All posts by hellojunseo

When life gives you lemons, trade them with chocolate bars. I'm serious.

Review: Atlantic City Bandung

Wah, sepertinya sudah cukup lama sejak terakhir saya update blog ini. Kerjaan memang sedang banyak dan jadwal lagi padat, jadi saya belum sempat lagi buat entri. Nah, untungnya saya ada dua hotel yang sempat dikunjungi dan siap di-review. Untuk minggu ini sendiri, saya akan menginap di sebuah hotel di kawasan Sukajadi, Bandung yang rencananya sih mau saya masukkan ke daftar Luxury Affordable untuk kota Bandung.

Untuk sekarang, hotel yang di-review ini adalah sebuah hotel bintang tiga yang berada di jalan Pasir Kaliki. Lokasinya nggak jauh dari persimpangan Pasir Kaliki dan Pajajaran, dan dekat ke Istana Plaza dan Living Plaza.

1156691_17011217230050283383
Fasad Atlantic City Hotel. Foto milik pihak hotel.

Atlantic City adalah sebuah hotel bintang tiga yang berlokasi di jalan Pasir Kaliki nomor 126. Seperti yang saya bilang sebelumnya, lokasi hotel ini dekat dari persimpangan jalan Pasir Kaliki dan Pajajaran. Ini artinya lokasinya bisa dibilang sangat strategis, terutama karena jaraknya juga sangat dekat dari Istana Plaza dan Living Plaza. Waktu nginap di sana, saya nggak kesulitan ketika mau makan karena ada banyak restoran dan warung-warung tenda di dekat hotel.

Hotel ini punya 100 kamar yang terbagi ke dalam dua tipe: superior dan grand deluxe. Nah, tipe kamar yang saya tempati waktu nginap adalah superior dan berada di lantai tiga. Meskipun bangunan hotel ini nggak begitu tinggi (dan juga lokasinya yang nggak begitu jauh dari bandara membuat hotel ini tampaknya kena aturan tinggi bangunan), view dari kamar saya cukup bagus karena jendelanya menghadap ke arah jalan Pajajaran.

Dari segi desain, sebetulnya nggak ada yang begitu waw dari hotel ini, baik interior kamar maupun ruang-ruang publik lainnya. Tapi, yang saya suka dari hotel ini adalah lokasinya yang enak ke mana-mana dan rate-nya yang terbilang terjangkau. Kalau saya bandingkan dengan hotel-hotel lain di kawasan ini, Atlantic City ini salah satu hotel bintang tiga dengan rate terjangkau di kelasnya. Ulasan lengkap tentang hotel ini saya jelaskan di segmen berikutnya. Review kali ini nggak banyak pakai GIF ya karena lagi nggak mood.

tenor3
Mohon pengertiannya ya. Lagi lesu.
Desain Kamar

Kalau bicara tentang desain utama kamar, bisa dibilang sih interiornya standar lah, tipikal hotel-hotel baru yang mengusung gaya arsitektur modern. Menempati kamar tipe superior, ukuran kamar saya sebetulnya nggak begitu luas (kira-kira sekitar 20 meter persegi), tapi furniturnya cukup lengkap. Kamar saya dilengkapi twin bed, meja belajar, kursi kerja, kursi lengan, meja kopi, dan lemari baju, lengkap dengan brankas.

This slideshow requires JavaScript.

Meskipun tergolong kecil, kamar saya nggak terasa claustrophobic, terutama dengan dinding bercat krem terang dan kombinasi warna-warna earthy (armchair-nya sepintas mirip kursi lengan yang ada di ruangan ayah saya di kantornya). Awalnya saya ragu apakah pencahayaan ruangan akan jelek, ternyata ketika malam tiba dan lampu kamar dinyalakan, pencahayaannya bagus. Seperti yang sering saya bilang di artikel-artikel sebelumnya, saya kurang suka ruangan yang remang, apalagi kamar mandi.

Sayangnya, di bawah meja kopi masih kelihatan debu yang menupuk. Di bawah kasur juga kelihatan. Selain itu, seprai tempat tidur dan bantal pun ada nodanya, meskipun kecil sih ukurannya. Tapi ya tetap sih, saya jadi ngerasa kalau seprai dan sarung bantal nggak dicuci dengan baik, dan kamarnya kurang teliti disapunya.

Untuk in-room amenities, ada televisi dengan kanal lokal dan internasional (pagi-pagi saya udah nonton The Walking Dead sambil ngemil Mi Gemes yang beli dari Indomaret), brankas, AC, danΒ tea/coffee maker. KoneksiΒ WiFi juga relatif cepat untuk nonton video dari YouTube atau Instagram, walaupun saya kurang tahu pasti seberapa cepat kalau untuk download konten.

IMG_20181119_113952
View dari jendela kamar. Kelihatan Istana Plaza dan Living Plaza.
IMG_20181119_113955
Kalau malam-malam, view dari kamar bagus banget.

Kalau tertarik nginep di sini, saran saya sih minta kamar dengan jendela yang menghadap ke arah jalan Pajajaran karena kalau malam-malam, view-nya bagus! Saya suka ngeliatin keadaan lalu lintas di persimpangan dan cahaya terang dari megatron Living Plaza yang ngasihΒ vibe ala-alat Times Square gitu lah.

Kamar Mandi

Sekarang waktunya saya bahas tentang kamar mandi. Untuk ukurannya, saya bilang sempit dan kurang nyaman, terutama untuk klosetnya. Dengan pintu yang dibuka ke arah dalam, orang yang lagi duduk di kloset bisa-bisa ketabrak pintu kalau ada orang lain yang buka pintu dari luar. Solusinya? Jangan lupa tutup dan kunci pintu kamar mandi ya kalau mau buang air.

Untuk wastafel sendiri ukurannya besar, dengan cermin rectangular yang cukup besar di atasnya. Sayangnya, kerannya ini agak membingungkan karena ketika saya geser ke arah kanan untuk keluarkan air dingin, lah airnya malah nggak keluar. Kalau digeser ke kiri, yang keluar air panas. Mungkin pihak hotel harus perbaiki kerannya.

This slideshow requires JavaScript.

Sebetulnya untuk kamar mandi, ada beberapa hal yang saya kurang suka, meskipun nggak bikin kunjungan terasa nggak nyaman sih. Pertama, shower area-nya terbilang sempit. Gorden penghalang airnya nggak efektif karena nggak ada pengait yang bisa menahan si gorden biar nggak ke mana-mana. Split level antara shower area dan area kamar mandi yang lainnya juga terlalu kecil. Dikombinasikan dengan shower curtainΒ yang kurang efektif dan terlalu pendek, walhasil lantai kamar mandi yang lain tetap basah dan jadi becek ketika kita mandi.

Hal berikutnya yang kurang suka adalah shower-nya. Meskipun pakai semacam rainshower, tapi kepala shower-nya ini sepertinya jarang dibersihkan dan kurang efektif untuk mengeluarkan air. Selain itu, aliran air yang nggak stabil juga nggak memungkinkan saya untuk diam di bawah shower dan pijat bahu, seperti yang biasa saya lakukan kalau ada rainshower di kamar hotel lain. Oh ya, rainshower ini satu-satunya perangkat yang ada di shower box. Nggak ada shower tangan. Buat teman-teman Muslim, mungkin akan sedikit repot saat wudhu tanpa kehadiran si shower tangan.

Pencahayaan kamar mandi menurut saya terlalu redup. Lampunya berada di luar shower area. Sayangnya, dengan curtain yang puncaknya hampir nempel ke langit-langit, tetapi bagian bawahnya berjarak sekitar 5 sentimeter dari lantai, area shower terasa sangat gelap dan murky ketika gorden di tutup. Air juga masih bisa membasahi lantai di luar area shower. Kesannya jadi muram.

Ada hal “eh kok gitu?” yang saya sadari ketika mandi. Di shower area, ada jendela kaca setinggi langit-langit di salah satu dinding kamar. Jendela ini sebetulnya menghadap ke arah kamar. Hanya saja, kaca jendelanya dicat abu-abu, jadi nggak tampak sama sekali kamar dari area shower. Ya, dicat, bukan diburamkan. Setelah melihat kondisi shower area dan merujuk ke beberapa foto dari website hotel, ternyata kaca jendela itu dulunya tidak dicat abu-abu, melainkan dibiarkan transparan. Nah, si curtain itu dulunya dipasang di jendela itu buat menjaga privasi.

