Category Archives: Bandung

Review: Maison Teraskita Hotel Bandung

Ada yang spesial soal properti yang satu ini. Awalnya, saya nggak tahu kalau ini adalah sebuah boutique hotel. Seperti biasa, Instagram menampilkan banyak iklan dan tiba-tiba, iklan properti ini muncul. Namun, karena yang ditampilkan adalah foto makanan dan piano (oh! You guys know how much I love playing piano!), walhasil saya pun kepikiran datang untuk sekadar ngopi dan main piano. Kebetulan, waktu itu saya memang habis menginap di hotel lain. Waktu tiba, saya baru sadar kalau ternyata apa yang saya kira kafe ternyata merupakan bagian dari hotel. 

Saya pun langsung cek Instagram dan googling soal properti ini. Berhubung rate-nya sedang murah dan saya juga nggak begitu sibuk dengan kerjaan, saya putuskan untuk mendadak nginep di hotel ini. Ya, improptu aja. Bahkan, ada staf hotel yang sampai kaget karena saya tiba-tiba check-in, padahal awalnya hanya makan siang dan main piano. Turned out keputusan saya buat stay di hotel ini nggak salah because the hotel really lived up to its name.

review maison teraskita hotel bandung
Fasad Maison Teraskita Hotel Bandung

Maison Teraskita Hotel Bandung adalah salah satu hotel baru di Bandung. Properti bintang empat ini setahu saya beroperasi sejak tahun 2020 (di tahun 2019, kalau nggak salah bangunannya masih direnovasi). Bangunan hotel ini sendiri sebetulnya sudah unik. Saya coba cari tahu lebih lanjut soal bangunan peninggalan era kolonial Belanda yang sekarang menjadi hotel. Dilansir dari Property and The City, Maison Teraskita Bandung menempati bangunan kantor Waskita Karya yang juga merupakan salah satu bangunan cagar budaya grade B di Bandung. Bangunan tersebut konon sudah ada sejak tahun 1910an. 

Saya masih penasaran dengan sejarah gedung Maison Teraskita Bandung di era kolonial dulu. Pencarian di Google membawa saya ke sebuah artikel dari Cianjurpedia yang membahas riwayat gedung tersebut. Bagian bangunan yang menjadi wajah hotel ternyata dibangun di tahun 1913 dan digunakan sebagai kantor cabang Siemens. Anak milenial pasti nggak asing deh dengan nama Siemens. Pasalnya, Siemens adalah salah satu brand HP yang terkenal pada zamannya (ingat ringtone yang juga dipake sebagai ringtone HP Sanchai di serial  Meteor Garden?). Gedung ini sendiri sebetulnya bernama NV. Volker Aanemings Maatschappij, tetapi memang kemudian lebih dikenal sebagai Gedung Siemens. Di tahun 1961, gedung mengalami renovasi yang menyebabkan perubahan pada bentuknya. Setelah itu, gedung pun digunakan sebagai kantor Waskita Karya. 

review maison teraskita hotel bandung
Gedung kantor Waskita Karya sebelum menjadi Maison Teraskita | Credit: Sepanjang Jalan Kehidupan

Maison Teraskita Hotel Bandung adalah addition baru bagi portfolio The Gala Hotels Group. Berdasarkan informasi yang saya lihat dari situs resmi The Gala Hotels Group, hotel ini adalah properti pertama mereka di Bandung. Dua properti lainnya berada di Jakarta (and are definitely on my to-go list). Terdapat 84 kamar dan suite yang tersedia di hotel bintang 4 di Bandung ini. Soal fasilitas, ada rooftop swimming poolgym, restoran, dan kafe. Di koridor lift, ada beberapa ruangan kosong yang katanya sih akan jadi barbershop, tapi terakhir kali saya ke sana (saya sudah menginap dua kali, dan yang terakhir adalah bulan Agustus 2021), ruangan tersebut masih kosong. 

Ada 8 tipe kamar di hotel ini. Saat menginap di hotel ini, saya menempati kamar tipe Deluxe Maison Double. Oh, ya! Saya juga berkesempatan bertemu Bapak Alexander selaku director of sales marketing hotel (sayangnya beliau sudah tidak di Maison Teraskita lagi menurut salah satu staf hotel), dan juga chef hotel. Ulasan lengkap hotel dan cerita lainnya, as usual, saya bagikan di segmen berikutnya, ya!

Desain Kamar

Dari namanya, saya bisa menebak konsep yang dihadirkan oleh Maison Teraskita Hotel Bandung. Informasi ini juga diperkuat oleh pernyataan Bapak Alexander mengenai konsep hotel. Saat tiba di lobi, saya sudah bisa melihat manifestasi dari tema utama yang diusung hotel. Begitu tiba di kamar, saya bisa membayangkan diri berada di salah satu apartemen bergaya contemporary Parisian di pusat Paris. Hanya saja, dari jendela kamar, saya bisa melihat minaret Masjid Raya Bandung, dan bukan Menara Eiffel. Ya, setidaknya masih di Paris van Java lah ya.

Tipe Deluxe Maison Double memiliki luas 24 meter persegi. Bentuk kamar sebetulnya unik karena bukan persegi, melainkan trapesium. Dengan bentuk ruangan seperti ini, jendela kamar bisa diposisikan agar menghadap ke Masjid Raya Bandung, dan bukan langsung menghadap ke bangunan Jiwasraya. Hanya saja, dimensi jendela yang tinggi, dan bukan melebar, membuat pencahayaan alami di kamar terbilang kurang. 

Atmosfer khas apartemen bergaya Parisian langsung terasa begitu saya masuk ke kamar. Dinding kamar tampil mewah dalam balutan panel kayu berwarna putih. Untuk lantai, digunakan parket berwarna medium yang membangun kesan hangat. Sebagai focal point, dinding di belakang tempat tidur menggunakan panel kayu berwarna turquoise (tapi menurut saya, lebih biru sih). Langit-langit di area utama kamar cukup tinggi dan dilengkapi built-in lighting yang membuat ruangan terang, tanpa terasa terlalu silau.

Satu hal yang saya suka dari kamar ini adalah adanya potted plant. Ditempatkan di samping sofa, adanya tanaman membuat kamar terasa lebih segar dan lived-in, as if the room is really an apartment. Sayangnya, penempatan sofa dan meja kopi justru membelakangi televisi, dan bukan menghadap ke televisi. Walhasil, saya harus duduk di tempat tidur kalau ingin nonton televisi. Untuk tempat tidur sendiri, seperti yang bisa dilihat di foto, ternyata merupakan dua twin bed yang digabungkan. Saya sedikit kecewa sebetulnya. Headboard tempat tidur tampil sederhana dengan bentuk rectangular, tetapi unik karena dibuat dari anyaman rotan. Tidak ada end table di kedua sisi tempat tidur. Sebagai gantinya, lampu meja digantikan oleh wall lamp bergaya modern minimalist. Telepon pun dipasang di dinding dan, sayangnya, gagangnya sering jatuh. Buat yang biasa simpan HP atau jam tangan di end table, di sini HP harus disimpan either di meja kopi, meja kerja, or kasur.

Di ujung ruangan, terdapat nook dengan dinding bertekstur kasar yang dipisahkan oleh vitrage dan gorden berwarna hijau zamrud tua. Dengan meja kecil dan kursi rotan, area ini saya duga merupakan area kerja, meskipun sejujurnya kursinya kurang nyaman untuk dipake ngetik-ngetik kerjaan. Namun, dari area ini, saya bisa melihat bangunan Masjid Raya Bandung sambil kerja. Pemandangannya kurang “lega” memang, tapi setidaknya there was something I could see while working.

Di vestibule, terdapat satu kabinet untuk menyimpan kulkas mini dan coffee/tea maker. Untuk teh, Maison Teraskita Hotel Bandung menggunakan produk-produk teh Walini. Di sampingnya terdapat gantungan pakaian sebagai pengganti lemari atau closet. Sebetulnya, saya kurang begitu suka gantungan pakaian yang terbuka karena kesannya jadi rame atau riweuh, terutama ketika saya ngegantung banyak pakaian. Di setiap kamar, tersedia bathrobe dan slippers yang nyaman. Oh, ya. AC di kamar masih menggunakan unit terpisah, bukan AC sentral. Not a big problem for me sebetulnya.

Sayangnya, saya mengamati maintenance kamar tampaknya kurang optimal. Area di sekitar sakelar dan stopkontak tampak retak dan kurang rapi. Selain itu, cat pada dinding di sekitar bagian bawah jendela kamar mandi juga sudah mengelupas. Saya menyayangkan hal ini, mengingat properti ini masih terbilang baru dibuka. Semoga ke depannya maintenance kamar bisa ditingkatkan, ya.

Kamar Mandi

This is one of my favourite part waktu menginap di Maison Teraskita Bandung. Kamar mandi di tipe Deluxe Maison Double punya ukuran yang decent. Tidak besar, tapi nggak claustrophobic juga. Dari aspek desain, interiornya mengusung perpaduan Industrial dengan Art Deco. Interior kamar mandi ini mengingatkan saya dengan interior kamar mandi di de Braga by ARTOTEL. Pencahayaan kamar mandi juga bagus dan seperti yang mungkin kalian tahu, saya nggak suka kamar mandi yang redup.

Area shower dipisahkan dari area lain kamar mandi dengan dinding dan split level. Sayangnya, dinding pemisah ini kurang panjang dan split level-nya pun kurang signifikan untuk mencegah luapan air. Walhasil, saat saya mandi, air pun jadi luber ke sana sini. Adanya rainshower (meskipun piringannya nggak besar) membuat momen mandi saya jadi lebih menyenangkan. Bathroom fixture di kamar mandi pun memiliki desain modern classic (bisa dilihat dari desain shower tangan). What’s better, Maison Teraskita Hotel Bandung menghadirkan body wash dan shampoo dari koleksi Calming milik Sensatia Botanicals.

Kloset ditempatkan di sisi timur kamar. Di dinding di belakangnya terpasang foto salah satu sisi kota Bandung dengan filter hitam putih yang menambah kesan artsy pada interior kamar mandi. Sebetulnya, di kamar pun tersedia hair dryer, tetapi tidak disimpan di kamar mandi. Hair dryer disimpan di dalam tas kecil yang digantung pada gantungan, di dekat bathrobe. Jadi, kalau bicara soal fasilitas kamar mandi sih, saya rasa sudah lengkap. Actually, it was better than expected.

Fasilitas Umum

Teras Cafe

Salah satu fasilitas umum di Maison Teraskita yang menurut saya sangat prominent adalah kafenya. Teras Cafe berada di lantai dasar hotel dan menempati area lobid dan teras depan. Oh, ya! Untuk yang baru datang kali pertama atau mungkin sekadar lewat, mungkin nggak sadar kalau ini adalah hotel. Pasalnya, yang terlihat dari trotoar memang kafenya, meskipun outdoor area-nya cenderung tersembunyi di balik pagar bertanaman rambat. Namun, dengan konsep seperti ini, vibe Parisian cafe-nya justru dapet banget. Bisa dibilang, kafe ini jadi semacam oasis tersembunyi di tengah ingar bingar kawasan Alun-Alun Bandung. 

Focal point teras ini adalah air mancur bergaya klasik yang tampak cantik, baik di siang maupun malam hari (terutama malam hari karena ditambah pencahayaan yang pas). Meja-meja persegi dipadukan dengan kursi-kursi rotan dan beberapa parasol sebagai peneduhnya. Dikeliling bunga dan semak-semak, area teras kafe ini selain cantik juga cozy, terutama di sore hari. Di malam hari, area teras terasa romantis, terutama saat diterangi lampu-lampu. Sebagai penutup tanah, digunakan batu-batu kerikil yang, menurut saya sih, agak bikin was-was ketika jalan. Beberapa kali saya hampir jatuh karena kerikil-kerikil tersebut. Selain itu, kerikil-kerikil di tanah bikin kursi dan meja jadi kurang stabil. 

Pintu besar dengan frame berwarna teal gelap menyambut saya saat akan masuk ke lobi Maison Teraskita yang merangkap indoor area kafe. Tepat di sisi kanan pintu, ada tangga menuju lantai dua. Tangga berbentuk “L” ini masih menggunakan desain aslinya, tetapi dipercantik dengan runner bermotif foliage. Kurang “wah” untuk disebut grand staircase, tetapi sangat “wah” untuk sekadar disebut tangga biasa. Di dekat tangga, ditempatkan potted plant besar yang tidak hanya mempercantik ruangan, tetapi juga memberikan sentuhan segar “ijo royo-royo” pada interior kafe.

Lobi dan area indoor kafe diterangi jendela-jendela besar yang berada di sisi depan bangunan. Panel kayu berwarna putih melapisi dindingnya, sementara flooring menggunakan lantai kayu bermotif herringbone. Mungkin ada yang sudah tahu apa yang saya suka dari kafe ini. Ya, pianonya! Di bawah tangga, terdapat sebuah baby grand piano Yamaha (sepertinya tipe G1 karena ukurannya memang nggak begitu besar). Saat menginap (dan setiap ke kafe ini), saya selalu main piano itu dan para staf hotel ternyata senang (hore!). Kondisi piano baik, tetapi sering kali keyboard-nya berdebu. Maklum, dengan jendela dan pintu yang dibuka dan posisi hotel tepat menghadap ke Jalan Asia Afrika yang ramai, polusi dan debu dari luar bisa masuk dengan mudah. Hanya saja, terakhir kali saya main (sekitar satu dua minggu sebelum post ini diterbitkan), ada beberapa not yang agak fals.

Area indoor memiliki meja dan kursi yang lebih sedikit. Selain itu, para pengunjung kafe pun harus berbagi tempat dengan para tamu hotel. Kursi-kursi rotan digunakan pula di dalam kafe. Namun, dengan meja kopi, area indoor kafe sepertinya lebih cocok buat ngemil dan ngopi dibandingkan untuk makan with good posture. Lampu lantai dan gantung bergaya orb menjadi sumber penerangan sintetis. Desainnya pun memberikan sentuhan Art Deco pada interior kafe, terutama saat dipadukan dengan foto-foto berbingkai hitam di dinding. Dengan pencahayaan berwarna hangat, kafe ini terasa hangat, cozy, dan mewah, terutama saat hujan sore-sore atau di malam hari. 

Waktu kali pertama datang, saya pesan spaghetti aglio e olio untuk makan siang. Untuk minuman, saya lupa namanya apa. Untuk makanannya, jujur saya suka karena pesanannya sesuai custom order saya: tanpa keju sama sekali dan tingkat kepedasannya pas. Tingkat keasinannya ke arah rendah, tapi justru saya bisa merasakan gurih dari bahan-bahan lain. Rotinya renyah dan gurih, dan nggak sampai asin yang bikin pusing. Untuk minumannya, base-nya green apple syrup yang kentara. Sisanya sepertinya ada blue curacao-nya atau apa, tapi yang paling kentara sih green apple. Untuk rasanya, fine lah.

Dengan dwifungsinya sebagai lobi hotel dan indoor dining area, saya menduga area ini akan sangat ramai ketika hotel lagi banyak tamu, dan kafe lagi banyak pengunjung. Mungkin beberapa pengunjung kafe bisa diarahkan ke lantai dua atau teras. Nah, di lantai dua sendiri ada bar, dan di dekatnya ada pintu menuju restoran hotel yang digunakan sebagai tempat sarapan para tamu. Area lantai dua seingat saya hampir selalu kosong. Mungkin karena area ini tampaknya lebih difokuskan sebagai restoran, dan bukan kafe.

Singkatnya, Teras Cafe di Maison Teraskita Bandung bisa jadi tempat nongkrong cantik yang nyaman di pusat kota Bandung. Desain interiornya menjadi salah satu keunggulan kafe ini. Gaya modern Parisian, dipadukan dengan beberapa elemen vintage dan Art Deco membuat kafe ini makin cantik dan Insta-worthy. Namun, saya ingin ngasih tahu soal harga menu. Karena merupakan bagian dari hotel, perlu diingat bahwa pajak dan service charge-nya adalah 21%, dan bukan 10-15%. PPN + service charge sebesar itu bisa bikin harga nett jadi lebih tinggi secara signifikan.

Restoran

Restoran hotel berada satu lantai di atas lobi dan bisa diakses lewat lift maupun tangga. Area restoran cukup luas dan mencakup balkon sebagai smoking area. Dari segi interior, gaya modern Parisian tetap diusung. Restoran hotel berada satu lantai di atas lobi dan bisa diakses lewat lift maupun tangga. Area restoran cukup luas dan mencakup balkon sebagai smoking area. Dari segi interior, gaya modern Parisian tetap diusung. Hanya saja, terlepas dari luasnya, meja dan kursi yang tersedia cukup terbatas sih kalau saya amati. Di bagian tengah restoran, ada semacam island untuk bufet dan dari island tersebut, kita bisa “ngintip” ke arah dapur. Cukup seru sih, terutama ketika kita pada akhirnya bisa accidentally lihat live cooking show. Kursi-kursi rotan dipadukan dengan sectional sofa berlapis kain berwarna biru “horang kaya”, membangun atmosfer casual chic, tapi juga elegan. 

Soal menu breakfast, pihak hotel akan tanya kita mau makan apa saat check-in. Mereka akan kasih semacam form untuk kita isi, dan di form itu disebutkan makanan-makanan yang akan disajikan untuk sarapan keesokan paginya. Kita bisa centang makanan yang kita mau nikmati, dan kosongkan makanan yang kita nggak mau. Menurut saya, ini jadi sistem yang bagus karena pihak hotel hanya perlu menyajikan apa yang kita minta, dan nggak perlu menyajikan makanan atau minuman yang nggak kita akan ambil (dan mungkin pada akhirnya jadinya mubazir karena nggak dimakan). Less food waste, better life. Menu sarapan saya simpel, tapi cukup mengenyangkan. Dan entah, pom pom itu kenapa ya rasanya asin banget? Apakah setiap restoran atau gerai yang jual kentang pom pom itu nambahin garamnya kebanyakan, atau memang dari pabriknya garamnya udah banyak banget?

Kolam Renang

Fasilitas lain yang tersedia di Maison Teraskita Bandung (dan yang jadi favorit saya) adalah kolam renangnya. Berada di lantai rooftop, area kolam renang hotel menawarkan pemandangan pusat kota Bandung yang kece banget! Dari segi ukuran, kolam renang ini punya dimensi memanjang. Simpel, sebetulnya dan terbilang ramping. Namun, karena dimensinya memanjang, kolam renang ini cocok buat latihan bolak-balik beberapa lap.

