak perlu repot soal parkiran. Area parkirnya luas banget.

👎🏻 Cons

  • Terkait pengalaman menginap saya, maintenance kamar (terutama kamar mandi) rasanya kurang. Shower tangan yang rusak dan ujungnya runcing itu sangat disayangkan.
  • Ini bisa jadi nilai positif sebetulnya, cuman bagi sebagian orang, lokasi hotel yang cenderung remote mungkin bakalan jadi sesuatu yang kurang bikin nyaman.
  • Kualitas pelayanan staf saat saya menginap agak kurang. Semoga ke depannya bisa lebih baik lagi. Meskipun demikian, kendala yang saya alami bisa ditangani oleh pihak hotel dengan baik. Sangat saya apresiasi.
  • Meskipun view-nya bagus, sayangnya air kolam lagi nggak dihangatkan.

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌😶
Desain: 😆😆😆😆😶
Lokasi
– Untuk “menyepi”: 🤩🤩🤩🤩😶
– Untuk yang ingin gampang ke mana-mana: 🤩🤩😶⚪️⚪️
Harga: 💰💰💰💰💰

Review: Yello Paskal Bandung

Mendengar istilah budget hotel, saya nggak bisa bohong kalau salah satu hal yang terpikir adalah hotel-hotel cookie-cutter. Istilah hotel cookie-cutter mengacu pada hotel-hotel (biasanya akomodasi bujet) dengan desain interior yang serupa/senada. Umumnya, hotel-hotel kayak gini menerapkan gaya kontemporer minimalis pada interior kamar yang tidak memiliki keunikan/kekhasan tertentu, dan bisa ditemukan juga di hotel-hotel lain. Makanya, istilah cookie-cutter pun dibuat. In a layman’s term, mungkin sebutannya copy-paste kali, ya, walaupun memang desainnya nggak 100% identik banget.

Nah, beberapa pemilik properti melihat ini sebagai satu aspek yang bisa dimodifikasi supaya hotelnya nggak terkesan “bias-bias anjas” alias biasa aja (kalau pakai bahasanya Tante Debby Sahertian). Meskipun pada dasarnya merupakan akomodasi ekonomis, beberapa properti memainkan aspek desain sebagai keunggulannya. Walhasil, bisa kita lihat banyak banget hotel-hotel budget dengan kamar berdesain unik dan cantik yang Insta-worthy. Nggak bisa dipungkiri lagi deh. Berbagai hal Insta-worthy itu menjual banget di era seperti sekarang. Content, you know. Bahkan, beberapa hotel bujet yang mengusung desain interior unik pada akhirnya nggak lagi dipandang sebagai properti ekonomis. Saya sendiri kadang bingung ketika harus ngelompokkin properti seperti ini. Dibilang hotel budget, bukan. Dibilang hotel butik, juga bukan. Ujung-ujungnya saya selalu tag properti kayak ini ke dua kategori, budget dan midscale.

Di Bandung, ada salah satu properti milik Tauzia Hotels yang, selain lokasinya strategis gilingan alias gila, desain interiornya juga cucok meong wak (buset dah ini gue kesambet apa pake bahasa gaul terus?! Tobat, Hun!). Saya berkesempatan menginap di sini tahun kemarin bareng si Pak Suneo. Dia pilih properti ini, salah satunya karena dekat dari mal. “Supaya gampang liat-liat ke Uniqlo”, katanya. Ya, akses ke mal yang berada tepat di bawah hotel jadi salah satu keunggulan hotel ini.

Yello Paskal Bandung. Foto milik pihak manajemen hotel.