Fasilitas Umum

Atlantic City punya beberapa fasilitas untuk menunjang kebutuhan pengunjung. Di lantai lobi, ada restoran yang cukup luas, dan beberapa seating area-nya tampak cantik karena di dindingnya ada semacam vertical garden.

This slideshow requires JavaScript.

Untuk kebutuhan bisnis, ada lima ruang rapat dan satu ballroom di hotel ini. Setiap ruang rapat dan ballroom sudah dilengkapi fasilitas seperti layar proyektor, LCD projector, dan sound system standar. Atlantic Ballroom sendiri punya kapasitas maksimal 500 orang yang bisa dipakai untuk berbagai acara, dari mulai pernikahan sampai seminar.

Di lantai teratas hotel, ada sky lounge yang sayangnya nggak sempat saya kunjungi. Dari sky lounge ini, kita bisa menikmati suasana kota Bandung sambil ngemil-ngemil cantik. Ada juga stage kecil jadi buat adakan acara ulang tahun atau semacamnya sambil sewa band, bisa lah. Hotel ini juga menawarkan layanan spa yang beroperasi dari jam 9 pagi sampai jam 12 malam (last order-nya jam 11 malam).

Lokasi

Bicara soal lokasi, Atlantic CityΒ ini bikin saya gampang ke mana-mana. Dari Stasiun Bandung, hotel ini cuman berjarak sekitar 5-10 menit kalau pakai mobil. Kalau mau belanja, saya tinggal nyeberang ke Istana Plaza, mal dari jaman saya SD. Di sana, ada Matahari, Giant, Planet Sports, J.Co, KOI, Game Master, Gramedia, dan beberapa tenant lainnya. Kalau mau ngopi, ada Starbucks dan Chatime di Living Plaza.

Untuk urusan makan, kita tinggal keluar hotel dan jalan ke sebelah karena tepat di samping bangunan hotel ada KFC yang buka 24 jam. Di samping KFC, ada Richeese dan Kehidupan. Nyeberang sedikit, ada juga restoran di samping Melinda Hospital 2. Kalau perlu ke minimarket, kita bisa jalan sekitar 5 menit menuju Indomaret yang lokasinya nggak jauh dari Bobobox dan restoran Rijstafel.

Sayangnya, lokasi hotel ini tuh sebetulnya ada plus minusnya. Plusnya sudah dijelaskan sebelumnya. Minusnya, daerah ini tuh salah satu daerah macet di Bandung yang nyebelinnya minta ampun. Kalau misalnya kamu datang dari arah Pasteur, untuk ke hotel ini kamu mesti muter dulu, masuk ke jalan Pajajaran, lewatin dulu jalan Kebon Kawung, lalu belok lagi ke Pasir Kaliki dan terus ke arah atas menuju persimpangan.

Kesimpulan

Atlantic City menawarkan tempat beristirahat yang nyaman di pusat kota Bandung. Dengan desain kamar modern, fasilitas penunjang produktivitas, dan sky lounge, hotel ini bisa jadi pilihan yang tepat, terutama untuk rombongan besar yang mau mengadakan seminar atau acara semacamnya. Lokasinya juga strategis karena hanya berjarak sekitar 5-10 menit dari Stasiun Bandung, 15 menit dari Bandara Internasional Husein Sastranegara, dan beberapa langkah doang dari KFC dan mal.

Kebersihan kamar dan beberapa fasilitas kamar yang kurang baik memang jadi faktor yang saya sayangkan, tapi secara keseluruhan, saya tidurnya nyaman dan nggak keganggu suara bising dari luar (kecuali ketika siang-siang karena kebetulan ada mobil pick-up lewat yang bawa rombongan entah apa yang pakai toa dan semacamnya).

Meskipun fasilitas hiburannya nggak banyak, kehadiran mal dan restoran di sekitar hotel bisa jadi pengganti yang pas. Dengan rate mulai dari 300 ribu rupiah per malam (berdasarkan TripAdvisor dan tagihan saya kemarin), hotel ini cocok untuk berlibur di Bandung, terutama buat young traveler yang nggak neko-neko urusan fasilitas hotel, tapi mau menikmati liburan yang sedikit lebih mewah.

Pros & Cons

πŸ‘πŸ»Β Pros

  • Lokasi strategis dan dekat ke mana-mana. Dari Stasiun Bandung, jaraknya kira-kira 10 menit kalau pakai mobil. Di dekat hotel ada Istana Plaza dan Living Plaza. Di sebelahnya malahan ada KFC (buka 24 jam), Richeese, dan Kehidupan. Gampang lah kalau malem-malem craving pengen ngemil.
  • Ada sky lounge.
  • Rate-nya masih terjangkau dan agreeable untuk hotel di kelasnya, terutama dengan lokasi yang prima.
  • Suasana kamar tenang, meskipun posisi hotel berada di kawasan yang ramai dan sering macet.

πŸ‘ŽπŸ»Β Cons

  • Maintenance kamar kurang baik. Masih ada sisa debu di atas karpet dan sekitar kaki furnitur.
  • Kamar mandi terlalu kecil dan redup, terutama shower area-nya.
  • Rainshower perlu perbaikan. Ada baiknya juga tambahin shower tangan atau keran untuk mengakomodasi pengunjung Muslim yang mau wudhu.
Penilaian Akhir

Kenyamanan: 😌😌😌😌βšͺ️
Desain: πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†βšͺ️βšͺ️
Lokasi: 🀩🀩🀩🀩βšͺ️
Harga: πŸ’°πŸ’°

Review: de Braga by ARTOTEL

Beberapa minggu yang lalu, saya berkesempatan untuk menginap di hotel ini. Kebetulan di hari kunjungan, ada Light Fest yang diadakan di sepanjang jalan Asia Afrika jadi bisa dibilang kunjungan saya lengkap deh dengan festival tersebut. Selain itu, karena dekat dari jalan Asia Afrika, bolak-balik dari hotel ke depan Museum Konferensi Asia Afrika juga nggak perlu jalan jauh.

de-braga-by-artotel
Fasad dan bangunan utama de Braga by ARTOTEL. Foto milik pihak manajemen.

de Braga by ARTOTELΒ berlokasi di jalan Braga no. 10, Bandung. Berada di kawasan jalan Braga pendek, lokasinya dekat banget dengan Museum Konferensi Asia Afrika (dan yang paling bikin saya senang, dekat banget dengan Starbucks Asia Afrika. Yay!). Sebelum menjelma jadi de Braga by ARTOTEL, di atas lahan yang ditempati hotel ini dibangun Sarinah, dan Sarinah ini masih sama dengan Sarinah yang di Jakarta. Di lantai lobi, Sarinah ini masih dipertahankan dalam bentuk satu toko kecil yang menjual barang-barang khas Indonesia, kayak kemeja batik, pernak-pernik etnik, dan semacamnya.

Dari segi eksterior, fasad asli bangunan Sarinah masih dipertahankan, hanya saja bangunannya dialih fungsikan jadi terrace cafΓ© yang memanjang. Di belakangnya, ada bangunan utama hotel dengan desain yang mengingatkan saya sama salah satu gedung bergaya modernistΒ tahun 60-an di New York. Ada semacam vibeΒ Villa Savoye desain Le Corbusier kalo menurut saya sih.

Akomodasi bintang empat ini memiliki 112 kamar yang terbagi ke dalam 3 tipe: Studio 25, Studio 35, dan Suite. Untuk fasilitas, hotel ini punya kolam renang, restoran, terrace cafΓ©, MEETSPACE, dan art space. Nah, kalau tentang fasilitas, saya sempat coba berenang di kolam renangnya. Untuk kamar, saya pilih Studio 25 yang, meskipun merupakan opsi kamar paling kecil, tapi masih bisa give something big for me. Ulasan lengkapnya di bahas di segmen berikutnya ya!