Area duduk dibagi menjadi dua sisi. Karena bentuk kolam memanjang, kursi-kursi dan meja-meja ditempatkan di kedua ujung kolam renang. Sayangnya, nggak ada parasol untuk meneduhi tempat-tempat duduk di sini. Walhasil, kalau cuaca lagi panas banget, mau nggak mau harus siap-siap benar-benar berenang dan beraktivitas di bawah paparan cahaya matahari. Ini yang saya sayangkan sebetulnya. Selain itu, jumlah meja dan kursi yang ada juga sangat terbatas, mengingat area duduknya pun nggak begitu besar. Bisa dibayangkan kalau tingkat okupansi hotel lagi tinggi dan tamu-tamu pada berenang di jam yang sama. Siap-siap rebutan meja dan kursi ini sih. 

Buat yang bawa anak-anak, saya rasa faktor keselamatan di area kolam jadi salah satu yang harus diperhatikan. Pasalnya, karena konsep kolam renang bisa dibilang infinity pool, nggak ada dinding pembatas di sisi panjang kolam. Apalagi, dari area duduk, meskipun terhalang oleh planter, somehow orang tetap bisa pergi dan berdiri di atas dinding sisi panjang kolam (ya, nyelip-nyelip ke pinggir planter). Jadi, buat yang bawa anak-anak, harus dijaga ketat deh. To some extent, saya bahkan merasa kalau kolam ini nggak kids-friendly, terutama soal kedalamannya. 

Namun, yang paling keren lagi adalah view dari area kolam, dan rooftop secara keseluruhan. Seandainya ada rooftop bar di sini, udah deh lengkap banget Maison Teraskita Bandung tuh menurut saya. Pasalnya, view dari area kolam dan rooftop ini keren banget. Kawasan Alun-Alun Bandung, Masjid Raya Bandung, dan area komersial di sekitarnya (terutama gedung-gedung tinggi di daerah Kepatihan dan Dalem Kaum) terlihat jelas dan keren banget, apalagi di malam hari. Di arah barat, kita juga bisa lihat pemandangan Jalan Sudirman. Pemandangan gedung-gedung tinggi juga bisa terlihat di arah utara. Pokoknya, view dari area ini udah paling bagus deh menurut saya. Bahkan, saya bisa bilang bahwa Maison Teraskita Bandung adalah salah satu hotel dengan rooftop infinity pool terbagus di Bandung. 

Gym

Fasilitas berikutnya yang ada di Maison Teraskita Bandung adalah gym. Berada di lantai rooftop, gym hotel ini memang nggak besar. Kecil banget, kalau saya boleh bilang. Jumlah alatnya pun sangat terbatas. Lokasi gym ini berada di dekat kamar mandi dan ruang ganti pakaian.

Karena ruangannya yang terbilang kecil dan memanjang, bisa dipahami kenapa alat-alat yang ada di sini sangat terbatas jumlahnya. Namun, jendela-jendela full-height dipasang di salah satu sisi ruangan. Meskipun pemandangannya kurang bagus (view BRI Tower di sebelah hotel), jendela-jendela ini bikin cahaya alami bisa masuk dengan mudah dan melimpah ke ruangan sehingga kesan sempit jadi bisa diminimalisir. Selain itu, karena ukuran gym yang kecil, saya malah merasa seperti berada di home gym. Ada sedikit atmosfer homy yang saya rasakan di ruangan ini. 

Lokasi

Maison Teraskita Hotel Bandung berlokasi tepat di pusat kota Bandung, berseberangan dengan kawasan Alun-Alun Bandung dan Masjid Raya Bandung. Kalau soal lokasi sih, bisa dibilang kurang apa lagi coba? Stay di pusat kota Bandung dan dekat dari kawasan-kawasan turistik seperti Braga dan Asia Afrika, dan distrik belanja seperti kawasan Kepatihan, Dalem Kaum, dan Pasar Baru? Definitely a big yes! Ke mana-mana dekat. Mau main ke Alun-Alun atau belanja di daerah Kepatihan? Tinggal nyeberang jalan doang udah sampai. Kawasan Braga cuman sekitar 5 menit dari hotel dengan berjalan kaki. Soal transportasi, di depan Alun-Alun juga sebetulnya ada halte bis buat yang ingin naik kendaraan umum. Oh, ya! Yang saya suka lagi adalah meskipun berada di pusat kota dan dikeliling tempat yang ingar bingar, noise level di kamar terbilang kecil. 

Dari Stasiun Bandung, Maison Teraskita Hotel berjarak sekitar 10 menit menggunakan kendaraan roda empat, tergantung kondisi lalu lintas sebetulnya. Kalau dari Bandara Internasional Husein Sastranegara, jarak tempuh ke hotel dengan kendaraan roda empat bisa memakan waktu sekitar 15-20 menit atau bahkan lebih cepat, again tergantung kondisi lalu lintas. 

Pelayanan

Segmen ini memuat pendapat saya mengenai pelayanan yang diberikan pihak hotel. Apa yang saya tulis bersifat subjektif dan bukan merupakan informasi umum, dan lebih merupakan pendapat pribadi. Experience yang saya alami bisa jadi berbeda dari apa yang orang lain alami. Tulisan dalam segmen ini tidak ditujukan untuk menjelek-jelekkan atau menurunkan reputasi hotel. Jika informasi yang saya tulis bersifat positif, semoga manajemen hotel bisa tetap menjaga kualitas layanannya. Jika bernada negatif, semoga bisa menjadi bahan perbaikan bagi pihak hotel. 

Saya memang baru dua kali stay di Maison Teraskita Bandung (and to be honest, I’d love to come back again!), tetapi kualitas pelayanan di kedua kunjungan tersebut bisa saya bilang bagus. Saat tiba, saya dikasih welcome drink. Proses check-in juga cepat dan nggak ribet, dan pihak hotel sebisa mungkin kasih saya kamar sesuai request. Staf yang bertugas ramah-ramah, dan waktu saya main piano, mereka juga kasih saya tepuk tangan (dan bahkan ada yang request lagu). Wah, senangnya! 

Interaksi saya dengan para staf hotel nggak berhenti sampai di situ. Saya berkesempatan ketemu dengan sales marketing director Maison Teraskita Hotel, Pak Alexander. Jadi kehormatan bagi saya untuk ketemu Pak Alexander dan ngobrol soal properti keren ini. Bahkan, karena saya sampai dua kali pesan pasta aglio e olio, saya pun jadi ketemu dengan chef hotel dan beliau berterima kasih secara langsung. Senang banget rasanya. 

Kesimpulan

Paris van Java. Saya apresiasi usaha Maison Teraskita Hotel Bandung untuk menghadirkan suasana Paris di tatar Parahyangan. Interior bergaya modern Parisian yang chic berhasil dihadirkan oleh hotel ini, tanpa terkesan maksa atau gaudy. Desain yang sama juga diterapkan di area-area hotel yang lain. Salah satu yang cukup menarik adalah Teras Cafe-nya yang mengusung konsep cafe trottoir, meskipun ya nggak di trotoar juga. Namun, outdoor dining area kafe jadi semacam oasis sejuk di tengah ingar bingar kawasan pusat kota Bandung. 

Pada awalnya, saya sempat bingung karena hotel ini menyandang predikat hotel bintang empat. Namun, setelah saya main ke area rooftop, saya akhirnya give a nod. Kolam renang dengan pemandangan kota jadi fasilitas favorit saya, meskipun saya nggak sempat berenang (tapi saya udah puas kok santai dan lihat-lihat pemandangan Bandung dari ketinggian). Gym juga hadir sebagai fasilitas kebugaran untuk melengkapi kolam renang. Area rooftop akan lebih lengkap dengan kehadiran rooftop bar menurut saya. Karena lokasi hotel sudah bagus dan pemandangannya juga sudah keren banget, adanya rooftop bar akan jadi nilai tambah yang signifikan buat Maison Teraskita Hotel Bandung

Rate yang ditawarkan mulai dari kisaran 500 ribuan (waktu saya book dulu, saya dapat harga sekitar 650 ribu untuk tipe Deluxe). Dengan lokasi yang strategis, desain interior yang stylish, dan fasilitas yang cukup lengkap, rate segitu saya rasa masih sangat masuk akal (meskipun sering kali meledak, terutama di momen-momen liburan atau weekend). Overall, Maison Teraskita Hotel Bandung berhasil menawarkan suasana ala Paris ke jantung kota Bandung tanpa terkesan “maksa”. Properti ini layak dijadikan pilihan, terutama buat wisatawan yang memang ingin menginap di pusat kota Bandung dan banyak berakvitias di kawasan Sudirman, Braga, atau Otista Pasar Baru.

Pros & Cons

👍🏻 Pros

  • Desain interior modern Parisian yang diusung nggak “maksa” dan gaudy.
  • Fasilitas yang dihadirkan cukup komprehensif.
  • Lokasi sangat strategis dan bikin gampang ke mana-mana dengan berjalan kaki.
  • Pemandangan dari area rooftop dan kolam renang keren banget! Properti ini jadi salah satu hotel dengan rooftop infinity pool terbagus di Bandung.
  • Kamar mandi dilengkapi produk mandi dari Sensatia. Love it!

👎🏻 Cons

  • Area parkir sangat terbatas
  • Rate sebetulnya masih reasonable, tapi kalau sedang meledak, bisa sangat mahal.
  • Maintenance kamar masih perlu ditingkatkan.

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌😶
Desain: 😆😆😆😆😶
Lokasi: 🤩🤩🤩🤩🤩
Harga: 💰💰💰

Review: InterContinental Bandung Dago Pakar

Salah satu kawasan di Bandung yang jarang saya sambangi adalah Dago. Dari kecil, saya jarang banget main ke kawasan ini. Selain karena cukup jauh dari rumah, kawasan ini biasanya macet dan ramai di akhir pekan. Makanya, saya biasanya berkunjung atau menginap di hotel di kawasan ini di hari kerja (sempat sih mendekati akhir pekan, tapi itu pun check-in-nya hari Jumat di Sheraton Bandung). Selain itu, menurut saya kawasan Dago ini terlalu jauh dari pusat kota (nggak jauh-jauh banget sih sebetulnya, cuman saya lebih seneng kawasan yang memang ada di pusat kota biar gampang ke mana-mana). Maklum, anaknya tuh anak mal banget (nggak juga sih).

Namun, ada satu properti di kawasan Dago Atas yang, duh, buat properti in sih, saya nggak keberatan nyetir jauh dan stay jauh dari pusat kota. Suasana yang tenang, pemandangan yang keren, dan fasilitas yang ditawarkan jadi beberapa hal yang bikin saya suka dengan properti ini. Di tahun 2020 kemarin, saya dua kali menginap di hotel ini. Kuy ah tanpa berlama-lama, langsung aja masuk ke pembahasan!

review intercontinental bandung
InterContinental Bandung Dago Pakar

InterContinental Bandung Dago Pakar adalah sebuah hotel bintang 5 yang berlokasi di Jalan Resor Dago Pakar Raya No. 2B, Resor Dago Pakar, Bandung. Sesuai alamatnya, hotel mewah di Bandung ini berada di kompleks perumahan/resor yang cukup bergengsi. Waktu kali pertama ke sini, saya sampai minta tolong Andreyan, teman saya di Sheraton Bandung untuk nganterin ke properti supaya nggak kesasar. Pasalnya, properti ini lokasinya remote banget! Saya kira udah mau nyampe, ternyata masih jauh lagi. Pantesan aja waktu itu si Andre nyetirnya agak ngebut as if propertinya nggak bakalan terlewat. Ternyata memang jauh 😢

Ternyata, faktor lokasi ini pula yang menjadi daya tarik InterContinental Bandung. Berada jauh dari ingar bingar perkotaan, properti kelas teratas IHG ini menawarkan suasana tenang dan damai, dengan lingkungan sekitar yang masih cukup alami. Kamar-kamar di hotel ini menawarkan view perbukitan atau padang golf dan kota dari ketinggian. Dua kali menginap di sini di tahun 2020, dua kali juga saya dapat kamar dengan view padang golf dan kota. Oh, ya! Waktu menginap di sini, saya juga dikasih upgrade oleh pihak hotel (terima kasih banyak, InterCon Bandung!).

review intercontinental bandung
Lobi InterContinental Bandung Dago Pakar, tampil memukau dengan pemandangan padang golf dan kota.

Fasilitas yang tersedia di hotel ini cukup lengkap. Salah satu fasilitas unggulannya adalah infinity swimming pool. Sebetulnya, kolam renang di hotel ini terisi dengan air hangat. Hanya saja, waktu menginap di sana, airnya sedang tidak dihangatkan (kecewa sih saya). Meskipun demikian, saya tetap bisa seru-seruan berenang di sini (dan gantian foto buat Instagram bareng Andre). Fasilitas-fasilitas lain yang tersedia termasuk dua restoran, ballroom, ruang rapat, wedding hall, gym, sauna, spa, dan kids’ corner. Kalau weekend, suka ada penyewaan kuda di depan hotel. Karena kondisi masih belum kondusif, nggak semua fasilitas beroperasi selama saya menginap (dan di dua kunjungan saya), termasuk Tian Jing Lou, Chinese restaurant yang berada di lantai 18 hotel. Restoran ini sendiri terkenal dengan menu-menu dim sum-nya.

Ada 8 tipe kamar yang tersedia di InterContinental Bandung, termasuk vila-vila yang berada di bagian belakang bangunan hotel. Di kunjungan pertama, saya menginap di kamar tipe King Club Room atau Club InterContinental Room. Di kunjungan kedua, saya dapat tipe Premium Room with Golf View. Sebetulnya, kedua tipe ini nggak berbeda jauh dari segi interior dan room amenities. Namun, dari segi layanan tambahan, tipe King Club Room sudah mencakup akses ke Club InterContinental di lantai 18 yang—sayangnya—masih belum beroperasi. Selama menginap, ada beberapa kendala kecil yang saya alami. Namun, yang saya apresiasi adalah langkah yang diambil pihak hotel untuk menangani kendala tersebut. Pembahasan lebih lanjut, seperti biasa, saya sajikan di segmen berikutnya, ya!

Desain Kamar

Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, di tahun kemarin saya menginap dua kali di InterContinental Bandung dan mendapatkan dua tipe kamar yang berbeda. Namun, dari segi arsitektur, keduanya sebetulnya sama saja. Yang membedakan hanya akses ke Club InterContinental dan Bluetooth alarm saja. Baik tipe King Club Room dan Premium Room with Golf View sama-sama punya luas 46 meter persegi. Menurut informasi dari situs resmi hotel, tipe kamar terkecil (Classic Room) punya luas 41 meter persegi. Sejauh ini, saya bisa bilang bahwa InterContinental Bandung Dago Pakar adalah salah satu hotel di Bandung yang menawarkan kamar terluas.

Interior kamar mengusung desain kontemporer dengan palet warna-warna earthy dan pencahayaan berwarna hangat. Mengingat udara di kawasan Dago Atas terbilang dingin, skema warna yang hangat bikin suasana kamar makin nyaman. Tidak banyak ornamen yang rumit di kamar dan buat saya, kesederhanaan ini yang bikin kamar justru terasa elegan. Bagian dinding di atas headboard punya motif geometrik yang subtle. Di kedua sisi tempat tidur, terpasang wall lamp dengan gaya modern classic. Pencahayaan di kamar bisa dibilang cukup kompleks. Saya tipe orang yang sejujurnya nggak bisa tidur dalam keadaan gelap gulita. Jadi, saya selalu perlu satu atau dua lampu yang menyala di kamar, dan opsi pencahayaan yang tersedia di kamar mengakomodasi kebutuhan saya itu.

Ketika masuk ke kamar, hal yang langsung menarik perhatian saya adalah daybed-nya. Di properti ini, hanya tipe Classic yang nggak dilengkapi daybed. Memiliki dimensi yang cukup luas, daybed ditempatkan di atas platform yang menjorok ke luar dan dikelilingi jendela kaca. Ini jadi tongkrongan yang nyaman banget, terutama di pagi hari. Di sisi kiri dan kanan daybed juga terpasang panel dekoratif berbahan besi yang subtly memberikan kesan tropis ala-ala resor atau vila di Bali. Oh, ya! Di kunjungan saya yang kedua, pihak hotel memberikan complimentary chocolate cake. Terima kasih banyak, InterContinental Bandung! Kok bisa tahu kalau saya suka kue cokelat, ya? He he he. Jadi, sore itu, saya habiskan dengan menikmati kue dan pemandangan padang golf dan kota. So relaxing! Di area daybed pun sudah ada penerangan. Jadi, buat yang ingin baca malem-malem di sini, bisa banget. Malah saya sempet kepikiran kayaknya seru kalau tidur malam di sini.

Di kunjungan kedua, saya sempat mengalami kendala dengan daybed. Lebih tepatnya, tirai yang mengelilingi daybed. Jadi, si sheer curtain ini nggak bisa dibuka. Walhasil, saya harus telepon dulu pihak teknisi untuk memperbaiki rel tirai. Untungnya, masalah bisa ditangani dengan cepat dan mudah. Saya sangat mengapresiasi bantuannya.

Hal yang saya amati lagi dari kamar adalah storage. Baik tipe King Club Room maupun Premium Golf sama-sama punya walk-in closet yang cukup besar, dan ruangan ini dibatasi dengan pintu. Jadi, baju-baju yang digantung dan koper atau berbagai barang bawaan yang mungkin berantakan nggak akan terlihat dari area utama kamar saat pintu walk-in closet ditutup. Oh, ya! Room amenities mencakup televisi, AC, WiFi (jelas lah), Bluetooth alarm (untuk tipe King Club Room), coffee/tea maker, dan mini fridge. Nah, coffee/tea maker, mini fridge, dan beragam pilihan teh dan kopi disimpan dengan rapi di dalam lemari kecil yang ada di belakang area kerja. Jadi urusan pertehan dan perkopian nggak bikin kamar terlihat “kebanyakan barang” (or rather, cluttered). Untuk telepon sendiri, ada 3 unit telepon di kamar, dan satu dipasang di kamar mandi.

Meja kerja yang tersedia cukup besar. Kursi kerja yang ada pun cukup nyaman dipakai duduk dan ngetik cukup lama. Koneksi internet bisa diandalkan dan cukup cepat. Stopkontak ada banyak. Channel TV pun beragam. Hmm… Apa lagi, ya? Soal hiburan dan produktivitas sih, saya nggak ada keluhan. It was all good.