Yello Paskal Bandung adalah hotel bintang 3 yang berlokasi di Kompleks Paskal Hypersquare, Jalan Pasir Kaliki no. 25, Bandung. Properti kelas budget-midscale milik Tauzia Hotels ini merupakan hotel Yello pertama di Bandung. Saya sendiri sebelumnya sudah pernah nginap di Yello Hotel yang ada di Jakarta, tepatnya di Harmoni (udah dua kali sebetulnya. Review nanti menyusul, ya). Dari alamatnya, kita bisa tahu kalau properti ini ada di kompleks perbelanjaan yang nge-hits di Bandung. Lebih tepatnya lagi, tower hotel berada di atas bangunan Paskal 23, mal upscale yang sering jadi tujuan nongkrong anak gahol Bandung, walaupun saya lebih suka ke Paskal Food Market-nya daripada ke malnya.

Dilansir dari situs web resmi hotel, Yello Paskal Bandung mengedepankan seni urban dan teknologi sebagai keunggulannya, serta menargetkan netizen sebagai target tamunya. Well, nggak aneh sih karena dari segi desain, interior-interior hotel, baik ruang publik maupun kamar tamu menampilkan gaya yang youthful dan Instagrammable banget. Sayangnya, situs web resmi hotel nggak banyak menawarkan informasi tentang hotel itu sendiri. Untungnya, masih ada Tripadvisor yang jadi sumber referensi saya. Dilansir dari Tripadvisor, hotel Instagrammable di Bandung ini punya 105 kamar yang terbagi ke dalam dua tipe: Yello Room dan Yello Suite. Nah, yang Yello Suite ini, saya juga nggak dapet banyak informasi. Namun, dari fotonya sih yang jelas kamar terlihat lebih luas dengan sofa memanjang di samping jendela. Soal fasilitas, ada restoran, ruang rapat, kolam renang, netzone, dan gaming station.

Saat berkunjung, saya menginap di kamar tipe Yello Room. Selama menginap, akses cepat ke mal jadi hal yang bikin saya senang. Gimana nggak? Mau cari makan jadi gampang. Namun, ada juga kendala yang menurut saya signifikan dan menyebalkan ketika menginap. Ulasan dan cerita lengkapnya di segmen berikutnya, ya!

Desain Kamar

Tipe Yello Room di Yello Paskal Bandung memiliki luas 20 meter persegi. Ya, dari segi luas sih, pretty standard untuk ukuran hotel budget dan bintang tiga. Kamar yang saya tempati memiliki jendela dengan view ke arah utara. Jadi, dari kamar saya bisa lihat pemandangan Gunung Tangkuban Parahu. What a nice way to start the day.

Bicara soal angka, 20 meter persegi memang bukan ukuran yang benar-benar luas, terutama saat itu sudah termasuk kamar mandi. Namun penggunaan warna putih sebagai warna dominan dan warna kuning sebagai aksen membuat ruangan terasa luas dan lapang. Apalagi, jendela di ujung ruangan pun besar dan lebar. Sinar matahari juga bisa banyak masuk ke ruangan. Oh, ya! Mohon maaf sebelumnya. Foto diambil waktu tirai jendela ditutup. Nggak ngerti deh si Pak Suneo malah nutup tirai. Silau dan panas, katanya.

Secara umum, skema warna yang diterapkan pada interior adalah putih, kuning, dan abu-abu tua. Komposisi warna ini menurut saya sih sudah pas dan nggak nabrak. Saya malah ingat dulu waktu masih pakai WinAmp di komputer (ada yang inget WinAmp), saya download custom skin dari internet. Nah, si skin ini bertema keju dan skema warna yang digunakannya adalah putih, kuning, dan abu-abu. Di samping jendela, ada chaise lounge berdesain kontemporer dengan beberapa throw pillow, serta meja kerja dengan lampu gantung yang kelihatan seperti awan mini di atasnya.

Di dekat kamar mandi, ada lemari dengan mural kartun yang menjadi salah satu focal point di kamar. Mural serupa juga saya temukan saat menginap di Yello Hotel Harmoni. Sesuai dengan konsep hotel, harus ada elemen seni di kamar. Selain mural, aspek urban art juga tercermin dari slippers yang tersedia. Sendalnya didesain kayak sneakers. Gemes! Fasilitas lain yang tersedia di kamar mencakup coffee/tea maker, electronic safe, dan TV. Sayangnya, di kamar nggak ada mini fridge. Buat yang ingin bawa makanan/minuman, pertimbangkan hal ini ya sebelum bawa makanan atau minuman ke kamar.