Desain Kamar

Berada di lantai 9, kamar saya berada di sisi selatan dengan jendela menghadap ke kawasan jalan Asia Afrika. Jendelanya besar, meskipun bukan berjenis floor-to-ceiling. Meskipun sedikit terhalangi hotel tetangganya, saya masih bisa mendapatkan view yang cantik dari kamar. Bahkan waktu ada Light Fest, karena cukup pusing dengan banyaknya orang yang nonton di sekitar jalan Asia Afrika, saya memutuskan untuk kembali ke hotel dan nonton festival dari kamar. Sambil duduk di samping jendela, saya bisa nonton festival dan ngemil biskuit. Nonton di bawah secara langsung pun agak rugi karena badan saya kecil, jadi kehalangin orang-orang yang lebih tinggi.

tenor
Aku ‘kan jadinya murka dalam hati

Nah, sekarang waktunya bahas desain kamar. Satu hal yang saya suka dari hotel ini adalah mereka bisa mengawinkan interiorΒ sleek modernΒ dengan sentuhan contemporary industrial dan art-deco. Ini semacam beberapa layerΒ bertumpuk-tumpuk, tapi sleek modern merupakan desain dasar kamarnya. Dua gaya lainnya jadi semacam pelengkap. Yang bikin kamar saya lebih artistik adalah adanya dua mural di dinding kamar, satu di belakang headboard, dan satu lagi di dinding sebelah tempat tidur. Pokoknya muralnya Instagram-material banget! Untuk pencahayaan, wall lights-nya berdesain simpel, berupa sphere berwarna putih dengan lampu berwarna kekuningan untuk memberikan kesan mewah di malam hari. Di atas meja belajar juga ada satu ceiling light dengan desain yang senada dengan wall lights.

IMG_20181021_121533
Interior kamar. Space-nya luas dan terasa sejuk.
IMG_20181021_121601
Dua mural di kamar. Unyu maksimal!
IMG_20181021_121540
Mural besar di atas headboard. Unyu maksimal!
IMG_20181021_121549
Televisi 42 inci dan meja kerja.

Palet warna kamar menggunakan warna putih sebagai warna utama yang memberikan kesan bersih dan sejuk. Pemilihan warna-warna monokrom seperti hitam, abu-abu, dan blue blackΒ memberikan kesan bold dan modern. Lantai kayu berwarna cokelat membangun nuansa yang lebih homy.Β For a colorful splash, ada mural warna-warni… karena hidup kalau monoton ‘kan nggak asik. You need some colors to make your life colorful, lah!

tenor31
Itu petuah dari Sehun ya. Harap diingat!

Bicara fasilitas kamar, ada televisi 42 inci lengkap dengan kanal-kanal lokal dan internasional, jaringan WiFi, dan AC. In-room amenities dasar sih sudah jelas ada jadi nggak perlu khawatir lah. Slippers juga tersedia dan desainnya lucu. Nah, di kamar juga ada mesin Nescafe Dolce Gusto Piccolo buat bikin kopi. Yang saya dapat adalah varian Espresso Intenso dan karena saya bukan penggemar berat kopi, saya tambahin krimer supaya rasanya lebih soft.

IMG_20181021_121834
Mesin Dolce Gusto Piccolo dan kopinya. Ngopi napa ngopi?!
Kamar Mandi

Kalau interior utama kamar mengusung sleek modern sebagai desain utama, kamar mandinya justru lebih kental dengan desainΒ rustic industrial, dipadukan dengan sentuhan art-deco. Agak nabrak ya? Nggak kok!

Interior kamar mandi tampak cantik dalam balutan tiles berdesain “bata ekspos” warna putih. Supaya kontras, lantainya berwarna abu-abu tua. Kesan mewah ditampilkan melalui wastafel dan cermin kamar mandi. Wastafelnya punya marble countertop, dan di atasnya ada cermin berbentuk segi empat dengan kerangka besi yang desainnya mengingatkan saya dengan The Great Gatsby. Ya, bisa dibilang desainnya Gatsby-esque lah kalau nggak sepenuhnyaΒ art-deco ala Gatsby.

IMG_20181021_121713
Area shower
IMG_20181021_121731
Marble sink dengan cerminΒ Gatsby-esque
IMG_20181021_121740
Bathroom amenities wajib

Handuk, tisu, dan alat-alat mandi lainnya sudah tersedia di kamar mandi. Untuk shower-nya, ada rainshower dan shower tangan. Aliran dan suhu airnya stabil jadi lumayan lah untuk ber-shower ketika galau. Kalau perlu mengeringkan rambut, ada hair dryer yang disimpan di dalam lemari pakaian, tepat di luar kamar mandi. Pencahayaannya juga decent karena, seperti yang saya sering bahas di artikel-artikel sebelumnya, saya nggak suka mandi di kamar mandi yang remang-remang karena rasanya muram.

tenor1
Aku nggak mau bermuram durja di bawah shower 😦
Fasilitas Umum

Buat melengkapi kebutuhan pengunjung, de Braga by ARTOTEL sudah dipersenjatai dengan beberapa fasilitas umum. Kalau mau ngopi, bisa ke terrace cafΓ© yang ada di lantai lobi. Menurut saya, kafe ini cantik banget dari segi desain dan posisi. Berada di samping trotoar, sambil ngopi ‘kan bisa sambil menikmati suasana jalan Braga pendek yang relatif lebih tenang dibandingkan jalan Braga panjang.

IMG_20181021_153342
Kafe ini juga bisa dikunjungi oleh umum kok.

Kalau mau sarapan, ada restoran yang posisinya berada di samping rooftop garden yang pas buat main atau nongkrong. Karena palet dasar interiornya adalah hitam putih, furnitur-furnitur bergaya kontemporer dengan warna cerah dan mural-mural cantik memberikan colorful splashΒ yang ceria buat menemani momen bersantap. Di luar restoran, ada area terbuka dengan rumput sintetis yang bisa jadi tempat yang pas untuk ngobrol bareng teman-teman di sore hari ketika matahari nggak begitu terik, atau main monopoli atau UNO.

This slideshow requires JavaScript.

Sebagai fasilitas hiburan slash olahraga, hotel ini punya kolam renang yang bisa diakses melalui pintu yang berada nggak jauh dari area restoran, tepatnya di dekat lift. Ukuran kolam renangnya cukup besar, hanya saja sayangnya dibatasi oleh dinding yang cukup tinggi sehingga saya nggak bisa melihat pemandangan daerah sekitar dengan mudah. Kalau mau lihat ke area jalan Braga pendek, saya harus jadi kayak anak-anak yang suka jinjit atau manjat tembok gitu. Padahal, view dari kolam renang sebetulnya bagus.

IMG_20181021_151606
Area kolam renang. Kursi dan recliner-nya nggak banyak.

Kedalaman kolam renang utama nggak melebihi 1,5 meter jadi buat yang mau belajar renang, masih aman lah (saya lihat banyak anak-anak kecil yang malah nyeburnya ke kolam renang utama). Kolam anaknya dipisahkan oleh semacam dinding pembatas yang di atasnya ada beberapa stepping stones warna krem. Ketika saya berenang, lagi ada beberapa pengunjung lain pula yang berenang. Sayangnya, karena kursi dan recliner buat pengunjung nggak banyak, pengunjung yang nggak kebagian harus simpan barang bawaannya di dekat planters. Selain itu, area kolam renang juga kekurangan spot teduh. Walhasil, produk elektronik kayak HP atau iPod akan terpapar cahaya matahari langsung kalau nggak dimasukkan ke tas (even dimasukkan pun tetap panas, berdasarkan pengalaman pribadi). Kamar mandi dan shower box untuk bilas bisa diakses melalui gang kecil yang ada di sisi timur kolam renang.

Selain fasilitas umum, beberapa public space di hotel ini juga artistik. Sesuai lah dengan embel-embel art-nya. Salah satu spot yang paling sering muncul di Instagram adalah tangga yang menghubungkan lantai restoran dengan lobi. Di lobi sendiri, ada beberapa instalasi seni, seperti wall art besar berwarna pink di samping lift.

This slideshow requires JavaScript.

Β Lokasi

Nah, bicara soal lokasi, de Braga by ARTOTEL ini menurut saya pilihan terdepan, terutama kalau ingin nginep di kawasan Asia Afrika atau Braga. Kalau ingin dapat view kawasan Asia Afrika, minta kamar yang ada di sisi selatan. Kalau di sisi utara, bisa dapat view kawasan jalan Braga dan sekitarnya. Kembali lagi ke preferensi pribadi sih.