Kamar Mandi

Semua tipe kamar di InterContinental Bandung Dago Pakar, kecuali tipe Classic, dilengkapi dengan oversized bathtub. Namun, untuk tipe-tipe yang lebih tinggi, bathtub-nya merupakan whirlpool bathtub. Jadi, setingkat lebih mantap, lah. Selama dua kali menginap di sini, kamar mandi jadi salah satu the best part yang saya rasakan.

Atmosfer natural terasa melalui penggunaan dinding batu. Untuk lantai sendiri, digunakan ubin bertekstur dengan warna yang kurang lebih sama dengan warna dinding. Skema warna interior kamar mandi yang gelap untungnya diseimbangkan oleh pencahayaan yang mumpuni dan terang, bahkan di shower area yang terbilang lebih tertutup. Ditambah lagi, di siang hari roller blind di samping bathtub bisa dibuka sehingga cahaya alami bisa masuk.

Produk-produk Mandarin Tea hadir sebagai sampo, sabun, kondisoner, dan body lotion. Ada juga face soap (saya lupa brand-nya) yang hadir dalam bentuk sabun batangan. Saya sempat coba sih, walaupun saya lebih suka facial wash punya saya sendiri. Soal aroma sih enak dan nggak menyengat. It was okay, meskipun produk Asprey-nya Ritz-Carlton Mega Kuningan dan Appelles Apothecary & Lab-nya Ascott Sudirman secara pribadi sih saya lebih suka.

Nah, waktu saya menginap untuk kali kedua, saya mengalami kendala di kamar mandi, tepatnya di shower area. Kendala ini saya rasa cukup serius karena berimbas luka ke badan saya. Shower tangan yang dipasang di area shower berbahan semacam plastik yang dilapisi cat/lapisan khusus sehingga kesannya berbahan logam. Nah, lapisan cat di bagian sudut kepala shower terkelupas sehingga sudut shower jadi runcing. Saya nggak sadar dengan hal itu pada awalnya. Walhasil, pas mandi, dada dan perut saya beberapa kali kena ujung yang runcing itu dan kena lecet yang bentuknya memanjang (awalnya saya bingung kenapa bisa lecet, ternyata penyebabnya ya si sudut kepala shower itu).

Kepala shower dengan sudut yang runcing.

Saya pun akhirnya langsung telepon operator untuk menyampaikan keluhan. Nah, sebetulnya waktu awal tiba di kamar pun, saya sempat komplain juga karena roller blind di kamar mandi nggak ada talinya. Walhasil, si tirai nggak bisa dibuka. Kendala roller blind kamar mandi ditangani berbarengan dengan sheer curtain di area daybed yang nggak bisa dibuka. Saya sempet kesal karena maintenance kamar seolah-olah kurang bagus, ditambah dengan masalah kepala shower. Untungnya, pihak teknisi dengan cepat langsung tiba di kamar dan mengganti kepala shower. Pihak hotel sendiri menawarkan saya untuk pindah kamar, tapi berhubung saya komplain di malam terakhir menginap dan saya malas packing segala macem, akhirnya saya bilang nggak perlu ganti kamar. Toh masalah shower pun sudah ditangani dengan baik. Still I appreciated the kind gesture, tho. Namun, baiknya sih urusan maintenance kamar perlu diperhatikan lebih detail oleh pihak hotel.

Fasilitas Umum

Damai Restaurant

InterContinental Bandung punya dua restoran, yaitu Damai Restaurant dan Tian Jing Lou. Sarapan untuk tamu diadakan di Damai Restaurant yang berada satu lantai dengan lobi. Kesan pertama yang saya dapatkan dari restoran ini adalah luas. Let me tell you something: the restaurant is pretty huge! Interior restoran mengusung desain kontemporer yang elegan, dengan beberapa sudut yang terlihat lebih chic berkat dekorasi dinding. Area indoor-nya sendiri cukup luas dan punya banyak meja. Kalau nggak cukup (atau ingin merokok), bisa pilih meja di area outdoor. Area outdoor restoran sendiri merupakan balkon besar yang menawarkan pemandangan padang golf dan kawasan pusat kota Bandung.

Menu sarapan yang disajikan sangat variatif. Dari roti-rotian sampai sushi pun tersedia. Ada cukup banyak station di restoran ini yang masing-masing menawarkan sajian yang berbeda. Di kunjungan pertama, saya sarapan bareng Andreyan (dia datang pagi-pagi karena kita udah janjian mau berenang bareng). Menu yang saya pilih standar sih: nasi goreng, tumis sayuran (lagi berusaha memperbanyak asupan sayuran), dan scrambled egg. Soal rasa sih, oke lah. Decent. Di kunjungan kedua, saya pilih sushi dan dim sum. Yes, you read it right. Dim sum! Ada juga stan seblak untuk yang senang jajanan pedas yang satu ini. Untuk minuman, staf restoran akan tanya kita mau minum apa. Saya sih nggak jauh-jauh dari teh, meskipun di kunjungan pertama, saya pesan capuccino.

Ada satu area di dekat bar yang dilengkapi meja-meja bundar. Area ini sendiri kelihatan lebih mewah menurut saya, terutama dengan jendela-jendela kaca besar dan grand piano di salah satu sudutnya. Saya sempat main piano ini. Sayangnya, pianonya perlu distem karena beberapa nadanya fals.

Waktu sarapan di kunjungan pertama, saya dan Andreyan sempat mengalami kejadian nggak enak. Saat saya dan Andre (sebetulnya) masih makan, kami sempat ngobrol dan nggak menyentuh piring dan gelas sama sekali (ya, namanya juga lagi ngobrol). Tiba-tiba, ada staf restoran yang datang dan begitu saja ngambil piring-piring kami, tanpa permisi atau bilang apa pun, dan langsung pergi. Andreyan (yang notabene orang hotel) dan saya sampe lihat-lihatan karena kaget dan kesinggung. Di kunjungan kedua pun, saya sempat kesal karena staf yang jaga stan dim sum kurang ramah dan mempersiapkan dim sum saya seperti dilempar begitu aja ke kukusan. Nggak ada bicara apa pun, benar-benar dingin dan nggak bersahabat. Saya udah keluhkan hal ini ke pihak hotel lewat kuesioner yang disediakan.

Tian Jing Lou & Club InterContinental

Di lantai 18 InterContinental Bandung, ada Tian Jing Lou dan Club InterContinental. Tian Jing Lou sendiri merupakan Chinese restaurant yang terkenal, salah satunya karena menu dim sum-nya. Waktu saya menginap, baik. Tian Jing Lou dan Club InterContinental belum beroperasi. Namun, kata staf yang bertugas, saya boleh lihat-lihat.

Salah satu claim to fame-nya Tian Jing Lou adalah pemandangan kota dan padang golf. Mereka menawarkan pengalaman bersantap hidangan Tiongkok dan pemandangan yang cantik. Jendela-jendela floor-to-ceiling mendominasi interior. Ada satu sudut yang lebih menjorok ke luar, dan saya pikir area ini bakalan lebih banyak peminatnya, unless you’re acrophobic, of course. Beberapa chandelier menambah kemewahan interior restoran. Nah, kalau bicara soal Chinese restaurant, biasanya kan interiornya didominasi oleh warna merah. Sayangnya, di sini warna merah nggak begitu mendominasi. Kalau saya lihat, hanya beberapa area atau sudut yang dipercantik dengan warna merah. Selain itu, sentuhan khas Tionghoa juga kurang terasa kental. Lukisan dan partisi kayu memang jadi elemen yang memberikan sentuhan tersebut. Hanya saja, vibe-nya masih kurang kerasa, terutama kalau saya bandingkan dengan Cha Yuen-nya Aryaduta Bandung (sayangnya sudah tutup restorannya) atau Li Feng-nya Mandarin Oriental Jakarta (ini nanti akan ada review-nya. Tunggu aja, ya!).

Di dekat pintu masuk ke Tian Jing Lou, ada pintu menuju Club InterContinental. Seperti Tian Jing Lou, saat saya berkunjung pun klub masih belum beroperasi. Beberapa tipe kamar sudah dilengkapi akses ke klub ini. Luasnya sih nggak besar dan ada semacam pintu geser yang memisahkan antara Club InterContinental dengan Tian Jing Lou. Mungkin kalau ada acara apa, pintu ini akan dibuka untuk mengakomodasi lebih banyak tamu.

Seating yang tersedia bisa dibilang sangat terbatas. Interior klub pun punya dekorasi yang terbilang minimalis. Penggunaan warna-warna earthy memberikan kesan nyaman dan hangat. Untuk klub, pemandangan yang ditawarkan adalah pemandangan perbukitan. Jadi, kalau ingin lihat pemandangan kota sih kehalangin bukit. Ada juga LED TV yang cukup besar di tengah ruangan. So far sih nggak ada sesuatu yang benar-benar spesial. Ya, mungkin juga ini karena klub belum beroperasi, ya.

Kolam Renang & Kids’ Corner

Nah! Ini nih fasilitas yang saya paling suka dari InterContinental Bandung: kolam renang! Untuk mengakses kolam renang, kita perlu turun satu lantai dari lantai lobi. Turunnya bisa lewat tangga atau lift. Kalau dari lobi sih, sepertinya kita bisa dapat view yang bagus dari kolam renang. Sayangnya, pemandangan kota atau padang golf-nya terhalangi oleh pohon-pohon.

Kolam renang di InterContinental Bandung Dago Pakar terbilang besar. Area kolam anak dipisahkan oleh pembatas kaca dari area kolam dewasa. Untuk kedalamannya sendiri sih, kalau saya berenang, area kolam yang paling dalam tuh sekitar sebahu saya (maklum saya pendek). Ada dua cocoon di dekat kolam anak, tapi karena di belakangnya itu pepohonannya sangat rimbun, saya jadi agak ngeri lihatnya. Ada juga beberapa pool lounger yang, sayangnya, tidak diteduhi parasol atau semacamnya. Untuk kamar mandi dan toilet, ada di bangunan tersendiri. Oh, ya! Yang saya sayangkan lagi adalah air kolam renang nggak hangat. Padahal, di situs web hotel disebutkan kalau kolam renang hotel punya air hangat. Cukup kecewa sebetulnya, tetapi untungnya waktu itu cuaca nggak dingin.

Masih berada di sekitar kolam renang, ada kids’ corner. Fasilitas ini jadi salah satu amenities yang belum beroperasi saat saya menginap. Namun, karena berada di dekat kolam dan punya pintu kaca, saya jadi bisa mengintip ke dalamnya. Areanya cukup besar sih, dan ada semacam treehouse. Karena nggak beroperasi, lampu-lampu di dalamnya dimatikan dan foto di atas jadi satu-satunya dokumentasi yang saya punya. Ruangan juga terlihat kosong. Mungkin kalau beroperasi, akan ada banyak mainan, boneka, buku-buku, dan semacamnya. Gambar beruang di dinding (di atas rak sepatu) jadi sesuatu yang saya rasa lucu dan menggemaskan. Mungkin anak-anak yang habis berenang, bisa mandi dulu, terus main di sini.

Lokasi

Bicara soal aspek ini, jangan berharap InterContinental Bandung ada di kawasan yang strategis. Nggak, bro. Dari kawasan pusat kota Bandung, perjalanan ke hotel ini bisa makan waktu setengah jam lebih, tergantung kondisi lalu lintas. Hotel ini berada di kompleks Resor Dago Pakar yang luas banget dan jauh dari jalan besar (Jalan Dago). Namun, perjalanan ke sini nggak sia-sia karena meskipun jauh dari mana-mana, properti ini menawarkan suasana yang lebih alami dan pemandangan yang keren dari setiap kamarnya. Buat yang niatnya ingin staycation mewah dan menikmati suasana yang lebih tenang, hotel ini bisa jadi pilihan yang pas.

Sejauh yang saya tahu dan amati sendiri, nggak ada minimarket atau toko swalayan di dekat hotel. Ada sih restoran di luar hotel, tapi buat ke sana kita harus berkendara selama sekitar 5 menitan (lumayan jauh kalau jalan kaki. Serius). Untuk ke minimarket sendiri, kita harus berkendara dulu sekitar 10 menitan karena Indomaret terdekat ada di Jalan Dago. Nah, kalau kita udah tiba di kawasan Dago Atas sendiri sih, udah gampang lah ke mana-mana. Soal makan, ada beberapa restoran yang menawarkan pemandangan Bandung dari ketinggian seperti Cocorico dan Sierra. Soal tempat wisata, ada Tahura alias Taman Hutan Raya. Semuanya berjarak sekitar 10-15 menitan aja dari hotel. Nah, saran saya sih karena hotel ini jauh dari mana-mana, sebelum ke sini, ada baiknya sudah beli jajanan atau bekal dari awal. Bawa juga makanan atau minuman sendiri kalau nggak ingin pesan dari restoran hotel atau pergi ke kafe/restoran di luar hotel.

Dari Stasiun Bandung, InterContinental Bandung Dago Pakar bisa ditempuh dalam waktu sekitar 30-40 menit, tergantung kondisi lalu lintas. Dari Bandara Internasional Husein Sastranegara, waktu tempuhnya pun kurang lebih sama. Titik macetnya biasanya di kawasan Dago Atas. Jadi, harap waspada aja, terutama di jam-jam sibuk atau akhir pekan.

Pelayanan

Segmen ini memuat pendapat saya mengenai pelayanan yang diberikan pihak hotel. Apa yang saya tulis bersifat subjektif dan bukan merupakan informasi umum, dan lebih merupakan pendapat pribadi. Experience yang saya alami bisa jadi berbeda dari apa yang orang lain alami. Tulisan dalam segmen ini tidak ditujukan untuk menjelek-jelekkan atau menurunkan reputasi hotel. Jika informasi yang saya tulis bersifat positif, semoga manajemen hotel bisa tetap menjaga kualitas layanannya. Jika bernada negatif, semoga bisa menjadi bahan perbaikan bagi pihak hotel. 

Menginap dua kali di InterContinental Bandung dalam jangka waktu yang cukup dekat membuat saya bisa mengevaluasi kualitas pelayanan yang, jujur saya, membuat saya terkesan. Kekurangan yang saya lihat dan alami di kunjungan pertama terbayar di kunjungan kedua. Kendala yang terjadi, terutama di kunjungan kedua, ditangani oleh pihak hotel dengan baik dan profesional.

Secara keseluruhan, kualitas pelayanan di properti ini saya bisa bilang bagus. Saat masuk ke hotel, check-in, menginap, hingga check-out, jauh lebih banyak positifnya yang saya rasakan daripada negatifnya. Di kunjungan pertama, misalnya. Proses check-in memakan waktu lebih lama dari yang dijanjikan. Ditambah lagi dengan tidak adanya recognition untuk saya sebagai member IHG Rewards Club, saya agak kecewa sebetulnya. Namun, kekecewaan ini terbayar ketika saya dapat upgrade beberapa tingkat (dari tipe Classic ke King Club). Room service cukup lama menurut saya. Ketika saya minta dibawakan gelas wiski dan es, pesanan saya datangnya lama, meskipun ya tetap dibawakan. Dan juga, mengenai insiden di restoran, itu pun bikin saya dan Andre kesal sebetulnya. Namun, keluhan kami dapat tanggapan dari pihak hotel dan saya secara pribadi mengapresiasi hal tersebut.

Di kunjungan kedua, kendala yang terjadi lebih ke aspek fasilitas kamar. Semuanya berhasil ditangani dengan baik oleh tim housekeeping dan teknisi. Soal shower tangan yang rusak pun, saya makin mengapresiasi pihak InterContinental Bandung karena menawari saya untuk pindah kamar, padahal masalahnya hanya ada di shower dan itu pun sudah diselesaikan. Keesokan paginya saat saya sarapan, saya lupa itu GM atau siapa, tapi yang jelas saya dengan Ibu tersebut ngobrol soal kendala yang saya alami. Beliau meminta maaf dan kasih kuesioner untuk saya isi. Sikap atau langkah seperti ini memang nggak lantas menyelesaikan kendala yang sempat dialami (lagi pula sudah beres ‘kan), tapi tentunya jadi sesuatu yang saya apresiasi dan bikin kesan saya tentang properti jadi lebih positif. Saat sarapan di hari terakhir, memang ada beberapa staf di beberapa station yang saya rasa kurang ramah, tetapi selebihnya para staf sih ramah dan helpful. Ya, ke depannya sih harapannya semua staf bisa lebih ramah.

Kesimpulan

A luxury seclusion. Saya bisa bilang bahwa InterContinental Bandung Dago Pakar adalah hotel yang tepat untuk “mengasingkan diri” in a luxurious fashion, tanpa harus berkendara terlalu jauh di Bandung. Dari segi fasilitas, properti ini sudah lengkap. Hanya saja, waktu saya berkunjung memang belum semua fasilitas bisa digunakan. Setiap kamar menawarkan view yang cukup menarik, meskipun memang pemandangan padang golf dan pusat kota Bandung tentunya lebih menarik. Beberapa kamar, seperti tipe Premium Golf View dan King Club yang saya tempati dilengkapi daybed yang cocok banget buat bersantai, rebahan, dan tidur siang (atau malam-malam tidur di sini pun nggak masalah karena bisa sambil lihat bintang). Oversized, freestanding bathtub pun jadi kelengkapan kamar yang saya rasa layak diapresiasi. Apalagi dengan penempatan di samping jendela. Duh! Seru banget rasanya bisa berendam, merilekskan tubuh, sambil melihat view Bandung dari ketinggian. Interior kamar pun menampilkan desain kontemporer yang elegan dan mewah dalam balutan warna-warna earthy.

Soal lokasi, InterContinental Bandung saya pikir bukan pilihan yang pas buat orang-orang yang ingin tinggal di kawasan pusat kota dan gampang bolak-balik ke mal atau tempat-tempat lain di area downtown. Perjalanan ke hotel ini sendiri bisa dibilang cukup jauh. Mungkin nggak jauh-jauh amat buat yang terbiasa main atau bolak-balik ke kawasan Dago Atas, tapi berdasarkan komentar dari teman-teman saya, ketika saya ajak meet-up buat renang atau makan malam di hotel, mereka nolak ajakan dengan alasan kejauhan. Bisa dipahami sih karena dari mulut Jalan Resor Dago Pakar saja, perjalanan ke hotel masih memakan waktu sekitar 10 menitan dengan mobil/motor. Ditambah lagi, minimarket terdekat pun perlu ditempuh dalam waktu sekitar 10-15 menitan. Namun, untuk yang cari suasana tenang dan pemandangan yang lebih alami, properti ini layak banget diperhitungkan. Saya sendiri secara pribadi merasa bahwa hotel ini bisa jadi pelarian saya di masa mendatang ketika saya lagi mumet atau sekadar ingin menenangkan diri di lingkungan alami, tetapi masih dalam naungan “kemewahan” dan tanpa harus berkendara jauh dari Bandung.