Kamar Mandi

Kamar mandi untuk tipe Yello Room di Yello Paskal Bandung memiliki luas yang terbatas. Interiornya didominasi ubin warna abu-abu muda yang dipasang dalam pola running bond. Nah, biasanya pemasangan ubin dalam pola running bond identik dengan gaya Industrial. Namun, kesan Industrial tidak terasa di kamar mandi karena ukuran ubin yang besar, warnanya yang masih gelap, serta nat-nya yang bukan hitam. And I think the developer didn’t intend to design the bathroom in Industrial style.

Semua area kamar mandi serba terbatas dari segi ruang. Area shower-nya segitunya dan hanya dipisahkan sebagian sisinya oleh dinding kaca. Walhasil, air tetap bisa nyiprat ke area kamar mandi yang lain. Namun, yang saya suka dari kamar mandi ini adalah keluaran air dari shower yang kencang, serta sabun dan sampo yang punya aroma citrus. Cermin berbentuk segi empat dengan sudut rounded dipercantik dengan lampu neon yang terpasang dalam cermin. Kesannya mencoba edgy, meskipun kurang greget atau ampuh untuk bikin kamar mandi terlihat lebih stylish. Perlengkapan lain yang tersedia di kamar mandi mencakup alat mandi pribadi dan gelas untuk kumur-kumur. Tidak ada hair dryer di kamar mandi.

Fasilitas Umum

Kolam Renang

Salah satu fasilitas unggulan di Yello Paskal Bandung adalah kolam renangnya. Berada di lantai lobi, kolam renang hotel menawarkan view pusat kota Bandung yang lumayan keren, terutama di sore hari. Ukuran kolam memang nggak besar, tetapi ya cukup besar lah buat sebatas bolak-balik dari ujung ke ujung. Kolam anak juga tersedia dan terpisah dari kolam dewasa.

Sebagian area kolam diteduhi oleh bangunan tower. Seating area yang ada terbatas dan yang bikin saya greget adalah, jarak dari ujung lounger ke dinding pembatas kolam terlalu dekat. Lebih tepatnya lagi, lebar jalur pejalan kaki terlalu sempit sehingga orang-orang yang lalu lalang akan kerasa terlalu dekat dengan orang yang lagi tiduran atau santai di lounger. Secara pribadi, saya sih akan ngerasa risih ketika lagi tiduran santai, dan orang dalam jarak dekat bolak-balik di depan saya. Air di kolam renang ini tidak hangat. Namun, karena konsep kolam yang outdoor dan kemungkinan terpapar cahaya matahari, sepertinya sih nggak begitu dingin. Maklum, waktu menginap saya nggak berenang. Oh, ya. Di dekat kolam renang, sebenarnya ada semacam taman kecil. Namun, menurut saya sih tamannya bukan tipikal taman-taman scenic—lebih ke arah area transisi antara kolam renang dan pintu masuk ke hotel.

Restoran & Lounge

Untuk bersantap, para tamu di Yello Paskal Bandung bisa ke restoran yang berada di lantai lobi. Nah, reservasi si Pak Suneo nggak mencakup sarapan. Walhasil, saya nggak bisa mencicipi menu sarapan yang ditawarkan di restoran ini. Namun, saya tetap ambil foto restorannya sehingga setidaknya bisa bahas aspek arsitekturnya.