Hotel ini cuman berjarak sekitar 5 menit dari Museum Konferensi Asia Afrika. Mau makan atau nongkrong di Braga? Jalan kaki sepuluh menit juga jadi. Oh ya, dengan jarak yang sama juga kita bisa main ke kawasan Alun-Alun dan Masjid Raya Bandung. Dari sana, kita bisa lanjut jalan ke shopping district Dalem Kaum dan Kepatihan.

Nggak jauh dari hotel, ada Pasar Barang Antik Cikapundung. Kalau kamu penggemar barang-barang antik, di sini ada berbagai macam barang nostalgic, dari mulai furnitur, mainan, sampai old records yang masih bisa diputar pakai gramofon!Β 

Kesimpulan

Kalau dari segi kamar, saya bisa bilang Studio 25 yang saya tempati ini semacam little engine that could do big things. Meskipun kelasnya paling kecil, tapi ukuran kamarnya ternyata luas dan in-room amenities-nya lengkap, terutama dengan kehadiran si Nescafe Dolce Gusto Piccolo. Desainnya pun cantik dan Instagrammable, apalagi kalau foto di atas tempat tidur dengan latar belakang mural yang unyu maksimal.

Bathroom amenities juga lengkap. Rainshower ada, shower tangan ada, jadi urusan mandi sih saya bisa bilang nyaman dan syahdu (karena ber-shower itu syahdu loh, terutama di malam hari dan pakai air hangat). View dari kamar juga keren. Saya suka banget.

Fasilitas penunjang di de Braga by ARTOTEL ini memuaskan, terutama kolam renang dan rooftop garden-nya. Meskipun terasa agak sempit karena dinding pembatasnya yang cukup tinggi, saya tetap bisa lihat view di sekitar kolam renang yang keren. Kekurangan tambahannya ya nggak banyak kursi dan recliner buat pengunjung jadi please expect some “hunger games” ya. Untuk rooftop garden-nya sendiri, saya suka karena tempat itu jadi semacam spot yang pas buat main dan ngobrol bareng teman-teman. Dari aspek lokasi, hotel ini memungkinkan saya buat beraktivitas di pusat kota Bandung, tanpa harus berkendara jauh.

Ada satu hal lagi yang saya suka dari hotel ini. Ketika pesan, saya biasanya kirimkan personal requests. Saat tiba, semua personal requests saya terealisasi: kamar di lantai tinggi, no-smoking room, big bed, jendela dengan pemandangan kota, dan early check-in dan late check-out. Saya tiba di hotel ini sekitar jam 12 dan awalnya hanya ingin titip barang, setelah itu makan siang sambil nunggu waktu check-in. Ternyata, kamarnya sudah siap dan udah boleh masuk ke kamar. Oh, betapa senangnya Sehun~

tenor
AYAFLUUUU~

Dengan harga mulai dari sekitar 550 ribu per malam (perhitungan rata-rata dari Tripadvisor dan Agoda), hotel bintang empat ini menawarkan pengalaman menginap yang menyenangkan. Interior kamar kontemporer yang keren, mural-mural ceria, dan lokasi premium membuat de Braga by ARTOTEL layak jadi pilihan kalau kamu ingin menginap di kawasan Braga atau Asia Afrika.

Pros & Cons

πŸ‘πŸ»Β Pros

  • Interior kamar tampil unik dan keren dengan perpaduan desain modern, contemporary industrial, dan sedikit sentuhan art deco.
  • Setiap kamar dipercantik dengan mural yang Instagrammable.
  • Ada mesin Nestle Dolce Gusto Piccolo buat bikin kopi.
  • Lokasi ada di jantung kota Bandung. de Braga by ARTOTEL hanya sekitar 2 menit aja jalan kaki dari Museum Konferensi Asia Afrika dan kawasan jalan Braga. Kalau Alun-Alun dan Mesjid Raya sih jalan kaki palingan sekitar 5-10 menit.
  • Di samping restoran, ada area terbuka dengan rumput sintetis yang cocok buat ngobrol atau main sama teman dan keluarga.
  • Rate-nya terbilang terjangkau dan agreeable untuk hotel di kelasnya.
  • Personal request saya berhasil dipenuhi semua (hopefully the same thing goes for you as well ya).

πŸ‘ŽπŸ»Β Cons

  • Area kolam renang kurang tempat duduk dan spot teduh.
Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌😢
Desain: πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜Ά
Lokasi: 🀩🀩🀩🀩😢
Harga: πŸ’°πŸ’°πŸ’°

Review: Belviu Hotel Bandung

Catatan: Nama properti sudah berganti dari Regata menjadi Belviu.Β 

Saya menginap di hotel ini sebetulnya udah beberapa bulan yang lalu, tapi baru sempat tulis review-nya sekarang. Kalau dulu, saya biasa lewati hotel ini ketika mau main ke CiWalk atau Dago dari kampus. Properti ini masih bisa dibilang cukup baru di kota Bandung, dan merupakan salah satu hotel kelas luxury. Yang saya suka dari hotel ini adalah lokasinya, fasilitas, dan harga πŸ€“

regata-hotel-bandung
Fasad Belviu Hotel. Foto milik manajemen hotel

Belviu Hotel berlokasi di jalan Prof. Dr. Setiabudhi nomor 35. Properti ini dulu menyandang nama Hotel Regata. Lokasinya sangat dekat dari Setiabudhi Supermarket dan eks-McDonald’s Setiabudhi. Ketika nginap di sini, saya bisa jalan kaki ke supermarket buat beli camilan, dan balik lagi ke hotel. Akomodasi bintang empat ini tampil cantik dengan fasad megah dan pilar-pilar bergaya ionic setinggi dua lantai yang menopang balkon di atasnya.

Hotel ini dilengkapi dengan restoran, lounge, karaoke, rooftop bar dan party pit, ballroom, ruang rapat, dan kolam renang. Nah, fasilitas terakhir ini saya suka banget karena saya bisa berenang sambil menikmati panorama kota Bandung dari ketinggian 11 lantai. Foto-foto yang diunggah para tamu di area kolam renang juga kece-kece, seperti yang bisa dilihat di akun Instagram resmi hotel.

Ada enam tipe kamar yang ditawarkan Belviu Hotel. Yang paling kecil adalah Superior, dan paling besar adalah President Suite Room. Ketika nginap, saya pesan kamar tipe Superior. Meskipun tipenya paling kecil, ternyata ukuran kamarnya nggak sekecil yang dibayangkan. Ulasan lengkapnya di segmen berikutnya ya!

Desain Kamar

Seperti yang saya sebut sebelumnya, saya menempati kamar tipe Superior. Lokasinya ternyata mojok dan view dari jendela pun kurang bagus 😞 Untungnya, kekecewaan saya terbayar semua dengan desain kamar yang cantik dan in-room amenities yang cukup lengkap.

IMG_20180917_114049
Double bed. Ukurannya cukup luas. Berantakan karena sudah dipakai tidur
IMG_20180917_114244
Televisi yang cukup besar dan area kerja di dekat jendela

Bicara soal desain, atmosfer mewah nan elegan bisa saya rasakan ketika masuk ke kamar ini. Warna-warna earthy mendominasi interior kamar, dari furnitur hingga dinding. Wall paneling terpasang di belakang headboard tempat tidur dan televisi, dan jadi semacam focal point kamar ini. Untuk wall paneling di belakang tempat tidur, ada ukirannya jadi tampak lebih classy. Dinding kamar dibalut warna krem yang satu frekuensi dengan warna-warna lainnya.

Untuk furnitur lain seperti kursi kerja, end table, meja kerja, dan lampu meja, desainnya masuk ke modern classic sebetulnya, tapi saya dapat semacam vibe Hollywood Regency, terutama dari lemari kabinet di samping meja kerja yang isinya adalah kulkas. Sayangnya, si kulkas tampaknya nggak dinyalakan sejak awal jadi mendinginkan minuman pun tiada gunanya. Kalau dilihat lagi, kamar ini mengingatkan saya sama rumah-rumah orang kaya yang sering ditampilkan di sinetron di tahun 2000-an awal. Mewah, tapi nggak sampai bling blingΒ yang menyilaukan mata.