Soal pelayanan, kendala-kendala yang saya alami untungnya dapat ditangani dengan baik oleh pihak hotel, dan saya sangat mengapresiasi hal tersebut. Beberapa fasilitas kamar perlu dibenahi memang. Ya, semoga saja kendala yang saya alami tidak sampai terulang dan keramahan staf pun bisa lebih ditingkatkan. Kesan positif, fasilitas properti yang mumpuni, kondisi kamar yang nyaman, serta kecepatan dan bantuan para staf dalam menanggapi request saya outweighted the cons.

Kalau saya amati di aplikasi IHG, InterContinental Bandung Dago Pakar menawarkan kamar dengan average rate di kisaran 1,2-1,3 juta rupiah per malam (biasanya sudah dengan pajak). Di Bandung, rate segitu sudah terbilang cukup tinggi sebetulnya. Namun, dengan fasilitas lengkap, desain kamar yang elegan, dan pengalaman closer to the nature dalam naungan kemewahan, saya rasa haga segitu masih berterima dan properti ini bisa jadi pilihan yang pas untuk yang ingin menikmati staycation di lingkungan yang lebih alami dengan view yang keren, tanpa harus berkendara jauh dari pusat kota Bandung.

Pros & Cons

👍🏻 Pros

  • Semua kamar, kecuali tipe Classic sudah dilengkapi daybed dengan pemandangan perbukitan atau padang golf (yang lebih bagus memang view padang golf sih)
  • (LAGI) Semua kamar, kecuali tipe Classic, dilengkapi freestanding bathtub yang ditempatkan di samping jendela. Cocok banget buat self-pampering sambil lihat pemandangan.
  • Interior kamar mengusung desain kontemporer yang elegan dan mewah.
  • Ukuran kamar (bahkan tipe terkecil) relatif lebih besar untuk hotel-hotel di kelasnya.
  • Restorannya besar dan menu yang disajikan sangat beragam (dim sum-nya enak!)
  • Kolam renangnya besar dan menawarkan pemandangan alam yang cantik (harusnya view kota, tapi terhalangi pepohonan besar but still, it’s pretty Insta-worthy)
  • Fasilitas yang ditawarkan sudah lengkap. Meskipun jauh dari mana-mana, dengan adanya kids club, kolam renang, gym, dan area terbuka (bahkan kalau weekend itu suka ada penyewaan kuda), kayaknya stay di hotel aja nggak akan kerasa bosan.
  • InterContinental Bandung punya wedding hall yang cakep banget (saya lupa foto. Maaf). Buat yang mau nikahan, nggak ada salahnya ngelirik properti ini.
  • Nggak perlu repot soal parkiran. Area parkirnya luas banget.

👎🏻 Cons

  • Terkait pengalaman menginap saya, maintenance kamar (terutama kamar mandi) rasanya kurang. Shower tangan yang rusak dan ujungnya runcing itu sangat disayangkan.
  • Ini bisa jadi nilai positif sebetulnya, cuman bagi sebagian orang, lokasi hotel yang cenderung remote mungkin bakalan jadi sesuatu yang kurang bikin nyaman.
  • Kualitas pelayanan staf saat saya menginap agak kurang. Semoga ke depannya bisa lebih baik lagi. Meskipun demikian, kendala yang saya alami bisa ditangani oleh pihak hotel dengan baik. Sangat saya apresiasi.
  • Meskipun view-nya bagus, sayangnya air kolam lagi nggak dihangatkan.

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌😶
Desain: 😆😆😆😆😶
Lokasi
– Untuk “menyepi”: 🤩🤩🤩🤩😶
– Untuk yang ingin gampang ke mana-mana: 🤩🤩😶⚪️⚪️
Harga: 💰💰💰💰💰

Review: Yello Paskal Bandung

Mendengar istilah budget hotel, saya nggak bisa bohong kalau salah satu hal yang terpikir adalah hotel-hotel cookie-cutter. Istilah hotel cookie-cutter mengacu pada hotel-hotel (biasanya akomodasi bujet) dengan desain interior yang serupa/senada. Umumnya, hotel-hotel kayak gini menerapkan gaya kontemporer minimalis pada interior kamar yang tidak memiliki keunikan/kekhasan tertentu, dan bisa ditemukan juga di hotel-hotel lain. Makanya, istilah cookie-cutter pun dibuat. In a layman’s term, mungkin sebutannya copy-paste kali, ya, walaupun memang desainnya nggak 100% identik banget.

Nah, beberapa pemilik properti melihat ini sebagai satu aspek yang bisa dimodifikasi supaya hotelnya nggak terkesan “bias-bias anjas” alias biasa aja (kalau pakai bahasanya Tante Debby Sahertian). Meskipun pada dasarnya merupakan akomodasi ekonomis, beberapa properti memainkan aspek desain sebagai keunggulannya. Walhasil, bisa kita lihat banyak banget hotel-hotel budget dengan kamar berdesain unik dan cantik yang Insta-worthy. Nggak bisa dipungkiri lagi deh. Berbagai hal Insta-worthy itu menjual banget di era seperti sekarang. Content, you know. Bahkan, beberapa hotel bujet yang mengusung desain interior unik pada akhirnya nggak lagi dipandang sebagai properti ekonomis. Saya sendiri kadang bingung ketika harus ngelompokkin properti seperti ini. Dibilang hotel budget, bukan. Dibilang hotel butik, juga bukan. Ujung-ujungnya saya selalu tag properti kayak ini ke dua kategori, budget dan midscale.

Di Bandung, ada salah satu properti milik Tauzia Hotels yang, selain lokasinya strategis gilingan alias gila, desain interiornya juga cucok meong wak (buset dah ini gue kesambet apa pake bahasa gaul terus?! Tobat, Hun!). Saya berkesempatan menginap di sini tahun kemarin bareng si Pak Suneo. Dia pilih properti ini, salah satunya karena dekat dari mal. “Supaya gampang liat-liat ke Uniqlo”, katanya. Ya, akses ke mal yang berada tepat di bawah hotel jadi salah satu keunggulan hotel ini.

Yello Paskal Bandung. Foto milik pihak manajemen hotel.

Yello Paskal Bandung adalah hotel bintang 3 yang berlokasi di Kompleks Paskal Hypersquare, Jalan Pasir Kaliki no. 25, Bandung. Properti kelas budget-midscale milik Tauzia Hotels ini merupakan hotel Yello pertama di Bandung. Saya sendiri sebelumnya sudah pernah nginap di Yello Hotel yang ada di Jakarta, tepatnya di Harmoni (udah dua kali sebetulnya. Review nanti menyusul, ya). Dari alamatnya, kita bisa tahu kalau properti ini ada di kompleks perbelanjaan yang nge-hits di Bandung. Lebih tepatnya lagi, tower hotel berada di atas bangunan Paskal 23, mal upscale yang sering jadi tujuan nongkrong anak gahol Bandung, walaupun saya lebih suka ke Paskal Food Market-nya daripada ke malnya.

Dilansir dari situs web resmi hotel, Yello Paskal Bandung mengedepankan seni urban dan teknologi sebagai keunggulannya, serta menargetkan netizen sebagai target tamunya. Well, nggak aneh sih karena dari segi desain, interior-interior hotel, baik ruang publik maupun kamar tamu menampilkan gaya yang youthful dan Instagrammable banget. Sayangnya, situs web resmi hotel nggak banyak menawarkan informasi tentang hotel itu sendiri. Untungnya, masih ada Tripadvisor yang jadi sumber referensi saya. Dilansir dari Tripadvisor, hotel Instagrammable di Bandung ini punya 105 kamar yang terbagi ke dalam dua tipe: Yello Room dan Yello Suite. Nah, yang Yello Suite ini, saya juga nggak dapet banyak informasi. Namun, dari fotonya sih yang jelas kamar terlihat lebih luas dengan sofa memanjang di samping jendela. Soal fasilitas, ada restoran, ruang rapat, kolam renang, netzone, dan gaming station.

Saat berkunjung, saya menginap di kamar tipe Yello Room. Selama menginap, akses cepat ke mal jadi hal yang bikin saya senang. Gimana nggak? Mau cari makan jadi gampang. Namun, ada juga kendala yang menurut saya signifikan dan menyebalkan ketika menginap. Ulasan dan cerita lengkapnya di segmen berikutnya, ya!

Desain Kamar

Tipe Yello Room di Yello Paskal Bandung memiliki luas 20 meter persegi. Ya, dari segi luas sih, pretty standard untuk ukuran hotel budget dan bintang tiga. Kamar yang saya tempati memiliki jendela dengan view ke arah utara. Jadi, dari kamar saya bisa lihat pemandangan Gunung Tangkuban Parahu. What a nice way to start the day.

Bicara soal angka, 20 meter persegi memang bukan ukuran yang benar-benar luas, terutama saat itu sudah termasuk kamar mandi. Namun penggunaan warna putih sebagai warna dominan dan warna kuning sebagai aksen membuat ruangan terasa luas dan lapang. Apalagi, jendela di ujung ruangan pun besar dan lebar. Sinar matahari juga bisa banyak masuk ke ruangan. Oh, ya! Mohon maaf sebelumnya. Foto diambil waktu tirai jendela ditutup. Nggak ngerti deh si Pak Suneo malah nutup tirai. Silau dan panas, katanya.

Secara umum, skema warna yang diterapkan pada interior adalah putih, kuning, dan abu-abu tua. Komposisi warna ini menurut saya sih sudah pas dan nggak nabrak. Saya malah ingat dulu waktu masih pakai WinAmp di komputer (ada yang inget WinAmp), saya download custom skin dari internet. Nah, si skin ini bertema keju dan skema warna yang digunakannya adalah putih, kuning, dan abu-abu. Di samping jendela, ada chaise lounge berdesain kontemporer dengan beberapa throw pillow, serta meja kerja dengan lampu gantung yang kelihatan seperti awan mini di atasnya.

Di dekat kamar mandi, ada lemari dengan mural kartun yang menjadi salah satu focal point di kamar. Mural serupa juga saya temukan saat menginap di Yello Hotel Harmoni. Sesuai dengan konsep hotel, harus ada elemen seni di kamar. Selain mural, aspek urban art juga tercermin dari slippers yang tersedia. Sendalnya didesain kayak sneakers. Gemes! Fasilitas lain yang tersedia di kamar mencakup coffee/tea maker, electronic safe, dan TV. Sayangnya, di kamar nggak ada mini fridge. Buat yang ingin bawa makanan/minuman, pertimbangkan hal ini ya sebelum bawa makanan atau minuman ke kamar.

Kamar Mandi

Kamar mandi untuk tipe Yello Room di Yello Paskal Bandung memiliki luas yang terbatas. Interiornya didominasi ubin warna abu-abu muda yang dipasang dalam pola running bond. Nah, biasanya pemasangan ubin dalam pola running bond identik dengan gaya Industrial. Namun, kesan Industrial tidak terasa di kamar mandi karena ukuran ubin yang besar, warnanya yang masih gelap, serta nat-nya yang bukan hitam. And I think the developer didn’t intend to design the bathroom in Industrial style.

Semua area kamar mandi serba terbatas dari segi ruang. Area shower-nya segitunya dan hanya dipisahkan sebagian sisinya oleh dinding kaca. Walhasil, air tetap bisa nyiprat ke area kamar mandi yang lain. Namun, yang saya suka dari kamar mandi ini adalah keluaran air dari shower yang kencang, serta sabun dan sampo yang punya aroma citrus. Cermin berbentuk segi empat dengan sudut rounded dipercantik dengan lampu neon yang terpasang dalam cermin. Kesannya mencoba edgy, meskipun kurang greget atau ampuh untuk bikin kamar mandi terlihat lebih stylish. Perlengkapan lain yang tersedia di kamar mandi mencakup alat mandi pribadi dan gelas untuk kumur-kumur. Tidak ada hair dryer di kamar mandi.

Fasilitas Umum

Kolam Renang

Salah satu fasilitas unggulan di Yello Paskal Bandung adalah kolam renangnya. Berada di lantai lobi, kolam renang hotel menawarkan view pusat kota Bandung yang lumayan keren, terutama di sore hari. Ukuran kolam memang nggak besar, tetapi ya cukup besar lah buat sebatas bolak-balik dari ujung ke ujung. Kolam anak juga tersedia dan terpisah dari kolam dewasa.

Sebagian area kolam diteduhi oleh bangunan tower. Seating area yang ada terbatas dan yang bikin saya greget adalah, jarak dari ujung lounger ke dinding pembatas kolam terlalu dekat. Lebih tepatnya lagi, lebar jalur pejalan kaki terlalu sempit sehingga orang-orang yang lalu lalang akan kerasa terlalu dekat dengan orang yang lagi tiduran atau santai di lounger. Secara pribadi, saya sih akan ngerasa risih ketika lagi tiduran santai, dan orang dalam jarak dekat bolak-balik di depan saya. Air di kolam renang ini tidak hangat. Namun, karena konsep kolam yang outdoor dan kemungkinan terpapar cahaya matahari, sepertinya sih nggak begitu dingin. Maklum, waktu menginap saya nggak berenang. Oh, ya. Di dekat kolam renang, sebenarnya ada semacam taman kecil. Namun, menurut saya sih tamannya bukan tipikal taman-taman scenic—lebih ke arah area transisi antara kolam renang dan pintu masuk ke hotel.

Restoran & Lounge

Untuk bersantap, para tamu di Yello Paskal Bandung bisa ke restoran yang berada di lantai lobi. Nah, reservasi si Pak Suneo nggak mencakup sarapan. Walhasil, saya nggak bisa mencicipi menu sarapan yang ditawarkan di restoran ini. Namun, saya tetap ambil foto restorannya sehingga setidaknya bisa bahas aspek arsitekturnya.

Area restoran di Yello Paskal Bandung cukup luas. Di salah satu sisi ruangan, bahkan ada dua meja kayu panjang, masing-masing untuk delapan orang. Saya rasa meja ini bisa dipakai untuk rapat kecil atau semacamnya. Dilihat juga dari banyaknya station yang ada, sepertinya menu sarapan yang ditawarkan sangat beragam. Interior restoran mengusung desain kontemporer yang youthful, thanks to walls lined with colorful geometric-patterned wallpaper. Warna-warna bumi terlihat dari penggunaan furnitur dan beberapa kursi bahkan memiliki bantalan dan sandaran berwarna hijau zamrud (earthy banget, ‘kan?). Area tengah restoran dipercantik juga dengan coffered ceiling dengan pola checkerboard supaya selaras dengan desain wallpaper.

Sebagai ekstensi area restoran, di alley menuju ruang-ruang rapat dan musala ditempatkan beberapa meja dan kursi. Di lounge sendiri ada beberapa meja dan kursi makan, tentunya untuk mengantisipasi kekurangan meja dan kursi kalau okupansi hotel sedang tinggi. Area lounge diterangi oleh cahaya alami dari jendela-jendela besar yang dipasang di setiap sisi ruangan. View dari jendela, ya, lumayan bagus sih. Di salah satu sudut ruangan, ada instalasi seni berbentuk seperti pohon natal.

Gaming Station

Fasilitas yang saya sempat coba saat menginap di Yello Paskal Bandung adalah gaming station-nya. Berada di lantai lobi, area permainan ini dilengkapi televisi, mesin Xbox dan meja fussball. Di area ini juga ada beberapa tablet yang bisa digunakan pengunjung.

Karena ada Xbox, saya dan Pak Suneo pun main dan game yang kami pilih adalah Just Dance. Lumayan lah buat berkeringat. Lagu-lagu yang tersedia memang nggak banyak, tapi saya cukup terhibur dengan duel joget Waka Waka-nya Shakira dan New Face-nya PSY. Sayangnya, area yang tersedia kurang luas buat nge-dance, terutama dengan adanya meja dan kursi untuk para pengguna tablet. Walhasil, kami pun nggak bisa bergerak dengan leluasa dan beberapa kali saya keluar dari sensor konsol karena bergerak terlalu jauh.

Oh, ya! Di sini hanya tersedia satu televisi dan satu konsol. Jadi, kalau lagi rame, you might expect antrean yang lumayan panjang. Untungnya waktu itu, saya dan Pak Suneo datang duluan pas gaming station masih kosong dan bisa main lebih lama.

Lokasi

Ngomongin soal lokasi, Yello Paskal Bandung bisa jadi salah satu opsi hotel Instagrammable di Bandung yang dekat dari Stasiun Bandung. Pasalnya, hotel ini bisa ditempuh dalam waktu kurang dari 5 menit dari Stasiun Bandung menggunakan kendaraan bermotor (tentunya selama jalanan nggak macet). Mau apa-apa juga gampang karena hotel ini berada di kompleks Paskal Hypersquare. Mau belanja, tinggal turun ke Paskal 23. Mau makan? Di Paskal 23 juga ada banyak restoran dan kafe. Ingin nongkrong malem-malem? Di belakang Paskal 23 ada Paskal Food Market yang konon punya 1.001 menu (saya nggak pernah ngitung sih), tapi tempatnya lumayan asyik buat nongkrong bareng temen-temen, terutama dengan konsep outdoor-nya (tapi bakalan misbar kalau hujan, meskipun ada juga area tertutupnya).

Di luar kompleks Paskal Hypersquare, Yello Paskal Bandung juga cukup dekat ke tempat-tempat lain, seperti Taman Balai Kota Bandung dan Alun-Alun Bandung. Kalau dari Bandara Internasional Husein Sastranegara, hotel ini bisa ditempuh dalam waktu sekitar 15 menitan dengan kendaraan bermotor.

Pelayanan

Segmen ini memuat pendapat saya mengenai pelayanan yang diberikan pihak hotel. Apa yang saya tulis bersifat subjektif dan bukan merupakan informasi umum, dan lebih merupakan pendapat pribadi. Experience yang saya alami bisa jadi berbeda dari apa yang orang lain alami. Tulisan dalam segmen ini tidak ditujukan untuk menjelek-jelekkan atau menurunkan reputasi hotel. Jika informasi yang saya tulis bersifat positif, semoga manajemen hotel bisa tetap menjaga kualitas layanannya. Jika bernada negatif, semoga bisa menjadi bahan perbaikan bagi pihak hotel. 