Area restoran di Yello Paskal Bandung cukup luas. Di salah satu sisi ruangan, bahkan ada dua meja kayu panjang, masing-masing untuk delapan orang. Saya rasa meja ini bisa dipakai untuk rapat kecil atau semacamnya. Dilihat juga dari banyaknya station yang ada, sepertinya menu sarapan yang ditawarkan sangat beragam. Interior restoran mengusung desain kontemporer yang youthful, thanks to walls lined with colorful geometric-patterned wallpaper. Warna-warna bumi terlihat dari penggunaan furnitur dan beberapa kursi bahkan memiliki bantalan dan sandaran berwarna hijau zamrud (earthy banget, ‘kan?). Area tengah restoran dipercantik juga dengan coffered ceiling dengan pola checkerboard supaya selaras dengan desain wallpaper.

Sebagai ekstensi area restoran, di alley menuju ruang-ruang rapat dan musala ditempatkan beberapa meja dan kursi. Di lounge sendiri ada beberapa meja dan kursi makan, tentunya untuk mengantisipasi kekurangan meja dan kursi kalau okupansi hotel sedang tinggi. Area lounge diterangi oleh cahaya alami dari jendela-jendela besar yang dipasang di setiap sisi ruangan. View dari jendela, ya, lumayan bagus sih. Di salah satu sudut ruangan, ada instalasi seni berbentuk seperti pohon natal.

Gaming Station

Fasilitas yang saya sempat coba saat menginap di Yello Paskal Bandung adalah gaming station-nya. Berada di lantai lobi, area permainan ini dilengkapi televisi, mesin Xbox dan meja fussball. Di area ini juga ada beberapa tablet yang bisa digunakan pengunjung.

Karena ada Xbox, saya dan Pak Suneo pun main dan game yang kami pilih adalah Just Dance. Lumayan lah buat berkeringat. Lagu-lagu yang tersedia memang nggak banyak, tapi saya cukup terhibur dengan duel joget Waka Waka-nya Shakira dan New Face-nya PSY. Sayangnya, area yang tersedia kurang luas buat nge-dance, terutama dengan adanya meja dan kursi untuk para pengguna tablet. Walhasil, kami pun nggak bisa bergerak dengan leluasa dan beberapa kali saya keluar dari sensor konsol karena bergerak terlalu jauh.

Oh, ya! Di sini hanya tersedia satu televisi dan satu konsol. Jadi, kalau lagi rame, you might expect antrean yang lumayan panjang. Untungnya waktu itu, saya dan Pak Suneo datang duluan pas gaming station masih kosong dan bisa main lebih lama.

Lokasi

Ngomongin soal lokasi, Yello Paskal Bandung bisa jadi salah satu opsi hotel Instagrammable di Bandung yang dekat dari Stasiun Bandung. Pasalnya, hotel ini bisa ditempuh dalam waktu kurang dari 5 menit dari Stasiun Bandung menggunakan kendaraan bermotor (tentunya selama jalanan nggak macet). Mau apa-apa juga gampang karena hotel ini berada di kompleks Paskal Hypersquare. Mau belanja, tinggal turun ke Paskal 23. Mau makan? Di Paskal 23 juga ada banyak restoran dan kafe. Ingin nongkrong malem-malem? Di belakang Paskal 23 ada Paskal Food Market yang konon punya 1.001 menu (saya nggak pernah ngitung sih), tapi tempatnya lumayan asyik buat nongkrong bareng temen-temen, terutama dengan konsep outdoor-nya (tapi bakalan misbar kalau hujan, meskipun ada juga area tertutupnya).

Di luar kompleks Paskal Hypersquare, Yello Paskal Bandung juga cukup dekat ke tempat-tempat lain, seperti Taman Balai Kota Bandung dan Alun-Alun Bandung. Kalau dari Bandara Internasional Husein Sastranegara, hotel ini bisa ditempuh dalam waktu sekitar 15 menitan dengan kendaraan bermotor.

Pelayanan

Segmen ini memuat pendapat saya mengenai pelayanan yang diberikan pihak hotel. Apa yang saya tulis bersifat subjektif dan bukan merupakan informasi umum, dan lebih merupakan pendapat pribadi. Experience yang saya alami bisa jadi berbeda dari apa yang orang lain alami. Tulisan dalam segmen ini tidak ditujukan untuk menjelek-jelekkan atau menurunkan reputasi hotel. Jika informasi yang saya tulis bersifat positif, semoga manajemen hotel bisa tetap menjaga kualitas layanannya. Jika bernada negatif, semoga bisa menjadi bahan perbaikan bagi pihak hotel. 