IMG_20180917_112007_HHT
Lemari pakaian yang tertutup dan pintu menuju kamar mandi
IMG_20180917_111949
Area kerja. Cukup panas ternyata kalau sore-sore.

Untuk in-room amenities, kamar saya “dipersenjatai” dengan televisi layar datar (lengkap dengan kanal satelit), meja belajar, kulkas (sayangnya mati 😞), AC, dan WiFi. Internetnya bisa dibilang cukup cepat dan reliable untuk dipakai kerja. Oh ya, saya juga sempat pinjam setrika dan ironing board dari housekeeping, dan fasilitas ini bisa digunakan secara gratis. Saya juga suka dengan lemari yang tertutup karena kesannya kamar jadi rapi tanpa kelihatan gantungan-gantungan pakaian.

Kamar Mandi

Belviu Hotel memang menawarkan pengalaman menginap berkelas. Kamar mandi saya tampak mewah dengan balutan marmer dan pencahayaan yang cantik. Ukurannya memanjang dan cukup luas. Hanya saja ketika lantai basah, harus ekstra hati-hati karena lumayan licin.

IMG_20180917_112028
Area shower di belakang. Kamar mandi dilengkapi vanity mirror dan hair dryer
IMG_20180917_112040
Kloset di kamar mandi. Di dalam boks ada bathroom amenities seperti sikat gigi

Kabinet dengan marble countertop bikin kamar mandi tampak semakin mewah. Ditambah lagi kehadiran vanity mirror, buat pengunjung yang mau dandan kayaknya semakin dimanjakan. Perlengkapan mandi dasar seperti sikat gigi, pasta gigi, sabun, dan sampo sudah tersedia.

Di area shower sebetulnya ada dinding kaca yang menghadap ke kamar. Nah, untuk jaga privasi ada tirai yang bisa ditarik sampai bawah jadi jangan khawatir ketika nginap bareng teman, kita bisa tetap mandi dengan santai tanpa takut diintip. Sebetulnya kebutuhan dasar di kamar mandi sudah terpenuhi semua. Hanya saja, ada satu hal yang menurut saya kalau ada bakalan melengkapi kunjungan saya: rainshower!

Fasilitas Umum

Di awal tulisan, saya udah menyebutkan fasilitas-fasilitas yang tersedia di Belviu Hotel, tapi yang saya nikmati hanya tiga: lounge, restoran, dan kolam renang. Sebetulnya, saya juga sempat ke rooftop bar yang ada di dekat kolam renang, tapi berhubung cuaca sangat dingin pas malam hari, saya pindah ke lounge yang suasananya jauh lebih tenang, tapi sangat elegan.

regata-restaurant
Restoran hotel. Foto milik manajemen hotel
IMG_20180916_225605
Tequila Sunrise di lounge hotel

Lounge hotel berada di lantai dasar Belviu Hotel, nggak jauh dari lobi. Tempat ini cocok buat ngobrol-ngobrol bareng teman-teman sambil ngemil atau main darts, dan suasananya lebih tenang. Kalau ingin vibe yang lebih “hidup”, bisa ke rooftop bar atau party pit di lantai 11.Β  Menu minumannya nggak beda sebetulnya dan kalau malam-malam, minuman justru dibuat di rooftop bar. Jadi ketika saya pesan di lounge, bartender di lantai 11 buat minuman dan bawakan pesanan saya ke lounge. Aduh jadi ngerepotin 😢

tenor3
Maapin Sehun 😣

Untuk sarapan, menunya sih sebetulnya standar buffet hotel. Restorannya memanjang ke arah belakang, tapi nggak lantas terkesan sempit. Ada juga seating area semi-outdoor yang biasanya ditempati oleh para tamu yang ingin sambil ngerokok. Dari segi rasa, makanan dan minumannya decent. I had no complaint about it.

Nah, sekarang masuk ke fasilitas yang paling saya suka dari Belviu Hotel: kolam renang!

IMG_20180916_165229
Kolam renang hotel. View-nya bagus banget!

Panorama kota Bandung yang saya lihat dari area kolam renang ini cantik banget. Memang nggak menghadap ke arah pusat kota, tapi menara-menara apartemen dan hotel yang ada di kawasan Ciumbuleuit dan Dago Bawah tetap jadi pemandangan yang cantik buat dilihat, terutama di sore atau malam hari.

Sayangnya waktu saya berenang, airnya dingin. Nggak dingin banget memang, tapi ya segitu sih terbilang dingin, terutama di pagi hari. Untungnya sih cuaca cerah jadi saya nggak sampai menggigil. Handuk bisa diminta ke bartender atau pegawai yang bertugas di sekitar area kolam renang. Kalau mau makan, bisa pesan ke bar atau party pit. Di kolam renang juga ada ban besar yang bisa dipakai buat bersantai atau berfoto. Saya nggak sempat naik ke ban besar itu karena dipakai terus sama anak kecil.

Dan ada satu kekurangan lagi tentang kolam renang ketika saya ke sana. Airnya agak keruh, jadi ketika saya coba foto-foto di dalam air, hasil fotonya kurang jernih. Semoga kalau kapan-kapan ke sana lagi, airnya sudah lebih jernih lagi.

tenor1

 

Lokasi

Urusan lokasi, Belviu Hotel bisa jadi pilihan yang tepat kalau ingin cari akomodasi di kawasan Setiabudhi. Kalau perlu belanja, kita bisa ke Setiabudhi Supermarket yang bisa ditempuh dengan jalan kaki selama lima menit aja. Mau ke mal? Ada Cihampelas Walk atau Paris van Java yang berjarak sekitar 15 menit. Mau belanja pakaian? Tepat di sebelah bangunan hotel ada Rumah Mode yang selalu ramai dikunjungi tamu luar kota di akhir pekan.

Untuk bersantap, di sekitar hotel banyak restoran, kafe, bahkan pub yang bisa dikunjungi. Jalan sedikit ke seberang, ada The Kiosk. Sekitar 5 menit berkendara dari hotel, ada Yoshinoya, Seorae, dan Common Grounds. Giggle Box dan Saka Bistro juga nggak jauh dari hotel.

Kesimpulan

Mengusung status sebagai hotel bintang empat, Belviu HotelΒ menawarkan pengalaman menginap mewah yang mengesankan buat saya dengan biaya yang relatif terjangkau. Dengan rate mulai dari 600 ribuan (saya dapat rate sekitar segitu waktu itu dari Agoda), kita bisa dapat kamar yang cukup luas dengan interior modern classic yang bergaya dan fasilitas berkualitas.

Lokasi yang strategis jadi salah satu kelebihan hotel ini. Ke mana-mana bisa dibilang dekat, terutama ke kawasan belanja Cihampelas dan Dago. Selain itu, rooftop swimming pool dengan panorama kota Bandung dari ketinggian 11 lantai juga jadi daya tarik tersendiri. Meskipun ada beberapa hal yang tak terduga (seperti kulkas yang nggak nyala dan air kolam renang yang ternyata dingin), saya rasa desain kamar dan kualitas layanan yang ditawarkan masih bisa menutupi kekurangan tersebut. Terlebih lagi dengan rate yang nggak begitu mahal, Belviu Hotel bisa masuk daftar luxury affordable untuk hotel-hotel di Bandung.

Pros & Cons

πŸ‘πŸ»Β Pros

  • Dengan desain modern classic dan sedikit sentuhan Hollywood Regency, rate-nya masuk akal dan justru bisa dibilang terjangkau.
  • Kamar mandi mewah dengan bathroom amenities yang cukup komprehensif.
  • Ada rooftop swimming poolΒ dan party pit yang menawarkan view kota Bandung dari ketinggian 11 lantai.
  • Lokasinya cocok buat para wisatawan; butik Rumah Mode ada tepat di sebelah hotel, Setiabudhi Supermarket bisa ditempuh dengan jalan kaki selama 3 menit. Cihampelas Walk kira-kira sekitar 10 menit dari hotel kalau pakai mobil.