Selama menginap di Yello Paskal Bandung, sebetulnya saya nggak mengalami kendala ketika masih menginap. Menurut saya, staf yang bertugas ramah-ramah. Baik saya maupun Pak Suneo nggak banyak berinteraksi dengan staf hotel memang, tetapi sebagian staf yang berinteraksi langsung menunjukkan keramahan. Waktu saya kebingungan nyari Just Dance di Xbox pun, salah satu staf hotel dengan ramah mencoba bantu saya nyariin game itu dan betulkan controller yang rusak.

Hanya saja, masalah yang menurut saya signifikan dan mengesalkan terjadi setelah check-out dari hotel. Setelah check-out? Kok bisa? Jadi, gini ceritanya. Karena saya datang pakai mobil, saya pun otomatis dapat kartu tiket parkir. Nah, kartu tiket parkirnya ini sama dengan tiket parkir ke area Paskal Hypersquare. Ya, lebih tepatnya sih, saya dapat tiket parkir saat masuk ke Paskal Hypersquare, dan tiket itu juga berfungsi sebagai tiket parkir mobil hotel (lha wong parkir mobilnya aja di parkiran Paskal 23). Supaya nggak perlu bayar parkir, saya harus lapor ke pihak resepsionis. Nah, waktu itu saya lapor ke resepsionis dan staf yang bertugas kasih saya satu tiket baru yang menunjukkan bahwa saya itu tamu hotel. tiket itu nanti tinggal dikasihkan bersama kartu tiket parkir utama ke petugas parkir pas mau pulang.

Ketika mau keluar dari Paskal Hypersquare, si petugas parkir nagih lagi satu tiket. Saya bingung harus kasih tiket yang mana lagi. Ternyata, tamu hotel harus memberikan dua tiket tambahan. Jadi, satu tiket yang saya dapat dari staf itu hanya berlaku untuk satu hari. Kalau ingin gratis selama masa menginap (Sabtu-Minggu), saya harus dapat dua tiket, dan staf yang bertugas hanya kasih saya satu tiket (buat Sabtu aja). Karena saya stay dari Sabtu ke Minggu, dan saya hanya dikasih satu tiket, otomatis si gratisnya itu nggak berlaku dan saya kena charge parkir dari Sabtu ke Minggu. Lumayan tuh sekitar 70 atau 80 ribu, ya, saya lupa juga. Yang jelas saya sama si Pak Suneo sampe kewalahan nyariin uang tunai dan itu bikin saya sampai emosi dan marahin petugas parkirnya (dia juga ngomongnya ketus sih soalnya).

Akhirnya, si Pak Suneo telepon pihak hotel dan marah-marah dia di telepon. Saya juga ikut kesal karena si staf resepsionis yang bertugas kenapa hanya kasih satu tiket, dan bukan dua tiket. Kalau dia tahu bahwa peraturannya adalah tamu harus kasih dua tiket, kenapa dia hanya kasih satu tiket? Untungnya saya masih ingat nama stafnya. Jadi, ketika pihak hotel tanya siapa staf yang kasih saya tiket, saya bisa jawab siapa. Itu pengalaman yang menyebalkan dan jujur aja bikin saya sempat males main ke Paskal 23 (in fact, saya sangat jarang main ke mal itu karena selain jauh, nggak ada banyak hal di sana). Pihak hotel memberikan pengembalian dana ke si Pak Suneo untungnya.

Meskipun memang terjadi di luar masa menginap, kendala tersebut bikin baik saya dan Pak Suneo jadi kesal dan agak pikir-pikir lagi kalau ingin stay di sana. Ya, harapannya sih masalah yang sama jangan sampai terjadi lagi dan staf hotel juga mohon lebih teliti lagi.

Kesimpulan

Berada di kompleks mal yang terkenal dan jadi salah satu destinasi favorit turis domestik (terutama orang-orang Jakarta), Yello Paskal Bandung adalah hotel di Bandung yang menawarkan akses cepat ke mal dan interior kamar yang eye-catching. Dengan konsep interior yang youthful, properti ini lebih cocok buat liburan bareng teman. Namun, keluarga atau pebisnis juga sah-sah aja nginep di sini. Nggak ada larangan kok.

Interior kamar mengusung desain playful ala Yello. Ya, properti-properti Yello punya ciri khasnya tersendiri dari segi desain interior. Palet monokrom dengan sentuhan kuning sebagai colour pop jadi salah satu karakter desain interior Yello. Fasilitas yang tersedia di kamar dirasa sudah cukup, meskipun kalau ada hair dryer, kayaknya akan lebih lengkap. Slippers dengan desain sneakers jadi hal yang saya rasa cute. Sayangnya, saya nggak bawa pulang slippers-nya.

Fasilitas yang ditawarkan sudah cukup mumpuni untuk properti bintang tiga. Apalagi, di hotel ini ada kolam renang dan gaming station, dua fasilitas unggulan yang menurut saya jadi daya tarik tersendiri. Semua properti Yello punya gaming station dan fasilitas olahraga, either a gym or a swimming pool. Tersedianya musala dan meeting room juga membuat properti ini cocok buat mengadakan acara-acara formal.

Akses cepat ke Paskal 23 juga jadi kelebihan tambahan properti ini. Buat yang seneng belanja, Yello Paskal Bandung bisa jadi pertimbangan saat pilih hotel. Paskal 23 sendiri baru berdiri selama sekitar 3-4 tahunan dan jadi salah satu mal middle-upper scale di Bandung dengan tenant-tenant yang cukup terkenal seperti Zara, Uniqlo, H&M, Pull & Bear, dan Puma. In fact, Uniqlo pertama di Bandung itu dibuka di sini. Selain itu, jaraknya dari Stasiun Bandung juga jadi salah satu aspek unggulan properti ini.

Namun, kejadian kurang menyenangkan yang saya alami bikin saya jujur masih agak “trauma”. Mungkin lebih tepatnya, hal tersebut bikin saya secara pribadi mikir-mikir lagi untuk berkunjung ke sini. Saya percaya sih bahwa masalah seperti itu bisa dicegah dengan komunikasi sejak awal, tetapi setidaknya untuk sekarang, saya akan menghindari trigger trauma dulu.

Tripadvisor menyebutkan bahwa rate kamar di sini berkisar 250-514 ribu rupiah. Namun, di Agoda sendiri saya sering lihat properti ini rata-rata berada di kisaran 450 ribuan per malam. Terlepas dari kendala yang saya alami, Yello Paskal Bandung sangat bisa menjadi opsi akomodasi yang nggak hanya menarik dari segi desain, tetapi juga strategis dari aspek lokasi.

Pros & Cons

👍🏻 Pros

  • Lokasi hotel sangat strategis. Dekat dari Stasiun Bandung. Ada mal di bawah. Di area Paskal Hypersquare sendiri ada banyak kafe dan restoran, terutama Paskal Food Market yang konon punya 1.001 menu (saya nggak pernah hitung sih).
  • Desain interior kamar cukup Insta-worthy, terutama dengan skema warna yang eye-catching.
  • Fasilitas yang tersedia cukup lengkap, terutama karena ada gaming station.
  • Rate hotel masih terbilang terjangkau.
  • Slippers-nya lucu ✨

👎🏻 Cons

  • Masalah serius yang saya alami bikin saya secara pribadi agak “trauma”.
  • Pilihan tipe kamar yang tersedia nggak banyak.

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌⚪️⚪️
Desain: 😆😆😆😆😶
Lokasi: 🤩🤩🤩🤩🤩
Harga: 💰💰

Review: Crowne Plaza Bandung

Sebagai urang Bandung, saya sering mengamati perkembangan yang terjadi di kota saya, terutama di kawasan pusat kota dan area-area yang sering didatangi atau dilewati. Hotel baru, restoran baru, kafe baru, dan semacamnya. Flashback ke beberapa tahun silam, di Jalan Lembong ada bangunan pencakar langit yang sedang dibangun. Saya dapat informasi dari satu utas di Skyscrapercity kalau bangunan tersebut awalnya akan jadi Plaza Panasia, dan pembangunannya sudah dimulai dari tahun 1997. Dari strukturnya, bangunan ini kelihatan megah dan, terutama sebelum bangunan-bangunan tinggi mulai dibangun di sekitarnya, bangunan itu jadi hal yang menonjol. Namun, konstruksinya terhenti dan bangunan pun sempat mangkrak lama. Bisa dibilang lama banget soalnya sampai saya SMP, SMA, dan kuliah semester awal, nggak ada perubahan signifikan. Sempat jalan lagi, tapi berhenti lagi. Saya nggak tahu alasannya apa, sementara di sekitarnya udah mulai banyak bangunan pencakar langit lain. Dan akhirnya, konstruksi pun berjalan lagi dan saya mulai bisa lihat mau jadi seperti apa bangunan tersebut. Sekarang, bangunan ini berfungsi sebagai hotel bintang 5 di Bandung yang bulan Agustus kemarin sempat saya kunjungi.

review crowne plaza bandung

Crowne Plaza Bandung adalah hotel bintang 5 yang berlokasi di Jalan Lembong nomor 19, Bandung. Hotel ini (at least sampai saat tulisan ini terbit, ya) merupakan satu dari 3 properti IHG yang ada di Kota Kembang. Buat nyari hotel ini nggak susah karena bangunannya yang tinggi (23 lantai) bikin hotel ini gampang dikenali. Ditambah lagi, fasadnya megah dan ada satu bagian bangunan yang berbentuk melingkar. Ikonik. Saya takjub karena dari bangunan yang sempat mangkrak bertahun-tahun, akhirnya jadi hotel mewah yang—well—stylish.

Menurut informasi dari Tripadvisor, hotel mewah di Bandung ini punya 270 kamar. Dari situs resmi hotel, saya lihat ada 9 tipe kamar yang tersedia di Crowne Plaza Bandung. Soal fasilitas pun, hotel ini menawarkan pilihan yang beragam dan mumpuni. Ada gym, restoran, sky lounge, poolside bar, kolam renang, kids’ corner, spa, ruang rapat, dan ballroom. Sayangnya, waktu saya menginap, saya nggak bisa mencoba sebagian besar fasilitas hotel karena berdasarkan peraturan kota yang berlaku, beberapa fasilitas masih belum bisa dibuka. Sebetulnya, fasilitas seperti kolam renang bisa digunakan sih, tetapi di akhir pekan saja. Duh! Padahal saya pengen banget coba berenang dan nyantai di outdoor whirpool-nya. Gym, kids’ corner, dan sky lounge juga masih tutup waktu saya menginap, tapi saya sempat ambil dokumentasi buat fasilitas-fasilitas itu.

Salah satu hal yang saya suka dari hotel ini adalah lokasinya. Bukan hanya sekadar karena berada di pusat kota (dan bisa lihat lampu-lampu kalau malam), tapi juga karena jaraknya yang dekat ke mana-mana. Kawasan Jalan Braga, salah satu ikon Bandung bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama 5 menit aja dari hotel. Oh, ya! Waktu berkunjung, saya menempati kamar tipe Deluxe dengan 2 single bed. Awalnya, saya rencana nginap dengan kakak saya, tapi karena satu dan lain hal, dia nggak bisa datang. Walhasil, si kasur yang satu lagi pun kosong dan saya langsung taruh koper dan laptop di atasnya supaya kasurnya nggak kosong melompong. Sempat ada insiden kecil waktu saya menginap, tapi saya apresiasi bantuan dan langkah dari pihak hotel. Saya pun dipindahkan ke kamar lain, tapi jadi ke kamar tipe King Junior Suite (terima kasih banyak, Crowne Plaza Hotel dan Pak Julius selaku GM hotel!). Ulasan lengkapnya di segmen berikutnya, ya!

Desain Kamar

Deluxe 2 Single Bed

Saya menginap selama 3 hari dua malam di hotel mewah di Bandung ini. Untuk malam pertama (eh? sama siapa?), saya menempati kamar tipe Deluxe dengan 2 single bed. Dengan luas 34 meter persegi, kamar ini terasa cukup luas meskipun ada dua tempat tidur. Nah, sebetulnya ada satu hal yang bikin saya bingung. Kalau saya buka aplikasi IHG di ponsel dan ngecek harga, untuk tipe kamar yang sama, beda arrangement tempat tidur, beda juga harganya. Ini berlaku untuk beberapa properti, ya, dan nggak hanya properti-properti di Bandung. Kamar dengan 2 single bed ditawarkan dengan harga yang lebih murah daripada kamar dengan 1 king bed (bedanya bisa sekitar 50-100 ribuan). Saya sempat tanya alasan perbedaan harga tersebut, dan jawabannya adalah “Karena lebih luas, Pak.” Padahal, bicara soal layout ruangan, mau 1 king bed atau 2 single bed, kamarnya tetap unya luas yang sama sebetulnya. Pada akhirnya, soal lebih luas atau sempit, itu karena ada satu furnitur tambahan, ‘kan?

Back to the review.

Bicara soal desain, semua kamar di Crowne Plaza Bandung punya interior bergaya kontemporer yang cukup stylish. Desain ini mengingatkan saya dengan saudaranya yang ada di Jakarta, Holiday Inn & Suites Gajah Mada. Palet warna earthy menjadi pilihan untuk interior kamar dan saya suka dengan accent wall berpola geometrik di belakang tempat tidur. Saya malah ingat satu area di Queen Elizabeth Walk di Singapura karena pola segi empatnya yang berundak. Area ini bahkan jadi salah satu setting di film Crazy Rich Asians (2018). Meskipun didominasi oleh warna-warna earthy yang lebih cerah dan muted, interior kamar masih terasa gelap. Entah karena jendelanya kurang besar atau karena memang pencahayaannya kurang banyak. Sebetulnya, kamar yang saya tempati ini layout-nya memang beda. Kalau lihat di foto-foto di galeri situs resmi hotel, jendela di kamar hotel ukurannya lebih lebar. Namun, kamar yang saya tempat punya dinding yang menjorok ke dalam sehingga jendelanya pun nggak selebar yang ditampilkan di foto. Kalau di malam hari, untuk tidur sih tingkat pencahayaannya sebetulnya nyaman. Namun, di sore hari atau malam hari sebelum tidur (pas masih nonton TV atau kerja, misalnya), saya rasa tingkat pencahayaannya masih kurang cerah.

Room amenities yang tersedia mencakup televisi 40 inci, alarm + Bluetooth speaker, WiFi, AC, tea/coffee maker, kulkas kecil, meja +kursi kerja, kursi lengan, dan meja kopi. Di atas meja kerja, ada cermin berbentuk lingkaran yang alih-alih fungsional, saya pikir lebih ke arah dekoratif karena posisinya cukup tinggi (atau mungkin saya yang terlalu pendek). Untuk yang mau touch up di meja kerja, bakalan susah sih karena harus berdiri, nggak bisa duduk. Jendela kamar saya menawarkan view ke arah utara. Yang bisa terlihat dari kamar adalah kolam renang dan bangunan-bangunan lain di sisi utara kota (terhalang sih sama Tera Residence, tapi gedung itu jadi background foto yang menurut saya sih cantik. Bisa dilihat di Instagram pribadi saya). Waktu saya tiba, di atas meja sudah tersedia buah-buahan segar, complimentary dari pihak hotel. Terima kasih banyak, Crowne Plaza Bandung!

Hal lain yang menarik perhatian saya di kamar ini adalah desain lemari pakaian. Lemari pakaian di kamar punya desain tertutup. Setrika, ironing board, bathrobe, slippers, dan electronic safe disimpan dengan rapi di dalam lemari. Hanya saja, gantungan yang tersedia nggak banyak. Di samping lemari, ada semacam panel kayu dengan desain Arabesque yang cantik. Tea/coffee maker dan kulkas ditempatkan di kabinet pendek di samping lemari.

Oh, ya! Waktu menempati kamar ini, saya sempat merasa kewalahan saat ngatur AC. Bukan karena saya nggak bisa pakainya, tapi karena suhunya tampaknya nggak berubah, meskipun saya udah atur dengan sesuai. Udara yang keluar terlalu dingin. Saya bahkan sampai atur ke suhu 28 dan kurangi kecepatan kipas pun masih dingin. Sempat saya matikan AC kamar karena suhu di kamar dingin banget dan alergi dingin saya agak kumat.

Kamar Mandi (Deluxe)

Untuk kamar mandi unit Deluxe di Crowne Plaza Bandung, ukurannya bisa saya bilang cukup luas. Interiornya didominasi marmer berwarna beige dan dilengkapi pencahayaan yang terang. Buat yang sudah baca review-review saya sebelumnya, mungkin tahu kalau saya nggak suka kamar mandi yang remang. Sebagai aksen, marmer berwarna hitam kecokelatan dipasang menyerupai “frame” yang mengelilingi cermin dan wastafel. Buat saya, elemen aksen ini yang bikin kamar mandi terlihat lebih elegan dan mewah, terutama dengan dua modern lantern yang digantung di sisi kiri dan kanan cermin. Kamar mandi unit Deluxe tidak dilengkapi his-and-hers sink, tapi berhubung saya nginep sendirian, hal ini nggak jadi masalah.

Kelengkapan kamar mandi mencakup timbangan, vanity mirror, dan hair dryer. Produk-produk mandi sudah jelas ada ya, dari shower gel, kondisioner, sampai grooming products. Untuk aromanya, buat saya sih nggak ada yang spesial. Ya, nice lah bisa dibilang. Yang saya suka dari kamar mandinya adalah adanya rainshower. Selain rainshower, shower tangan pun tersedia. Area shower ini cukup luas dan salah satu sisinya dipasangi kaca buram yang memisahkan kamar mandi dan area utama kamar. Pencahayaan juga bisa berasal dari kaca ini, terutama di siang hari.

Nah, di awal saya sempat bilang ada insiden, dan insiden tersebut terjadi di kamar mandi. Jadi, sebelum saya datang kamar tentunya dibersihkan dan didisinfektan terlebih dahulu. Langkah ini sangat saya apresiasi, terutama di masa wabah seperti sekarang. Namun, sepertinya staf housekeeping kurang teliti membersihkan sisa-sisa produk pembersihnya. Walhasil, di lantai kamar mandi saya lihat ada semacam bekas minyak atau produk pembersih. Awalnya, saya nggak pikirkan hal itu, tapi karena lantai yang licin, saya hampir jatuh di kamar mandi. Beruntung saya masih bisa jaga keseimbangan. Kalau nggak ‘kan mungkin saya jatuh dan kepala saya kebentur. Setelah kejadian itu, saya laporkan keluhan ke operator dan minta staf housekeeping datang untuk bersihkan lagi kamar mandi. Setelah dibersihkan lagi, untungnya lantai kamar mandi ngga begitu licin lagi, cuman tetap saja sih saya jadi agak was-was pas mandi.