Selama menginap di Yello Paskal Bandung, sebetulnya saya nggak mengalami kendala ketika masih menginap. Menurut saya, staf yang bertugas ramah-ramah. Baik saya maupun Pak Suneo nggak banyak berinteraksi dengan staf hotel memang, tetapi sebagian staf yang berinteraksi langsung menunjukkan keramahan. Waktu saya kebingungan nyari Just Dance di Xbox pun, salah satu staf hotel dengan ramah mencoba bantu saya nyariin game itu dan betulkan controller yang rusak.

Hanya saja, masalah yang menurut saya signifikan dan mengesalkan terjadi setelah check-out dari hotel. Setelah check-out? Kok bisa? Jadi, gini ceritanya. Karena saya datang pakai mobil, saya pun otomatis dapat kartu tiket parkir. Nah, kartu tiket parkirnya ini sama dengan tiket parkir ke area Paskal Hypersquare. Ya, lebih tepatnya sih, saya dapat tiket parkir saat masuk ke Paskal Hypersquare, dan tiket itu juga berfungsi sebagai tiket parkir mobil hotel (lha wong parkir mobilnya aja di parkiran Paskal 23). Supaya nggak perlu bayar parkir, saya harus lapor ke pihak resepsionis. Nah, waktu itu saya lapor ke resepsionis dan staf yang bertugas kasih saya satu tiket baru yang menunjukkan bahwa saya itu tamu hotel. tiket itu nanti tinggal dikasihkan bersama kartu tiket parkir utama ke petugas parkir pas mau pulang.

Ketika mau keluar dari Paskal Hypersquare, si petugas parkir nagih lagi satu tiket. Saya bingung harus kasih tiket yang mana lagi. Ternyata, tamu hotel harus memberikan dua tiket tambahan. Jadi, satu tiket yang saya dapat dari staf itu hanya berlaku untuk satu hari. Kalau ingin gratis selama masa menginap (Sabtu-Minggu), saya harus dapat dua tiket, dan staf yang bertugas hanya kasih saya satu tiket (buat Sabtu aja). Karena saya stay dari Sabtu ke Minggu, dan saya hanya dikasih satu tiket, otomatis si gratisnya itu nggak berlaku dan saya kena charge parkir dari Sabtu ke Minggu. Lumayan tuh sekitar 70 atau 80 ribu, ya, saya lupa juga. Yang jelas saya sama si Pak Suneo sampe kewalahan nyariin uang tunai dan itu bikin saya sampai emosi dan marahin petugas parkirnya (dia juga ngomongnya ketus sih soalnya).

Akhirnya, si Pak Suneo telepon pihak hotel dan marah-marah dia di telepon. Saya juga ikut kesal karena si staf resepsionis yang bertugas kenapa hanya kasih satu tiket, dan bukan dua tiket. Kalau dia tahu bahwa peraturannya adalah tamu harus kasih dua tiket, kenapa dia hanya kasih satu tiket? Untungnya saya masih ingat nama stafnya. Jadi, ketika pihak hotel tanya siapa staf yang kasih saya tiket, saya bisa jawab siapa. Itu pengalaman yang menyebalkan dan jujur aja bikin saya sempat males main ke Paskal 23 (in fact, saya sangat jarang main ke mal itu karena selain jauh, nggak ada banyak hal di sana). Pihak hotel memberikan pengembalian dana ke si Pak Suneo untungnya.

Meskipun memang terjadi di luar masa menginap, kendala tersebut bikin baik saya dan Pak Suneo jadi kesal dan agak pikir-pikir lagi kalau ingin stay di sana. Ya, harapannya sih masalah yang sama jangan sampai terjadi lagi dan staf hotel juga mohon lebih teliti lagi.