πŸ‘ŽπŸ»Β Cons

  • Lantai kamar mandinya licin banget pas basah, bahkan di luar shower area.
  • Area parkir hotel kurang besar kalau dibandingkan dengan jumlah kamar yang ada.
  • Air kolam renang pada saat kunjungan keruh.
  • Kulkas di kamar nggak nyala.
Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌😢
Desain: πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜Ά
Lokasi: 🀩🀩🀩🀩βšͺ️
Harga: πŸ’°πŸ’°πŸ’°

Review: MaxOne Platinum Hayam Wuruk

Tanggal 17 Oktober kemarin, Jakarta City Philharmonic mengadakan konser bertajuk “Yuwana” di Taman Ismail Marzuki. Sebagai penggemar musik klasik dan pianis yang masih hiatus karena kesibukannya di dunia translating dan content writing, kesempatan buat nonton konser klasik (dengan biaya yang relatif terjangkau) tentunya jangan sampai dilewatkan. Sebelum ke Jakarta, saya sempat bingung cari hotel untuk tinggal selama 2 malam. Setelah bersemedi di warnet selama satu jam, akhirnya saya putuskan untuk book hotel ini.

building
Fasad hotel MaxOne Platinum Hayam Wuruk. Foto milik manajemen.

MaxOne Platinum Hayam WurukΒ adalah akomodasi bintang tiga yang berlokasi di jalan Hayam Wuruk nomor 5. Hotel ini bersebelahan dengan bangunan HXC yang juga jadi “rumah” buat Yello dan Harris Vertu.Β  Dari segi desain, fasadnya ini cukup nyentrik dan mainin banyak bentuk geometri, mirip kartu remi kalau ditumpuk, tapi ada beberapa kartu yang mencuat keluar. Oh ya, posisi lobinya ada di samping bangunan, dan bukan di depan. Berkali-kali naik Grab, driver-nya kira lobinya ada di depan. Eh taunya di depan ada rumah makan Padang.

Waktu menginap di sini, saya dapat kamar di lantai 7. Lucky number atau James Bond? Entahlah, tapi yang jelas posisi kamar saya cukup mojok. Teman saya udah takut kita dapat kamar di lantai 4. Ya, you know lah kepercayaannya gimana. Meskipun demikian view-nya lumayan bagus. Hotel ini juga punya restoran yang sayangnya nggak sempat dikunjungi karena saya bangunnya selalu siang dan setelah bangun, keburu sibuk siap-siap buat jalan-jalan atau pergi ke tempat lain.

Dengan interior kamar yang ceria, suasana lobi teduh, dan lokasi yang bagus, MaxOne Platinum Hayam Wuruk ini bisa jadi tempat nginap yang pas dengan harga cukup terjangkau. Sayangnya, ada beberapa hal yang kurang saya sukai dari kunjungan kemarin. Cerita lengkapnya saya bahas di segmen berikutnya ya!

Desain Kamar

Oh ya, sebelumnya saya bilang kalau saya kebagian nginap di kamar di lantai 7. Cukup tinggi kamarnya, sayangnya posisinya agak mojok, walaupun bukan yang terpojok.

IMG_20181017_153122
Interior kamar. Kasurnya besar. Meja kerjanya juga cukup luas, dan ada white board
IMG_20181017_153130
Kanal di televisinya cukup banyak. View dari jendela juga bagus, tapi terhalang pembangunan gedung sebelah.
IMG_20181017_153216
Lemari gantungnya nggak tertutup

Bicara soal desain interior, kamar saya tampak rapi, modern, dan ceria dengan balutan lantai kayu dan wall paneling di beberapa sisi kamar. Ukuran kamarnya memang nggak begitu besar, tetapi cukup luas lah buat ukuran hotel sekelas MaxOne. Ada kaca buram di dinding diagonal yang memisahkan shower box dengan ruangan utama kamar jadi kalau ada yang mandi, yang terlihat dari luar hanyalah lekuk tubuhnya saja (apasih).

Pencahayaan kamar membangun atmosfer hangat, tapi karena warna dindingnya kalem jadi ada semacam keseimbangan antara hot and cold, udah macam Katy Perry aja. Nggak redup, tapi nggak menyilaukan juga. Lagi pula, cahaya dari luar jendela juga kalau siang-siang cukup banyak. Di atas headboard, ada panel kayu dengan semacam lukisan atau potongan dengan desain cetak yang sepintas kayak batik, tapi bukan batik. Unsur youthful-nya didapatkan dari pernak-pernik macam ini.

Untuk in-room amenities, saya rasa sih udah cukup lengkap. TV ada, pilihanΒ channel-nya banyak, meja kerja ada, white board ada. Hanya saja, koneksi WiFi selama saya nginap dua malam itu bisa dibilang kurang bisa diandalkan. Pertama, jumlah perangkat yang bisa pakai satu akun itu nggak banyak. Kedua, meskipun udah terhubung ke jaringan, tapi nggak ada arus keluar masuk data, macam “connected / no internet” kalau di HP Android saya. Untungnya ada paket data HP yang masih bisa diandalkan.

Kamar Mandi

Bicara tentang kamar mandi, saya mempertanyakan satu hal yang saya lihat pas pertama kali masuk kamar.

IMG_20181017_153148
Itu kenapa ada stool di bawah shower?!

Saya nggak paham kenapa bisa ada stool di bawah shower. Apakah penghuni sebelumnya sempat ber-shower sambil duduk? Atau mungkin dipakai buat duduk sambil nungguin creambath? Entahlah tapi yang jelas, petugas cleaning service-nya seharusnya mengembalikan lagi si stool itu ke tempatnya, dan somehow saya jadi penasaran dengan posisi asli stool itu di kamar. Itu aslinya ada di mana?

IMG_20181017_153202
Kamar mandi, lengkap dengan perlengkapan mandi, dan toilet plus bidet.

Ukuran kamar mandi unit saya sebetulnya nggak luas. Shower-nya nggak bermasalah dari segi aliran air, tapi kalau dari segi suhu memang fluktuatif. Ada rainshower juga di shower box jadi yang ingin menggalau bisa lah nyanyi lagu Melly Goeslaw di bawah cucuran air shower. Kalau dari segi desain, kamar mandinya tampak lebih mewah dengan dinding dan countertop marble. Ditambah lagi dengan adanya rainshower, bisa lah menikmati pengalaman mandi mewah. Hanya saja, tolong dong buat pihak hotel itu stool-nya dikondisikan πŸ™„

Fasilitas Umum

MaxOne Platinum Hayam WurukΒ punya restoran yang ada di lantai teratas. Dari restoran, kita bisa menikmati pemandangan kota Jakarta yang cantik, apalagi kalau malam-malam. Sayangnya, saya nggak sempat ke restorannya sama sekali karena terlalu sibuk. Sibuk persiapan nonton konser, kesiangan bangun pagi jadi nggak sempat sarapan, dan pada akhirnya lupa karena lebih banyak beraktivitas di luar hotel.

This slideshow requires JavaScript.

Sebelumnya saya sempat sebut rustic industrial. Sentuhan gaya ini juga bisa kita lihat di beberapa public space seperti lorong hotel atau lobi lift. Kalau untuk lobi sendiri, desainnya lebih ke arah kontemporer, dengan suasana teduh karena ada dinding rumput sintetis yang dihiasi oleh sangkar-sangkar burung. Cute deh buat jadi latar belakang foto.

This slideshow requires JavaScript.

Nah, sekarang saya mau bahas hal yang bikin kunjungan saya kurang maksimal. Staf hotel yang melayani saya pada awalnya ramah, tapi ke sininya kok jadi dingin ya? Kurang ramah jatuhnya. Bahkan, resepsionis lupa kembalikan SIM saya dan ketika telepon ke kamar, bilangnya malah saya yang lupa ambil SIM (saya ingat betul resepsionisnya nggak kasih lagi SIM, kenapa jadi melemparkan kesalahan padaku).