Besoknya saat sarapan, saya ketemu dengan Pak Julius selaku GM Crowne Plaza Bandung. Ternyata, keluhan saya sampai ke beliau dan beliau minta maaf atas insiden yang saya alami. Kami juga ngobrol cukup lama, terutama soal pandemi dan dampaknya ke hotel. Ya, semoga aja pandemi ini (kalau pun tidak segera) bisa segera lebih terkendali. Oh, ya! Pak Julius juga menawarkan saya untuk pindah kamar dan ternyata, pindah kamar ini bukan sekadar pindah kamar. I got an upgrade!

King Junior Suite

Seperti yang saya bilang sebelumnya, saya bukan sekadar pindah kamar, tapi ternyata dapat upgrade. Terima kasih banyak, Pak Julius dan Crowne Plaza Bandung! Unit King Junior Suite punya luas 60 meter persegi, hampir dua kali lipat tipe kamar sebelumnya. Dari segi desain, interior kamar nggak jauh beda dengan interior kamar tipe Deluxe. Palet warnanya masih sama. Elemen-elemen dekoratif seperti accent wall-nya pun sama. Bedanya, di sini ada sentuhan warna teal pada coverlet tempat tidur dan throw pillow di three-seater sofa. Sepintas saya jadi ingat Garuda Airlines.

Dengan luas 60 meter persegi, tentunya ada banyak ruang di kamar ini. Room amenities yang tersedia pun sama, hanya dilengkapi dengan espresso maker dan sofa. Yang saya sayangkan adalah, untuk kamar dengan luas seperti ini, televisi yang dipasang ukurannya terlalu kecil. Namun, selama menginap saya nggak banyak nonton TV sih. Ya, nonton lah satu, dua, atau tiga film dari Celestial Movies, tapi selebihnya saya kerja, tidur, dan berendam. Tipe King Junior Suite juga punya jendela yang lebih besar dan tentunya full-height. View yang saya dapat masih sama, tapi dengan “layar” yang lebih lebar, rasanya lebih seru. Cahaya matahari yang masuk pun bisa lebih banyak. Sayangnya, waktu sore ternyata turun hujan deras dan yang awalnya niatnya mau menikmati matahari sore, malah jadi ngegalau sambil ngeteh di pinggir jendela.

Oh, ya! For your information, selama menginap di Crowne Plaza Bandung, saya nggak pergi ke mana-mana (kecuali di malam terakhir, pergi ke minimarket karena harus beli obat). Saya di hotel terus dan nggak pergi-pergi. Ngapain aja? Ya itu tadi: kerja, tidur, berendam. Bisa dibilang kunjungan kali ini gabungan antara kerja dan istirahat. Maklum, saya sering kurang tidur.

Di malam hari, pencahayaan di kamar bisa dibilang sudah cukup. Berbeda dengan tipe sebelumnya, entah kenapa di tipe ini kamar terasa lebih terang, meskipun dari segi jumlah, lampu yang tersedia ya kurang lebih sama aja dengan tipe sebelumnya. I had a goodnight sleep and woke up feeling refreshed.

Yang saya suka lagi dari tipe King Junior Suite adalah adanya walk-in closet. Kalau di tipe sebelumnya, storage pakaian tersedia dalam bentuk lemari tertutup, di tipe ini ada walk-in closet. Panel bergaya Arabesque digunakan sebagai double sliding door ke walk-in closet. Nah, karena walk-in closet di tipe ini besar, saya malah sempat mikir ini kelihatan kayak sauna. Coba lihat aja sendiri di foto. Di dalam walk-in closet, tersimpan setrika, ironing board, bathrobe, dan electronic safe. Karena pintunya masih ada lubang-lubang, saya rasa agak, what’s the word… Ya intinya sih kalau bawa tamu ke kamar, tamu tetap bisa lihat ke dalam walk-in closet. But still, it’s a pretty good-size walk-in closet… with a big mirror!

Kamar Mandi

Kamar mandi untuk tipe King Junior Suite di Crowne Plaza Bandung sebetulnya nggak jauh berbeda dari kamar mandi untuk tipe Deluxe dari segi desain. Interiornya didominasi marmer berwarna beige. Frame marmer berwarna hitam kecokelatan pun bisa ditemukan mengelilingi cermin yang dimensinya lebih panjang. Modern lantern pun dipasang di area wastafel sebagai sumber pencahayaan sekaligus elemen dekorasi yang mewah. Untuk tipe ini, wastafel yang tersedia juga hanya satu, bukan his-and-hers sink.

Perbedaan utama yang ada pada kamar mandi ini adalah hadirnya bathtub. Ukurannya cukup panjang untuk satu orang. Apalagi, saya kan pendek. Jadi bathtub terasa lapang saat dipakai berendam. Keluaran air dari keran pun deras dan suhu air panasnya stabil (nggak mengalami penurunan atau “ngadat”). Dari segi luas, saya pikir nggak berbeda secara signifikan dengan kamar mandi di tipe sebelumnya sebetulnya. Kamar mandi di tipe ini terasa lebih luas, saya pikir karena sudut yang tadinya shower area digunakan untuk bathtub. Menghilangnya dinding kaca pemisah shower area membuat ruang terasa tambah luas. Ditambah lagi, penggunaan cermin yang bentuknya memanjang dan dibingkai marmer berwarna gelap makin memberikan kesan space yang besar.

Di sisi ruangan yang lain, ada kloset dan shower area. Karena dipindahkan ke sudut, walhasil luas shower area pun berkurang. Namun, ukurannya tetap cukup besar untuk bergerak leluasa. Shower tangan dan rainshower tetap tersedia di sini. Perlengkapan kamar mandi lainnya seperti timbangan, hair dryer, vanity mirror, dan produk-produk kebersihan ada di bathroom counter. So far, saya nggak punya keluhan soal kamar mandi. Saya bisa berendam dengan nyaman dan pakai bath salt. Apalagi, ada jendela kaca di samping bathtub. Saya tinggal pindahkan channel TV, besarin volumenya, dan nonton sambil berendam.

Fasilitas Umum

Mosaic All Day Dining Restaurant

Sebagian besar dining venue di Crowne Plaza Bandung berada di lantai dasar. Sebagai restoran utama hotel, ada Mosaic All Day Dining Restaurant. Sarapan diadakan di restoran ini. Hal pertama yang saya perhatikan adalah ukuran restoran. Luas banget! Bahkan, ada semi-outdoor area juga yang digunakan sebagai area merokok. Ada beberapa ruang VIP yang cocok untuk rapat atau sekadar makan dalam suasana yang lebih privat. Di sisi barat restoran, ada The Deli yang menyediakan berbagai dessert, kopi, dan teh.

Dilansir dari situs resmi hotel, Mosaic All Day Dining Restaurant di Crowne Plaza Bandung bisa menampung maksimal 214 pengunjung. Restoran ini juga mengusung konsep open kitchen. Jadi, sambil ngider nyari makanan, pengunjung juga bisa melihat para koki dan staf restoran memasak hidangan. Saya sempat main ke sini saat restoran tutup untuk ambil foto-foto, tapi saya takjub saat keesokan harinya. Ya, karena tutup, lampu-lampu restoran jadi dimatikan. Namun, saat dinyalakan, saya cukup kagum dengan interiornya.

Pada dasarnya, interior restoran didominasi palet warna netral. Skema warna yang sama juga berlaku untuk furnitur-furnitur restoran. Namun, sebagai color pop, dipasang beberapa panel kaca sandblast dengan warna transparan, biru aquamarine, dan ungu. Bahkan, di tengah restoran, ada island counter besar dengan pilar yang membentuk semacam payung atau cendawan di atasnya. Nah, waktu saya sarapan, si pilar ini diterangi lampu-lampu neon berwarna putih kebiruan dan ungu. Ada sedikit kesan cyberpunk yang saya tangkap dari penggunaan lampu-lampu tersebut, tapi hal tersebut nggak lantas menghilangkan keeleganan interior restoran. Melihatnya, saya langsung inget salah satu setting di sebuah drama Korea: bar di Hotel del Luna!

Soal menu sarapan, untuk ukuran hotel bintang 5 mungkin variasinya setara hotel bintang 4, tapi segi rasa sih udah decent. Salah satu alasannya mungkin karena tingkat okupansi yang sedang rendah dan kondisi juga sedang pandemi (hotel-hotel masih pada adaptasi tentunya). Kalau situasi sudah jauh lebih baik, mungkin station-station yang lain akan dibuka dan opsi makanan jadi jauh lebih beragam. Saya sendiri memang nggak banyak makan, tetapi buat saya, menunya sudah cukup lah. Untuk teh, kita bisa minta ke staf yang bertugas. Pilihan tehnya juga cukup variatif. Waktu saya menginap, tingkat okupansi hotel sedang rendah dan restorannya sepi. Selain itu, protokol yang berlaku juga ketat. Namun, saya senang karena saya duduk pun nggak perlu takut terlalu berdekatan dengan orang lain. Para tamu yang datang juga duduknya saling berjauhan.

Gym, Kolam Renang, dan Kids Corner

Sebagai fasilitas kebugaran, ada gym di Crowne Plaza Bandung. Seperti yang saya bilang sebelumnya, sebagian fasilitas hotel belum berfungsi saat saya menginap, dan salah satunya adalah gym. Namun, saya bisa ngintip ke dalam gym untuk melihat keadaannya. Dari segi ruangan, gym di hotel ini bisa dibilang sangat luas. Jenis peralatan yang tersedia juga beragam, tetapi dari segi jumlah, bisa dibilang terbatas. Untuk ukuran gym seluas ini, jumlah peralatan yang ada rasanya terlalu sedikit.

Salah satu keunggulan gym di sini menurut saya adalah view yang ditawarkan dari jendela. Dengan pemandangan kota Bandung, sesi olahraga rasanya akan terasa lebih mengasyikkan. At least, ada sesuatu buat ditonton lah sambil lari di atas treadmill. Jujur agak sedih rasanya karena saya nggak bisa bahas lebih mendalam soal gym di Crowne Plaza Bandung karena fasilitas sedang tutup dan saya nggak bisa pakai fasilitas tersebut untuk merasakan sendiri secara langsung pengalamannya.

Berada satu lantai dengan gym, ada kids corner untuk anak-anak (ya iya lah! Namanya aja kids corner). Area ini sangat luas dan, seperti halnya area bermain anak-anak pada umumnya, didekorasi dengan warna-warni ceria. Kids corner juga tutup saat saya berkunjung ke sana.

Di salah satu sisi ruangan, terdapat mainan anak-anak seperti perosotan dan rumah-rumahan. Di sisi yang berseberangan, ada beberapa meja dan kursi supaya anak-anak bisa mewarnai, menggambar, atau bermain. Saya nggak tahu apakah di dekat area seluncur ada ball pit apa nggak, tapi kalau ada, kayaknya akan lebih seru. Maklum, waktu kecil saya seneng banget kalau diajak main ke ball pit atau mandi bola. Padahal, dulu rame banget isu yang beredar kalau mandi bola itu wahana yang berbahaya bagi anak karena katanya di dalamnya ada silet dan, bahkan, ular berbisa. Sebetulnya sih kalau soal bahaya, ya bisa aja ada, tapi kalau soal silet sih kayaknya berlebihan. Kalau soal hewan atau bekas urine, memang bisa terjadi.

Fasilitas unggulan Crowne Plaza Bandung yang sayangnya nggak bisa saya coba adalah kolam renangnya. Damn! Ini kolam luas dan keren banget padahal! Waktu saya tiba di kamar, saya langsung lihat kolam renang dan sempat bingung karena area kolam kelihatan sepi. Saya pun tanya ke resepsionis dan ternyata kolam renang hotel hanya beroperasi di akhir pekan. Duh!

Kolam renang berada satu lantai dengan gym dan kids corner. Kalau kebetulan lagi nginap di hotel dan ada fasilitas gym dan kolam renang, saya sih biasanya nge-gym dulu sebentar, lalu berenang, lalu pakai sauna/jacuzzi sebelum mandi dan ganti baju. Nah, di Crowne Plaza Bandung, fasilitas-fasilitas itu tersedia, tapi sayangnya saya nggak bisa pakai. Walhasil, selama menginap pun nggak olahraga. Aduh!

Desain kolam renang di hotel ini bisa dibilang unik. Dengan bentuk memanjang, area kolam anak menyatu dengan kolam dewasa. Namun, area kolam anak yang dangkal mengelilingi area kolam dewasa yang berada di tengahnya. Bisa dibilang sih area kolam anak ini jadi semacam frame untuk area kolam dewasa. Tidak ada pemisah yang sifatnya permanen antara kolam anak dan kolam dewasa so parents, watch your kids! Ada dua area shower di sekitar kolam. Whirlpool berada di salah satu sisi kolam renang. View yang ditawarkan di area kolam renang juga sebetulnya lumayan bagus. Di area kolam renang juga ada poolside bar buat yang ingin beli minuman dan camilan.

Infinite Lounge and Resto

Crowne Plaza Bandung punya sky lounge bernama Infinite Lounge and Resto. Berada di lantai 22, lounge cantik ini menawarkan pemandangan kota Bandung sebagai daya tarik utamanya. Interior lounge mengusung desain rustic yang didominasi elemen-elemen kayu dan warna-warna earthy yang selain homy, juga membangun kesan elegan dan seksi.

Seperti halnya kolam renang dan gym, sky lounge ini pun tidak beroperasi. Padahal, tempat ini cocok banget buat nongkrong bareng teman atau romantic dinner dengan pasangan. Sofa-sofa bulky berbahan kulit ditempatkan di sisi railing dan jendela yang menghadap ke arah kota. Area lounge sendiri berbentuk setengah lingkaran (karena di sisi yang lain masih ada juga area lounge) sehingga view yang didapatkan dari sini tentunya bagus dan lebih beragam. Melangkah masuk ke sini, saya menangkap kesan rustic lodge di hutan atau pegunungan. Maklum, elemen kayunya dominan soalnya.

Di Infinite Lounge and Resto juga ada wine shop. Makanya, tempat ini cocok buat ketemu teman, ngobrol dengan rekan kerja, atau makan malam romantis dengan pasangan. Seadainya fasilitas ini buka waktu saya menginap, kayaknya malam-malam saya akan nongkrong di sini cukup lama. Ya, mungkin sambil nge-YouTube, beresin kerjaan, dan lihat pemandangan kota.

Connexion Lobby Lounge

Berlokasi di lantai lobi, Connexion Lobby Lounge bisa jadi dining venue alternatif di Crowne Plaza Bandung. Dengan atmosfer santai nan elegan, lounge ini merupakan tempat yang pas buat ngobrol dengan teman atau keluarga di sore hari, atau buat sekadar kerja. Desain kontemporer dengan warna-warna earthy diusung di sini. Meja dan kursi yang tersedia pun cukup banyak. Ditambah lagi, ada bar di sini. Cocok buat yang seneng nge-beer.

Di sisi selatannya, terdapat seating area yang saya pikir lebih elegan dan mewah. Area ini dipercantik dengan kursi lengan yang empuk berwarna violet dan oranye sebagai colour pop yang membuat interior terlihat makin hidup. Dengan langit-langit setinggi dua lantai, area ini saya pikir lebih cocok dijadikan tempat pertemuan yang sifatnya semiformal, apalagi dengan lantai karpet yang membuat suasana terasa lebih hangat.

Lokasi

Berdiri di pusat kota, Crowne Plaza Bandung jadi salah satu akomodasi bintang lima unggulan di kota Bandung. Pasalnya, meskipun bukan berada di jantung keramaian, hotel ini dekat dari mana-mana. Salah satu kawasan yang layak disambangi pas nginap di sini adalah Jalan Braga. Dari hotel, kawasan Jalan Braga bisa ditempuh dengan jalan kaki selama 5 menit aja. Deket kok! Nggak jauh dari hotel, ada kawasan Jalan Sumatera yang di kiri kanannya banyak restoran dan kafe (dulu ada restoran favorit saya, namanya Indischetafel. Sayangnya restoran ini udah tutup 😢).

Dari Jalan Braga, kalau lanjut jalan lagi bisa sampai ke Alun-Alun Bandung. Kawasan ini berjarak sekitar 10-15 menit dengan berjalan kaki. Soal cari makan, sebetulnya nggak susah sih ketika kita menginap di Crowne Plaza Bandung. Di Jalan Braga, silakan pilih sendiri deh restoran dan kafe yang diinginkan. Ada juga Braga Citywalk, mal dengan beberapa pilihan restoran dan kafe. Di kawasan Alun-Alun Bandung sendiri ada banyak restoran dan kafe yang bisa dikunjungi. Untuk minimarket, kita memang harus jalan kaki ke Jalan Braga atau Naripan (ya kurang lebih 5 menitan) karena minimarket terdekat adanya di dua jalan itu.

Faktor lokasi membuat hotel ini juga menawarkan view kota Bandung yang keren. Jendela-jendela yang menghadap ke utara menawarkan view jalan Dago dan Gunung Tangkuban Parahu. Sayangnya, untuk beberapa kamar, view akan terhalangi oleh gedung Tera Residence. Kamar-kamar dengan jendela yang menghadap ke selatan punya view kawasan Jalan Asia Afrika.

Dari Stasiun Bandung, hotel ini bisa ditempuh dalam jarak sekitar 10-15 menit menggunakan kendaraan bermotor. Kalau dari Bandara Internasional Husein Sastranegara, waktu tempuhnya sekitar 15-20 menit, tergantung kondisi lalu lintas.

Pelayanan

Segmen ini memuat pendapat saya mengenai pelayanan yang diberikan pihak hotel. Apa yang saya tulis bersifat subjektif dan bukan merupakan informasi umum, dan lebih merupakan pendapat pribadi. Experience yang saya alami bisa jadi berbeda dari apa yang orang lain alami. Tulisan dalam segmen ini tidak ditujukan untuk menjelek-jelekkan atau menurunkan reputasi hotel. Jika informasi yang saya tulis bersifat positif, semoga manajemen hotel bisa tetap menjaga kualitas layanannya. Jika bernada negatif, semoga bisa menjadi bahan perbaikan bagi pihak hotel. 

Selama menginap dua malam, saya bisa menilai kualitas layanan di Crowne Plaza Bandung. Salah satu keuntungan long stay adalah kita bisa merasakan layanan yang diberikan properti dalam jangka waktu yang lebih lama sehingga kita bisa lihat apa saja kelebihan dan kekurangannya. Dari check-in, saya jujur merasa cukup puas. Sebagai anggota IHG Rewards Club, saya dapat recognition sebagai anggota waktu check-in (dan ini sudah ada aturannya, lho. Silakan cari dan baca informasi tentang privilege member IHG Rewards Club). Proses check-in juga nggak bertele-tele dan relatif cepat.