Kesimpulan

Berada di kompleks mal yang terkenal dan jadi salah satu destinasi favorit turis domestik (terutama orang-orang Jakarta), Yello Paskal Bandung adalah hotel di Bandung yang menawarkan akses cepat ke mal dan interior kamar yang eye-catching. Dengan konsep interior yang youthful, properti ini lebih cocok buat liburan bareng teman. Namun, keluarga atau pebisnis juga sah-sah aja nginep di sini. Nggak ada larangan kok.

Interior kamar mengusung desain playful ala Yello. Ya, properti-properti Yello punya ciri khasnya tersendiri dari segi desain interior. Palet monokrom dengan sentuhan kuning sebagai colour pop jadi salah satu karakter desain interior Yello. Fasilitas yang tersedia di kamar dirasa sudah cukup, meskipun kalau ada hair dryer, kayaknya akan lebih lengkap. Slippers dengan desain sneakers jadi hal yang saya rasa cute. Sayangnya, saya nggak bawa pulang slippers-nya.

Fasilitas yang ditawarkan sudah cukup mumpuni untuk properti bintang tiga. Apalagi, di hotel ini ada kolam renang dan gaming station, dua fasilitas unggulan yang menurut saya jadi daya tarik tersendiri. Semua properti Yello punya gaming station dan fasilitas olahraga, either a gym or a swimming pool. Tersedianya musala dan meeting room juga membuat properti ini cocok buat mengadakan acara-acara formal.

Akses cepat ke Paskal 23 juga jadi kelebihan tambahan properti ini. Buat yang seneng belanja, Yello Paskal Bandung bisa jadi pertimbangan saat pilih hotel. Paskal 23 sendiri baru berdiri selama sekitar 3-4 tahunan dan jadi salah satu mal middle-upper scale di Bandung dengan tenant-tenant yang cukup terkenal seperti Zara, Uniqlo, H&M, Pull & Bear, dan Puma. In fact, Uniqlo pertama di Bandung itu dibuka di sini. Selain itu, jaraknya dari Stasiun Bandung juga jadi salah satu aspek unggulan properti ini.

Namun, kejadian kurang menyenangkan yang saya alami bikin saya jujur masih agak “trauma”. Mungkin lebih tepatnya, hal tersebut bikin saya secara pribadi mikir-mikir lagi untuk berkunjung ke sini. Saya percaya sih bahwa masalah seperti itu bisa dicegah dengan komunikasi sejak awal, tetapi setidaknya untuk sekarang, saya akan menghindari trigger trauma dulu.

Tripadvisor menyebutkan bahwa rate kamar di sini berkisar 250-514 ribu rupiah. Namun, di Agoda sendiri saya sering lihat properti ini rata-rata berada di kisaran 450 ribuan per malam. Terlepas dari kendala yang saya alami, Yello Paskal Bandung sangat bisa menjadi opsi akomodasi yang nggak hanya menarik dari segi desain, tetapi juga strategis dari aspek lokasi.

Pros & Cons

👍🏻 Pros

  • Lokasi hotel sangat strategis. Dekat dari Stasiun Bandung. Ada mal di bawah. Di area Paskal Hypersquare sendiri ada banyak kafe dan restoran, terutama Paskal Food Market yang konon punya 1.001 menu (saya nggak pernah hitung sih).
  • Desain interior kamar cukup Insta-worthy, terutama dengan skema warna yang eye-catching.
  • Fasilitas yang tersedia cukup lengkap, terutama karena ada gaming station.
  • Rate hotel masih terbilang terjangkau.
  • Slippers-nya lucu ✨

👎🏻 Cons

  • Masalah serius yang saya alami bikin saya secara pribadi agak “trauma”.
  • Pilihan tipe kamar yang tersedia nggak banyak.

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌⚪️⚪️
Desain: 😆😆😆😆😶
Lokasi: 🤩🤩🤩🤩🤩
Harga: 💰💰