Selain itu, di lobi saya minta tolong resepsionis untuk kirimkan mangkuk dan sendok ke kamar. Resepsionisnya bilang belum tahu karena restorannya udah tutup (waktu itu masih jam empat sore). Saya tegasin ke dia ya kalau alat-alat makan sih mau restoran tutup atau buka, harusnya masih bisa diakses πŸ˜’Β Akhirnya, sekitar setengah jam setelahnya barulah ada pegawai yang datang ke kamar untuk kasihkan mangkuk, dan hanya mangkuk saja. Sendoknya ketinggalan. Saya harus telepon room service untuk minta sendok yang ketinggalan dan nggak diangkat oleh pihak hotel. Sendok baru datang ketika makanan saya udah mau habis. Menyebalkan πŸ˜’

Lokasi

Dari aspek lokasi, MaxOne Platinum Hayam Wuruk ini memang bagus. Mau ke mana-mana gampang karena Halte Busway Harmoni bisa ditempuh dengan jalan kaki selama sekitar 5 menit dari hotel. Di dekat halte, ada Carrefour Duta Merlin yang bisa dikunjungi buat belanja segala macem. Restoran-restoran juga banyak di sekitar hotel (apalagi rumah makan Padang, itu sih tinggal turun ke lobi).

Mau ke Grand Indonesia? Dari hotel kalau pakai mobil sih sekitar 15 menit (selama lalu lintas nggak dialihkan). Mau ke Kota Tua juga bisa, pakai busway bisa lebih cepat. Mau belanja murah? Bisa ke Glodok atau Tanah Abang. Restoran 24 jam? Ada McDonald’s berjarak sekitar 10 menit dari hotel dengan berkendara. Ngopi? Ke Starbucks aja yang lokasinya tepat di sebelah bangunan hotel. Waktu WiFi kamar ngadat, saya kabur ke Starbucks buat kerja.

Kesimpulan

Untuk hotel bintang tiga, MaxOne Platinum Hayam WurukΒ saya rasa berhasil menawarkan dua aspek utama yang saya cari kalau lagi masuk ke mood “nggak banyak maunya”, yaitu lokasi dan kenyamanan istirahat. Aspek lokasi harus saya kedepankan karena hotel ini memang deket ke mana-mana. Halte busway, mal, Starbucks, atau restoran bisa dicapai dari hotel dengan jalan kaki. Sebetulnya, kawasan Hayam Wuruk dan Gajah Mada ini memang kawasan yang bisa dibilang asyik buat pilih hotel saat berlibur ke Jakarta. Mau makan mewah ada, makan murah banyak. Ke Kota Tua deket, ke mal juga dekat.

Untuk aspek kenyamanan istirahat, tidur saya nggak terganggu meskipun di sebelah lagi ada pembangunan. Selain itu, nggak ada masalah dengan air di kamar mandi, AC, atau televisi. WiFi-nya memang kurang reliable, tapi yang penting tidur saya nggak terganggu dan gak ada hal aneh-aneh terjadi di kamar (kecuali sliding door kamar mandi yang agak susah dibuka, tapi tetap fungsional kok).

Hanya saja, yang disayangkan adalah pelayanan stafnya. Untuk urusan ini, saya memang dan selalu “bawel”. Dengan rate 400 ribuan, MaxOne Platinum Hayam Wuruk bisa jadi pilihan akomodasi budget yang strategis dengan interior youthful buat kita-kita para young traveler. Namun, buat saya secara pribadi akan lebih nyaman dan kunjungan saya akan lebih terasa lengkap ketika staf bisa lebih ramah dan helpful. Semoga sih ke depannya kalau saya nginap lagi di sana, stafnya bisa lebih baik lagi.

Pros & Cons

πŸ‘πŸ»Β Pros

  • Desain kamar bernuansa youthful dengan dinding artsy di belakang headboard tempat tidur sebagai focal point.
  • Lokasi strategis. Dekat ke supermarket (Carrefour Duta Merlin), kafe (Starbucks), restoran (Padang Merdeka), dan lain-lain. Halte busway Harmoni juga cuman sekitar 5 menit dengan jalan kaki dari hotel.
  • Restoran hotel menawarkan city view yang keren.
  • Rate-nya cukup terjangkau untuk hotel budget ke arah midscale.

πŸ‘ŽπŸ»Β Cons

  • Internet putus nyambung, kurang reliable kalau buat dipakai kerja.
  • Beberapa staf dan resepsionis hotel kurang ramah dan terkesan perfunctory, kurang responsif dengan kebutuhan pengunjung (I know everyone is tired but hey, we did not even ask for something unexpected like a white elephant or something. Semoga saja kualitas layanan dan keramahan stafnya bisa lebih ditingkatkan).
Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌βšͺ️βšͺ️
Desain: πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†βšͺ️
Lokasi: 🀩🀩🀩🀩🀩
Harga: πŸ’°πŸ’°

Review: Cottonwood Bed & Breakfast

Kalau pulang dari kampus atau kelas, kadang saya lewatin hotel ini. Lokasinya memang tidak disangka-sangka dan ketika beberapa teman tanya soal lokasi hotel ini, tanggapan mereka setelah saya jawab adalah “Oh, ada hotel di sana?”

Ada. Dan hotelnya gemes maksimal!

cottonwood bandung
Fasad Cottonwood Bed & Breakfast. Sederhana tapi manis.

Cottonwood Bed & Breakfast berlokasi di jalan Mustang nomor B2/1A. Kalau anak-anak Maranatha atau Sarijadi sih kemungkinan tahu hotel ini atau daerah ini. Nah, buat yang jarang masuk-masuk ke jalan yang lebih kecil di kawasan Sarijadi atau Surya Sumantri, hotel ini tuh nggak jauh dari Gerbang Tol Pasteur dan kawasan Cibogo (kira-kira sekitar 10 menit lah dari gerbang tol kalau kondisi jalan lagi lancar). Untuk saya pribadi sih kalau bahas segi lokasi, hotel ini punya keuntungan dan kekurangan tersendiri. Keuntungannya adalah hotel ini nggak berlokasi di jalan arteri dan berada di kawasan pemukiman yang tenang sehingga saya bisa kerja dan istirahat dengan nyaman tanpa banyak gangguan. Kekurangannya adalah karena lokasinya bukan di jalan arteri, akses ke area komersial nggak begitu mudah, walaupun sebetulnya jaraknya dari gerbang tol Pasteur itu cukup dekat.

Akomodasi bintang dua ini mengusung konsep bed and breakfast. Untuk tipikal pengunjung yang nggak neko-neko dan butuh tempat untuk “tidur doang”, hotel ini udah memenuhi kebutuhan. Bangunannya sendiri nggak besar, dengan fasad yang bukan tipikal grandiose, tapi lebih ke arah cute (driver Grab saya bilang, “Lucu ya kayak rumah Barbie!”). Oke sip, pak! πŸ€“

Jumlah kamarnya nggak banyak; hanya ada 11 kamar yang terdiri atas 9 kamar biasa, 1 loft, dan 1 familyΒ suite room untuk 4 orang. Fasilitas hotel pun hanya ada restoran slash kafe dan satu plant nursery. Meskipun demikian, menginap di sini dijamin nggak menyesal karena lokasinya yang cocok buat menyepi dan desain interior kamar yang bikin betah dan gemas sendiri.

Desain Kamar

Untuk kepentingan review ini, saya sempat galau beberapa jam untuk pilih desain kamar yang diinginkan. Seperti yang saya bilang sebelumnya, desain interior kamar di Cottonwood Bed & Breakfast ini unik dan menggemaskan. Asyiknya lagi, setiap kamar tampil dengan desain yang berbeda. Ini sih roman-romannya harus ke sana lagi buat coba nginap di kamar yang berbeda. Akhirnya, pilihan saya jatuh kepada kamar Popple Room yang ada di lantai dua.

Bicara tentang ukuran kamar, sebetulnya ukurannya sih nggak besar. Space kamar sebagian besar terisi sama tempat tidur double bed dengan seprai putih motif garis-garis warna biru yang memberikan sentuhan nautical. Supaya nuansa lautnya lebih kental, di samping tempat tidur ada lemari buku yang dibuat dari perahu yang dibagi dua. Cantik banget!

Di samping tempat tidur, ada meja belajar dan kursinya yang mengingatkan saya sama bangku dan kursi TK. Meja belajarnya ini dipasang di dinding dan entah kenapa saya merasa mejanya rentan jatuh (penahannya cuman satu). Di atas meja, disediakan terminal sebagai pengganti outlet listrik yang dipasang di dinding. Kurang A E S T H E T I C sih, tapi kelebihannya saya jadi punya banyak colokan buat charge ini itu. Di sini, saya mulai merasa juga bahwa kamar saya ini cocok jadi kosan tematik. Serius deh! Rasanya kayak kosan loh. Kosan mewah dan tematik.