Seperti yang saya bilang sebelumnya, saya mengalami masalah dengan kamar mandi di kamar pertama saya (Deluxe Twin). Sangat disayangkan karena pihak housekeeping kurang teliti dalam membersihkan kamar mandi sehingga lantainya masih licin akibat sisa-sisa produk pembersih. Namun, tim housekeeping segera datang dan membersihkan kembali kamar mandi sehingga lantainya nggak licin lagi. Kecepatan tanggap ini sangat diapresiasi. Ya, namanya masalah kadang ada aja, tapi langkah yang diambil propertilah yang menentukan kualitas layanan hotel. Bukan hanya itu, besoknya saya pun ditawari untuk pindah kamar, dan ternyata bukan sekadar pindah kamar, tapi dapat upgrade. Saya sangat apresiasi langkah ini, meskipun sebetulnya masalahnya hanya ada di kamar mandi.

Secara keseluruhan, kualitas layanan yang diberikan Crowne Plaza Bandung sangat baik. Para staf juga ramah dan helpful. Bisa saya bilang, pelayanan dan kelas hotel sama-sama bintang lima.

Kesimpulan

New life for an old building. Gedung tinggi yang pembangunannya dulu sempat mangkrak akhirnya mendapatkan a new life sebagai hotel bintang lima. Crowne Plaza Bandung berhasil menawarkan kemewahan, kenyamanan, dan layanan unggul untuk saya. Kendala yang saya alami selama menginap berhasil ditangani dengan baik. Bahkan, langkah yang pihak hotel ambil menurut saya jauh lebih baik dari dugaan.

Desain kedua tipe kamar yang saya tempati cukup menarik. Sebetulnya, interior bergaya kontemporer bukan hal yang asing lagi. Namun, kekhasan kamar seperti accent wall dengan pola segi empat berundak dan divider kayu bergaya Arabesque menjadi ciri khas hotel ini. Ukuran kamar tipe Deluxe terbilang cukup luas dan fasilitas yang tersedia sudah oke lah. Hanya saja, untuk hotel bintang lima, rasanya kurang lengkap kalau di kamar mandi tipe terkecil tidak ada bathtub. Saya sempat telepon pihak hotel dan mereka menjelaskan bahwa untuk tipe Deluxe Twin, memang tidak tersedia bathtub. Namun, di tipe Deluxe King dan selanjutnya, bathtub sudah tersedia. Meskipun demikian, kekurangan itu dikompensasi dengan adanya rainshower, fitur kamar mandi yang saya suka.

Ah! Sekarang saya tahu kenapa tipe Deluxe King lebih mahal daripada Deluxe Twin!

Tipe Junior King Suite hadir dengan ukuran yang lebih luas dan jendela yang lebih besar, serta bathtub yang cukup besar dan panjang, cocok buat kalangan pebisnis yang datang untuk keperluan pekerjaan, tetapi di malam hari mungkin perlu merilekskan diri.

Fasilitas yang tersedia di Crowne Plaza Bandung sudah cukup lengkap. Sebagai fasilitas kebugaran, ada kolam renang, whirlpool, dan gym. Untuk anak-anak, ada kids corner. Dining venue di hotel pun beragam. Namun, saya hanya menyayangkan satu hal: sebagian masih pada tutup. Review saya rasanya kurang mendalam karena saya nggak mencoba fasilitas-fasilitas itu secara langsung. Ya, semoga ke depannya sih pas saya menginap di sana lagi, fasilitas-fasilitas yang ada sudah beroperasi. Duh! Saya pengen banget nyoba kolam renang dan whirlpool-nya!

review crowne plaza bandung

Dengan rate mulai dari 535 ribuan (berdasarkan Tripadvisor), Crowne Plaza Bandung bisa jadi opsi hotel bintang 5 untuk yang ingin menikmati pengalaman menginap di hotel mewah di Bandung dengan biaya yang relatif lebih terjangkau. Kalau di aplikasi resmi IHG sendiri, kadang saya dapat rate 600 ribuan (nett) per malam. Kadang-kadang bisa lebih murah lagi. Secara keseluruhan, properti ini memberikan kesan yang positif untuk saya sebagai hotel berbintang dengan layanan berkualitas dan staf bertalenta di pusat kota Bandung.

Pros & Cons

👍🏻 Pros

  • Lokasinya strategis dan berada di pusat kota. Ke mana-mana dekat dan bisa dengan jalan kaki.
  • Menempati bangunan yang tinggi, view yang ditawarkan dari kamar pun bagus-bagus. Untuk beberapa kamar dengan jendela yang menghadap. keutara, mungkin view terhalangi oleh Tera Residence but for me, it wasn’t a really big deal.
  • Fasilitas yang tersedia cukup lengkap (sayangnya waktu saya menginap belum banyak yang beroperasi karena peraturan pemerintah kota terkait COVID-19)
  • Saya nggak sebutkan ini di review, tapi sebetulnya banyak spot yang Instagrammable, termasuk grand staircase di dekat Mosaic.
  • Hotel ini punya sky lounge yang cocok banget buat romantic dinner atau nongkrong bareng teman-teman sambil lihat view kota Bandung di malam hari.
  • Kolam renangnya besar banget! Cocok pula buat foto-foto.
  • Tipe King Junior Suite punya space yang luas dan nyaman, dan walk-in closet yang gede. Cocok buat yang barang bawaannya banyak (terutama baju-baju yang digantung).

👎🏻 Cons

  • AC di kamar pertama yang saya tempati sepertinya rusak atau gimana. Indikatornya bilang 25 derajat, tapi rasanya kayak 18 derajat.
  • Untuk hotel bintang 5, sayang banget ketika tipe kamar terkecil pun nggak ada bathtub.
  • Nggak ada pembatas yang lebih permanen antara kolam anak dan kolam dewasa. Anak-anak kalau mau berenang harus diawasi ketat banget.
  • Insiden di kamar mandi yang terjadi cukup mengejutkan. Mungkin ke depannya, pihak housekeeping harus lebih teliti lagi saat bersih-bersih kamar dan pastikan sisa produk pembersihnya nggak tertinggal.

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌⚪️
Desain: 😆😆😆😆😶
Lokasi: 🤩🤩🤩🤩🤩
Harga: 💰💰💰

Review: Four Points Bandung

Bagi saya, desain klasik itu sifatnya eternal. Mau seperti apa perkembangan dunia arsitektur, desain-desain klasik itu nggak ada matinya dan selalu punya tempat di hati para penggemarnya. Saya adalah salah satu penggemar desain-desain klasik, meskipun secara spesifik saya lebih tergerak dengan desain modern classic yang lebih simpel, tapi tetap berkelas. Terlebih lagi, karena tinggal di Indonesia, gaya-gaya arsitektur klasik yang lebih rumit macam Barok, Roccoco, dan Art Nouveau rasanya, apa ya, kayak nabrak pasti kalau dibandingkan bangunan-bangunan lain yang desainnya lebih sederhana. Salah-salah, desain-desain seperti itu malah bisa keliatan gaudy dan lebay kalau nggak dieksekusi dengan pas.

Nah, di kawasan Dago Bandung, ada sebuah properti yang mengusung desain modern classic. Dengan “perawakan” yang tinggi, dominasi warna putih, dan atap mansard khas bangunan-bangunan bergaya Perancis, bangunan hotel ini pun tampil menonjol dibandingkan bangunan-bangunan tetangganya. Sebagian besar komentar teman-teman saya soal hotel ini pun berkaitan dengan bangunannya yang memang majestic. Sebetulnya, saya pernah nginap di hotel ini sebelumnya, di tahun 2016 saya masih ingat. Waktu itu, hotel ini baru buka. Jadi, bisa dibilang saya adalah salah satu tamu pertama hotel. Setelah bertahun-tahun, akhirnya saya nginep lagi di sana.

Bangunan hotel Four Points by Sheraton Bandung. Foto milik pribadi.

Four Points by Sheraton Bandung adalah hotel bintang empat yang berada di Jl. Ir. H. Djuanda No. 46, Bandung. Buat yang sering main ke kawasan Dago, terutama Dago bawah, pasti tahu lah hotel ini. Posisinya bersebelahan dengan Superindo Dago dan berseberangan dengan ACE/Informa Dago (eks-Dago Plaza). Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, hotel ini terkenal dengan bangunannya yang menjulang berwarna putih, hampir ke arah “bulky” sebetulnya. Dengan gaya arsitektur modern classic dan atap mansard, bangunan hotel ini sudah cukup ikonik dan mencerminkan classiness-nya.

Dari jalan, bangunan utama hotel sebetulnya tersembunyi di balik bangunan restoran. Jadi, sebetulnya ada dua bangunan di kompleks ini. Tower utama berada di belakang bangunan restoran, dan atap bangunan restoran sendiri berfungsi sebagai area kolam renang hotel. Waktu pertama kali menginap di sini, restoran tersebut belum buka, tapi restoran hotel sih sudah beroperasi. Nah, buat yang bingung, restoran yang ada di depan Four Points Bandung ini (Buttercup Boulangerie) beda manajemen dengan hotel. Ini informasi saya dapat dari staf restoran ya. Saya sendiri udah beberapa kali makan di sana. Dulu mereka punya menu pesto fettuccini yang enak banget, tapi sayangnya menu itu dihapus.

Dilansir dari Tripadvisor, ada 162 kamar yang tersedia di hotel ini. Di situs resmi hotel, disebutkan 5 tipe kamar (sebetulnya 6 karena tipe Classic ditawarkan sebagai dua pilihan: opsi king dan twin bed). Oh, ya! Saat menginap, saya berkesempatan ngobrol dengan Bu Emi selaku general manager Four Points Bandung. Dari beliau, saya belajar bahwa hotel ini ternyata awalnya diproyeksikan sebagai boutique hotel. Hmm… No wonder hotel ini mengusung desain yang memang nggak main-main. Waktu pertama kali menginap, saya menempati kamar Premium, satu tingkat di atas tipe Classic. Nah, pas kunjungan terakhir saya di bulan Agustus, saya memesan kamar tipe Classic. Soal fasilitas, ada restoran, fitness center, kolam renang, sky lounge, meeting room, ballroom, dan pool bar. Sayangnya, waktu saya menginap, pool bar-nya masih tutup. Namun, fasilitas-fasilitas lain sudah beroperasi. Bahkan, ada juga yang nikahan dan ngadain acara besar. Ulasan lengkapnya saya sajikan di segmen berikutnya, ya!

Desain Kamar

Semua tipe kamar di Four Points by Sheraton Bandung mengusung warna putih sebagai warna dominannya. Dengan interior bergaya modern classic, penggunaan warna putih membuat kamar terasa lega dan elegan. Nah, tipe kamar yang saya tempati adalah tipe Classic King di lantai 11. Dilansir dari situs resmi hotel, tipe Classic memiliki luas 30 meter persegi. Nah, kalau saya bandingkan, luas ini sebetulnya nggak jauh beda dengan luas kamar tipe Deluxe di Sheraton Bandung. Namun, kamar di Four Points Bandung terasa lebih luas, salah satunya karena dominasi warna putih di interior kamar, tidak adanya loveseat dan meja kopi, serta langit-langit yang lebih tinggi.

Tempat tidur king-size ditempatkan di tengah kamar, dengan headboard yang desainnya mengingatkan saya dengan desain-desain furnitur, khususnya tempat tidur, bergaya modern classic di era 90an akhir atau 2000an awal (coba deh tonton film atau sinetron di era tahun segitu yang menampilkan rumah-rumah orang kaya bergaya modern “pada zamannya”). Pasalnya, tante saya punya satu set furnitur kamar tidur dengan desain yang mirip-mirip. Bedanya, set furnitur punya tante saya warnanya hijau zamrud. Sebagai pengganti table lamp, digunakan lampu gantung bergaya kontemporer dengan bentuk tabung sederhana yang dipasang di kedua sisi tempat tidur. Di atas end table, terdapat jam alarm/iPod dock yang sayangnya nggak punya fitur Bluetooth (hal ini agak disesali karena saya pakai ponsel Samsung). Di end table yang satu lagi, terdapat telepon dan notepad kecil. Di atas tempat tidur, terpasang lukisan mawar memanjang, dengan satu kuntum berwarna merah muda, sementara bunga-bunga lainnya berwarna hitam putih. Saya jadi ingat adegan girl in red coat di film Schindler’s List.

Meja kerja ditempatkan bersebelahan dengan kabinet televisi. Untuk TV sendiri memiliki ukuran 42 inci dan dipasang di dinding sehingga memberikan cukup banyak ruang di atas kabinet buat menyimpan berbagai barang. Kanal televisi yang ditawarkan cukup banyak dan beragam. Koneksi WiFi hotel pun cukup cepat dan bisa diandalkan, walaupun pada hari pertama saya menginap, tingkat okupansi hotel sedang padat banget. Nah, waktu saya tiba, di atas kabinet TV ternyata sudah ada buah-buahan, complimentary dari pihak Four Points by Sheraton Bandung. Terima kasih banyak, Four Points! Kabinet TV hanya punya satu pintu yang, saat dibuka, ternyata masih ada satu kantung plastik putih bekas tamu sebelumnya sepertinya. Kosong sih kantung plastiknya dan bersih, cuman ‘kan tetap saja itu sampah. Duh, next time pihak hotel harus bersihin kamarnya lebih teliti lagi, nih.

Area utama kamar dibedakan dari hallway melalui penggunaan karpet berwarna abu-abu tua, senada dengan warna gorden. Si karpet dan gorden ini sendiri memberikan kontras warna di tengah dominasi warna putih dan gading. Di hallway, ada beberapa built-in lemari dengan desain pintu yang masih senada dengan desain furnitur di kamar, tentunya dalam balutan warna putih. Lemari pakaian memiliki ukuran yang cukup luas, dan mencakup electronic safe di dalamnya. Sayangnya, pintu geser lemari ini merangkap pintu kamar mandi. Walhasil, kalau kita tutup pintu kamar mandi, kelihatan lah isi lemari. Kalau isi lemarinya hanya baju sih mungkin nggak masalah. Cuman, saya pikir bisa jadi masalah ketika kita nginap dengan teman, atau ada tamu yang datang berkunjung, dan di lemari kita simpan barang berharga. Untuk setrika dan ironing board, tersimpan di dalam lemari di samping rak minibar dan kulkas. Oh, ya! Ada juga cermin besar di hallway yang jadi sarana saya foto-foto buat Instagram.

Untuk view sendiri, kamar saya menawarkan pemandangan Gunung Tangkuban Parahu dari ketinggian 11 lantai. Dari jendela juga terlihat Jembatan Pasopati, Moxy Bandung, dan kawasan di sekitarnya. Awalnya, saya sempat agak kecewa karena nggak bisa mendapatkan view kota. Namun, setelah dipikir-pikir lagi, waking up to a mountain view doesn’t hurt at all. Di siang hari, cahaya matahari yang masuk ke kamar pun melimpah sehingga saya nggak perlu nyalain lampu di siang hari.

Kamar Mandi

Kamar mandi untuk tipe Classic di Four Points Bandung memiliki ukuran yang cukup luas. Meskipun bathroom counter punya ukuran yang cukup bulky, penggunaan lantai dan dinding marmer berwarna beige dan pencahayaan yang terang membuat ruangan terasa lapang. Di kamar mandi, hanya ada satu wastafel. Handuk dan hair dryer disimpan di rak counter. Vanity mirror juga terpasang di dinding sebagai pelengkap cermin biasa berukuran besar dengan bentuk segi empat. Jarak dari kloset ke dinding di seberangnya cukup jauh, tetapi jarak dengan dinding di sampingnya bisa dibilang terlalu dekat.

Area shower di kamar mandi cukup luas. Bukan yang terluas memang, tapi seenggaknya saya masih bisa bergerak bebas dan mandi dengan nyaman. Hadirnya rainshower jadi salah satu hal yang saya sukai di kamar mandi ini. Shower tangan pun tersedia sebagai pelengkap rainshower. Semburan air yang keluar, baik dari rainshower maupun shower tangan cukup kencang. Enak lah buat mandi. Overall, tidak ada keluhan soal kamar mandi untuk tipe Classic di Four Points by Sheraton Bandung.

Fasilitas Umum

Saffron Restaurant

Berada di lantai lobi, Saffron Restaurant adalah dining venue utama di Four Points Bandung. Seperti halnya fasilitas dan kamar di hotel, interior restoran mengusung desain modern classic dengan dominasi warna putih. Pilar-pilar dipasangi cermin untuk memberikan kesan luas dan mewah. Lantai dengan pola checkerboard juga turun menambah kesan elegan pada interior restoran. Di sisi utara dan selatan, dipasangi jendela-jendela besar. Untuk sisi selatan sendiri, terdapat pintu menuju teras sebagai perluasan dining area dan smoking area. Chandelier yang dipasang di restoran memiliki desain yang unik, dengan motif tangkai atau ranting dedaunan yang, buat saya sih, seperti memiliki sedikit sentuhan Gothic. Sebagai colour pop di tengah-tengah palet monokron, warna kuning digunakan pada jok dan sandaran kursi panjang. Sayangnya, buat saya sih corak warna kuningnya terasa kurang elegan.

Meja dan kursi yang tersedia cukup banyak, tetapi tetap saja ketika tingkat okupansi hotel sedang tinggi, restoran terasa penuh. Sebenarnya, waktu menginap, saya diberi tahu bahwa untuk sarapan, saya kebagian di sky lounge hotel. Namun, saat saya ke sky lounge, kondisinya penuh dan saya nggak kebagian meja kosong. Saya pun ke Saffron Restaurant dan ternyata sama saja. Namun, untungnya saya berhasil dapat meja kosong di dekat jendela besar. Selain itu, posisinya juga dekat ke station es krim. Jadi, gampang lah buat bolak-balik ngambil es krim. Di sisi timur, terdapat beberapa station dan bar.

Soal menu sarapan, bisa dibilang menunya decent. Sejujurnya, saya tidak menemukan opsi yang sangat sangat spesial, tetapi setidaknya decent lah. Menu untuk pagi pertama dan kedua nggak jauh beda. Hanya saja, di akhir pekan dibuka station es krim. Nah, di pagi terakhir, station es krimnya ‘kan tutup. Namun, saya coba tanya ke staf restoran apakah saya bisa dapat es krim sebagai sajian penutup, dan pihak restoran menyajikan satu mangkuk es krim, walaupun di weekday, station es krim tidak buka. Wah! Terima kasih banyak, Four Points Bandung! Sangat saya apresiasi! Oh, ya! Di pagi pertama, karena restoran sangat ramai, ada beberapa staf tambahan yang bekerja di restoran, dan saya nggak nyangka bahwa staf yang bertugas di station es krim pagi itu adalah Bu Emi, general manager hotel. Waduh! Maaf ya, Bu Emi. Waktu itu saya belum kenal soalnya. Namun, setelah check out, saya beruntung bisa berkesempatan berkenalan dan ngobrol sebentar dengan Bu Emi mengenai hotel dan segala macam. Saya jadi belajar cukup banyak juga soal Four Points by Sheraton Bandung.

Buttercup Boulangerie

Selain Saffron Restaurant, Four Points Bandung juga punya dining venue yang lain. Menempati bangunan di bagian depan hotel, Buttercup Boulangerie hadir dengan interior berkonsep unik. Interiornya memadukan desain modern classic dengan sentuhan youthful yang tercermin dari pilar besar di tengah ruangan berbalut wallpaper tipografi dengan unsur (atau, lebih tepatnya, teknik) emphasis. Wallpaper yang sama juga dipasang di sudut-sudut ruangan yang lain, termasuk dinding di belakang grand staircase menuju lantai dua. Si tangga besar di sini jadi semacam focal point restoran. Berdasarkan pengalaman (karena saya pernah ke restoran ini beberapa kali), biasanya menjelang natal dipasang pohon natal besar di bawah tangga, dan tangga itu sendiri dihias dengan lampu-lampu. Cantik banget deh pokoknya.

Dining area utama restoran memiliki luas yang cukup besar, dengan meja-meja yang ditempatkan dalam jarak yang tidak begitu mepet. Di tengah-tengah ruangan juga ada meja panjang yang biasanya dipakai para tamu yang makan sekalian rapat. Ada grand piano di salah satu sudut ruangan dan, sedihnya, dikunci. Saya pun nggak bisa main piano deh 😕. Nah, dulu di Buttercup Boulangerie juga ada toko wine The Peak. Namun, pas saya tanya ke staf restoran, toko tersebut sudah tutup dan pindah (saya lupa pindahnya ke mana). Seingat saya sih, masih ada The Peak di Setiabudhi Supermarket, in case ingin beli wine.

Di sebelah selatan area utama (yang dipisah jendela-jendela besar di samping piano), ada smoking area. Saya nggak sempat foto areanya, tapi dari segi luas jelas lebih kecil. Soal menu, seperti yang saya bilang sebelumnya, pilihan menunya sudah berbeda dibandingkan ketika saya ke sana di tahun 2017-2018 (lama banget, ya). Saya ingat dulu mereka punya menu pesto fettuccini, tapi sekarang sudah nggak ada. Dan juga, saya lupa foto si chicken katsu bowl yang saya pesan di sini, tapi dari segi rasa sih enak. Dagingnya lembut dan luarnya renyah, tapi dari segi porsi sih memang tidak begitu banyak dibandingkan dengan harganya. Untuk menu lengkapnya, bisa baca informasi menu dan harganya dari Pergikuliner.

Kolam Renang

Sebagai salah satu fasilitas kebugaran dan hiburan, kolam renang hadir di Four Points by Sheraton Bandung. Lokasinya sebenarnya berada di rooftop bangunan Buttercup Boulangerie, tapi hanya bisa diakses lewat bangunan utama hotel. Kolam renang hotel juga satu lantai dengan gym. Ukurannya cukup besar dan panjang untuk bolak-balik satu lap. Sayangnya, nggak ada pemisah yang lebih jelas (or rather, aman) antara kolam anak dengan kolam dewasa. Jadi, buat yang bawa anak-anak, pastikan anak-anaknya diawasi dengan saksama, ya.

Kolam renang di Four Points Bandung berair dingin. Namun, karena konsepnya outdoor, kolam renang jadi terpapar cahaya matahari dan di sore hari, kadang-kadang airnya kerasa lebih hangat. Yang saya sayangkan adalah waktu main ke area kolam, lounge chair yang tersedia jumlahnya sedikit. Selain itu, ngga ada area teduh (kecuali pool bar yang masih berada di area beratap) di pinggir-pinggir kolam. Jadi, yang duduk di lounge chair, siap-siap terpapar cahaya matahari. Seandainya ada parasol, saya rasa akan lebih baik dan nyaman. Di ujung selatan area kolam renang, terdapat shower bilas. Untuk kamar mandi, letaknya ada di dekat pool bar.

Oh, ya. Waktu saya menginap, pool bar hotel masih belum buka. Semoga saja, pas pembaca ada yang berkesempatan menginap ke sana, pool bar-nya sudah buka, ya. Dari area kolam renang, sebetulnya kita bisa lihat view kota. Hanya saja, memang harus berdiri dekat ke dinding pembatas. Dari shower bilas, bahkan kita bisa ngintip ke Superindo dan area parkirnya di sebelah hotel. Saya hampir lupa! Saat masuk ke area pool bar, di sisi selatan terdapat satu nook yang, waktu saya kali pertama menginap di sini di tahun 2016, berfungsi sebagai entertainment area, dengan TV, coffee table, karpet bulu, dan lounge chair. Kalau nggak salah, ada juga bean bag. Namun, waktu saya menginap kedua kalinya, nook tersebut sudah berubah dan hanya diisi dua lounge chair. Jendela yang ada di belakang kursi menawarkan view kota yang cantik. Saya pikir sayang banget area ini jadi kerasa kosong. Padahal, kalau bisa dimanfaatkan untuk fasilitas lain, lumayan sih (mis. perpustakaan atau fasilitas semacamnya).

Gym

Fasilitas kebugaran lainnya yang tersedia di Four Points by Sheraton Bandung adalah gym. Saya suka desain interiornya karena didominasi oleh jendela-jendela full-height yang langsung menghadap ke kolam renang dan pool bar. Walhasil, ruangan pun terasa luas dan terang karena cahaya matahari bisa masuk secara optimal. Sentuhan modern classic masih tetap terasa melalui penggunaan lemari-lemari berwarna putih di sisi timur ruangan. Dari segi desain, lemari-lemari ini mengusung gaya yang sama dengan furnitur yang ada di kamar.

Namun, dari segi jumlah, peralatan yang ada memang terbatas. Ada 2 mesin treadmill, 2 elliptical trainer, dan 1 stationary bike yang ditempatkan menghadap ke jendela. Ada juga 1 weight-lifting machine di sisi timur ruangan. Barbel-barbel ditempatkan di bawah televisi. Meskipun dari segi ukuran, ruangan gym ini tidak besar, masih ada space yang cukup luas untuk senam atau yoga. Oh, ya! Lemari-lemari di salah satu sisi ruangan juga berfungsi sebagai media penyimpanan perlengkapan seperti handuk, paper cup, dan dispenser air minum. Dengan jumlah alat yang terbatas, tamu mungkin harus menunggu agak lama untuk gantian pakai alat. Namun, untungnya waktu saya berkunjung ke gym dan kolam renang, hanya saya tamu yang datang.

Fasilitas Lain

Selain fasilitas-fasilitas yang saya sebutkan di atas, Four Points Bandung juga punya beberapa pilihan lain, seperti ruang rapat dan ballroom. Dilansir dari situs resmi hotel, ada 11 event room, termasuk satu ballroom dengan luas 360 meter persegi yang bisa mengakomodasi maksimal 400 orang. Nah, ada juga sky lounge yang menempati ruangan di dalam atap mansard bangunan. Saya sempat ke sana sebetulnya, tapi nggak sempat ambil foto-foto karena memang awalnya ke lounge untuk breakfast (dan nggak jadi karena saya akhirnya sarapan di Saffron).

Edelweiss Sky Lounge berada satu lantai di atas lantai PH (penthouse). Untuk mengakses lounge ini, kita harus naik lagi satu tangga khusus. Soal view sih, jangan ditanya. Saya bisa menikmati pemandangan Bandung dengan jelas. Untuk interior (meskipun nggak ada fotonya), warna ungu mendominasi ruangan. Sky lounge-nya sendiri sebetulnya nggak begitu luas, tetapi punya outdoor area buat yang ingin menikmati angin malam. Sayangnya, waktu saya menginap, lounge ini pun tidak beroperasi di luar jam sarapan. Lounge juga hanya dibuka di akhir pekan. Waktu saya coba datang lagi Senin pagi, lounge ditutup dan sarapan digelar di Saffron. Jadi, mohon maaf ya karena saya nggak bisa memberikan dokumentasi yang lebih komprehensif terkait sky lounge ini 😔

Hal lain yang ingin saya bahas, meskipun nggak ada fotonya, adalah area parkir. Dari segi jumlah, spot parkir yang tersedia bisa dibilang nggak begitu banyak. Terlebih lagi, area parkir hotel juga harus berbagi dengan area parkir untuk para pengunjung Buttercup Boulangerie. Namun, yang saya rasa agak—what’s the word—khawatirkan adalah ramp ke basemen dan lantai-lantai parkir di bawahnya. Gosh! Ramp-nya sempit banget! Waktu nyetir ke basemen, saya ngerasa was-was karena takut mobil kena dinding pembatas. Pokoknya, hati-hati aja saat mau parkir ke basemen.

Lokasi

Menurut saya, salah satu aspek unggulan Four Points by Sheraton Bandung adalah lokasinya. Berada di kawasan Dago bawah, properti ini memudahkan para pengunjung untuk pergi ke either kawasan Dago atas, or kawasan Balai Kota, Braga, dan Asia Afrika. Pasalnya, posisinya bisa dibilang berada di tengah-tengah. Untuk tamu yang datang dari Jakarta (atau masuk ke Bandung lewat tol Pasteur), cukup lewati Jalan Pasteur dan naik Jembatan Pasupati, kemudian turun di Balubur. Dari situ sih, udah dekat banget ke hotel.

Kehadiran toko swalayan, restoran, dan kafe di sekitar hotel pun jadi sesuatu yang memberikan kemudahan saat saya menginap. Di seberang hotel, bahkan ada ACE dan Informa, just in case mau beli furnitur atau perlengkapan rumah lainnya (he he he). Hotel ini pun berada di jalur angkot. Jadi, gampang banget sih sebetulnya untuk urusan pergi-pergi dan beli-beli. Nah, satu hal lagi yang saya suka adalah di seberang hotel ada Chatime dan Terminale Gelato. Karena saya suka jajan, kehadiran dua gerai itu tentunya memuaskan hasrat ingin jajan saya. Pas lagi bosen kerja di kamar dan ingin ngemil, tinggal nyeberang, beli Chatime dan gelato, terus balik lagi ke hotel.

Dari Stasiun Bandung, Four Points Bandung berjarak sekitar 10-15 menit, tergantung kondisi lalu lintas sebetulnya. Kalau dari Bandara Internasional Husein Sastranegara, jarak tempuh dengan kendaraan bermotor ke hotel bisa mencapai 20-30 menit.

Pelayanan

Segmen ini memuat pendapat saya mengenai pelayanan yang diberikan pihak hotel. Apa yang saya tulis bersifat subjektif dan bukan merupakan informasi umum, dan lebih merupakan pendapat pribadi. Experience yang saya alami bisa jadi berbeda dari apa yang orang lain alami. Tulisan dalam segmen ini tidak ditujukan untuk menjelek-jelekkan atau menurunkan reputasi hotel. Jika informasi yang saya tulis bersifat positif, semoga manajemen hotel bisa tetap menjaga kualitas layanannya. Jika bernada negatif, semoga bisa menjadi bahan perbaikan bagi pihak hotel. 

Selama menginap di Four Points by Sheraton Bandung, saya terkesan dengan pelayanan yang pihak hotel berikan. Proses check-in berjalan lancar dan cepat, padahal saat itu tingkat okupansi sedang tinggi dan para tamu ngantri untuk check-in. No nonsense—bisa dibilang begitu. Saat tiba di kamar pun, ternyata sudah tersedia buah-buahan segar untuk saya, serta personalized note dari Bu Emi. Terima kasih banyak 🙏🏻 Hanya saja, seperti yang saya sebutkan di segmen pertama, ada satu kantung plastik sampah yang tertinggal di dalam kabinet TV. Ke depannya, semoga tim housekeeping bisa melakukan persiapan dan pembersihan yang lebih menyeluruh.

Soal keramahan para staf (terutama yang di restoran karena saya banyak berinteraksi dengan mereka saat sarapan), saya merasa tidak ada masalah. Saat sarapan di Senin pagi, station es krim tidak beroperasi. Namun, saat saya tanya apakah saya bisa dapat es krim sebagai dessert, staf yang bertugas bisa menyediakan semangkuk es krim. Memang bukan rasa yang saya inginkan, tapi saya pikir ini perlu diapresiasi.

Satu hal lagi yang harus saya apresiasi adalah bantuan staf hotel saat saya mengalami masalah dengan kabel charger laptop. Jadi, tiba-tiba kabel charger laptop saya hampir putus dan karet pembungkusnya terkelupas (memang usianya juga udah lama banget sih). Saya coba tanya apakah pihak hotel punya lakban hitam tebal supaya saya bisa menutupi bagian kabel yang terbuka. Nah (saya lupa nggak menanyakan nama staf yang waktu itu datang), staf yang bantu saya bilang bahwa nggak ada lakban hitam, tapi dia bilang akan bantu carikan alternatifnya. Akhirnya, untuk sementara kabel saya ditutupi semacam tape warna merah. Ya, setidaknya kabel saya aman dan bagian dalamnya nggak sampai terekspos deh. Sekarang sih saya sudah beli charger baru. Terima kasih banyak untuk staf Four Points Bandung. Bantuannya sangat saya apresiasi.

Kesimpulan

Beautiful in white. Saya tahu itu judul lagunya Shane Filan, tapi baik dari segi eksterior maupun interior, Four Points Bandung memang tampil cantik dalam balutan warna putih, tentunya ditambah dengan desain modern classic yang diusung. Dari sisi eksterior, bangunan hotel tampil menonjol dengan “bodi” yang menjulang dan atap mansard khas Perancis yang membuat bangunan hotel terlihat majestic dan mewah. Dari sisi interior, desain modern classic yang dipadukan dominasi warna putih membuat kamar terkesan elegan dan luas. Penggunaan lantai marmer di area-area publik hotel pun makin menonjolkan kemewahan hotel. Wajar saja karena hotel ini sejak awal diproyeksikan sebagai hotel butik. Jadi, penampilannya pun harus atraktif dong.

Pilihan fasilitas yang tersedia saya rasa sudah cukup lengkap untuk properti bintang empat. Ada kolam renang, gym, restoran, pool bar, sky lounge, ruang rapat, dan ballroom. Fasilitas yang saya rasa bisa jadi primadona hotel adalah kolam renang dan restorannya. Dengan ukuran yang cukup besar, kolam renang hotel cocok jadi fasilitas kebugaran dan hiburan, terutama untuk keluarga. Hanya saja, kolam anak dan kolam dewasa tidak dipisah dan dibatasi oleh dinding pendek di dalam kolam. Untuk gym, jumlah peralatan yang tersedia memang sangat terbatas sehingga ada kemungkinan saat ramai, tamu-tamu harus menunggu cukup lama untuk gantian pakai alat.

Untuk kamar, interiornya mengusung desain modern classic dan didominasi warna putih. Semua in-room amenities berfungsi dengan baik. Hanya saja, yang saya sesalkan ya kantung plastik sampah yang masih tertinggal di dalam kabinet TV. Pintu geser lemari pakaian pun merangkap sebagai pintu geser kamar mandi. Ini artinya kalau kita pakai kamar mandi dan tutup pintunya, lemarinya jadi terbuka dan isinya bisa terlihat. Selain itu, jam alarm di kamar pun nggak dilengkapi fitur Bluetooth. Namun, selebihnya sih everything is great. Koneksi WiFi punya kecepatan yang cukup tinggi dan bisa diandalkan untuk kerja. Kamar mandi tampil mewah dalam balutan marmer berwarna beige. Pilihan kanal televisi yang tersedia cukup beragam. Ukuran kamar cukup luas dengan pemandangan gunung yang cantik. What else? Ya, saya tahu sih. Jam alarm yang tidak dilengkapi Bluetooth jadi salah satu hal yang disayangkan, at least untuk saya secara pribadi.

four points bandung

Dengan rate dari 890 ribuan per malam (berdasarkan rate paling rendah yang saya dapat di Marriott Bonvoy), saya harus jujur bahwa Four Points Bandung bukanlah akomodasi bintang 4 paling terjangkau di kelasnya, terutama kalau saya bandingkan dengan properti-properti setara dengan rate yang lebih rendah. Namun, dengan fasilitas yang cukup komprehensif, desain interior yang elegan dan Insta-worthy, serta lokasi yang prima, Four Points by Sheraton Bandung bisa jadi pilihan hotel untuk menikmati staycation mewah di Bandung.

Pros & Cons

👍🏻 Pros

  • Desain hotel, baik eksterior maupun interior cantik banget dalam balutan warna putih dan gaya modern classic. Bangunan hotel yang megah dengan atap French mansard yang khas jadi keunikan hotel ini.
  • Lokasi hotel prima banget. Di sekitar hotel ada toko swalayan, restoran, kafe, dan bahkan hardware store. Hotel juga berada di jalur angkot (in case mau bepergian pakai angkot).
  • Ukuran kamar tipe terkecil (Classic) sudah cukup luas, terutama dengan dominasi warna putih pada interiornya dan langit-langit yang tinggi.
  • Properti ini punya sky lounge. Cocok buat yang ingin nongkrong malem sambil lihat view Bandung.
  • Secara pribadi, saya terkesan dengan pelayanan yang diberikan pihak hotel, terutama soal bantuan yang diberikan staf terkait kabel charger laptop saya yang terkoyak dan es krim saat sarapan. They went above and beyond at giving the best service.

👎🏻 Cons

  • Ramp ke area parkir di basemen sempit banget. Harus hati-hati pokoknya.
  • Jumlah peralatan di gym terbatas. Jadi, kalau sedang ramai, mau nggak mau harus nunggu (mungkin agak lama) untuk gantian.
  • Kolam anak dan kolam dewasa tidak dipisah dan hanya dibatasi oleh dinding pendek di dalam kolam. Anak-anak harus diawasi ketat pokoknya pas berenang.
  • Rate-nya terbilang tinggi untuk properti di kelasnya.

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌😶
Desain: 😆😆😆😆😶
Lokasi: 🤩🤩🤩🤩🤩
Harga: 💰💰💰💰