AC dan televisi juga tersedia di kamar. Kalau butuh hiburan lain, ada WiFi gratis yang bisa dipakai untuk browsing internet atau cek media sosial. Oh ya, di kamar nggak ada lemari pakaian loh jadi kita nggak bisa simpan pakaian di dalam lemari. Meskipun demikian, masih ada gantungan pakaian (dan cukup banyak karena di kamar mandi pun ada) yang bisa kita pakai untuk simpan baju, jaket, atau celana.

Ketika datang sekitar pukul jam 4, suasana kamar bikin saya ngerasa betah. Apalagi dengan desain interior yang gemas begitu, saya jadi agak malas buat pergi beli makan. Walhasil, saya ketiduran sambil nonton kartun sampai sekitar jam setengah 8 malam. 😞

Oh ya, karena konsepnya bed and breakfast, kita diimbau untuk nggak mengganggu tamu lain dengan berisik di kamar atau nyalakan televisi dengan suara kencang. Kamar pun nggak punya peredam suara jadi suara dari dalam kamar bisa kedengaran ke luar, dan sebaliknya.

Oh ya, buat yang penasaran desain kamar-kamar lain di hotel ini, di bawah ini ada beberapa fotonya yang saya ambil dari website resmi hotel.

Kamar Mandi

Untuk urusan kamar mandi, saya nggak menyimpan ekspektasi besar. Bentuk kamar mandinya memanjang, tapi bisa dibilang cukup lapang dan nggak bikin claustrophobic. Appliances seperti shower, kloset, bidet, dan wastafel sudah tersedia jadi perlengkapan dasar kamar mandi sudah bisa dicentang dari list ya.

IMG_20181004_160609_HHT
Kamar mandi yang mungil tapi cerah

Nah, yang saya suka dari kamar mandi ini adalah penerangannya yang baik. Seperti yang saya ceritakan di beberapa review sebelumnya, saya kurang suka dengan kamar mandi yang remang karena rasanya gloomy dan mandi jadi tidak ceria. Dindingnya didominasi warna lemon chiffon, dengan setengah bagian bawahnya merupakan dinding bata ekspos bercat putih. Keluaran air dari shower-nya cukup kencang jadi enak buat pijat bahu. Hanya saja untuk air panas, saya harus menunggu sekitar beberapa menit sampai suhu yang diinginkan terasa.

Sabun dan sampo sudah disediakan di dispenser yang ada di area shower. Area ini dipisahkan oleh shower curtain yang sayangnya nggak sepenuhnya menghalau air ke area kloset (intinya sih mandinya nggak usah hardcore sampai loncat-loncat). Selain sabun dan sampo, sikat plus pasta gigi dan shower cap juga tersedia. Hanya saja, pisau cukur nggak disediakan jadi yang perlu bercukur, baiknya siapkan sejak awal dari rumah atau beli dari minimarket.

Fasilitas Umum

Meskipun konsepnya bed and breafkast, Cottonwood Bed & Breakfast punya fasilitas umum buat menunjang kebutuhan pengunjung. Salah satunya adalah kafe.

Di bagian belakang hotel, terdapat kafe Sun Porch yang bisa dikunjungi baik oleh pengunjung hotel maupun umum. Hanya saja untuk umum, kafe ini buka dari jam 7 pagi sampai jam 5 sore aja. Ukuran kafenya sepintas kelihatan kecil dan nggak luas, tapi seating area tambahan di belakang ternyata lebih menarik. Ada juga spot khusus untuk food photography yang disediakan pihak hotel secara gratis, lengkap dengan lighting dan properti lain yang bisa dipakai.

Interior kafe mengusung desain shabby chic, dengan kursi-kursi dari boks kayu, lemari dan rak bernuansa cottage, watering cans, patung-patung kecil berbentuk hewan, dan tanaman hias. Oh ya, di kafe ini juga ada rak yang menyimpan koleksi sukulen untuk dijual. Sayangnya, saya datang ke sini nggak bawa mobil sendiri. Kalau bawa sih, saya mungkin beli satu sukulen.

Suasana kafe yang cerah dan berdekatan dengan kebun ini bikin saya nyaman ketika sarapan di sini. Banyaknya tanaman-tanaman hias yang dipajang bikin area kafe terasa teduh. Pemilik sekaligus manager hotel ini juga ramah dan menanyakan gimana istirahat saya. Rasanya homy banget. Yang serunya lagi adalah sarapan saya bukan nasi goreng, mi goreng, atau makanan lain khas continental breakfast; saya makan laksa! Agak aneh sih pagi-pagi makan laksa, tapi ya ini unik aja. Jarang-jarang kan sarapan di hotel, makannya bihun laksa.

IMG_20181005_105246
Tangga utama
IMG_20181005_105402_HHT
Mau nitip salam?
IMG_20181005_090810
Boks pasir mainan untuk anak
IMG_20181005_100004
Taman depan, ada rumah burungnya
IMG_20181005_100019
Tempat duduk di teras depan

Desain interior ruangan atau public space yang lain sama atau senada dengan shabby chic. Dekorasi atau ornamen bertema burung dan hewan banyak di sana sini dan menambah sisi gemas hotel ini. Warna-warna pastel dan netral juga mendominasi interior hotel, menciptakan atmosfer yang hangat dan menyenangkan.

Kesimpulan

Dengan harga mulai dari 315 ribu rupiah per malam (berdasarkan plakat di hotel), Cottonwood Bed & Breakfast bisa jadi tempat istirahat atau sanctuary yang terjangkau buat yang ingin beristirahat sambil kerja dalam atmosfer yang hangat ala rumah sendiri. Kamar-kamar tematik dengan desain yang unik bikin hotel ini sayang kalau hanya dikunjungi satu kali (next time coba kamar yang lain).

Meskipun nggak banyak fasilitas umum, kafe dan taman di hotel ini menawarkan public space yang nyaman untuk bertemu teman-teman atau ngopi. Lokasinya yang cukup nyempil juga membuat hotel ini relatif tenang dan sepi, jadi enak buat beristirahat. Sayangnya kalau senang jalan-jalan dan ingin akses cepat ke minimarket atau tempat umum lainnya, mungkin agak susah. Minimarket terdekat jaraknya nanggung kalau jalan kaki, meskipun kalau pakai motor sih relatif dekat.

Overall, pengalaman saya nginap di Cottonwood Bed & Breakfast ini menyenangkan. Kalau mau cari akomodasi budget yang unik dengan desain interior kamar yang gemes, hotel ini bisa jadi pilihan yang tepat.

Pros & Cons

πŸ‘πŸ» Pros

  • Desain setiap kamar beda-beda, tapi yang jelas Instagrammable. Kayaknya nggak cukup sekali datang ke sana karena bawaannya ingin nginap di kamar-kamar lain.
  • Suasana hotel secara keseluruhan hangat dan nyaman, kayak nginap di rumah sendiri (dengan desain kamar yang unik).
  • Area di sekitar hotel cukup tenang, cocok buat yang ingin istirahat atau menyepi.
  • Restoran hotel menyediakan photo space gratis buat yang suka foto-foto makanan.
  • Rate-nya terjangkau dan dengan desain kamar yang cantik, hotel ini worth visiting.

πŸ‘ŽπŸ» Cons

  • Meskipun cukup dekat dari Gerbang Tol Pasteur dan Universitas Kristen Maranatha, minimarket terdekat jaraknya nanggung (jauh kalau jalan kaki, tapi deket kalau pakai motor).
  • Pintu kamar masih pakai kunci manual, bukan card.
  • Kamar nggak begitu kedap suara. Waktu saya nginap, bayi pengunjung lain ada yang nangis malam-malam dan kedengaran sampai kamar.
  • Jumlah kamar di Cottonwood nggak banyak jadi jangan kaget kalau full-booked di high season.

Penilaian

Kenyamanan: 😌😌😌😌βšͺ️
Desain: πŸ˜„πŸ˜„πŸ˜„πŸ˜„πŸ˜Ά
Lokasi: 🀩🀩🀩😢βšͺ️
Harga: πŸ’°πŸ’°